Part 10

Saling melemparkan tatapan sengit, dua perempuan yang duduk di kanan-kiri Diego seperti sedang bersiap untuk berperang. Milly mengetatkan rahang sembari melototi Sienna, seakan-akan bola mata itu mau keluar dari tempatnya. Sienna sendiri menyipitkan mata menatap Milly, dengan kedua tangan menyilang di meja makan dan mengepal. Sementara itu, para pelayan yang sedang menata sarapan, mereka seperti memasuki tahanan bawah tanah. Atmosfer di sana terasa dingin, mencekam, bahkan tangan mereka agak bergetar saat terulur menaruh piring berisi sajian menu ke meja.

"Tuan, menu sarapan sudah selesai tersaji. Kami izin ke belakang," kata seorang kepala pelayan sembari mengangguk hormat. Ia melihat Diego mengibaskan salah satu tangannya, menandakan menyuruh berlalu. Tanpa menunggu perintah suara, para pelayan pun pergi dari hadapan tiga orang tersebut.

"Aku lebih setuju Tuan Diego sama adiknya Nyonya Morgan, daripada sama si nenek sihir itu," kata Liana sembari melangkah menuju dapur.

Tidak perlu waktu lama ia memahami karakter Milly. Sejak pertama perempuan itu menginjakkan kaki di mansion Diego, lagaknya sudah seperti bos besar. Suka mengatur ini dan itu dan tak ada sopannya. Berbeda sekali dengan Morgan. Setiap kali meminta bantuan, perempuan itu pasti mengawali dengan ucapan minta tolong dan ucapan terima kasih setelahnya. Mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi mereka seorang pelayan, merasa lebih dihormati keberadaannya.

"Benar, aku pun begitu. Nona Sienna lebih perhatian terhadap Tuan Muda Ken. Bahkan, dia sampai bela-belain datang kemari waktu Tuan Muda Ken menangis. Padahal dia sedang sibuk bekerja," balas Maria semangat.

"Parahnya lagi, si nenek sihir itu cuma memikirkan dirinya sendiri. Kau tidak pernah melihat dia menyentuh Tuan Muda Ken, 'kan? Apalagi saat malam-malam Tuan Muda sering menangis, si nenek sihir tidak mau tahu. Andai aku punya kuasa penuh, ingin sekali mengatai dia dengan kata-kata kasar." Liana memelankan suara, tetapi agak menekannya. Ia sangat geregetan terhadap Milly.

"Ssst! Lanjut kerja lagi. Jangan bergosip." Sang kepala pelayan memberi instruksi kepada dua pelayan yang berjalan di depannya. Dua perempuan itu langsung menoleh ke belakang, menyengir.

"Kalau kau lebih setuju Tuan Diego sama adiknya Nyonya Morgan atau si nenek sihir itu, Camellia?" tanya Liana kepada si kepala pelayan.

"Nona Sienna. Tapi, istri Tuan Diego sekarang Nyonya Milly dan aku tidak yakin Nona Sienna tertarik dengan Tuan Diego. Dia sangat membencinya." Camellia menjawab sambil mendului Liana dan Maria yang berjalan beriringan.

"Tapi, dia mau tinggal di sini sekarang," sahut Maria. Mereka sudah sampai di dapur berkumpul jadi satu. Camellia yang awalnya menentang pergosipan, akhirnya ikut terhanyut oleh obrolan dua rekannya.

"Karena Tuan Muda Ken," kata Camellia.

"Tapi, aku yakin, Tuan Diego bakal jatuh hati dengan Nona Sienna. Dia perempuan berparas cantik, memiliki tubuh sexy. Mohon maaf, dibanding Nyonya Morgan, Nona Sienna lebih berkarisma." Maria berkata jujur, mendapat anggukan setuju dari Liana.

"Dan keduanya memiliki attitude bagus, tidak sombong dan masih menghargai kita. Tidak seperti si nenek sihir," kata Liana sambil menuju wastafel. Ia mengambil spons memberi cairan sabun sedikit, meremasnya sebentar sampai berbusa, lalu ia usap-usapkan ke teflon kotor yang ada di wastafel.

Sementara itu, di ruang makan, tiga orang yang duduk mengelilingi meja masih terdiam. Diego menatap bergantian antara Sienna dan Milly, lalu mengembuskan napas berat melihat keduanya saling mempertahankan tatapan permusuhan. "Sudah waktunya sarapan dan kalian masih akan diam seperti ini?"

"Aku tidak nafsu makan. Aku tidak suka dia ada di sini, Diego." Milly menatap sang suami sekilas, lalu beralih menatap Sienna lagi.

"Bagus. Aku berharap kau tidak makan selamanya, dengan begitu kau bisa mati cepat. Karena perempuan sepertimu hanya bikin sepet mata saja, Milly." Sienna tersenyum sinis ketika Milly semakin geregetan kepada dirinya. "Sayang, kau mau makan croissant, roti bawang, sandwich, atau roti selai? Biar aku ambilkan," tawarnya kepada Diego. Padahal dalam hati ia membaca mantra menyumpah serapahi lelaki itu. Jika bukan untuk akting, Sienna sudah muntah di tempat sekarang. Ia geli sendiri mendengar perkataannya yang terlalu perhatian kepada sang ipar. Astaga, seperti bukan dirinya sekali.

"Diego suamiku! Kau tidak berhak memperlakukan dia seperti suamimu!" seru Milly sambil menggebrak meja. Ia tidak terima Sienna seperti itu kepada Diego. Sejak dekat dengan Sienna, suaminya jadi berbeda. Tidak terlalu perhatian, menjadi lebih abai, dan juga tidak membela dirinya lagi saat harga dirinya diinjak-injak oleh perempuan itu.

"Well." Sienna mengangkat bahu. "Aku pikir sah-sah saja perhatian dengan suami orang. Kalau kau saja bisa, kenapa aku tidak? Kalau kau bisa mengambil Diego dari Morgan. Kenapa aku tidak bisa mengambil Diego darimu? Lagipula, kami juga saling memiliki rasa yang sama. Sama-sama suka. Iya, 'kan, Diego?" Ia mengembangkan senyum kepada lelaki itu.

Diego sendiri terdiam, belum bisa berkata apa-apa. Sejak semalam Sienna selalu memanggilnya sayang, hal itu berhasil membuatnya terkesiap. Benaknya berkecamuk antara bahagia, senang, tetapi ia juga tahu jika ini hanya permainan perempuan itu.

"Kau tidak akan pernah bisa mengambil Diego dariku." Milly semakin naik darah. Pisau roti yang terbaring di kanan piringnya, sudah ia genggam erat-erat. "Aku dan Diego tidak akan pernah bercerai."

"Shut up! Waktunya sarapan dan jangan merusak hariku dengan keributan kalian yang tidak penting," ucap Diego datar.

"Kau bilang tidak penting?" Milly menatap bengis suaminya. "Dia berusaha merusak rumah tangga kita, Diego!"

"Dan kau merusak rumah tangga kakakku, Milly Bitch!" Sienna tak mau kalah.

Diego menangkup wajah, mengusapnya gusar. Kemudian, ia meraih gelas berisi air mineral meneguknya sekali tandas. Berada di antara dua perempuan yang sama-sama banyak bicara, benar-benar membuatnya pusing. Dan ia beruntung saat sang anak datang bersama Marlin. Ken sudah rapi dengan outfit yang tak pernah membuat bosan untuk dipandang.

"Morning, Sayang," sapa Diego sambil beranjak dari kursi, lantas melangkah menghampiri Ken. Ia langsung membopong bocah itu, membubuhkan banyak kecupan ke pipi gembulnya.

"Geli, Daddy." Bocah itu menggeliat sembari terkikik. Keduanya tangannya menahan wajah Diego yang masih ingin mengecupnya terus.

"Kau sangat harum."

"Ken balu mandi. Mau itut Anty Tien kelja."

"No." Diego memainkan salah satu jari telunjuknya. "Aunty banyak pekerjaan, nanti kau mengganggunya, Sayang."

"Mau itut Anty Tien, Daddy." Ken merengut lucu sambil bersedekap.

"Kau bisa di rumah denganku, Ken." Milly beranjak, ikut bergabung dengan anak dan bapak itu sembari mengembangkan senyum palsu. Namun, Ken justru menatapnya tajam.

"Tida mau!" Bocah itu menggeleng cepat. "Mau itut Anty Tien."

"See? Anak kecil tahu siapa yang memiliki perasaan tulus kepadanya." Sienna mengembangkan senyum lebar kepada mereka yang menatapnya. "Oke, Sayang. Kau boleh ikut Aunty Sien kerja. Marlin, kau juga ikut, ya. Nanti kau dan Ken pulang lebih awal, aku ada janji makan malam dengan teman," utusnya, mendapat anggukan dari Marlin.

Diego melemparkan tatapan penasaran dan ingin tahu. Ah! Sejak kapan dirinya ingin tahu semua hal tentang kegiatan Sienna. Lelaki mata keranjang, mungkinkah sebutan itu memang cocok untuk dirinya? Astaga, terdengar menggelikan. Apa tidak ada yang lebih bagus sedikit? Setidaknya tidak yang terlalu buruk untuk dirinya. Karena sekarang, perasaan hatinya mulai diobrik-abrik oleh Sienna. Damn it! Ada apa dengan dirinya? Benar-benar sudah tidak waras!

Pikiran Diego membuyar saat Sienna sudah berdiri di hadapannya sembari mengambil alih Ken.

"Kita sarapan dulu, terus berangkat kerja." Sienna mengecup pipi sang keponakan seraya melangkah menuju kursinya kembali. Marlin membuntuti. "Tolong buatkan susu untuk Ken, Marlin," pinta Sienna, mendapat anggukan dari sang nanny.

Sienna mengulas senyum melihat kepergian Marlin, lalu perhatiannya beralih ke sang keponakan yang duduk di pangkuannya. "Mau makan sandwich, Sayang?" tawarnya, Ken mengangguk cepat.

"Tuapin, Anty Tien."

"Dengan senang hati." Sienna memindahkan Ken duduk di kursi sebelahnya. Kemudian, ia mengambil sepotong sandwich berisi scrambled egg, ham, serta keju menggunakan pisau dan garpu, dipindahkan ke piringnya.

Diego dan Milly sudah duduk ke kursinya masing-masing. Keduanya sama-sama diam memerhatikan perlakuan Sienna ke Ken dengan pikiran yang berbeda arah. Jika Diego memuji kepintaran Sienna mengambil hati sang anak, berbeda dengan Milly yang merasa panas karena Sienna lebih dipilih bocah itu.

Tiga puluh menit kemudian selesai sarapan, Sienna sudah siap berangkat. Ia menuntun Ken menuju pelataran mansion. Sementara Marlin berjalan di belakangnya membawa satu tas berisi mainan dan barang-barang yang dibutuhkan Ken. Mobil miliknya telah siap di pelataran, seorang penjaga laki-laki mengeluarkan untuknya dari garasi.

"Kau dan Ken duduk di belakang, ya," ucap Sienna kepada Marlin sembari membukakan pintu mobil untuk Ken. Ia mengangkat bocah itu, lalu mendudukkannya di car seat dan memasangkan seat belt.

"Baik, Nona," balas Marlin seraya membuka pintu mobil dan masuk. Ia mendaratkan bokong di jok sebelah Ken. Tas bawaan ia taruh di sebelah duduknya.

"Aku berangkat denganmu."

Sienna menoleh ke sumber suara. Diego sudah berdiri di belakangnya, dengan tangan kanan menenteng tas kerja. "Kau memiliki banyak mobil, kenapa harus ikut denganku?"

"Ingin."

"Aku tidak mau."

"Aku memaksa."

"Hei! Ini mobilku dan aku yang berhak menentukan," seru Sienna sambil mengentakkan kaki. Sementara Diego memasuki mobilnya dan duduk di depan kemudi.

Lelaki itu mengedikkan dagu, meminta Sienna masuk. "Daddy akan mengantar kalian lebih dulu," ucapnya kepada Ken sambil menatap bocah itu. Melihat Sienna masuk dengan wajah masam, ia berkata lagi, "Charles akan ikut ke butikmu, Sien. Kau bilang, Ken dan Marlin pulang lebih awal. Dia yang akan membawanya pulang."

Charles adalah sopir Diego, tetapi lelaki itu sangat jarang disopirkan. Diego lebih nyaman berkendara sendiri. Namun, kali ini ia membutuhkan Charles untuk mengendarai mobilnya.

"Dan mobilmu akan kubawa ke kantorku. Nanti aku akan menjemputmu," ucap Diego lagi sembari melajukan mobil perlahan menuju gerbang. Sampai di jalanan aspal, ia menambahkan kecepatan laju.

Sienna menatap Diego, heran sendiri. "Tidak perlu. Sudah ada yang akan menjemputku. Kalau kau mau membawa mobilku, sangat membantu untuk itu. Karena aku tidak perlu meninggalkan di butik."

Diego mengernyit, tatapan tetap fokus ke jalanan. Sedangkan anaknya mengoceh tidak jelas dengan Marlin. Ken tertawa renyah, membuat dirinya mengembangkan senyum bahagia.

"Siapa?" tanya lelaki itu sambil menoleh ke arah Sienna sekilas.

"Maxime. Kami akan pergi makan malam bersama, itu sebabnya aku mengajak Marlin agar dia bisa pulang lebih awal dengan Ken."

"Aku tidak yakin dia pria baik-baik."

"Seperti kau pria baik-baik saja. Lagipula, aku tidak membutuhkan penilaian darimu. Mau Maxime baik atau buruk, itu bukan urusanmu." Sienna melemparkan tatapan sengit kepada lelaki di sebelahnya, hanya sebentar.

"Kau adik Morgan, masih keluargaku dan masih tanggung jawabku."

"Aku tidak merasa sebagai keluargamu setelah kau mengkhianati dia. Dan aku bukan tanggung jawabmu karena kita tidak ada ikatan darah. Tapi, karena adanya Ken, itu yang membuatku mau tinggal di rumahmu. Keluargaku hanya Ken. Ingat itu."

"Tidak menganggap keluarga dan berani mencium?" Diego menoleh menatap Sienna lagi dan saling beradu tatap dengan perempuan itu. Ia menyunggingkan senyum, sebelah alisnya terangkat satu.

Melihatnya, Sienna sangat kesal dan merasa terpojok. Ia terdiam sesaat, sebelum akhirnya berdeham untuk menormalkan salah tingkahnya. "Jangan ge-er dengan ciuman dan ucapanku semalam atau pun tadi. Aku tidak serius. Hanya ingin memanas-manasi istrimu," ucapnya, lalu membuang muka ke luar jendela.

"Aku juga tidak peduli. Dan ciumanmu tidak berasa apa pun. Masih kaku," balas lelaki itu tak acuh. "Tenang saja, aku tidak ada gairah sama sekali denganmu."

"Jangan lupakan kalau kau juga pernah menciumku, Diego."

"Untuk membungkam mulutmu yang seperti petasan, Sien."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top