9.

Pemain inti tim basket putri Meisei :

1. Kame Natsuyo (Kapten/Shooting Guard) #4
2. Nana Shuicihi (Power Forward) #8
3. Nori Yasahiro (Center) #5
4. Keira Hanazawa (Point Guard) #10
5. Naoka Hideki (Small Forward) #7 (revisi dari nomor #12)

Kelas 1:

1.  Keira Hanazawa | Point Guard (PG)
2. Hara Fukui | Shooting Guard (SG)
3. Aki Hasegawa | Point Guard (PG)
4. Fuse Aoyama | Small Forward (SF)

Kelas 2:

1. Naoka Hideki | SF
2. Nami Humiya | SG
3. Oka Chiba | C
4. Jun Isamu | PF
5. Uyeda Shima | PG

Kelas 3:

1. Nana Shuichi |PF
2. Kame Natsuyo | SG
3. Nori Yasahiro | C

Coach : Akimoto Yasushi.
Guru Pembimbing : Shiro Hotaka.
Manajer 1 : Amarisa Mitsuru.
Manajer 2 : -

Note : Penulisan nama di narasi menggunakan format (nama depan) + (nama belakang)

Untuk menghindari kebingungan karena terlalu banyak nama, penulis akan menggunakan format angka pada beberapa pemain lawan. (Cth : #1)

***

Pada hari keempat--ronde keempat--ini, ada dua pertandingan yang dijalankan dalam sehari. Tim Meisei yang baru menyelesaikan pertandingan pertama mereka, duduk di bangku penonton sambil memperhatikan pertandingan Akademi Yumezawa melawan SMA Seigo.

Point guard Akademi Yumezawa bernomor punggung #2, dia melewati pemain #8 dan melompat untuk memasukkan bola ke ring, seorang pemain lawan bernomor #5 ikut melompat untuk melakukan blok dan #2 mengoper bola melewati samping tubuh #5 kepada kapten timnya.

Kapten Yumezawa lantas melakukan dunk keras. Menggenapi skor pertandingan menjadi 40-8 dengan keunggulan timnya. Suara tepuk tangan bergemuruh mengisi gimnasium.

Pelatih Akimoto menggeleng diiringi embusan napas berat. Dia bersandar. “Ini baru kuarter kedua dan mereka sudah unggul 30 angka lebih,” ucapnya, nyaris terdengar tidak percaya.

Kame yang duduk di sebelahnya menyahut, “Yah, ... seperti dugaan, kurasa?” Gadis berkucir rambut satu itu menyandarkan dagu pada bangku kosong di depannya.

Suasana tegang menyelimuti seluruh senior kelas dua dan tiga, kentara terlihat dari betapa fokusnya mereka menyimak jalannya pertandingan di bawah sana. Secara pribadi, Keira juga merasa bahwa Akademi Yumezawa membuat seolah-olah satu pertandingan ini tampak sangat mudah bagi mereka.

Aki yang duduk di sebelah kiri Keira membuang napas panjang, ikut merasa tegang karena kondisi para senpai. “Bukankah mereka membuat semuanya kelihatan mudah? Memangnya mereka sedang melawan anak kecil apa? Apa-apaan perbedaan skor itu, padahal lawannya berhasil sampai sejauh ini. Tapi, tidak menghambat mereka sedikit pun.” Gadis itu berceloteh, sedikit panik.

“Aku bisa maklumi kalau pertandingan hari pertama atau kedua. Tapi, ini, kan sudah hampir semi-final. Kukira semua tim yang ada di sini bisa dikatakan cukup kuat. Namun, coba lihat mereka ....” Aki melebarkan tangan, seolah akan memeluk seseorang.

Dia menoleh pada Keira yang sedang menatapnya. “Bahkan lawannya tidak bisa mencetak sepuluh angka.”

Well, kelihatannya mereka memang punya beberapa pemain merepotkan.” Keira mengangkat bahu, tatapannya jatuh pada Ayumu sesaat. Mengindetifikasi lawan yang juga tergolong rumit untuknya.

Shima Uyeda yang duduk di bangku depan Keira menoleh ke belakang, menatap Aki yang baru selesai bicara. “Kau tahu, kenapa mereka membuat permainan ini seolah-olah mudah?” Mantan point guard utama itu bertanya, alisnya terangkat satu.

Aki mengernyit. “Karena mereka hebat?”

“Karena mereka menguasai dasar-dasar permainan basket dengan sempurna,” koreksi Shima, walau jawaban Aki tidak sepenuhnya salah. Gadis berambut ikal pendek itu mengangguk sekali. Dia menunjuk lapangan, masih dalam posisi duduk miring agar bisa berbicara lurus dengan para adik kelas. “Teknik membawa bola, mengoper, dan menembak. Mereka menguasainya seperti sedang berhitung satu, dua, tiga, sambil menutup mata.”

Fuse yang duduk di sebelah kanan Keira sedikit maju untuk bisa ikut-ikutan berbicara. “Dan, yang kulihat dengan sepasang mata ajaib bernama Dragon Eyes ini. Kelompok musuh kuat di bawah sana, yang bahkan bisa menghancurkan dinding besi jika mereka mau, tidak melakukan kesalahan apa pun sejak tadi,” ujarnya pelan.

“Dalam permainan bola basket yang berpusat dalam kecepatan menggiring bola, terkadang memang ada kesalahan-kesalahan sepele seperti ... tidak berhasil menangkap bola yang dioper oleh rekan.” Keira menambahkan. “Kalau yang kulihat, kekuatan tim Akademi Yumezawa terletak pada kemampuan tidak melakukan kesalahan apa pun. Semua gerakan terjadi secara alami tanpa kesalahan.”

Hara berdecak sebal. “Yah, apa yang kalian bicarakan itu hanya dasar-dasar permainan basket, kan? Dribbling, passing, dan shooting. Masalahnya bukan itu saja, bukan sudah jelas kalau mereka juga punya senjata mengerikan.” Telunjuk Hara menuding center Yumezawa yang bernomor punggung #4.

Gadis berambut hitam setelinga itu melompat untuk melakukan rebound keras. Padahal sudah dijaga oleh dua orang, tetapi dia bisa membuat kedua lawannya jatuh akibat kerasnya dunk yang gadis itu lakukan.

Sebagai sesama center, Hara merasa tersaingi melihatnya. Secara postur dia sama tinggi dengan lawan nomor #2 di SMA Namori waktu itu, tetapi tubuhnya lebih tegap dan berisi.

Shima mengangguk setuju. “Sejak kali pertama aku bermain, bahkan mungkin dari zaman senior kelas tiga. Kapten tim Yumezawa itu memang kuat. Dia selalu bersaing ketat dengan Nori dalam urusan bagian bawah ring. Namun, yah, gadis itu ... rasanya seperti berada di level yang berbeda.”

Siswi kelas dua lainnya yang duduk di sebelah Shima, Jun Isamu, merangkul temannya. “Kalau kita bisa jadi kuat setelah berlatih setahun penuh, tentu saja lawan juga begitu. Apalagi Akademi Yumezawa tidak ikut pertandingan ini tahun lalu, tidak ada yang tahu alasannya apa.”

Jun mengangkat bahu. “Tapi, kalau mereka ikutan. Kita pasti tidak bisa masuk ke semi-final Interhigh karena dikalahkan mereka. Jadi bisa dibilang, kemenangan di babak penyisihan waktu itu juga salah satu keberuntungan,” ujarnya blak-blakan sambil tertawa. Rusuknya disikut oleh Shima dan kedua siswi kelas dua tersebut kembali menghadap depan.

“Aku tidak suka kondisi ini,” keluh Aki.

Fuse menyenggol lengan Keira. “Tuan Putri, apakah Anda tahu kenapa gadis di bawah sana, yang tadi menyapa sebelum pertandingan, tidak ikut bermain?”

Keira menoleh ke jejeran bangku cadangan pemain Akademi Yumezawa. Ayumu sedang duduk santai sambil mengamati para seniornya bermain dengan senyuman. Sejak awal pertandingan, dia sama sekali tidak menggantikan pemain utama. Meskipun begitu, Ayumu berkata bahwa dia akan bermain melawan Keira di pertandingan, ketika tahu gadis itu menjadi starter SMA Meisei. Karena mustahil menganggap mantan rekannya tersebut membual, Keira yakin bahwa dia tidak diturunkan karena alasan lain yang menyakitkan.

“Anggap saja, kemampuannya tidak dibutuhkan karena lawan mereka terlalu lemah. Semacam tidak-level-untuknya.”

Fuse terhenyak mendengar jawaban kejam Keira. Dia hanya mengangguk-angguk paham.

Biar bagaimanapun, Keira pernah bermain lama bersama Ayumu. Bisa dikatakan bahwa dia sangat memahami teknik permainan mantan rekan setimnya tersebut.

Bel penanda pertandingan berakhir berbunyi nyaring. Sorakan penggemar memenuhi penjuru gimnasium. Dengan skor 168-19, Akademi Yumezawa melaju ke babak selanjutnya.

Pelatih Akimoto berdiri dari duduknya. “Baiklah. Sekarang kita persiapkan diri untuk pertandingan berikutnya.” Wanita bertopi itu sekilas melihat ke arah tim Yumezawa yang berbalik meninggalkan tengah lapangan setelah mengucapkan terima kasih pada lawan. “Mereka selalu jadi jauh lebih kuat daripada tahun-tahun sebelumnya.”

Keira bertanya-tanya apa yang mungkin dipikirkan oleh sang pelatih, apakah dia juga mengira bahwa Meisei yang bisa lolos ke Interhigh tahun lalu juga sebuah keberuntungan? Saat sekali sang gadis menoleh ke arah lapangan, Ayumu sudah lebih dulu menatapnya dengan senyum manis penuh tantangan. Tangan kanan gadis itu terangkat dan mengepal, seperti sedang memberi bump fist jarak jauh.

***

Di luar gimnasium, Pelatih Akimoto mengeluarkan kertas berisi Bagan pertandingan. “Hari ini, kalian akan menjalani ronde kelima pukul 17.00 sore.”

Jun yang sedang merangkul Nami dan Shima terlihat keberatan. “Dua pertandingan dalam satu hari itu melelahkan,” keluhnya. “Bahkan jika ada acara istirahat di tengah-tengah, kita jadi harus menonton pertandingan lain dan melihat lawan mengerikan seperti barusan.”

Nami Humiya mengangguk setuju, balas merangkul sahabat kecilnya. “Tadi itu pertandingan kelima Yumezawa, bukan? Itu artinya mereka sekarang sudah lolos ke semi-final.” Gadis berkepang satu itu menjerit tertahan. “Semifinal dan final diadakan di hari yang sama. Membayangkannya saja membuatku capek.”

Kame menepuk dua punggung rekan setimnya itu keras, memberi semangat sekaligus hukuman. “Kalian berdua, cobalah menjadi diam seperti Oka.”

Hara menatap bagan pertandingan di tangannya. “Kalau kita lolos sekarang, masih ada satu pertandingan di semi-final sebelum melawan Yumezawa.”

“Mari berdoa supaya Yumezawa tidak lolos semifinal, jadi kita tidak perlu menghadapinya di final nanti.” Jun memberi saran pesimis.

Nami tertawa meledek. “Rasanya seperti berdoa supaya turun hujan emas.”

Kedua gadis itu terbahak bersama dan berakhir dipiting oleh Nori sampai diam. “Kalau mulut kalian berdua itu hanya digunakan untuk membuat perasaan kami kacau, lebih baik diam saja.”

Pelatih Akimoto menggeleng sambil membuang napas berat. “Kalian masih ada pertandingan kelima, tetapi sudah membayangkan posisi semi-final dan final,” katanya. “Semua itu masih dalam bentuk kemungkinan-kemungkinan. Fokuslah pada lawan yang akan kita hadapi sekarang.”

Keira bergumam panjang sambil terpejam, mengingat-ingat jadwal pertandingan. Dia tidak berani menyuarakan pikirannya yang juga sudah berkelana ke kalau-mereka-lolos-ke-semifinal. Pertandingan semifinal diadakan pukul satu siang, finalnya jam lima sore. Wah ....

Aki yang sudah terkena wabah pesimis dari kedua seniornya malah jadi makin khawatir. “Sekolah-sekolah besar seperti Yumezawa punya banyak anggota klub. Itu artinya mereka punya banyak pemain yang bisa menggantikan pemain cadangan.”

Gadis berjepit rambut kodok tersebut meringis, membayangkan puluhan pendukung Yumezawa yang tadinya duduk di bangku penonton untuk mendukung. Bisa saja mereka terpilih untuk masuk ke dalam regu sebagai ganti pemain cadangan. Berbeda dengan jumlah anggota Tim Meisei yang pas-pasan.

Nana berusaha menghibur kondisi Aki yang mengkhawatirkan tersebut. Kame yang melihat raut-raut panik di wajah rekan-rekan setimnya mulai naik darah.

“Kalau kudengar keluhan lagi. Semuanya harus berlari pulang dari sini sampai sekolah dan membersihkan gimnasium,” ancam Kapten Kame. Dia memandangi teman-temannya dingin, sementara Pelatih Akimoto tampak menunggu gadis itu bicara. “Gunakan semua isi otak kalian untuk memikirkan pertandingan yang ada di depan mata. Daripada lawan yang belum tentu kita hadapi. Kalau kalian tidak berkonsentrasi dan sibuk mengkhawatirkan ini-itu, kita bisa dikalahkan sebelum mulai bertanding.”

Seluruh anggota tim terdiam. Tatapan Kame menyusuri mereka satu per satu dan berhenti ke barisan anak-anak kelas satu. “Lawan berikutnya, SMA Haruna. Kalian mungkin tidak tahu, tetapi mereka masuk ke final babak penyisihan dan bertanding melawan tim kita waktu itu.”

“Sedikit informasi, kita hanya menang satu angka dari mereka dan kalian semua pasti tahu, tidak ada lagi lawan yang sama dari tahun sebelumnya.”

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top