Part 14
"Aku membutuhkan senjata api itu segera. Kelompokku kekurangan senjata api untuk melawan Boaz."
"Ya, ya, aku tahu. Aku akan mendapatkan barang itu secepatnya, Moren. Bulan depan. Aku janji akan mengirimnya ke negaramu."
"Dua minggu. Dalam waktu itu kau gagal mengirim, konsekuensinya kau tahu sendiri. Kerjasama antara kita, putus. Tidak ada pengiriman heroin dan cocaine untukmu lagi. Camkan itu, Ed."
Eduardo melempar ponselnya ke meja begitu saja setelah Moreno memutuskan sambungan telepon. Ia memijit kening, pusing. Dalam benak sibuk memikirkan cara lain. Jika menunggu Maxime bertindak dan mengikuti cara lelaki itu, bisnisnya akan hancur dalam waktu dekat. Ia membutuhkan Moreno sebagai supplier heroin dan cocaine terbaik.
Meraih botol tequila yang tinggal separuh isinya, ia menuang ke gelas mini lantas meneguknya sekali tandas. Ia melamun lagi memikirkan cara-cara lain untuk mendapatkan keinginannya. Cukup lama terdiam dalam ruang kerja yang tidak terlalu terang pencahayaan, Edoardo mengambil ponselnya lagi. Ia menelepon anak buahnya, memerintahkan sesuatu.
***
"Pokoknya selidiki siapa yang akan membunuh Sienna. Ah, satu lagi. Cari tahu lelaki yang bernama Maxime."
"Baik, Tuan. Untuk mempermudah penyelidikan, kami akan mengikuti Nona Sienna lebih dulu. Kami belum tahu wajah lelaki yang Anda maksud dan kami perlu tahu siapa yang terlihat mencurigakan di dekat Nona Sienna."
"Ya. Kalian atur saja. Pokoknya aku mau pelaku itu ditangkap. Selanjutnya serahkan padaku. Aku yang akan memberi pelajaran langsung."
"Baik, Tuan."
Diego memutuskan sambungan telepon, lalu menelepon seseorang lagi. Sambil menunggu telepon terangkat, ia berjalan mondar-mandir tidak tenang di ruang kerja mansionnya. Raut wajahnya tampak tegang, khawatir, dan gelisah. Entah mengapa, batinnya terus berteriak harus menjaga Sienna. Tidak menginginkan perempuan itu terluka setelah ia gagal menjaga Morgan. Rasa bersalah, mungkin itu yang dirasakan Diego sekarang dan ia harus menebusnya melalui Sienna. Menjaga keselamatannya.
"Aku punya tugas untuk kalian," kata Diego saat mendengar suara sapaan dari seberang sana.
"Tugas apa, Tuan?"
"Aku membutuhkan penjagaan ketat untuk mansionku dan aku membutuhkan dua bodyguard untuk adik iparku. Dia dalam bahaya, ada seseorang yang berusaha membunuhnya."
"Baik, Tuan. Kami akan datang besok pagi."
"Jam enam sudah sampai sini."
"Baik, Tuan."
Diego memutuskan sambungan telepon lalu mengembuskan napas berat. Masih berjalan mondar-mandir di depan meja kerja, ia meraih figura foto Morgan yang terpajang di meja tersebut. Kemudian, ia menyandarkan pantat ke meja, menatap dalam diam foto perempuan ayu di dalam figura itu.
"Maafkan aku, Sayang."
Diego mengusap pelan wajah perempuan itu. Dinginnya kaca figura menyadarkan dirinya jika perempuan itu benar-benar telah tiada. Karena dirinya.
Andai saja. Ya, andai saja ia tidak menuruti nafsu menikahi Milly, Morgan masih hidup sekarang. Ken masih mendapat sentuhan kasih sayang dari mommynya.
"Maafkan aku telah mengkhianatimu, menyakitimu. Bahkan saat kau menghembuskan napas terakhir pun, aku tidak ada di sampingmu. Aku ... sangat menyesal, Sayang. Bisakah kau hidup lagi? Aku janji akan menjadi suami yang baik untukmu."
Diego membiarkan air matanya meluruh. Ia merindukan Morgan. Ia mencintai perempuan itu, tapi meminta sang istri hidup lagi sangat mustahil. Sekarang Morgan sudah di peristirahatan terakhirnya, hanya ada nama yang terukir di batu nisan sebagai tanda.
"Aku akan menceraikan Milly. Aku sadar perempuan itu tidak baik untuk Ken." Diego terkekeh miris sambil menggeleng. "Seharusnya dari dulu aku mendengarkanmu, Sayang. Maafkan aku."
Ia memandangi wajah Morgan. Jujur dalam hati, ia benci dengan dirinya sendiri. Menyesal pun percuma. Tidak ada yang akan percaya jika dirinya begitu kehilangan Morgan.
Memberi kecupan ke foto sang istri, Diego meletakkan figura itu ke tempat semula lagi. Ia keluar dari ruang kerja, suasana begitu hening dan sepi karena sudah tengah malam. Berhenti di depan pintu sebelum melangkah, pikiran Diego berkecamuk antara menuju kamar dirinya dan sang anak. Ia sedang tidak ingin berdekatan dengan Milly, akhirnya keputusan pun menuntun dirinya menuju kamar Ken.
Membuka perlahan pintu kamar sang anak setelah sampai sana, Diego berjalan masuk mengendap seperti maling. Sienna dan Ken sudah terlelap, sangat anteng tidurnya sambil merengkuh satu sama lain.
Diego mendaratkan bokong ke ranjang sangat hati-hati. Niatnya tidak ingin membangunkan kedua orang beda usia itu. Namun, ia gagal saat Sienna memekik dan terperanjat.
"Kau!" pekik perempuan itu. Ia melototi Diego yang berdesis dengan jari telunjuk tangan kanan di depan bibir.
"Aku mau tidur di sini." Diego beringsut merebahkan diri, merapatkan tubuhnya ke Ken.
"Kau punya kamar sendiri. Tuh, istri tersayangmu kasihan, kurang belaian nanti."
Diego tidak memedulikan cecaran Sienna. Ia memiringkan tubuh, saling berhadapan dengan sang ipar yang memasang wajah masam.
"Aku sedang menjaga jarak."
"Dan kau datang ke sini?" Sienna agak menahan suaranya. "Otakmu perlu dicuci bersih. Kalau bisa dibuang, biar tidak ada otak sekalian. Punya otak pun percuma, tidak digunakan dengan baik." Ia menatap sengit lelaki itu.
"Dulu ... saat masih ada Morgan, kau dengan beraninya main selingkuh. Sekarang, setelah Morgan tidak ada dan kau menikahi selingkuhanmu, kau malah main jaga jarak. Sebenarnya apa tujuanmu menikah, Bastard?" lanjut Sienna.
Diego terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab singkat, "Bahagia."
"Aku tidak salah dengar?"
Lelaki itu menatap Sienna yang melemparkan wajah meremehkan. Kemudian, ia menggeleng.
"Kebahagiaan untuk dirimu sendiri bukan? Bukan untuk pasanganmu," tuduh Sienna.
"Semuanya."
"Kau tahu apa itu arti bahagia? Apa selama menikah dengan Morgan, kalian tidak pernah bahagia? Apa Morgan tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu dan itu alasan absurd kenapa kau menikah lagi?"
"Kami bahagia. Morgan membuatku bahagia."
Sienna menggeleng tidak membenarkan. "Kalau Morgan bisa membuatmu bahagia, kenapa kau tetap menikah lagi? Arti bahagia di sini hanya untuk dirimu sendiri bukan? Bukan untuk pasangan yang mendampingimu. Kalau kau merasa bahagia atas kehadiran mereka, kau tidak akan mengkhianati, kau tidak akan mencampakkan mereka. Dan sekarang, Milly yang kau campakkan. Apa itu artinya bahagia dalam pernikahan? Kau hanya menuruti nafsu kepuasan egomu saja, Diego."
"Cukup membahas ini, Sien. Aku ngantuk, mau tidur. Biarkan aku tidur di sini." Suara Diego melirih, lantas terpejam.
Mau tak mau Sienna membiarkan. Mau mengusir lebih keras lagi percuma, yang ada Ken akan bangun. Jika ia yang berpindah tempat pun tak bisa. Lihatlah, tangan mungil itu mencengkeram pakaian tidur dirinya cukup kencang.
Keesokan pagi, mansion dihebohkan oleh kedatangan dua mobil penjaga keamanan. Para lelaki bertubuh kekar berpakaian hitam lengkap dengan senapan dan rompi pelindung peluru, membuat pelayan rumah tangga di sana menggigil ketakutan saat datang menyapa.
"Kami datang kemari atas permintaan Tuan Diego," kata salah satu penjaga keamanan kepada Camellia.
Perempuan paruh baya itu mengangguk. Di belakangnya, Liana dan Maria menelan ludah. Ini kali pertama mereka berhadapan langsung kepada para lelaki bersenapan dengan postur tubuh lebih besar dua kali lipatnya.
"Baiklah. Tunggu sebentar, saya panggilkan Tuan Diego." Camellia menutup pintu, membiarkan para lelaki lebih pantas dibilang militer itu di luar. "Kalian jaga di sini. Kalau mereka bertindak tidak pantas atau menerobos masuk, teriak yang kencang," pintanya kepada Liana dan Maria. Lantas, ia berlalu menuju kamar sang tuan.
Camellia agak berlari menaiki anak tangga menuju kamar Diego. Sampainya di sana, ia mengetuk pintu kamar lelaki itu. Berulang kali. Cukup lama menunggu, tetapi yang keluar hanya Milly.
"Kau mengganggu tidurku, Camellia. Ada apa pagi-pagi sekali datang kemari?" tanya Milly malas. Wajahnya tampak lesu, terlihat masih ngantuk.
"Ada tamu untuk Tuan Diego, Nyonya."
Milly mengernyit. Ia menoleh ke arah ranjang, baru sadar jika Diego tidak tidur di kamarnya. "Dia tidak tidur di kamar sini," katanya datar. Pikiran langsung tertuju pada kamar Ken dan Sienna. "Ikut aku. Aku tahu dia di mana."
Kimono tidur yang menggantung di tiang berdiri, Milly meraihnya cepat untuk menutupi lingering yang melekat di tubuh. Ia keluar kamar, berjalan menuju kamar Ken, Camellia membuntuti. Dengan wajah tegas menahan geram, perempuan berkaki jenjang itu melangkah lebar menuju kamar yang dituju. Masih selantai, hanya saja jaraknya agak jauh.
"Daddy, banun." Ken memainkan daun telinga Diego, lalu mendusel ke leher lelaki itu dan duduk.
"Jewer yang kencang, Sayang," bisik Sienna. Ken menoleh ke arahnya, tersenyum lebar.
"Ewel."
"Hehem. Mommy Sien contohin ya. Tapi, kau hanya boleh melakukan ini sama Daddymu saja. Tidak boleh melakukan ini sama orang lain. Oke?"
"Oteee." Ken mengangguk polos. Ia menjauhkan tangan dari telinga Diego, lantas memerhatikan Sienna yang menjewer telinga lelaki itu.
"Banguuuun!" Sienna teriak kencang tepat di atas telinga Diego.
Ken yang melihat daddynya terperanjat, tertawa terpingkal-pingkal. Menurutnya itu sangat lucu.
"Sien, gendang telingaku pecah diteriaki seperti ini." Diego mengusap-usap telinga kirinya seraya beranjak duduk.
"Daddy ucuuu," ledek Ken masih tertawa, terdengar renyah suaranya.
"Lagian, dibangunin tidak ada reaksi. Persis orang mati."
"Dan kau mengajari Ken tidak benar."
"Khusus untukmu. I think no problem." Sienna mengangkat Ken ke pangkuannya, lantas mengecup pipi gembul bocah itu. "Tos dulu sama Mommy, Sayang." Ia mengangkat salah satu tangannya, langsung dibalas oleh Ken.
"Mommy?" Diego membeo, terkejut mendengarnya. Belum mendapat jawaban, pintu kamar telah terbuka lebih dulu dari luar. Milly masuk bersama Camellia.
"Iya. Ken sendiri yang memanggilku Mommy. Tidak masalah untukku." Sienna sengaja mengeraskan suaranya sambil tersenyum ke arah Milly. "Ah, kau mencari suamimu, Milly? Semalam Diego ketiduran di sini setelah aku pijit. Keenakan kali, ya." Ia terkekeh senang.
Mendengarnya, Milly melototi Sienna. Tetapi, ia abaikan. "Ada tamu untukmu, Diego," katanya datar menahan amarah dan tatapan masih tertuju ke arah Sienna.
Diego langsung menoleh ke arah jam weker digital di nakas. Jam enam kurang sepuluh menit. Ia teringat tentang permintaan semalam kepada orang suruhannya.
"Tepat waktu. Aku suka yang seperti ini." Diego turun dari ranjang, melangkah keluar.
"Siapa?" tanya Sienna penasaran.
"Penjaga keamanan untuk mansion dan bodyguard untukmu, Sien," jawab Diego. Sienna dan Milly sama-sama tercengang, sebelum akhirnya ikut turun ke lantai dasar.
"Aku tidak butuh bodyguard. Kenapa kau melakukan itu?" Sambil membopong Ken, Sienna mensejajarkan langkahnya kepada Diego di tangga.
"Untuk keamananmu. Kau lupa, sekarang kau dalam bahaya."
"Tapi, tidak perlu bodyguard." Sienna terus protes.
"Diam dan tinggal terima beres. Aku yang membayar mereka."
"Kau berlebihan memberi Sienna bodyguard, Diego." Kini Milly yang memprotes. Mereka sudah di lantai dasar, menuju pintu utama.
"Aku tidak menerima protesan dan penolakan."
***
Mau lanjut cepat atau lambat nih?😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top