PART. 1 - The Beginning.

4 years earlier...
Vanessha 17 y/o.

"Jika kalian tidak bisa mengantarku ke London, lalu aku harus bersama dengan siapa?" tanya Vanessha cemas.

Mengikuti jejak seperti ibunya sebagai seorang chef, Vanessha melanjutkan pendidikannya di sekolah masak terkemuka dimana ibunya pernah bersekolah disana. Meski sebenarnya, impiannya adalah menjadi desainer seperti Tante Lea, ibu dari sahabatnya, Alena. Namun, ayahnya bersikeras untuk Vanessha harus mengambil jalur masak seperti ibunya.

Rasa cinta ayahnya yang begitu besar pada ibunya membuat Vanessha harus mengemban tugas sebagai penerus restoran yang didirikan ibunya karena ayahnya ingin agar ibunya segera pension dan menemani sisa hidupnya untuk bepergian bersamanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga, Vanessha harus menerima tuntutan ayahnya. Dua adik laki-lakinya sudah dituntut untuk menjadi penerus perusahaan.

Yang menjadi masalah saat ini bukanlah keberatan tentang tuntutan ayahnya karena menjadi chef tidaklah buruk bagi Vanessha, tapi phobianya terhadap ketinggian dan dia membutuhkan seseorang untuk menemani dirinya selama penerbangan. Melakukan penerbangan sendiri tidak akan pernah ada dalam daftar hidupnya. Tidak akan pernah, batinnya cemas.

"Ayahmu akan mengaturnya, Sayang," ujar Chelsea, ibunya, yang memberikan ekspresi penuh kasih disana.

"Aku tidak akan mau jika harus pergi dengan salah satu penjaganya," balas Vanessha tegas.

Dia sangat tidak menyukai pendampingan penjaga yang dilakukan ayahnya karena para penjaga tampak begitu menyebalkan dan terus memberikan laporan dari hal sekecil apapun.

"Memangnya apa yang bisa kita perbuat saat ayahmu sudah menunjukkan sisi posesifnya?" tanya Chelsea santai.

"Kenapa Mama begitu kuat dalam menghadapi Papa?" tanya Vanessha tidak habis pikir.

Chelsea tampak mengerutkan kening sambil berpikir sesaat lalu mengangkat bahu dengan santai. "Katakanlah, aku adalah karma yang harus ditanggungnya."

"Karma?"

Chelsea terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Hanya bercanda. Sudahlah."

"Tapi..."

"Aku bisa mendengar apa yang sedang kalian bicarakan, Ladies," sela seseorang dengan nada tegas dari arah belakang yang membuat keduanya menoleh bersamaan.

Tampak Liam, ayah Vanessha, datang dengan ekspresi dingin yang seperti biasanya dan sanggup membuat Vanessha harus menahan napas setiap kali berhadapan dengan ayahnya sendiri. Liam adalah ayah yang baik dan penyayang, sangat bertanggung jawab, dan mengutamakan keluarga. Terlebih lagi, Liam sangat menyayangi Vanessha, dan itulah yang memberatkan Vanessha.

Sejak dirinya beranjak remaja, Liam menjadi lebih tegas, penuh tuntutan, banyak aturan, dan tidak membiarkan Vanessha menjalani masa remajanya sebebas teman baiknya, Alena dan Ashley. Liam memperlakukan Vanessha seperti seorang puteri yang harus menetap di kastil dan tidak diperkenankan untuk keluar selain dengan keluarga, sahabat, atau kerabatnya.

Chelsea membuka tangan untuk menyambut Liam yang langsung membawanya ke dalam pelukan erat dan kecupan hangat di keningnya. Harus diakui jika Liam sangat mencintai Chelsea dengan sikap romantisnya yang tidak segan ditunjukkan di depan anak-anaknya sampai mereka harus membuang muka karena merasa malu.

"Hai, Pa," sapa Vanessha saat Liam sudah melihat kearahnya.

"Aku baru tahu jika putriku senang membicarakanku dengan ibunya selagi aku tidak ada," komentar Liam sambil memeluk Vanessha dan kemudian mencium pipinya.

"Apa aku boleh membicarakan pria lain selain dirimu?" tanya Vanessha langsung dan terdiam saat melihat ekspresi Liam yang begitu dingin.

"Sekalipun itu hanya bercanda, aku tidak suka," balas Liam ketus.

"Memangnya kapan kau bisa diajak bercanda? Sudahlah, Liam, jangan terlalu keras dan berusaha menyebalkan di depan anak-anak kita," sahut Chelsea sambil menatap Liam sinis.

"Aku hanya memberitahukannya," elak Liam.

Vanessha tidak berkomentar dan mulai merasa jenuh dengan perbincangan yang tidak menyenangkan. Rasa cemasnya menguar mengingat dirinya harus melakukan penerbangan sore ini tapi belum ada keputusan siapa yang akan menemaninya.

"Jadi, kenapa Mama tidak bisa menemaniku ke London?" tanya Vanessha kemudian.

Liam menoleh padanya dengan tegas. "Karena ibumu akan menemaniku ke Vietnam untuk menghadiri urusan penting disana."

Vanessha kembali terdiam dan merasa tidak ada gunanya untuk mengajukan aksi protes karena sudah pasti ayahnya akan sangat egois jika itu berkaitan dengan ibunya.

"Kau tahu jika perut ayahmu bermasalah dan hanya bisa menerima makanan yang kubuat, bukan? Jadi, kuharap kau mengerti, Sayang," ucap Chelsea seolah bisa membaca pikiran Vanessha.

Tentu saja ucapan itu membuat senyum Liam mengembang begitu lebarnya karena mendapat perhatian Chelsea yang selalu membuatnya terlihat senang. Sangat lucu, pikir Vanessha. Ayahnya yang dictator sangat ingin diperhatikan oleh ibunya dan selalu merasa harus bersaing tentang kasih sayang dari ibunya dengan anaknya sendiri.

"Tapi aku tidak ingin didampingi oleh para penjagamu, Pa," ujar Vanessha kemudian.

"Aku tidak akan menyuruh mereka menemanimu," balas Liam langsung.

"Lalu siapa? Alena dan Ashley sudah berada disana, juga Verdinand dan Victor yang masih belum kembali dari liburannya di Bajo," tanya Vanessha lagi.

"Noel yang akan mendampingimu ke London nanti," jawab Liam.

Tertegun, juga berusaha untuk tidak memberi reaksi selain bergeming saat Vanessha mendengar nama yang disebutkan ayahnya barusan. Noel, batinnya. Pria tampan yang mengisi pikirannya selama beberapa bulan terakhir atau saat dimana pria itu mengajarinya berkuda di safe house.

Emmanoel Fritz Setiawan, demikian nama lengkapnya. Pria itu baru berusia 20 tahun atau tiga tahun lebih tua darinya. Mempesona, memiliki senyuman yang memikat, begitu menarik, dan sangat menjulang tinggi. Parasnya mengikuti ibunya yang memilki darah Mexico dan tentu saja hal itu menambah jumlah daftar pesonanya. Sedang menjalani tahun terakhir kuliahnya dan diarahkan menjadi penerus bisnis keluarganya.

Semua informasi itu didapati dari sahabatnya, Alena, yang adalah adik sepupu dari Noel. Tidak ada yang tahu jika Noel adalah cinta pertama Vanessha karena itu dirahasiakannya sendiri, bahkan dua sahabatnya pun tidak tahu karena Vanessha enggan bercerita sebab mereka berdua tidak bisa menjaga mulutnya dengan baik.

"Apakah Noel ada disini?" tanya Chelsea heran.

Liam mengangguk. "Dia memiliki urusan dengan ayahnya dan akan kembali ke London malam ini, jadi kupikir tidak ada salahnya menitipkan Vanessha padanya."

"Ah, syukurlah. Aku lebih tenang jika dia menemani Vanessha mengingat sudah menjadi kakak favorit bagi para adik," sahut Chelsea sambil tersenyum lega.

"A-Apakah ini serius?" tanya Vanessha gugup.

"Tentu saja. Ada apa? Kau tidak nyaman?" tanya Liam sambil mendengus tidak suka.

"T-Tidak. Aku baik-baik saja, hanya saja aku belum pernah bersama dia untuk..."

"Kalau begitu, tidak ada masalah! Noel yang akan bersamamu dan ibumu yang akan menemaniku! Jadi, bersiaplah! Noel akan menjemputmu dua jam kedepan!" sela Liam dengan nada tidak mau tahu dan segera berlalu pergi menuju ke lantai atas sambil berseru pada salah satu penjaga untuk melakukan tugasnya.

Chelsea menggelengkan kepala dan memeluk Vanessha dengan erat. "Aku akan merindukanmu, Nak. Setelah menemani ayahmu, aku akan berkunjung kesana."

Vanessha mengangguk sambil mengeratkan pelukan. "Kuharap kau menjaga dirimu dengan baik, jangan memaksakan diri untuk terus menuruti keinginan Papa. Aku tahu dia mencintaimu tapi aku tidak yakin jika dia benar-benar memberimu kebebasan dalam hidup."

Chelsea terkekeh sambil melepas pelukan dan menatap Vanessha dengan penuh kasih.

"Aku tahu siapa yang kuhadapi. Percayalah, mungkin terlihat aku seperti tunduk padanya tapi si Tua Bangka itu bisa mati jika aku mulai bertindak," ujar Chelsea sambil memberi senyuman setengah.

Vanessha mengerjap pelan sambil memperhatikan ekspresi Chelsea yang tidak biasa seolah dia benar-benar serius dalam ucapannya tadi. Tidak lama kemudian. Chelsea menemani Vanessha untuk berkemas dan mengingatkan beberapa hal yang harus dibawanya.

Di dalam kamar pribadinya, Chelsea menyerahkan sesuatu pada Vanessha secara tersembunyi baginya. Mengerutkan kening, Vanessha memegang pulpen metalik yang berukirkan namanya disana.

"Itu bukan untuk menulis tapi untuk dibawa kemanapun kau pergi tanpa diketahui," bisik Chelsea yang membuat Vanessha mendongak dan menatapnya kaget.

"M-Mama?"

Chelsea mengangguk. "Ini kesempatanmu untuk melihat dan menikmati dunia. Kau tahu? Aku sangat tidak menyukai dengan penjagaan dan perlindungan yang tidak diperlukan sehingga kau tidak mengalami kehidupan remaja yang menyenangkan seperti aku dulu. Hidup yang kau miliki tidak normal dan aku tidak ingin adanya seperti itu. Kau harus mengenal dunia sebelum memutuskan apa yang penting dalam hidupmu."

Mata Vanessha berkaca-kaca dan tidak sanggup bersuara karena bibirnya bergetar menahan tangis.

"Jangan menangis, Sayang," ucap Chelsea sambil menangkup wajah Vanessha dan mencium keningnya dalam, kemudian memeluknya erat. "Kau adalah anakku, juga Verdinand dan Victor. Aku adalah tempat perlindungan kalian disaat dunia memperlakukanmu tidak adil. Maafkan ayahmu, itu saja. Dia hanya memiliki ketakutan terhadap kehilangan sampai tidak sadar sudah merenggut kebebasan kalian sebagai anak-anaknya."

Vanessha mengangguk sambil terisak dalam diam sebagai respon. Meski ayahnya seperti itu, tapi dia sangat tahu jika ayahnya sangat mencintainya. Jika dia meminta dunia, maka ayahnya tidak akan ragu untuk memberikannya.

"Jangan membencinya sebab dia hanya melakukan tugasnya sebagai ayah yang melindungi keluarganya," ucap Chelsea sambil mengurai pelukan dan menangkup wajah Vanessha sambil mengusap air mata di kedua pipi Vanessha.

"Dia akan belajar banyak saat kalian beranjak dewasa dan aku akan membimbing Tua Bangka itu untuk mengerti lebih banyak," tambah Chelsea yang membuat Vanessha spontan tertawa pelan.

Tua Bangka, itulah panggilan yang dilakukan ibunya di setiap kali bercerita tentang ayahnya. Orangtua Vanessha memiliki perbedaan usia 12 tahun namun tidak terlalu signifikan jika dilihat secara visual. Meski demikian, mereka adalah pasangan yang serasi.

"Terima kasih, Ma," ucap Vanessha tulus.

"Jaga dirimu sebagai balasannya. Jangan membuatku cemas," balas Chelsea yang langsung diangguki kepala Vanessha sebagai janjinya.

Dan setelahnya, Vanessha kembali mempersiapkan diri karena Noel sudah memberikan pesan singkat jika dirinya akan segera tiba dirumahnya. Mendapati kenyataan tentang pria itu akan menjemputnya membuat wajah Vanessha seketika memanas dan degup jantung yang bergemuruh kencang.

Tak lama kemudian, Vanessha diberitahu jika Noel sudah tiba dan segera turun untuk mendapati Noel sedang berbincang dengan akrab bersama Liam dan Chelsea disana. Saat tatapan keduanya bertemu, napas Vanessha tertahan dan tatapannya seolah terpaku pada sorot mata tajam tapi teduh dari Noel.

"Kuharap tidak merepotkanmu karena kami menitipkan Vanessha padamu dan jangan gegabah dalam melindunginya, Anak Muda," ucap Liam dengan nada perintah dan ancaman disana.

Chelsea hanya berdecak pelan, sementara Noel memberikan kekehan ringan yang tampak begitu santai seolah tidak terganggu dengan ucapan Liam barusan.

"Tidak hanya kau, Uncle, tapi para ayah sudah memberikan peringatan tentang anak laki-laki yang harus menjaga dan melindungi adik-adiknya," ujar Noel santai.

Liam mengangguk sambil memberikan senyuman hambar. "Baguslah. Dan, hati-hati."

Vanessha berpamitan dengan orangtuanya dan mengikuti Noel yang berjalan lebih dulu darinya. Membukakan pintu belakang, Noel menyunggingkan senyuman sambil mempersilakan Vanessha untuk masuk.

Dan saat dia melewati Noel untuk masuk ke dalam mobil, disitu dia bisa mendengar Noel berbisik padanya yang sanggup membuat tubuhnya seolah bergetar hebat dari dalam.

"Kau tampak semakin cantik di usiamu yang sudah menginjak 17 tahun, Nessie."



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Kalau masih sopan tuh enak banget nulisnya, nggak pake capek.
Kalau alurnya udah khilaf, aku engap bantu editnya. 😅

Untuk cerita Zozo akan dilanjutkan Bang Ian dalam minggu ini.
Also, Ashton dan JC akan menyusul update yah. 💜

15.01.23 (14.10)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top