Part 11
Marcy mengumpat geram saat bel apartemennya berbunyi tanpa jeda. Seakan-akan yang menekan tombol di samping pintu luar bukan orang, tapi setan. Sementara, Scott langsung menghentikan gerakan di atas tubuh perempuan itu. Ia merebahkan kepala ke bahu Marcy dengan perasaan kesal, padahal sebentar lagi mencapai puncak. Namun, gairahnya ambyar sudah dengan gangguan bel terkutuk itu.
"Damn it! Siapa yang datang kemari? Mengganggu sekali," keluh Scott kesal. Ia mendengkus.
"Mana kutahu? Aku masih di sini bersamamu, kalau kau lupa." Marcy berdecak. "Menyingkirlah. Aku harus melihat siapa yang datang, bisa rusak bel apartemenku kalau terus dimainkan."
Mau tak mau lelaki bercambang agak lebat itu menggulingkan tubuh ke samping Marcy, langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya dari perut ke bawah. Scott memerhatikan perempuan itu turun dari ranjang. Lekukan tubuh Marcy sangat bagus dari belakang, dengan bokong sintalnya bak jelly. Pandangan dirinya tak lepas dari perempuan berambut panjang bergelombang bagian bawah, yang kini menarik kimono sutra tosca dari kursi depan meja rias.
Marcy memakainya sambil berlalu keluar kamar. Ia berjalan cepat menuju pintu utama, lalu mengintip dari door viewer sampainya di sana. Melihat Milly berdiri di balik pintu tersebut, tanpa ba-bi-bu ia membuka pintunya dengan cepat.
"What the hell you. Ini masih jam sembilan pagi dan kau sudah di sini tanpa memberitahuku," omel Marcy memasang wajah kesal. "Kau mengganggu aktivitasku dengan Scott."
Milly mengibaskan tangan, mengabaikan. Ia menerobos masuk begitu saja, berjalan menuju dapur. "Aku tidak peduli kau sedang apa dengan Scott. Aku butuh pelampiasan, lagi kesal dengan Sienna," katanya.
Tangan kanan Milly dengan gesit mengambil gelas kaki yang menggantung di atas meja pantry. Kemudian, berganti tangan kirinya meraih botol anggur yang bertengger di meja itu. Isinya tinggal separuh, cepat-cepat ia menuang cairan merah agak keunguan tersebut ke gelas, meneguknya sampai tandas dan mengisi ulang.
"Sienna, pemilik butik itu? Adik Morgan?" Marcy sudah berdiri di balik meja pantry, berhadapan dengan sang teman. Ia agak mencondongkan tubuh, kedua lengannya menumpu di pantry granit bercorak hitam mengkilap.
"Iyalah, Mar. Fuck! Hilang kakaknya, datang adiknya." Milly meneguk anggurnya lagi sampai tandas. Tatapan matanya menajam, seakan musuh telah di hadapan. "Kau tahu? Dia tinggal di rumah Diego dengan dalih menjaga keponakannya. Dan yang paling bikin kesal, dia berani menggoda Diego di depanku."
Mendengarnya, Marcy terbahak. Milly langsung melemparkan tatapan membunuh kepada perempuan itu.
"Hei! Aku lagi kesal, kau justru menertawakanku."
"Lucu saja mendengarnya, Dear. Dulu kau pun begitu dengan Diego waktu Morgan masih hidup. Apa ini yang dinamakan karma, Sayang?" Marcy masih terkekeh.
"Shut up! Aku tidak mau Diego sampai menceraikanku hanya karena perempuan itu."
"Kau takut disingkirkan dari rumah itu?"
"Sudah tahu pakai nanya," ketus Milly. "Dia sudah bilang akan menceraikanku."
"Secepat itu?" Marcy tercengang mendengarnya. "Baru nikah beberapa minggu, langsung mau diceraikan?"
"Yang pasti, Diego berubah sejak dekat dengan Sienna. Dia tidak lagi membelaku saat perempuan itu menginjak-injak harga diriku di depannya. Dan secepat itu pengaruh buruk Sienna ke Diego. Fuck!" Milly menggebrak meja pantry dengan tangan terkepal.
"Keep calm. Kau bisa menggoda Diego lagi seperti yang dulu kau lakukan sebelum menikah."
"Aku tidak yakin akan berhasil, Marcy. Semalam aku sudah merayunya untuk bercinta, aku sudah meminta maaf, dan aku sudah membujuk dia kalau aku akan merawat Ken. Tapi, dia sudah tidak peduli dan itu pengaruh dari Sienna."
"Kau lupa, kalau kau sudah berhasil menyingkirkan Morgan? Dia mati dan yang orang tahu, dia meregang nyawa karena mengalami kecelakaan. Semulus itu hasil kerja kita bukan? Itu berarti kau juga bisa dengan mudah menyingkirkan Sienna, Dear. Jangan khawatir."
Milly terdiam menatap temannya seraya menggigit bibir bawah. Sementara otak langsung bekerja, memikirkan rencana-rencana jahat untuk mencelakai Sienna. Tidak lama ia mengangguk menyetujui.
"Kau benar. Aku tidak ingin Diego jatuh ke tangan Sienna. Diego hanya milikku. Dan bocah kecil itu termasuk benalu dalam hidupku."
Marcy menepuk lengan Milly, menyalurkan dukungan. Merasakan rengkuhan dari belakang dan tahu itu Scott, ia menoleh lalu mengecup bibir lelaki itu.
"Aku mendengar pembicaraan kalian. Don't worry, aku bisa membantumu, Sweety." Scott mengerlingkan mata kepada Milly, membuat perempuan itu menyunggingkan senyum bahagia.
***
Helikopter telah siap di rooftop gedung Wallis Corporation. Baling-balingnya memutar cepat, dengan seorang pilot dan rekannya duduk di dalam menanti sang tuan. Siang ini Diego akan melakukan perjalanan ke pabrik senjata api, lokasinya agak jauh dari gedung kantor utama. Jika mengendarai mobil, akan menempuh waktu dua jam lebih dan Diego tidak suka terlalu lama di jalan. Bagi dirinya sangat membuang-buang waktu, sementara pekerjaan dirinya masih sangat padat.
Bersama Federic--sang sekretaris, Diego keluar dari pintu rooftop berjalan tegap menuju helikopter. Federic di belakangnya, salah satu tangan menenteng tas kerja, satunya lagi membawa iPad dengan layar menampilkan jadwal Diego hari ini.
Semakin mendekati helikopter, semilir angin yang berembus dari baling-baling semakin kencang membuat rambut Diego yang tersisir rapi teracak berantakan. Lelaki itu tidak mengacuhkan. Ia terus berjalan sembari membetulkan kacamata hitam yang bertengger di pangkal hidungnya. Tiga orang bodyguard yang akan mengawal perjalanan, mengangguk hormat menyambut kedatangannya. Salah satunya membukakan pintu mempersilakan Diego dan Federic masuk.
Sembari merapikan jas hitam membalut kemeja putih, Diego menaiki pijakan lantas masuk ke helikopter. Ia duduk di jok tengah, sampingnya Federic. Lalu, diikuti ketiga bodyguardnya masuk, duduk di jok belakang. Masing-masing memasang sabuk pengaman dan headsets. Tidak lama setelah semua siap, sang pilot pun menerbangkan helikopter tersebut.
Perlahan, kendaraan itu menjauh dari permukaan rooftop. Kini terbang sempurna di atas perkotaan yang padat dengan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan rendah. Hilir mudik kendaraan roda empat terlihat seperti semut berjalan. Diego melihat ada kemacetan di jembatan atas sungai besar. Penyebabnya kecelakaan mobil, dan sudah bisa dipastikan jika ia mengendarai mobil menuju pabrik, akan terjebak di sana karena melewati jalan itu.
Tiga puluh menit kemudian, helikopter mendarat di lapangan area pabrik. Diego membiarkan para bodyguardnya turun lebih dulu, dan ia turun paling akhir. Simon sudah menunggu kedatangannya. Lelaki itu berdiri di depan pintu masuk belakang kantor, lantas melangkah menghampiri dirinya dengan senyum tersungging senang. Ada beberapa karyawan atasan yang membuntuti.
"Selamat datang, Sir. Senang Anda datang kemari." Simon berjabat tangan kepada Diego, langsung mendapat balasan dari lelaki itu.
"Aku ingin melihat situasi di sini. Kau sudah menambah keamanan di sini?" tanya Diego sembari melangkah menuju kantor. Ia akan menyambut para karyawan kantor dan pabrik. Rencananya akan memberi penyuluhan kepada mereka agar tidak menerima orderan senjata api dari Eduardo.
"Sudah, Sir. Saya juga sudah memberitahu kepada para karyawan agar tidak menerima orderan pesanan dari Eduardo," balas Simon, berjalan di samping kanan Diego.
"Aku ingin diperketat siapa saja yang memesan senjata api dari sini. Lakukan pemeriksaan background calon pembeli selama masih melakukan wawancara dan bukan orang sipil. Mengerti?" Diego mengikuti Simon yang menggiringnya menuju ruang kerja lelaki itu.
"Baik, Sir. Mengerti." Simon mengangguk paham.
Mereka sampai di ruangan sang manager, Federic ikut masuk sedangkan tiga bodyguard berjaga di depan ruangan, berdiri tegap. Tidak lama, seorang office boy datang membawakan sebotol besar sampanye. Ia menuangnya ke tiga gelas kaki, lantas menyuguhkan ke masing-masing orang yang duduk di sofa.
"Thank you," ucap Federic sebelum office boy itu berlalu dari ruangan. Diego hanya menatapnya tak acuh, pun dengan Simon.
Perbincangan untuk mengkoordinir pabrik pun dimulai dan berjalan cukup lama. Sesekali Federic menimpali perbincangan Diego dan Simon, ketika mereka meminta pendapat. Ia juga mencatat pembahasan yang menurutnya penting. Masih serius membahas import timah dari Indonesia, ketiganya berhenti berbicara saat pintu terketuk dari luar. Terdengar suara gaduh di sana dan pintu terbuka cepat.
"Maaf, Sir, mengganggu." Seorang lelaki pekerja pabrik terlihat kacau. Ia ngos-ngosan dengan peluh membanjiri kening. "Ada kecelakaan kerja di pabrik, Sir," adunya.
Ketiganya tercengang. Simon langsung beranjak dari duduknya, pun dengan Diego dan Federic.
"Apa yang terjadi?" tanya Diego cepat.
"Pablo, tangan kanannya putus terkena gergaji mesin pemotongan besi. Dia tidak sadarkan diri sekarang."
"Astaga! Bagaimana bisa?" Simon berlalu cepat dari ruangan, agak berlari menuju pabrik yang bersebelahan dengan kantor.
"Bawa ke rumah sakit segera," ucap Diego berlari di belakang Simon. "Kau, tolong bilang ke Arseno siapkan helikopter. Cepat!" suruhnya kepada salah satu bodyguard yang ikut berlari.
"Baik, Tuan." Bodyguard itu mengangguk. Ia berbalik arah dan berlari cepat menuju lapangan helikopter terparkir.
Di pabrik, para pekerja telah mengerumuni korban. Suara riuh membuat ruangan di sana begitu gaduh. Diego dan Simon menerobosi mereka untuk melihat kondisi sang korban. Darah segar mengambang lebar di lantai. Sang korban terkapar, wajahnya mulai memucat. Potongan tangan dari lengan tergeletak di samping tubuh itu.
"Angkat dia dan bawa ke helikopter. Cepat." Suara Diego terdengar tergesa-gesa, dan langsung dituruti salah satu pekerjanya. Ia berjalan mendahului, Federic mengikutinya.
"Aku akan membawanya ke rumah sakit kota. Simon, kau datang ke sana, bawa keluarganya sekalian. Katakan kepada mereka, masalah biaya, perusahaan yang menanggung semuanya."
"Baik, Sir," balas Simon sembari menatap prihatin sang karyawan yang dibopong rekan kerjanya. Tangan korban dibebat kain tebal, tetapi darah masih merembes, menetes ke lantai memberi jejak sepanjang jalan. Sementara potongan tangannya dibungkus kain, dibawa pekerja yang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top