Part 12
Helikopter mendarat di atas gedung rumah sakit. Di rooftop sana, beberapa tim medis sudah menunggu dengan satu brankar yang telah disiapkan. Sebelumnya Federic sudah menghubungi pihak rumah sakit jika sedang melakukan perjalanan ke sana, dalam keadaan darurat dan membutuhkan pertolongan secepatnya. Tanpa menunggu bodyguard yang duduk di belakang membukakan pintu, Diego dan Federic turun lebih dulu. Mereka tahu diri karena ketiga bodyguard itu memangku sang karyawan.
"Cepat! Cepat! Bantu dia turun," seru Diego kepada para tim medis yang berlari menghampiri sembari mendorong brankar.
Para tim medis bekerja sama dengan bodyguard menurunkan korban. Agak kesusahan karena tubuh lelaki itu cukup berat, apalagi dalam keadaan tak sadarkan diri. Akan tetapi, mereka berhasil menurunkan dengan waktu cepat. Korban dibaringkan di atas brankar, tim medis segera melarikannya menuju lift untuk dibawa ke UGD.
"Kalian harus ganti baju." Diego menatap pakaian para bodyguardnya sudah berlumuran darah. Kemudian, ia mengalihkan pandangan kepada Federic. "Fed, tolong urus."
Federic yang tahu maksudnya, mengangguk. Ia segera menghubungi seseorang, memintanya untuk membawakan tiga setel seragam bodyguard ke rumah sakit yang sedang dipijaknya. Melihat Diego dan tiga bodyguard itu sudah mendekati pintu penghubung lift, Federic berlari cepat mengikutinya sembari memasukkan ponsel ke saku celana kain.
Mereka menuju ruang UGD. Kemudian, Diego dan Federic mengurus registrasi sang korban. Sebagai pemilik perusahaan dan bertanggung jawab penuh kepada para karyawan, Diego meminta pihak rumah sakit memberikan penanganan terbaik kepada karyawannya.
***
Di ruang jahit, Sienna sibuk mengecek dengan teliti satu per satu pakaian yang sudah terjahit rapi, tergantung di tepian ruangan. Ia menilai dari tingkat kerapian jahitan serta pemasangan payet dan diamond.
"Aku akan mengadakan fashion show setelah model busana yang baru ini selesai dijahit semua. Target dua bulan yang akan datang. Bagaimana kira-kira? Kalian bisa menyelesaikan tepat waktu?" tanya Sienna kepada para karyawannya. Busana keluaran terbarunya ada dua puluh lima model, yang sudah siap lima belas.
"Kami akan usahakan, Nona," balas salah satu dari mereka.
Sienna mengangguk. "Baik. Aku akan mempersiapkan dari sekarang. Mencari model, gedung, dan undangan. Ah, ya, sepertinya aku memerlukan bantuan dari Saviour lagi untuk mempromisikan."
Saviour adalah perusahaan marketing. Memiliki anak perusahaan dalam bidang Event Organizers, yang menerima klien dari bisnis apa pun yang ingin dibantu pengiklankan produk keluarannya. Sienna sudah bekerja sama dengan mereka setiap mengeluarkan desain busana terbaru atau membutuhkan jasa EO untuk penyelenggaraan fashion show, dan worth it hasilnya.
"Semoga banyak peminatnya untuk busana keluaran terbarunya, Nona. Kami akan menjahitnya sebaik mungkin."
"Dengan kain kualitas terbaik, kerapian jahitan yang bagus dari penjahit profesional, dan penempatan aksesoris yang sesuai porsi, para pelangganmu akan terpincut dengan busana-busana terbarumu, Sienna," kata Flora, penanggung jawab bagian penjahit. Perempuan itu yang mengurus apa pun di sana, dari kain, aksesoris, dan kebutuhan lainnya. Ia bekerja cukup baik dengan Sienna, bisa dibilang yang menemani awal karir Sienna mendirikan butik sendiri.
"Aku berharap begitu juga, Flor. Terima kasih sudah membantuku sampai sejauh ini." Sienna mengembangkan senyum kepada perempuan berblazer putih yang berdiri di sampingnya. Karyawan penjahitnya berseragam sama memakai blazer putih panjang sepaha. Jika dilihat, mereka seperti bekerja di ruangan laboratorium. Persis.
Sienna menerapkan kerapian itu kepada mereka. Meskipun yang dipegang setiap kerja adalah kain, berhadapan dengan mesin jahit dan alat-alat lainnya, tetapi kenyamanan dan kebersihan tentu nomor satu. Ruang jahitnya pun didesain senyaman mungkin untuk mereka. Bernuansa putih, tampak terang, dan cerah dari bermacam warna kain. Tujuannya agar mereka yang bekerja betah selama di ruangan tertutup. Sementara itu, sisa kain tidak berserakan. Mereka mengumpulkan pada satu tempat di box, sehingga tidak terlalu berantakan dan bikin sepet mata.
"Dengan senang hati bekerja denganmu, Sien." Flora mengulas senyum dengan kedua tangan dimasukkan ke kantong blazer.
"Oke, Guys! Aku tinggal turun dulu. Selamat beraktivitas kembali." Sienna melihat para penjahitnya mengangguk, senyum mereka terlihat tulus dan ia menyukai. Tanpa mereka, siapa lah dirinya? Tanpa bantuan mereka, tidak akan ada busana-busana cantik yang menggantung indah dan terpajang di manekin. Bagi dirinya, memanusiakan manusia adalah kunci sukses selama menjalani bisnis. Ia membuang jauh-jauh sikap arogan yang biasa diperlihatkan oleh atasan ke bawahan.
Berjalan keluar dari ruang jahit, Sienna mengayunkan kaki menuju tangga dan ke lantai satu. Ia melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukkan jam lima sore. Ken dan Marlin masih di butiknya. Menghampiri mereka yang sedang duduk di sofa tidak jauh dari kasir, Sienna berjongkok di hadapan Ken lantas mengecupi pipi gembul keponakannya.
"Anty Tien, Ken nuyis Anty Tien." Bocah lelaki itu memperlihatkan papan tulis di pangkuannya. Ada tulisan Sienna sangat rapi atasnya, sedangkan bawahnya hasil tulisan Ken yang tak bisa terbaca.
"Ah, kau pandai sekali. Siapa yang mengajarimu?" tanya Sienna senang. Mata beriris hitam itu menatap penuh bangga kepada sang keponakan, yang menunjuk Eliz di balik meja kasir.
"Anty tuuu."
Eliz tersenyum bangga. "Kau akan cepat pintar kalau di sini, Sayang."
"Mommy." Kali ini Ken menatap Sienna sambil menyentuh ujung hidung perempuan itu dengan telunjuk tangan kanannya.
Sienna mengernyit, sesaat terdiam mendengar celetukan dari bocah di hadapannya.
"Mommy?" tanya Sienna.
Ken mengangguk mantap. "Anty Tien, Mommy Ken."
Sienna semakin bingung. "Mommy-mu Morgan, Sayang."
Bocah itu menggeleng. "Mommy Molgan pelgi. Tida puyang. Tata Anty tuuu, tetalang Anty Tien, Mommy Ken."
Sienna langsung melemparkan tatapan tajam kepada Eliz. Sementara sang pelaku hanya cecengesan merasa tak bersalah.
"Kenapa kau mengajarinya begitu?" tanya Sienna lirih, agak menekankan suaranya.
"Biar Ken punya Mommy baru. Kasihan tahu. Lagipula, memanggil Mommy dari suadara ibu kandung tidak masalah. Apalagi dia sudah benar-benar tidak memiliki Mommy, kan?" jawab Eliz enteng, membuat Sienna langsung menghampiri.
"Tapi, aku tidak mau menggeser posisi Morgan. Dia tetap Mommynya," bisik Sienna, membelakangi Ken dan Marlin dengan salah satu tangan mencengkeram lengan kiri Eliz.
"Sienna, dengarkan aku. Tidak ada yang menggeser posisi Morgan dari Ken. Morgan tetap Mommy dia. Memang benar, dia ibu kandung keponakanmu. Tapi, kondisi sekarang sudah berubah bukan? Morgan sudah meninggal. Ken masih kecil dan butuh sosok Mommy. Dan kau, satu-satunya Aunty yang dia punya. Sama halnya kau adalah Mommy pengganti Morgan. Tidak ada yang salah. Dan lagi, kau bisa lebih dekat dengan Ken. Kau bisa dengan mudah mengambil hati Ken. Rencanamu untuk membawa kabur bocah itu juga akan berjalan mulus. Pikirkan lagi, misal sudah di negara orang dan Ken memanggilmu Aunty, orang sana akan mencurigaimu penculik anak."
Sienna melepaskan cengkeraman tangannya, berpindah menyangga dagu dengan salah satu tangan mendekap perut. Ia terdiam memikirkan ucapan Eliz dan setuju bagian kalimat terakhir perempuan itu. Morgan tetap menjadi mommy Ken, ia akan terus mengingatkan kepada keponakannya. Point pentingnya jika ia mengizinkan Ken memanggil mommy, bocah itu akan paham jika dirinya sangat menyayangi, mencintai, dan menganggapnya anak sendiri.
"Bagaimana? Kau setuju dengan ideku, 'kan?" Eliz bertanya lirih.
Sienna langsung menoleh menatapnya dan mengangguk. Kemudian, perempuan itu menghampiri Ken lagi. Senyumnya tersungging lebar dengan kedua tangan menangkup wajah bocah itu.
"Baik, Sayang. Sekarang kau boleh memanggil Aunty Sien, Mommy."
"Mommy Ken dua," ucap bocah itu senang sambil mengangkat dua jari tangan kanan membentuk huruf V.
"Benar. Kau punya dua Mommy. Mommy Morgan dan Mommy Sien." Sienna mengusap penuh kasih sayang pipi gembul yang terasa lembut itu. Lalu, ia menatap Marlin ada rasa tak enak hati.
Paham dari tatapan Sienna, Marlin mengulas senyum. "Saya bahagia kalau, Nona, mengizinkan Ken memanggilnya Mommy," ucapnya.
"Terima kasih, Marlin." Sienna mengangguk.
"Nona, kau tidak perlu berterima kasih kepada saya. Saya hanya pekerja dan tidak memiliki hak keputusan antara boleh atau tidak. Yang pasti, saya senang kalau Anda bersedia dipanggil Mommy oleh Ken."
Sienna manggut-manggut. Mengingat hari sudah sore, ia meminta Ken dan Marlin pulang lebih dulu. Ia menghubungi Charles seraya menunggu Marlin berberes. Sementara Ken masih bersama dirinya.
"Mommy Sien pulang malam. Nanti kau tidur dengan Nanny Marlin dulu, ya," kata Sienna kepada Ken yang duduk di pangkuan.
"Ken mau tidul tama Mommy Tien." Bocah itu mendongak, menatap wajah Sienna dan mendapat anggukan.
"Iya. Nanti kita tidur bareng lagi." Sienna mengembangkan senyum lebar. Melihat Charles memasuki butik dan menghampiri, ia berkata lagi, "Paman Charles sudah datang. Cium Mommy dulu, dong." Telunjuk tangan kanannya, ia ketekkan ke pipi kanan.
Ken langsung membubuhkan kecupan di sana, berganti ke pipi kiri Sienna. Mendapat uluran tangan dari Marlin, bocah itu merosotkan tubuh dari pangkuan Sienna.
"Bye-byeee, Mommy Tien." Ken melambaikan tangan sembari melangkah meninggalkan butik. Sienna membalasnya.
"See! Terdengar hangat dia memanggilmu Mommy. Dia seperti menemukan Mommynya kembali," celetuk Eliz, membuat Sienna dan mengangguk membenarkan.
"Aku mau pergi makan malam dengan Maxime. Dia mau menjemputku nanti," kata Sienna sembari mengayunkan kaki menuju ruangannya.
"Seriously? Fix! Sienna. Dia sudah naksir denganmu."
"Maybe." Sienna mengulum senyum, lalu masuk ke ruangan. Mendengar ponselnya berdering di atas meja kerja, cepat-cepat ia menghampiri.
Sienna Mengambilnya dan mendesah malas melihat nama yang tertera di layar. Tetapi, ia tetap menerima panggilan telepon tersebut.
"Ada apa?" tanya Sienna tanpa minat.
"Bagaimana Ken di sana?"
"Sangat baik."
"Sekarang masih di sana?"
"Sudah pulang. Baru saja."
"Oh." Ada jeda dari Diego, hanya sebentar sebelum ia mengeluarkan suara lagi. "Aku tidak bisa menjemputmu."
"Baguslah. Aku juga tidak berharap. Aku mau pergi dengan Maxime." Terdengar suara desahan berat di seberang sana.
"Aku baru dari pabrik senjata api. Satu karyawanku mengalami kecelakaan kerja, dan satu tangannya terpotong karena terkena gergaji. Sekarang aku masih di rumah sakit."
Mendengarnya, hati Sienna mencelus. Ia ikut prihatin. Tetapi, yang membuatnya sakit bukan karena luka korban. Namun, sikap tanggap Diego yang dilakukan. Ia tidak marah Diego membawa karyawannya ke rumah sakit. Namun, mengingat Morgan mengalami kecelakaan dan Diego tetap melangsungkan pernikahan. Bahkan, saat ia menghubungi tapi ponsel lelaki itu mati, menambah sakit hati Sienna merayap cepat di dada.
Perempuan itu terpejam. Salah satu tangannya mengepal di atas meja dan menggeram. Menarik napas panjang, Sienna berkata, "Aku tidak peduli dan jangan sok peduli kepada orang lain. Sedangkan dengan istrimu sendiri kau melupakan, mengabaikan, membiarkan Morgan kesakitan. Dia sekarat di rumah sakit dengan luka-luka di tubuhnya yang lebih parah dan kau tidak peduli sama sekali. Bajingan tetap bajingan. Sebaik-baiknya kau di mata orang lain, kau tetap bajingan bagiku, Bastard!"
Sienna mematikan sambungan telepon. Air matanya meluruh begitu saja dengan dada menggebu penuh amarah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top