PART. 3 - Conversation.

Alasan aku agak lama untuk update cerita ini karena bikin capek. 😰
If you know, you know.

Happy reading. 💜

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Vanessha tampak kebingungan saat membaca daftar tertulis yang diberikan Alena padanya terkait pembagian tugas harian yang harus dilakukan mereka di mansion itu. Mansion keluarga besar yang disiapkan para ayah mereka untuk ditinggali oleh para anak yang bersekolah di London. Dan mansion sebesar itu hanya ditempati olehnya, Alena, dan Ashley.

Masih membaca dengan tekun daftar itu dan duduk di tepi ranjang dimana Alena dan Ashley duduk bersebelahan di sofa kamar yang ada di depannya. Bingung, Vanessha membaca ulang dua baris terakhir dari daftar tentang mengubah penampilannya.

"Aku tidak mengerti kenapa bisa ada perubahan penampilan? Apakah itu diperlukan?" tanya Vanessha sambil mengangkat wajah untuk menatap dua sahabatnya yang sudah melebarkan cengiran di sana.

"Akan ada pertandingan sepakbola liga Inggris di Wembley, dan salah satu teman kuliahku menyukaimu saat kita bertemu secara tidak sengaja kemarin di Bond Street. Jadi, aku ingin kau menikmati tahun pertamamu sebagai mahasiswi dengan merasakan kencan yang menyenangkan," jawab Alena yang disambut anggukan kepala Ashley yang begitu antusias.

"Kau terlalu baik-baik dari segi aura, kesan, bahkan penampilanmu. Tanggalkan semua itu sebab kau bukan lagi anak sekolah melainkan mahasiswi! Jadi, kami ingin membuat perubahan yang jauh lebih dewasa dan kau akan semakin cemerlang," tambah Ashley.

"Aku tidak mau!" seru Vanessha kaget sambil beranjak dari duduk ketika mendengar rencana gila kedua sahabatnya tentang kencan yang tidak ditanyakan padanya terlebih dulu.

"Ayolah," decak Alena kecewa.

"Ini hanya kencan santai, tidak ada yang perlu dicemaskan," cetus Ashley dengan masam.

"Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini, lagipula, ayahku akan membunuhku jika dia tahu aku akan keluar dengan pria asing dan berpakaian seperti yang kalian tulis disini!" seru Vanessha lagi.

"Justru karena kau tidak pernah maka kau harus mencobanya, lagipula, ayahmu tidak akan tahu karena kita dijauhkan dari jangkauan mereka berkat kakak sepupu tercintaku, Noel, yang begitu mengerti tentang kebebasan yang kita inginkan," timpal Alena.

"Lagipula, tidakkah kau tahu jika kau begitu cantik dan mempesona? Sudah saatnya keluar dari sangkar dan bergerak bebas untuk menikmati saat ini," ucap Ashley mantap. "Dan sudah seharusnya jika para ayah bangga karena berkat spermanya bisa menghasilkan wanita cantik seperti kita."

"Bodoh!" celetuk Alena sambil mengggelepak kepala Ashley dan mengikik geli.

Vanessha meringis mendengarkan ucapan senonoh yang sering terjadi jika dia berhadapan dengan Alena dan Ashley. Terkadang, dia ingin bisa seperti mereka berdua yang begitu berani dalam melancarkan aksi protes dan terkesan menantang para ayah, tapi dia tidak mampu. Terlalu banyak kompromi dan seakan tidak yakin pada diri sendiri, itulah yang sering dialami Vanessha.

"Ayolah, kau akan segera berusia 18 tahun sebentar lagi," bujuk Alena kemudian sambil beranjak dan merangkul bahu Vanessha dengan erat. "Selama bersama kami, kau akan menikmati indahnya masa muda."

"Betul sekali," tambah Ashley yang ikut beranjak dan menyibakkan rambut dengan santai. "Dan aku tidak akan tinggal diam melihatmu terus menjadi wanita baik-baik saja karena menjadi brengsek adalah keharusan dalam DNA kita."

Tidak ada yang bisa dilakukan Vanessha ketika dua sahabatnya itu sudah memutuskan sesuatu. Keesokan harinya, dia membiarkan keduanya untuk mengubah penampilannya dengan membawanya ke salon langganan mereka untuk potongan dan warna rambut baru, membeli pakaian baru dengan model yang tidak pernah terpikirkan oleh Vanessha untuk memakainya, juga riasan wajah baru yang dipilih oleh Alena.

Setelah seharian penuh mereka berbelanja dan menghabiskan waktu untuk merawat diri di salon, Alena dan Ashley memutuskan untuk melanjutkan kesenangan mereka dengan melakukan janji temu dengan teman-temannya untuk pergi ke klub malam. Tentu saja, Vanessha menolak dan memutuskan untuk kembali ke mansion.

Saat sudah berada di kamar dan menaruh semua kantung belanjaannya di sudut kamar, Vanessha menghela napas lega sambil membanting diri ke ranjang dan mengerang senang ketika sudah mendapat kesendiriannya. Tidak pernah mengalami momen sehari penuh untuk bepergian, Vanessha merasa sangat lelah. Dia heran bagaimana Alena dan Ashley masih sanggup untuk melanjutkan harinya dengan menghabiskan akhir pekan di klub malam.

Bermalas-malasan, juga mengecek ponsel selama beberapa saat, Vanessha membersihkan diri dan mengenakan pakaian tidur berupa kamisol berbahan satin. Perlu mempersiapkan diri untuk demo masak yang harus dilakukannya di awal pekan depan, Vanessha mengambil buku catatan berupa resep andalan yang diberikan Chelsea untuk membuatnya sebagai menu yang akan dijadikan demo masaknya nanti, juga akan dia nikmati sebagai menu makan malamnya hari ini.

Dengan bahan yang sudah ada di kulkas, Vanessha mempersiapkannya dan akan membuat dua menu, yaitu Roast Beef dan Yorkshire Pudding, dua menu autentik yang cukup disukai warga lokal. Tanpa bantuan, juga Vanessha menolak untuk dibantu oleh pelayan mansion, dia memilih untuk bekerja sendirian.

Kesendirian semacam itu membuat Vanessha begitu fokus dan menikmati momen saat ini. Persiapan bahan, mengolahnya, mengaturnya, sampai presentasi untuk membuat makanan itu terlihat menarik sudah membuatnya memekik girang. Dia memotret beberapa gambar untuk mengirimkannya pada Chelsea dan langsung mendapat pujian.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, sudah saatnya dia menikmati hasil masakannya. Tidak pikir panjang, Vanessha mengarahkan telunjuknya pada saus lada hitam yang ada diatas daging sapi itu dan mencicipinya dengan cara mengisap. Senyumnya mengembang saat makanan itu terasa lezat sesuai harapan.

"Apa aku bisa mencicipinya seperti itu juga?"

Sebuah pertanyaan dengan suara berat tiba-tiba terdengar dari arah belakang dan membuat Vanessha memekik kaget sambil memutar tubuh untuk mendapati Noel yang ada disana.

Pria itu tampak menyeringai dan menatapnya dengan tatapan naik turun seolah menilainya. Noel tidak memakai atasan sehingga memperlihatkan setiap jejak tinta berupa tato dalam berbagai lambang, gambar, dan seperti guratan bekas luka menghiasi seluruh tubuh atasnya. Dia hanya memakai jeans belel tapi terlihat menarik.

Noel masih menatapnya tajam tapi penuh kagum dengan tatapan yang menelusuri apa yang dipakainya dan spontan membuat Vanessha tersadar jika hanya memakai kamisol satinnya dan itu membuatnya semakin tidak nyaman.

"S-Sejak kapan kau berada disini?" tanya Vanessha gugup dan bergerak mundur saat pria itu mulai melangkah untuk mendekat.

"Apa kau mewarnai rambutmu dan mengubah gaya rambutmu juga?" tanya Noel mengabaikan pertanyaan Vanessha barusan.

"I-Iya," jawab Vanessha yang spontan menyentuh rambutnya yang diikat dalam satu ikatan sederhana. "Apakah aneh?"

"Kau cantik," balas Noel langsung dan tanpa ragu melepas ikatan rambut Vanessha yang sukses membuat rambutnya tergerai indah dengan gelombang cantik di balik punggungnya.

"Uhm, ini..."

"Apakah dua adikku yang nakal itu yang mengubahmu seperti ini?" tanya Noel lagi sambil menaruh satu tangan di meja pantry untuk menumpukan seluruh berat badannya tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali.

Meski sorot matanya teduh tapi Vanessha merasa terintimidasi sebab cara Noel memandangnya tidak seperti biasa atau berbeda saat Noel mengajarinya berkuda.

"Ya," jawab Vanessha pelan.

Noel mengangguk senang. "Mereka berdua memang brilian sekali. Aku menyukai apa yang mereka lakukan padamu."

"Sejak kapan kau ada disini? Aku yakin jika tadi belum ada siapa-siapa saat aku tiba tadi," tanya Vanessha lagi.

"Sejak tadi sore dan aku berenang di danau belakang. Aku baru saja kembali dan mencium aroma masakan disini," jawab Noel santai sambil terus menatap Vanessha dalam.

Vanessha menahan napas saat Noel mendekatinya untuk menariknya ke dalam pelukan yang begitu erat. "Apa kabarmu? Aku merindukanmu, Cantik," bisiknya.

Kulit tubuhnya meremang saat mendapat semburat kehangatan dari nafas Noel di telinganya. Dia tidak menyangka jika pria itu merindukannya. Hal yang sama dirasakannya karena sejak Noel mengantarnya ke mansion, pria itu pergi untuk melakukan urusan pekerjaannya sendiri.

"Aku baik, apa kau sudah selesai dengan urusan magangmu?" tanya Vanessha saat Noel menarik diri tapi tidak melepas pelukan.

"Yeah, setelah enam bulan yang melelahkan," jawab Noel sambil memainkan gelombang rambut Vanessha. "Aku menyukai warna rambutmu."

Noel mendekatkan wajahnya sambil mengarahkan helai rambut yang ada dalam genggamannya dan mengendusnya sambil memejamkan mata seolah menikmati apa yang dilakukannya.

"A-Aku..."

"Omong-omong, dalam rangka apa mereka mengubah penampilanmu? Aku yakin jika mereka memiliki rencana jika sedang melakukan sesuatu," sela Noel sambil membuka mata dan menatap Vanessha tajam.

Terdiam selama beberapa saat untuk berpikir tentang apa yang harus disampaikan, akhirnya Vanessha memberi jawaban sejujurnya pada Noel yang tampaknya tidak menyukai apa yang didengarnya dengan mata yang terbelalak sesaat, lalu ekspresinya berubah menjadi tenang dalam sekejap seolah tidak mendengarkan apa-apa.

"Jadi, kau memiliki kencan di Sabtu ini dengan salah satu teman mereka," ucap Noel mengulang apa yang disampaikan Vanessha.

Vanessha mengangguk. "Kupikir tidak ada salahnya mencoba untuk menambah teman, bukan?"

Noel memberikan senyuman setengah yang terlihat sinis tapi tidak berkomentar apapun setelahnya. Merasa tidak nyaman dan kebingungan, Vanessha mencoba mundur saat Noel mulai mendekat. Pinggulnya sudah tertahan meja pantry yang ada di belakangnya dan dia sudah terkunci disitu.

Membungkuk perlahan, Noel menyamakan posisi wajah agar keduanya bisa saling bertatapan, lalu melirik singkat pada makanan yang ada di meja itu. "Kau membuat makanan apa?"

Vanessha semakin tidak mengerti dengan sikap Noel yang terlalu intens hanya untuk bertanya masakannya. Tidakkah ini berlebihan dan tidak enak dilihat jika ada yang tidak sengaja datang? Batin Vanessha cemas.

"Aku membuat sapi panggang dengan pudding Yorkshire," jawab Vanessha kemudian.

"Apa aku bisa mencobanya?' tanya Noel langsung.

"Tentu. Aku membuat cukup banyak dan..."

"Tapi aku ingin mencobanya seperti kau mencicipinya tadi," sela Noel tajam,

"M-Maksudmu?" tanya Vanessha kebingungan.

Masih dengan sorot mata tajam, Noel meraih satu tangan Vanessha dan membentuknya seperti angka dua lalu dirapatkan, kemudian mengarahkan dua jari Vanessha pada makanan itu. Dua jari Vanessha sudah berlumuran saus lada hitam dalam jumlah cukup banyak seolah Noel sengaja menekan jauh dua jarinya ke dalam saus .

Napas Vanessha tertahan saat Noel memasukkan dua jarinya yang berlumuran saus itu ke dalam mulutnya, dan jantungnya seperti mencelos saat Noel mengisap keras dua jari itu tanpa mengalihkan tatapannya.

Degup jantungnya mengencang, tatapannya seolah terbius oleh tatapan tajam Noel dan melihat pria itu mengisap jarinya kuat-kuat dengan gerakan merambat hingga dua jarinya terlepas dari hisapan. Apa yang disaksikan dan dirasakannya membuat tubuhnya seolah meleleh.

"N-Noel, aku..."

"Kurasa kau perlu mencobanya karena ini sangat lezat sekali," sela Noel cepat dan mengarahkan tangannya sendiri dengan dua jari yang dia celupkan dalam saus itu.

Tidak sempat merespon, satu tangan Noel sudah menangkup tengkuk Vanessha dengan dua jari berlumuran saus mengarah ke mulutnya yang terbuka. Satu alis Noel terangkat seolah memerintahkan dirinya untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya sebelumnya dan spontan Vanessha mengisap dua jari Noel yang ada di dalam mulutnya.

Menyeringai puas, Noel menarik dua jarinya setelah dihisap Vanessha dan segera menjepit dagu Vanessha untuk mendongak menatapnya sambil meniadakan jarak diantara mereka dalam kedekatan yang semakin intens.

"Dengarkan aku, Sayang. Apa kau ingat kesepakatan kita saat berangkat kesini? Aku tidak akan menjalani apa yang diinginkan ayahmu selama kau menjadi kesayanganku?" tanya Noel tegas dan ekspresi penuh intimidasi.

Vanessha hanya mampu mengangguk sebagai jawaban.

"Bagus, aku sudah melakukan apa yang kulakukan, kini kau harus melakukan apa yang kuinginkan," tambah Noel langsung.

Vanessha terkesiap saat Noel menariknya dalam pelukan yang lebih erat dengan dua tangannya di pinggang. Dua tangan Vanessha menekan dada bidang Noel agar tidak adanya pelukan yang terlalu intim seperti ini, terlebih lagi dirinya yang hanya memakai kamisol dengan model bertali sehingga menonjolkan bagian belahan dadanya disana.

"N-Noel, kurasa ini tidak dibenarkan karena kita..."

"Tolak kencan dari siapapun, sekalipun itu adalah teman Alena ataupun Ashley! Jangan pernah membiarkan pria lain selain diriku menarik perhatianmu!" desis Noel tajam.

"A-Apa? Bukankah kau mendukung kebebasanku dalam menikmati masa mudaku? Kenapa kau melarangku seperti ayahku?" tanya Vanessha bingung.

Noel memiringkan wajah sambil mencondongkan tubuh untuk mencium pipi Vanessha. Tidak hanya sampai disitu, ciuman itu berpindah dari pipi, telinga, kemudian di bawah telinga, rahang, dan sisi leher bawah. Vanessha mulai bergerak gelisah dan tidak bisa melepaskan diri karena rengkuhan Noel yang begitu erat.

"L-Lepaskan aku, ini tidak benar," erang Vanessha pelan.

"Kau hanya perlu mengiyakan, Sayang, maka aku akan mengabulkannya," ucap Noel serak.

Dia yakin jika merasakan Noel seperti menekan sesuatu pada tubuhnya, yaitu pada perutnya dan merasakan ketegangan disana selagi terus mencium sisi wajahnya.

"Aku tidak mengerti!" seru Vanessha cemas.

Mengerang pelan, ciuman Noel kini sudah mendarat di bahu dan satu tali kamisolnya diturunkan ke sisi tubuh. Dia bisa mendengar Noel bergumam tentang cantik dan rindu disana. Sampai adanya sentuhan yang disengaja di satu payudaranya, disitu Vanessha berteriak memberikan jawaban agar Noel menghentikan perbuatannya.

"BAIK! Aku akan menolaknya! Aku tidak akan pergi dengan pria manapun!" serunya.

Sentuhan itu spontan berhenti dan Noel segera menjauhkan diri sambil memberikan senyuman dingin disana. Keduanya saling bertatapan dalam diam seolah mempelajari ekspresi satu sama lain. Vanessha masih belum sanggup untuk mencerna apa yang terjadi selain spontan menaikkan satu tali kamisolnya yang diturunkan Noel tadi dan menutup tubuhnya dengan dua tangan yang terasa percuma.

"Kau sudah mengucapkan hal itu dan kuharap kau tidak membohongiku," ucap Noel dingin.

"Kenapa aku harus mendengarkanmu" tanya Vanessha dengan mata berkaca-kaca dan merasa ketakutan saat ini.

"Karena kau adalah milikku," jawab Noel tanpa ragu.

"A-Apa? Aku bukan milikmu," balas Vanessha yang semakin ketakutan.

"Ya, kau adalah milikku saat aku sudah memutuskan hal itu," tegas Noel.

Memekik kaget, Noel tiba-tiba kembali mendekatinya, kali ini satu tangan besarnya sudah menangkup satu payudaranya dari balik kamisol sambil mengangkat tubuhnya ke meja pantry. Meremas lembut disana, kemudian mengarahkan mulut untuk mengisap kulit tubuh Vanessha tepat diatas belahan dadanya.

Apakah ini pelecehan? Apakah Noel sedang mabuk dan tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya? Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi isi kepala dan Vanessha tidak sempat melakukan apa-apa karena terlalu kaget dan tidak percaya apa yang sedang terjadi.

Meski otak dan hati terus berkecamuk, tapi reaksi tubuhnya justru berkata sebaliknya. Sentuhan Noel memberikan sensasi asing yang menyenangkan dan membuat tubuhnya semakin meleleh dibawah sana sampai erangan lembut keluar begitu saja dari mulutnya.

"Oh, yah, Sayang, aku akan membuatmu berteriak lebih kencang nantinya," bisik Noel kemudian dan segera menghentikan sentuhannya.

Menurunkan Vanessha dari meja, memastikan agar Vanessha sudah berdiri dengan benar di kedua kakinya, Noel mundur beberapa langkah sambil menatapnya naik turun dan terlihat bangga disana.

Tidak tahu harus berbuat apa, juga tidak ingin diserang tiba-tiba seperti tadi, setelah mengumpulkan sisa tenaga yang dimiliki, Vanessha segera berlari meninggalkan Noel begitu saja dan menaiki anak tangga dengan tergesa untuk segera mencapai kamarnya. Setelahnya, dia menutup kunci kamar, lalu beringsut duduk tepat di depan pintu sambil menangkup dadanya yang bergemuruh kencang.

Noel, pria yang dikenalnya ramah dan penuh santun itu kini berubah menjadi pria yang seolah ingin menelanjanginya dengan tatapannya, bahkan menyentuhnya begitu saja tanpa memberi kesempatan bagi Vanessha untuk menolaknya. Tidak ada kesan bahaya pada pria itu, bahkan Vanessha menilainya sebagai saudara pria dengan predikat sangat baik di matanya.

Masih merasa tidak nyaman dengan pikirannya, ponselnya berbunyi dan itu dari Felix. Tanpa ragu, Vanessha mengangkatnya untuk mengalihkan pikirannya yang mulai kacau. Pria itu mengatakan jika akhir pekan nanti tidak bisa bertemu oleh karena perubahan jam pertandingan dan bertanya apakah Vanessha bersedia untuk bertemu besok saja.

"Baiklah, sampai ketemu besok," putus Vanessha sebelum mengakhiri telepon itu.

Dia tidak peduli dengan ancaman Noel yang diberikan tadi, karena dia tidak akan membiarkan dirinya kembali dikekang atau tunduk pada otoritas yang tidak diperlukan. Dia memiliki dirinya sendiri dan berhak memutuskan apa yang diinginkannya. Bukan ayahnya, terlebih lagi bukan Noel karena pria itu bukan siapa-siapa dan tidak berhak mengaturnya.

Persetan dengan bajingan itu, batin Vanessha geram sambil beranjak dari posisinya, tanpa menyadari jika ada yang mengawasinya dari kejauhan dan mendengar semua percakapan di telepon tadi.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Akutu tiap kali nulis cerita ini atau baca ulang tuh kudu nahan napas, trus napas berat, kek engap gitu.
Belum lagi kudu ribet dengan
urusan beberes 😅

Next part, jatahnya CH-Zone
Seperti yang pernah aku bilang kalau revisi kali ini, Babang akan tulis pov Noel dan aku tulis pov Nessie.

Nighty night. 💜
19.02.24 (22.30)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top