Part 19

Diego meninggalkan mansion setelah memberi keputusan sepihak kepada Milly. Bersama Federic serta bodyguardnya, ia mendatangi kantor Drug Enforcement Administration (DEA) sesuai janji yang telah ditetapkan dan langsung menemui Winter--kepala DEA.

Bersama beberapa petugas DEA yang duduk melingkar di meja bundar, Diego mulai memberitahu niatannya datang. Ia memberi informasi tentang Eduardo yang memiliki produksi heroin dan cocaine, serta memberitahu jika kelompok mereka telah menyerang mansionnya yang bertujuan untuk merebut senjata api dari pabriknya. Perbincangan mereka tampak serius. Winter bersama anggotanya dengan cermat mendengarkan Diego berbicara.

"Aku tahu mereka memiliki bisnis itu. Tapi, aku tidak tahu di mana mereka memproduksi. Tempatnya sangat tertutup dan rahasia," kata Diego, menatap satu per satu orang-orang di sekitarnya.

"Yeah. Eduardo sudah menjadi incaran kami selama ini. Tapi, belum berhasil ditangkap. Orang-orang seperti mereka sangat lihai bersembunyi. Taktiknya sangat cerdas," kata Winter. Anak buahnya mengangguk membenarkan.

"Aku berharap kalian bisa membantuku untuk menangkap mereka. Selain menyerang mansion, mereka juga berani membakar kebun gandumku. Dan aku yakin, mereka juga sedang mengincar adik iparku. Beberapa hari lalu ada yang berniat membunuhnya." Diego melemparkan tatapan serius. Rahangnya yang bercambang tipis terlihat tegas.

"Kami akan berusaha, Sir."

"Terima kasih untuk kerja sama dan bantuannya." Diego beranjak berdiri. Berjabat tangan dengan Winter yang langsung mendapat balasan, lantas ia berlalu dari ruang meeting.

Federic dan dua bodyguardnya mengikuti. Langkah mereka yang tegas berkelas, mendapat tatapan segan dari orang-orang yang berpapasan. Di mata mereka, Diego bukan orang asing lagi. Profil dirinya sudah tersebar luas. Orang-orang tahu Diego sangat berpengaruh besar dalam sumber daya manusia di negaranya. Meskipun lelaki itu memiliki keburukan perihal perselingkuhan dan menikah dua kali, orang-orang tidak ada yang berani mengecamnya buruk.

Ponsel milik Diego berdering. Lelaki itu merogoh saku jas dalam, mengambilnya. Dilihatnya sesaat layar datar tersebut, tertera nama Dominic di sana. Sembari melangkah melewati lobi dan keluar kantor DEA, Diego menerima telepon. Ia mendengar suara berat Dominic dari seberang sana, mengabarkan jika kebun yang terbakar tidak terlalu luas. Namun, tersangka tidak terdeteksi sehingga kesulitan menangkap.

"Aku sudah tahu itu ulah Eduardo. Aku baru saja menemui Winter meminta bantuan. Dia dan anggotanya akan membantuku," kata Diego seraya masuk ke mobil.

Matahari yang tadi masih terang, kini mulai menampilkan sinar kuning dari arah barat. Tidak lama lagi langit akan berganti gelap. Diego harus cepat sampai mansion. Khawatir dengan keadaan sang anak dan Sienna. Untuk Milly, rasa itu sudah hambar. Setelah dekat dengan Sienna dan tahu bagaimana sifat Milly yang sebenarnya, tidak ada lagi rasa spesial yang tertinggal untuk istri barunya tersebut. Ya, Sienna benar-benar telah menyadarkan dirinya. Ia lelaki brengsek yang berani menyakiti Morgan. Ia menyesal, sangat. Namun, jika terus merenungi penyesalannya juga tidak akan membuat Morgan kembali.

"Baik, Sir. Apa Anda akan kemari lagi dalam waktu dekat untuk melihat kondisi kebun?"

Suara Dominic menyadarkan Diego dari lamunan. Lelaki itu berdeham. Ia melemparkan pandangan ke luar jendela dengan tirai terbuka. Mobil limousine yang ditumpangi melaju sedang membelah jalanan aspal.

"Aku belum tahu kapan. Tolong kau urus yang di sana. Beritahu para petani  untuk menggundulkan lahan yang terbakar dan beritahu mereka untuk menanam gandum yang baru." Diego berkata tegas penuh perintah.

"Baik, Sir. Besok akan saya koordinasikan bersama para petani."

"Ya." Diego membalas singkat, lantas mematikan sambungan telepon. "Langsung ke mansion," perintahnya kepada sang sopir. Ia kembali merenung, sibuk memikirkan permasalahan yang ada. Sementara, Federic dan bodyguardnya yang duduk dalam satu ruang sama-sama diam.

"Selain masalah ini, apa ada masalah lain lagi, Federic? Bagaimana pabrik yang lain dan produksinya?" tanya Diego, memecahkan suasana hening.

"Belum saya check ulang, Tuan. Mungkin, nanti akan saya tanyakan kepada pihak penanggung jawabnya." Pria berambut pirang itu menjawab mantap.

Diego mengangguk. "Ya. Malam ini kalian tidur lah di mansionku. Untukmu, Federic, kita perlu memeriksa semua perusahaanku. Aku berharap tidak ada yang dihancurkan lagi oleh Eduardo."

"Baik, Tuan." Federic dan dua bodyguard yang bersama, berkata kompak.

***

"Untle Mek." Ken berseru riang melihat Maxime dari ponsel Sienna. Bocah itu tersenyum lebar sambil memainkan lego yang baru dirakit.

"Lama sekali kita tidak bertemu. Aku sangat merindukanmu dan keponakanmu, Sien." Senyum Maxime tak kalah menawan dari Ken. "Maaf, malam itu aku gagal menangkap pelaku yang ingin membunuhmu. Dan keesokan harinya aku mendapat tugas kerja ke luar negeri. Baru pulang tadi siang." Ia tahu ada yang ingin membunuh Sienna. Perempuan itu yang memberitahu dirinya malam itu juga.

"Tidak apa-apa, Maxime. Yang penting aku selamat bukan?" Sienna menatap lekat lelaki dalam ponselnya tersebut. Ia juga mengulas senyum sampai lesung di kedua pipinya terlihat jelas. Ia merindukan Maxime. Sudah lama tidak mendapat kabar dari lelaki itu. Sejak malam itu, Maxime menghilang begitu saja bagai ditelan bumi. Bahkan, tidak mengabari dirinya jika ada tugas di luar negeri.

"Iya. Apa pembunuh itu masih mengincarmu sampai sekarang?"

Sienna menggeleng. "Aku rasa, tidak. Tapi, semalam mansion Diego mendapat serangan. Syukurnya kami tidak apa-apa."

Wajah Maxime kikuk seketika. Senyumnya menghilang, terganti dengan raut wajah kekhawatiran. Dan menurut Sienna, lelaki itu memang mengkhawatirkan dirinya. Sorot mata beriris biru itu tampak teduh membuat dirinya terenyuh. Bagi Sienna, Maxime seorang pria yang hangat. Ia merasakan kenyamanan dengannya.

"Kenapa? Dan siapa yang menyerang?" tanya Maxime, terdengar cemas.

"Aku tidak tahu. Mungkin musuh Diego."

"Aku mengkhawatirkanmu jika tinggal di sana. Kau ikut Diego. Lelaki itu memiliki banyak musuh. Sudah pasti kau juga yang akan terkena imbasnya."

"Selama masih ada Ken di sini, aku akan tinggal di sini, Maxime. Aku harus menjaga keponakanku." Sienna menoleh ke arah Ken. Bocah itu menunduk, sibuk dengan legonya yang dibongkar kembali. "Tapi, suatu saat aku akan membawa Ken pergi dari sini." Ia menatap Maxime kembali. Lelaki itu mengernyit seakan menunggu kelanjutan ucapannya.

"Iya, Maxime. Setelah Ken nyaman denganku, aku akan membawanya pergi dari Diego. Lelaki itu harus merasakan bagaimana kehilangan orang yang dicintai. Aku dan Ken telah kehilangan Morgan karena Diego dan Milly."

Sienna tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Maxime setelah mendengar ucapannya. Lelaki itu tentu bahagia. Ada dua kemungkinan keberuntungan menghampiri dirinya, yang akan berdampak baik ke kelompok mafianya.

"Aku akan membantumu untuk pergi dari sana. Kalau kau sudah siap, kau bisa memberitahuku, Sien. Aku tidak akan membiarkanmu dan Ken pergi hanya berdua."

Sienna mengangguk mengiyakan. "Tentu. Nanti aku akan memberitahumu. Aku sudah memiliki tempat tinggal di suatu tempat. Kita bisa tinggal di sana."

Perhatian Sienna dari Maxime teralihkan ke pintu kamar yang terketuk dari luar. Tidak lama Marlin masuk, memberitahu jika makan malam telah siap. Diego pun sudah pulang, menunggunya di ruang makan.

"Max, aku tutup dulu teleponnya, ya. Kami mau makan malam dulu. Kau juga jangan lupa makan."

"Aku sudah kenyang melihat wajahmu, Sien." Maxime terkekeh. Ia melihat Sienna tersenyum salah tingkah. "Lama tidak melihat wajah ayumu, benar-benar membuatku lupa makan."

"Max, kau pandai merayu ternyata." Sienna terbahak. "Sayang, say bye-bye dulu sama Uncle Max," katanya kepada Ken sambil mengarahkan ponsel ke bocah itu.

Ken melakukan perintah Sienna. Ia melambaikan kedua tangan kepada Maxime. Tidak lama, perempuan itu mematikan ponselnya lalu menaruhnya ke kasur.

"Kita ke bawah dulu, Sayang. Daddy sudah pulang, saatnya kita makan malam." Sienna meraih tubuh Ken, membopongnya. Ia menyerbu banyak kecupan ke pipi bocah itu. Aroma shampoo, sabun, pewangi pakaian, dan bedak, membaur jadi satu. Sangat harum aromanya.

"Mau jalan sendiri atau bopong?" tawar Sienna sembari melangkah keluar kamar. Ken masih dalam gendongan.

"Jalan tendili. Tapi, tuntun."

"Oke." Sienna menurunkan Ken dari gendongan. Salah satu tangannya saling bertautan dengan tangan bocah itu sambil melangkah menuju tangga. Dua penjaga yang berjaga di ujung tangga, mengangguk hormat saat dirinya dan Ken melewati hadapannya.

Pandangan Sienna agak was-was. Ia takut kejadian kemarin malam terulang kembali. Namun, malam ini, ia percaya semua akan baik-baik saja. Sampai di lantai bawah, ia berpapasan dengan Milly yang baru keluar dari kamar. Sienna mengulum senyum sinis. Mendapat kabar dari Marlin, perempuan itu sudah pindah kamar. Pisah ranjang dengan Diego.

"Dulu, sih, dengan sombongnya ingin menghancurkan butikku melalui Diego. Tak tahunya, kau sendiri yang dicampakkan olehnya. Kasihaaan." Sienna meliriknya sinis. Sebelah ujung bibir terangkat.

"Kau pikir aku takut? Kau tidak tahu siapa aku."

"Oh, ya?" Sienna mengangkat Ken, membopongnya. "Sayang, kau tahu siapa dia?" Ia menggunakan dagu menunjuk Milly yang berjalan mendahului.

"Nene tihil, Mommy."

"Yupz! Kau benar." Sienna berucap senang. Kemudian, ia mendahului Milly yang hampir sampai ruang makan. Melihat bukan hanya Diego yang di sana, Sienna agak terkejut. Ia tidak pernah melihat lelaki berambut pirang yang duduk di sebelah kiri Diego.

"Daddyyy," seru Ken. Masih dalam gendongan Sienna, ia mengulurkan tangan.

Diego membalasnya, lantas memangku sang anak. Sementara Milly dan Sienna rebutan kursi di kanan Diego. Tarik menarik.

"Kau tidak pantas duduk di sini. Aku istri Diego," ucap Milly kesal melihat Sienna lebih dulu menduduki kursi itu.

Federic yang melihat kedua perempuan itu tercengang. Dibuat bingung. Ia tahu sang bos menikahi Milly. Ia tahu sang bos mencintai perempuan itu. Bahkan, dulu Milly sering datang ke kantor untuk berkencan dengan Diego. Yeah, ia tahu bobroknya sang bos, tetapi tetap diam. Tak mampu berkata apa pun selain patuh pada pekerjaan. Namun, saat ini, ia dibuat penasaran dengan Sienna. Ia tidak pernah melihat sebelumnya. Jika benar tebakannya, perempuan itu masih bersaudara dengan Morgan. Porsi wajahnya hampir mirip.

"Dan aku kekasihnya. Kau tahu, posisi istri untuk Diego tidak penting. Seperti dia tidak mementingkan posisi Morgan saat masih menjadi istrinya. Yeah, tentu saja posisi sang kekasih lebih utama. Benar, 'kan, Sayang?" Sienna mengulum senyum, merasa tak bersalah atas ucapan sindirannya.

Berbeda dengan Diego yang menahan malu di depan Federic. Berbeda dengan Milly yang amarahnya semakin memuncak. Berbeda dengan Federic yang menganggap pemandangan di depannya adalah tontonan menarik. Ia sangat menunggu kelanjutannya.

***

Sudah sampai part 19 ini, bagaimana menurut kalian?

Dari tokoh utama (Sienna) apa yang kalian suka?

Dan moment apa yang paling kalian tunggu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top