6

Kelas 1:

1.  Keira Hanazawa | Point Guard (PG)
2. Hara Fukui | Shooting Guard (SG)
3. Aki Hasegawa | Point Guard (PG)
4. Fuse Aoyama | Small Forward (SF)

Kelas 2:

1. Naoka Hideki | SF
2. Nami Humiya | SG
3. Oka Chiba | C
4. Jun Isamu | PF
5. Uyeda Shima | PG

Kelas 3:

1. Nana Shuichi |PF
2. Kame Natsuyo | SG
3. Nori Yasahiro | C

Coach : Akimoto Yasushi.
Guru Pembimbing : Shiro Hotaka.
Manajer 1 : Amarisa Mitsuru.
Manajer 2 : -

Note : Penulisan nama di narasi menggunakan format (nama depan) + (nama belakang)

***

Keira menutup mulut dan menahan teriakan frustrasi. Dia bersandar pada dinding, tubuhnya merosot dan gadis itu mulai menyesali pilihan hidupnya. Tepat setelah meneriakkan dukungan, kuarter ketiga dimulai dan Keira hanya bertahan sebentar di dalam gimnasium. Gadis itu memberitahu Aki bahwa dirinya ingin pergi ke toilet, lantas tak pernah kembali.

Beberapa pesan dan panggilan masuk dari rekan setimnya beradatangan silih berganti, ponsel pun Keira matikan dan dia sibuk mencari tempat sembunyi saat mengenali langkah Fuse yang mendekati lokasi persembunyiannya di belakang gimnasium. Kini gadis itu tengah duduk di balik pot bunga besar sambil menyedot teh kotak dingin, khawatir jika dia pulang sekarang akan ketahuan seseorang dan menanti sekolah benar-benar sepi untuk melarikan diri.

"Di sana kau rupanya."

Keira tersedak. Dia batuk-batuk sambil berbalik cepat. Di depannya, seorang laki-laki berambut hitam tengah menatapnya sambil sedikit membungkuk, kedua tangan menekan lutut. Mensejajarkan tinggi dengan Keira yang berjongkok. Laki-laki itu mengenakan jaket berwarna biru tua-putih, ada lambang dan nama sekolah di dada kirinya. Dia juga menenteng tas basket merah di pundak kanan.

"Maaf, aku menganggetkanmu, ya." Dia tertawa, suaranya merdu. "Semua orang mencarimu, kapan kau mau keluar dari sana? Pertandingannya sudah selesai."

Keira mengernyit, wajahnya tak asing. "Kau---"

"Takeuchi Hideo? Benar." Hideo mengangguk, sebelah tangan diulurkan untuk membantu Keira berdiri. "Kau mengenalku, kan?"

"Sebenarnya, aku baru tahu tadi." Keira menggeleng, menolak tawarannya dan bangun sendiri. Dia berdeham, masih merasa memalukan. Gadis itu maju satu langkah ke sebelah Hideo, mengintip apakah rekan setimnya ada di dekat sana atau tidak.

"Mereka mencarimu ke seluruh sekolah, lho." Hideo berkata, menatap tangannya yang ditolak mentah-mentah. Dia lalu menegakkan tubuh, membuat Keira menyadari perbedaan tinggi badan mereka. "Kau mau pulang sekarang?"

"Makin cepat aku tidak bertemu yang lainnya, makin bagus." Telunjuk Keira mengarah ke badan Hideo, membuat lingkaran-lingkaran tak kasat mata. "Termasuk kau dan timmu. Jadi, uhhh, ... kalau tidak keberatan, tolong tinggalkan aku sendiri." Keira bahkan tak sadar sudah berapa lama dia bersembunyi, sampai-sampai pertandingan tim putra sudah selesai sekarang. Gadis itu tak mau membayangkan godaan dan ejekan macam apa yang akan diterimanya dari teman-teman yang lain.

Kalau sekarang mereka sedang mencari gadis itu di lingkungan sekolah, maka dia harus cepat-cepat sampai rumah dan membalas pesan yang masuk dengan berkata bahwa perutnya mulas parah sebagai alasan meninggalkan TKP di tengah-tengah acara.

“Kami menang.”

“Hm?” Keira menoleh, kedua alisnya terangkat. “Oh, syukurlah. Selamat.” Senyum lebarnya merekah, gadis itu mengangguk-angguk. “Aku serius, selamat untuk kalian. Interhigh sebentar lagi, jadi ... berjuanglah. Sampai jumpa.”

Belum sempat Keira ambil langkah, Hideo menarik tasnya dan membuat gadis itu mundur.

“Aku antar pulang, ya.”

“Tidak perlu.”

“Itu bukan pertanyaan, kok.”

“Ya, jawabanku tidak perlu. Aku buru-buru, lepaskan.”

“Masa aku membiarkan penggemar tim kami pulang sendiri, setelah apa yang kau lakukan di lapangan tadi. Memberi semangat sekeras itu.” Hideo terkekeh, wajah Keira terasa panas. “Aku antar, ya," bujuknya. “Sudah terlalu sore, sebaiknya ada yang menemanimu pulang, kan?”

“Kenapa kau tidak kembali ke timmu saja?”

“Dan berpura-pura kalau kita tidak pernah ketemu?” Hideo terpejam sambil menggeleng. “Jalan pulang denganmu terdengar lebih bagus. Lagipula aku senior, kau bisa tanya-tanya apa saja dariku. Entah itu masalah sekolah, atau soal basket.” Dia menepuk-nepuk dadanya, bangga. “Atau mau soal yang lain juga boleh.”

“Kita hanya beda setahun,” balas Keira, tajam. “Tidak perlu bersikap seolah-olah senpai sepuluh tahun lebih tua.”

Hideo tersenyum masam. “Apa bicaramu memang selalu kejam begitu?”

“Apa menurutmu yang tadi kejam? Kalau begitu, hatimu terlalu lembut. Kalau aku ada perlu apa pun, aku masih bisa bertanya pada senior yang lain, bukan? Tidak perlu berlagak bahwa senpai satu-satunya orang yang bisa diandalkan.”

Keira menarik tasnya sampai terlepas dari genggaman Hideo, dia kemudian mulai berjalan menjauh sambil sibuk memperhatikan sekitarnya. Memastikan bahwa tidak seorang pun dari klub basket melihat gadis itu melarikan diri. Namun, Keira merasa sedikit tidak enak pada Hideo. Dia berbalik, laki-laki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tanpa dorongan apa pun, Keira kembali mendekati Hideo dan memasang jarak sejauh lima langkah dari model majalah tersebut.

“Bicaraku keterlaluan, ya?” Keira bertanya, meringis pelan dalam hati sebab menyadari perbuatannya barusan. Dia hanya frustrasi karena bertemu Hideo setelah kejadian memalukan tadi, aslinya Keira merasa tidak akan punya muka untuk menampilkan diri di depan siapa pun. Termasuk anggota timnya sendiri. Alih-alih tidak bertemu siapa pun, Hideo malah muncul di depannya.

“Sedikit. Kau tidak perlu sekasar itu untuk menolak seseorang.” Hideo merengut, bibirnya sedikit mengerucut. “Tapi, yah, omonganmu tidak sepenuhnya salah, sih. Ucapanku juga, daripada terdengar menawarkan bantuan malah seperti aku sedang menggodamu.” Laki-laki itu mengusap tengkuknya. “Harusnya, aku tidak memaksa. Kalau kau merasa bisa pulang sendiri, silakan. Hati-hati di jalan, ya. Aku tidak akan bilang siapa pun soal ini.”

Keira mengangguk, dia kemudian membungkuk hormat. “Terima kasih, aku sangat menghargainya dan maaf untuk perkataan yang tadi. Aku tidak bermaksud menyakiti. Sampai jumpa.”

---

Ne, Keira. Kemarin Takeuchi-kun bertemu denganmu, kan? Kalian membicarakan apa? Kok sepertinya kau meminta maaf padanya ... atau berterima kasih?” Aki langsung mengamankan posisi interogasinya dengan melingkarkan lengan di leher Keira. “Pokoknya, pokoknya, kemarin aku melihatmu dan Takeuchi-kun berbicara berdua. Lalu, kau meninggalkannya sendiri. Dia masih menatapmu sampai kau benar-benar tidak kelihatan lagi. Sekilas jadi tampak seperti kau baru saja memutuskan pacarmu atau menolak ajakan kencan.” Gadis itu mencerocos.

Tepat setelah Keira menyelesaikan pemanasan, Aki langsung bergelantungan seperti monyet di tubuhnya. Membuat gadis itu tidak bisa ke mana-mana. Keira tahu dia baru bisa melepaskan diri dari belitan lengan Aki setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang gadis berambut pendek itu lontarkan.

“Omong-omong, semua senpai sudah tahu kau bicara dengan Takeuchi berkat anak ini.” Hara menunjuk Aki, mulutnya menenggak minuman. “Jadi, yah, alasanmu bilang sakit perut dan buru-buru pulang semalam sama sekali tidak berguna.”

Keira merasa sedih, dia tersenyum miris. Malu karena ketahuan sudah berbohong dan malah tampak seperti mencampakkan laki-laki kemarin sore. Semoga saja yang melihat hanya Aki. Dia tidak butuh tambahan omongan buruk dari teman-teman sekelas setelah yang sebelumnya saja masih belum jelas alasannya. Keira bersyukur Kento bersedia membantu mencaritahu asal-usul gosip tersebut.

“Anak-anak kelas satu, jangan hanya diam saja setelah pemanasan," tegur Yasahiro Nori. Mata kelabunya memandang ketiga siswi kelas satu dengan tatapan mengancam. “Teman kalian yang satu lagi saja sudah siap-siap, tapi kalian masih malas-malasan. Ayo, cepat!”

“Siap!”

Ketiganya langsung berlari menuju ruang ganti. Aki bergidik ngeri. “Nori-san, seram. Lebih seram daripada Kapten.”

Setelah berganti seragam dan melakukan sejumlah latihan menembak, screen, dribbling, dunk, dan teknik-teknik lainnya dibantu siswi senior. Juga berkali-kali melakukan pertandingan kecil seperti one-on-one atau three-on-three di bawah pengawasan Kame dan Manajer Risa. Pelatih Akimoto datang sambil membawa setumpuk kertas bersama seorang guru laki-laki yang merupakan pembimbing klub, Shiro Hotaka.

"Tolong bagikan kertasnya, Nori!" pinta Kame dan gadis tertinggi di klub itu mulai mengedarkan kertas yang sudah dicetaknya beberapa saat lalu.

Begitu Keira mendapat selebaran miliknya, dia langsung menyadari bagan apa yang terpampang pada halaman kertas tersebut. Ini adalah babak penyisihan Interhigh. Melihat banyaknya kotak-kotak kecil yang disatukan garis-garis lurus bercabang membuat kepala Keira sedikit pening. Dari dua kertas yang gadis itu dapat, dia berhasil menemukan nama sekolahnya tepat ketika Pelatih Akimoto mengetuk papan tulis.

"Perhatian semuanya. Kalian sudah pernah mendengar penjelasan ini, tetapi akan kukatakan kembali. Pada babak penyisihan, setiap wilayah akan dibagi menjadi empat blok dari blok A sampai D. Setiap pemenang blok akan melaju ke laga final. Pada laga final, hanya tiga tim terkualifikasi yang maju ke Turnamen Interhigh." Pelatih Akimoto itu mencoret-coret papan tulis yang dibawanya.

"Ada lebih dari 300 sekolah, bertanding untuk posisi 3 besar dan maju mewakili masing-masing wilayah."

Keira menggaruk kepala. Ini jauh lebih ketat daripada sewaktu dia SMP.

Yang terpilih tidak sampai satu persennya.

"Sekolah kita selalu maju sampai ke Interhigh, tetapi tidak pernah menjuarainya satu kali pun. Meskipun begitu, terjadi banyak perubahan untuk tahun ini. Baik dari segi latihan, maupun kemampuan kalian. Terutama karena ada penambahan anggota baru yang tidak kalah bagusnya. Jika terus bertahan, kita bisa terus maju sampai masuk laga terakhir dan mewakili prefektur Kanagawa."

"Pada babak penyisihan, satu kali kekalahan berarti selesai. Kesempatan untuk berpartisipasi dalam Interhigh lenyap begitu saja."

Keira menatap ketiga senior tertuanya yang baris bersebelahan, mereka saling pandang sambil tersenyum kecil. Kame, Nana, dan Nori kemudian menatap para adik kelasnya.

"Bagi kami," Kame angkat bicara, "ini akan jadi Interhigh terakhir atau justru tidak sama sekali. Meskipun begitu, kami tetap antusias untuk bertanding bersama para adik kelas. Untuk itu, ayo lakukan yang terbaik!" serunya bersemangat. “Ingatlah, kemenangan kita tahun ini bukan hanya jadi tujuan. Tapi, sebuah keharusan untuk mempertahankan klub.”

Pelatih Akimoto mengangguk. “Besok kalian akan melakukan latih tanding melawan SMA Namori di sekolah mereka. Aku akan mengumumkan pemain starter yang akan menjadi inti pertandingan pada babak penyisihan nanti, setelah latih tandingnya selesai.”

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top