Part 16

"Lihat! Cepat datang kemari." Dominic berseru cemas kepada para rekannya. Tatapan fokus ke layar monitor. Rekaman dari drone memperlihatkan kobaran api dari kebun gandum, tampak merah terang dalam gelapnya malam.

"Ada yang membakar kebun gandum. Siapkan anggota untuk menghentikan kobaran api. Cepat! Cepat!" Lelaki itu berseru lagi. Membuat para anggota bergerak cepat, berpencar mengambil alat-alat yang dibutuhkan. Sebagian ada yang bergegas menuju tiga helikopter, sebagian lagi menuju empat mobil ISV.

"Cari jejak pelaku," perintah Dominic kepada rekan-rekannya yang bertugas di ruang monitor. Ia sendiri langsung mengambil ponsel, lantas menghubungi Diego.

***

"Aku akan mengadakan fashion show. Kalau kau mau, kau bisa datang." Sienna memandang Diego yang sedang menyesap rokok di balkon kamarnya. Lelaki itu terlihat begitu menikmati nikotin yang masuk ke paru-paru. Sebelum akhirnya, asap putih pekat itu keluar dari mulut lelaki bertubuh tinggi dengan cambang tercukur rapi.

"Kapan?" tanya Diego. Ia menatap putung rokoknya tinggal sedikit. Menekan ujungnya ke besi pembatas untuk mematikan bara api, kemudian ia buang ke asbak kaca di meja bundar depan jendela.

"Bulan depan. Sekarang masih merampungkan jahitan desainnya."

"Kau sungguh-sungguh mengundangku?" Diego masuk ke kamar, menghampiri Sienna yang duduk di depan meja rias lalu berdiri di belakangnya. Bersedekap. Meneliti wajah perempuan yang baru selesai menyisir rambut panjangnya.

"Mumpung lagi baik. Dan aku butuh pamer kepadamu kalau aku wanita berbakat dibanding si Milly bitch itu," jawab Sienna tanpa pikir di akhir kalimat.

"Untuk apa? Kalian sedang saingan memperlihatkan siapa yang terbaik di hadapanku?" Diego menarik kedua sudut bibirnya, membuat Sienna enggan menatap. Tetapi, perempuan itu tetap melakukan dan saling beradu tatap dalam cermin.

"Enggak juga."

"Lalu, untuk apa memperlihatkan bakatmu di depanku dan membandingkannya dengan Milly?"

"Ck! Oke, lupakan. Aku tidak jadi mengundangmu." Sienna merutuki diri sendiri, merasa salah ngomong. Lihat saja, wajah menyebalkan Diego membuatnya grogi saat ini. Dalam hitungan detik, jantungnya berdebar cepat, hatinya nyes-nyesan tak karuan membawa desiran aneh dalam nadi.

Memutuskan tatapan dari Diego, Sienna beranjak dari duduknya lalu melangkah menuju ranjang. Tapi, lengan kirinya langsung ditahan oleh Diego dan ditarik ke hadapannya sampai kening menubruk dada bidang lelaki itu. Sienna memekik, menggerutu kesakitan.

"Kau sadar tidak? Dadamu itu seperti besi. Sakit tahu." Perempuan itu mengusap-usap keningnya, melemparkan tatapan merajuk kepada sang ipar. Entah mengapa, Diego suka sekali berdiam di kamarnya jika di rumah. Alasannya karena ingin lebih dekat dengan Ken.

"Kau yang lemah berarti. Segitu saja sakit. Bagaimana kalau diajak bergelut di ranjang, dibanting ke sana-kemari, dan pasanganmu melakukannya tanpa henti. Pasti kau tidak akan bisa napas lagi." Diego mengulum senyum melihat wajah Sienna menegang, tampak salah tingkah.

"Kau ngomong apa? Enggak jelas." Perempuan itu berusaha melepaskan diri dari tahanan Diego, tetapi ia justru merasakan cengkeraman di lengannya semakin kencang.

"Bercinta kalau mau diperjelas."

"Fuck! Jangan membicarakan itu." Sienna melotot.

"Kenapa? Apa kau belum pernah melakukan? Sepolos itu dirimu?"

"Diego, belakangan ini aku sudah meredakan emosi terhadapmu. Tapi, kau ngajak berdebat terus."

"Aku lebih suka kau banyak omong seperti ini." Ya, Diego berkata jujur. Ia lebih suka Sienna yang banyak omong. Membuat perempuan itu marah justru menjadi candunya.

Keduanya diam, saling beradu tatap. Dan teralihkan oleh suara dering ponsel milik Diego dalam saku kimono lelaki itu. Sienna berpikir dari Milly karena perempuan itu belum pulang sampai sekarang. Namun, saat Diego mengangkatnya dan memekik mendengar suara dari lawan bicaranya, Sienna ikut penasaran. Ia memerhatikan rahang Diego menegang, mengeras sampai gelutukan giginya terdengar. Jelas sekali menahan amarah.

"Aku harus pergi. Ada masalah," kata lelaki itu setelah sambungan telepon terputus.

"Masalah apa?"

"Kebun gandum mengalami kebakaran. Aku harus ke sana untuk tahu apa penyebabnya." Meskipun dalam benak, Diego sudah bisa menebak siapa pelakunya. Namun, ia perlu memastikan lagi.

"Lalu, bagaimana keadaannya sekarang? Apa apinya belum padam?"

"Belum. Kemungkinan besok siang aku pulang. Tolong jaga Ken dan jaga dirimu baik-baik. Jangan pergi ke butik dulu. Kondisi di luar lagi belum aman."

Diego melangkah meninggalkan Sienna, berhenti sesaat ketika perempuan itu memanggil.

"Hati-hati," kata Sienna agak cemas. Ia melihat Diego mengangguk, lantas lelaki itu berlalu keluar dari kamar.

Sienna bergabung dengan Ken di ranjang, merengkuh bocah itu ke dekapannya. Ia tidak bisa terpejam, sedangkan hati merasa gelisah. Memikirkan serangan dari musuh Diego, dan ia takut lelaki itu mengalami sesuatu hal buruk di sana.

"Sejak kapan aku mengkhawatirkannya? Kalau dia kenapa-kenapa justru bagus bukan?" gumam Sienna, dalam tatapan kosongnya.

Ia mengerjab, lalu menggeleng. "Tidak. Jangan kenapa-kenapa dulu. Aku belum puas membalas dendamku. Diego harus hancur di tanganku, bukan di tangan orang lain. Bukan fisik dia yang hancur, tapi hatinya. Itu baru sebanding dengan kehancuran Morgan."

Lima belas menit kemudian, ia mendengar suara bising helikopter dari taman belakang. Sienna beranjak turun, mengayunkan kaki menuju balkon. Dari tempatnya, ia melihat Diego berlari cepat ke arah helikopter itu bersama dua orang pria.

Sienna masih berdiri di tempat sampai helikopter itu terbang dan meninggalkan kawasan mansion. Ia terus memerhatikan sampai benda itu benar-benar tak terlihat dari tatapan mata. Masuk ke dalam kamar dan mengambil ponsel di atas nakas, ia mendapat pesan dari Diego.

Aku akan kembali dengan selamat. Jangan khawatir.

"Siapa juga yang mengkhawatirkanmu, Bodoh," gumamnya, lalu meletakkan ponsel ke atas nakas.

Sienna berbaring lagi di sebelah Ken. Ia berusaha memejamkan mata, tetapi tetap tak bisa. Perasaannya tidak tenang. Ada rasa gelisah bercampur cemas secara bersamaan. Belum juga perasaan itu reda dari hatinya, ia mendengar suara tembakan. Awalnya hanya sekali, tetapi menjadi berkali-kali.

Sienna bergegas duduk, ketakutan. Lalu, ia mengangkat paksa Ken yang tertidur lelap, membuat bocah itu langsung membuka mata.

"Maafkan Mommy Sien, Sayang," ucap Sienna, berdiri di depan nakas sambil menenangkan Ken. Kakinya bergerak gelisah, tubuhnya menggigil karena suara tembakan itu semakin membabi buta.

"Nona, keluar! Ikut saya. Ayo, cepat." Pintu kamar itu terbuka cepat, Pedro berdiri di ambang pintu. Terlihat gelisah dan cemas.

Tanpa berpikir panjang, Sienna mengambil ponselnya lalu berlari menghampiri Pedro.

"Ada penyerangan. Anda dan para pelayan harus berlindung," kata Pedro sambil berlari di tangga, depan Sienna.

"Harus ke mana? Kita tidak mungkin keluar, Pedro." Suara Sienna terdengar bergetar, ketakutan. Ia berusaha tidak menjerit saat tembakan mengenai kaca dan memecahkan barang itu. Suara percikannya terdengar mengerikan di tengah heningnya malam. Ia juga berusaha memberi perlindungan kepada Ken, menutup telinga bocah itu sambil menyembunyikan kepalanya ke ceruk dirinya.

"Ke ruang bawah tanah. Ayo, cepat Nona. Kalian harus segera berlindung sebelum mereka masuk ke dalam."

Keduanya sampai di lantai dasar. Pedro membimbing Sienna masuk ke ruang perpustakaan. Ada dua penjaga di sana sudah membuka jalan menuju ruang bawah tanah.

"Para pelayan sudah di dalam. Kami akan datang menjemput kalau keadaan sudah membaik." Pedro memberi instruksi sambil menatap awas ke luar ruangan.

"Kalian tidak berlindung?" tanya Sienna sebelum memijak tangga pertama.

"Tidak, Nona. Kami harus melawan mereka. Cepat masuk, sebelum mereka mengetahui keberadaan kalian."

Sienna mengangguk. Ia menuruni anak tangga. Tidak lama pintu yang bergabung dengan lantai itu tertutup. Sienna tercengang melihat ruangan bawah tangga itu seperti ruangan dalam rumah. Terdapat furnitur juga ranjang. Pun ada pantry dan kamar mandi. Ruangan itu lebih mewah daripada ruang tamu rumahnya.

"Ken tatut, Mommy," adu Ken, lirih. Kedua tangannya merangkul leher Sienna, erat.

"Kita akan baik-baik saja, Sayang. Ken sudah aman di sini. Para uncle sedang membantu kita melawan penjahatnya." Sienna mengecup kepala Ken berulang kali, menenangkan. Kemudian, ia menatap satu per satu para pelayan yang sama-sama ketakutan. "Kalian tidak ada yang terluka, kan?" tanyanya memastikan.

"Tidak, Nona," jawab Marlin, mewakili para pelayan. Sienna mengembuskan napas lega sambil mengangguk, bersyukur.

Sementara itu, di atas, para penjaga masih melakukan baku tembak. Musuh menyusup ke dalam mansion, beberapa tumbang terkena timah panas tepat di dada dan kepala.

Pedro bersembunyi di balik pilar besar, rekannya ada yang bersembunyi di balik pembatas lantai dua serta rooftop. Melihat musuh mengendap menaiki anak tangga, Pedro melepaskan tembakan berhasil memecahkan kepala musuh, membuatnya tergeletak tak bernyawa.

Keadaan mulai tenang. Tak ada suara tembakan terlepas. Menunggu beberapa saat dalam persembunyian, para penjaga saling kontak menggunakan handy talky memberi informasi satu sama lain. Kemudian, mereka keluar dari persembunyian, berkumpul di hall. Melihat keadaan mansion sangat kacau, beberapa tubuh terkapar tak bernyawa, mereka bersepakat mengumpulkan tubuh para musuh jadi satu.

"Bagaimana team kita? Masih lengkap? Ada yang tertembak? Ada yang terluka?" tanya Pedro, memastikan, sambil menatap para anak buahnya.

"Dimitri. Dia terkena tembakan di kepalanya dan ... tak tertolong lagi," jawab Javier sambil menggeleng. "Dia telat bersembunyi."

Pedro mendesah, merasa kehilangan rekannya. Namun, ia sadar tugas pekerjaannya. "Kita sadar, kan, ... mati dalam pertempuran adalah kita."

Rekannya membenarkan. Tidak ada yang perlu disesalkan jika salah satu ada yang tumbang. Sebab, resiko dalam pekerjaannya adalah nyawa. Mereka pun mulai berpencar menarik para korban, lalu mengumpulkan di hall.

Waktu menjelang pagi. Matahari mulai menampakkan sinarnya perlahan. Setelah memberi kabar kepada Diego tentang penyerangan dan kondisi mansion sangat kacau, Pedro turun ke ruangan bawah tanah. Ia menyuruh para pelayan keluar untuk membereskan kekacauan yang ada. Para pelayan pun dikejutkan dengan darah berceceran di lantai. Pecahan dari guci, pajangan keramik, dan kaca, berserakan tak karuan.

"Nona, sebaiknya Anda di sini dulu. Biarkan mansion atas dibereskan oleh pelayan. Ini untuk kebaikan Tuan Muda Ken juga," pinta Pedro, saat Sienna akan mengayunkan kaki menuju tangga.

"Tapi ...."

"Ini perintah dari Tuan Diego, Nona. Saya permisi dulu." Pedro meninggalkan Sienna dan Ken menuju lantai atas, pintu pun tertutup dari luar.

"Aus, Mommy Tien. Mau minum tutu." Ken menatap Sienna penuh harap.

Perempuan itu tersenyum, menyembunyikan rasa bersalah. "Sayang, minum air putih dulu tak apa, ya. Nanti kalau sudah keluar dari sini, Mommy Sien buatkan susu terenak untukmu," rayunya. Beruntung, bocah pintar itu menurut dan tak membantah.

Sienna membawa Ken ke pantry. Mengambil gelas, lalu ia menuang air putih dari dispenser. Mungkin Diego sering mendatangi ruang bawah tanah tersebut, sehingga semua barang lengkap di sana. Melihat gelas hampir terisi penuh, Sienna mematikan dispenser lantas membantu Ken untuk meminumnya. Bocah itu hampir menghampiskan meskipun harus berulang kali meneguknya.

"Kau sangat haus?"

Ken mengangguk. "Agi."

Sienna menurut, akan menuangkan air putih itu lagi dari dispenser. Namun, diurungkan ketika ponselnya di meja pantry berdering. Diego menelepon. Ia segera mengangkat, menyambungkannya.

"Sien, are you okay?" tanya lelaki itu khawatir. "Aku akan pulang sekarang. Tetap di ruang bawah tanah. Ken bagaimana? Dia baik-baik saja, kan?"

"Iya, kami baik-baik saja, Diego. Kami masih di ruang bawah tanah."

"Great! Tunggu aku pulang ke atasnya."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top