Part 18
Tidak perlu sopan untuk Milly masuk ke kamar Ken. Sampainya di depan kamar bocah itu, ia langsung membuka pintu dengan cepat dan menghampiri Sienna yang berdiri membelakangi di depan nakas. Tanpa ba-bi-bu ia menjambak rambut Sienna, mencengkeramnya kencang. Suara pekikan keluar seketika dari mulut perempuan itu, diiringi suara jatuh botol berisi air susu.
"Mommyyy!" seru Ken panik. Ia masih berbaring, langsung beranjak duduk. Mata bulatnya menatap khawatir Sienna yang mengernyit kesakitan, tetapi ada rasa takut saat melihat raut wajah Milly seperti nenek sihir.
"Angan putul Mommy Tien!" seru Ken lagi, tetapi Milly tidak memedulikan.
"Diam kau, Bocah!"
"Jangan bentak anakku, Brengsek!" Sienna tidak terima sang keponakan mendapat perlakuan buruk. Ia memberontak, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Milly. Namun, cengkeraman perempuan itu justru semakin kencang membuat pori-pori kepalanya panas menyengat.
"Lepas!" seru Sienna.
Namun, Milly tidak memberi ampun. "Jauhi Diego, Bitch! Jangan pernah dekati dia lagi! Gara-gara dirimu, suamiku berubah! Gara-gara dirimu, dia tidak pernah peduli lagi denganku!"
"Aku tidak peduli! Aku akan merebut Diego darimu. And see! Dia lebih peduli kepadaku daripada dirimu! Karena kau ... wanita murahan dan pantas dicampakkan!" Sienna tidak boleh kalah meskipun sedang menahan sakit di kulit kepalanya. Dalam diam, ia sedang mencari cara melepaskan diri dari wanita murahan di belakangnya. Ia berusaha mengontrol emosi agar pikiran tetap waras dan tidak buntu ide.
Tidak lama kemudian, Sienna memutar tubuh lalu menyodok perut Milly menggunakan satu kaki. Perempuan itu memekik, berhasil melepaskan cengkeramannya di kepala Sienna. Kali ini bergantian Sienna yang menahan Milly, menjatuhkan perempuan itu ke ranjang sambil menahan kedua tangannya di belakang tubuh sambil menduduki pinggangnya agar tidak memberontak.
"Ayo, Mommy, putul dia. Yeeey! Mommy Tien ebat! Mommy Ken ebat!" Ken meloncat-loncat bahagia melihat Milly kesakitan dalam tahanan Sienna.
"Tenang, Sayang. Kita harus kasih pelajaran ke Nenek Sihir ini. Dikira kita orang lemah apa?" Sienna tersenyum bangga ke arah Ken. Merasakan Milly bergerak memberontak, ia semakin menaikkan tangan perempuan itu dan mengencangkan cengkeraman.
Milly mengerang kesakitan. Sementara Ken masih loncat-loncat sambil bertepuk tangan riang.
"Nene tihil jeyek, Mommy," seru bocah itu tertawa riang.
"Awas kalian berdua! Lepaskan aku, Brengsek!"
Seruan Milly seperti angin lalu untuk Sienna. Sama sekali tidak digubris. "Sayang, kali ini Mommy membebaskanmu memberi hukuman ke orang jahat. Ken, mau kasih hukuman apa ke Nenek Sihir?"
"Utuman?" Ken terlihat bingung.
"Iya." Sienna manggut-manggut. "Seperti mencubit, menggambar wajahnya dengan spidol, gelitikin, atau apa pun sesukamu."
"Ken tida tahu." Bocah itu menggeleng polos.
"Ah, Mommy punya ide. Kau bisa tolong Mommy ambilkan lipstik di dalam tas itu, Sayang?" Sienna mengedikkan dagu ke arah meja rias. Di sana ada tas tangannya. Ken yang paham pun, menurut begitu saja.
Bocah itu beranjak turun dari ranjang, berlari dengan lucunya ke meja rias. Sedangkan Sienna bergerak cepat menggunakan satu tangan menarik selimut yang terbentang lebar. Lalu, ia membukus tubuh Milly menggunakan selimut itu, menggulungnya seakan-akan sedang membuat roti gulung sampai bentukkannya seperti kepompong. Lebih tepatnya, seperti ulat sagu. Sebab, hanya kepalanya saja yang terlihat. Untuk menjaga keamanan agar perempuan itu tidak melepaskan diri, ia duduk mengakang di atas perut Milly.
"Lepaskan aku, Bitch!" Milly mencoba memontang-mantingkan tubuh, tetapi ia kesusahan bergerak. Hanya bisa menggeliat seperti cacing kepanasan. Sorot matanya menatap penuh kebencian kepada Sienna yang bersedekap.
"Ini, Mommy." Ken datang sambil membawa tas tangan milik Sienna, lantas menyerahkannya.
"Terima kasih, Sayang. Sekarang kita lukis wajah Nenek Sihir ini biar semakin cantik, oke."
"Menyingkir dari tubuhku, Bitch!" Milly terus menggeliat. Sialnya, tubuh Sienna seperti paku, susah disingkirkan. Terlebih lagi tangan dirinya berada di belakang punggung, membuat kesusahan bergerak bebas.
"Ote, Mommy." Ken merangkak ke kasur lagi, duduk di sebelah kiri Milly. Bocah itu memerhatikan Sienna yang sedang mengubek tas, tidak lama mengeluarkan lipstik berwarna merah menyala, maskara, dan eyeliner.
"Kau mau yang mana?" Sienna menyodorkan tiga barang itu ke hadapan sang keponakan.
"Ken mau ini." Bocah itu mengambil lipstik, membuka tutupnya. "Walna melah."
"Bagus itu, Sayang. Oke, sekarang kita lukis wajah si Nenek Sihir, ya. Ken boleh menghabiskannya, nanti Mommy minta ganti sama Daddy. Mana Dior lagi, Mommy enggak mau rugi." Sienna berdecak, tetapi ia rela-rela saja untuk membalas Milly yang berani membentak Ken dan menjambak dirinya.
"Let's go, Baby! Kita lukis wajah Nenek Sihir. Ken, lukis wajahnya sampai penuh, ya. Kening sama bibirnya juga. Mommy pakai ini." Sienna menunjukkan maskara dan eyeliner sambil memainkan kedua alis naik-turun.
Ken mengangguk patuh, langsung melancarkan aksinya bersama Sienna. Sementara Milly yang menjadi korban berusaha menghindar, terus menggeleng.
"Aaa! Awas kalian berdua! Tunggu pembalasanku!"
"Pelti badut, Mommy." Ken tertawa terhabak-bahak. Sekarang tidak ada rasa takut terhadap Milly, justru ia kesenangan mendapat permainan baru.
"Sayang, kalau kau dijahatin sama Nenek Sihir harus dibalas, oke. Tidak boleh takut. Kalau Nenek Sihir ini bentak Ken lagi, Ken tidak boleh nangis. Kau harus kuat. Mommy akan senang melihatnya." Mommy yang dimaksud Sienna adalah Morgan. Iya, tentu Morgan akan senang jika anaknya menjadi pribadi yang kuat.
"Ote, Mommy." Ken masih mencoret-coret wajah Milly. Lipstik itu hampir habis. Sekarang muka Milly berubah merah menyeluruh berlapis lipstik cukup tebal.
Sienna sendiri mencoret-coret eyeliner dan maskara di alis, ujung hidung, dan membuat lingkaran di kedua pipi Milly.
"Hei, kalian sedang apa?"
"Diego! Tolong aku!" Milly bernapas lega mendengar suara Diego di ambang pintu. Ia juga mendengar langkah kaki lelaki itu semakin dekat.
"Sien, kau apa-apaan? Kenapa mengajari Ken seperti itu." Diego dengan cepat mengangkat Sienna dari atas tubuh Milly. Ia menatap prihatin sang istri, melihat wajahnya persis seperti tersiram darah segar.
"Dia sendiri yang bikin ulah, beraninya membentak anakku." Sienna berkata sengit.
"Nene tihil ahat, Daddy. Adi putul Mommy Tien. Telus teliak ama Ken," adu Ken sangat polos. Ia masih duduk di tempat. Kedua tangannya penuh noda lipstik. Sedangkan sang Daddy membantu Milly berdiri, lalu membuka bungkusan selimut dari perempuan itu.
"Benar yang dikatakan mereka?" Suara Diego terdengar dingin. Ia menajamkan tatapan kepada Milly, dan melihat perempuan itu menggeleng.
"Mereka bohong, Diego. Sienna yang mengajari anakmu tidak benar. Sienna tidak baik berdekatan dengan Ken, terlebih kepadamu."
"Apalagi denganmu. Lebih terkutuk lagi anakku," sahut Sienna cepat. Ia menghampiri Diego, menariknya agar menjauh dari Milly. "Sayang, kau lebih percaya kepada dia atau aku dan anakmu? Dia sudah jahat terhadap Ken. Kalau aku mengajari Ken untuk melawannya, itu harus. Anakku tidak boleh lemah melawan penjahat seperti dia."
"Aku lebih percaya kepadamu."
"Diego!" sentak Milly tidak terima. "Aku istrimu, seharusnya kau membelaku!"
"Aku menganggapmu istri kalau kau juga menganggap anakku, anakmu. Tapi, kau sendiri tidak menganggap Ken sebagai anakmu. Kau lebih mementingkan dirimu sendiri!"
Sienna tersenyum menang kepada Milly. Ia memeluk Diego, lalu mengecup pipi lelaki itu. "Terima kasih, Sayang. Aku harus mengurus Ken dulu. Kau lihat, tangan dia sudah penuh noda."
Sienna menjauh dari Diego, menghampiri Ken dan mengangkat tubuh bocah itu, membawanya ke kamar mandi. Sampainya di sana, ia bertos ria bersama Ken. Keduanya terkikik lirih.
"Kau hebat, Sayang," ucap Sienna lirih. Ia mendudukkan Ken di meja wastafel.
"Mommy, Nenek Tihil nanis. Ucu. Alah ama Ken. Ken ebat. Tida nanis." Suara Ken terdengar lucu menggemaskan.
Sienna menyerbu kecupan ke pipi gembul bocah itu. "Ken, anak hebat. Ken harus jadi anak yang kuat dan tidak boleh menangis. Tapi, Ken, tidak boleh nakal sama orang baik, ya."
"Iya, Mommy." Bocah itu manggut-manggut. Tampak pasrah mendapat remasan dari Sienna yang sedang mencuci kedua tangannya.
"Ken tida natal, Mommy."
Sienna mengangguk sembari mengulas senyum.
***
"Sienna sialan! Awas saja dirimu." Milly sudah mencuci mukanya berulang kali, tetapi bekas merah tidak bisa hilang dari wajah. Padahal ia juga sudah menggunakan cairan penghilang make up, hampir habis separuh botol.
"Diego sudah tidak tertolong lagi. Dia benar-benar sudah terhasut si jalang itu." Ia menatap penampilan dirinya dari pantulan cermin atas wastafel sambil mengelap wajah menggunakan handuk kecil. Kemudian, ia melempar handuk kecil itu ke ranjang pakaian kotor seraya mengayunkan kaki keluar kamar mandi.
Menemukan Diego duduk di sofa, ia menatapnya marah. Tapi, tetap dihampiri dan duduk di sebelah lelaki itu. Keduanya masih saling diam. Diego menatap Milly dingin berhasil membuatnya kikuk.
"Aku ingin kita pisah ranjang. Dan mulai hari ini ... kau pindah di kamar lain. Di kamar bawah." Diego berkata datar, serius. Kemudian, ia melepas cincin pernikahannya. "Aku tidak akan memakai cincin ini lagi ... mulai detik ini dan seterusnya."
Mendengarnya, Milly tercengang. Ia ingin berkata sesuatu tapi tergagap.
"Di ...."
Diego beranjak, memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Bereskan barang-barangmu sekarang," ucapnya tegas.
"Diego, aku tidak mau. Tolong, jangan lepas cincin pernikahan kita. Aku janji akan menjadi istri terbaik untukmu. Aku janji, Diego." Milly menggeleng, matanya berkaca-kaca. Mencoba menaruh simpati lelaki itu, tapi tidak berhasil.
"Bereskan barang-barangmu dan tinggalkan kamar ini, Milly." Diego menghela napas kasar. Ia berkata lagi, "Aku beri waktu dua jam." Kemudian, ia meninggalkan kamarnya, meminta dua pelayan membantu Milly mengamas semua barang perempuan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top