22

Kini seluruh regu telah berkumpul di ruang tamu keluarga Shuichi Nana. Mereka bersimpuh menghadap orang tua Nana. Seorang pria berpakaian sederhana, kemeja cokelat polos dan celana panjang berwarna krem. Sebenarnya Ayah Nana adalah pekerja kantoran, tetapi dia sedang jam istirahat sekarang. Wajahnya tidak terlalu tua, tidak berjanggut ataupun berkumis. Kulitnya berwarna kuning langsat dan sedikit keriput. Nana tampak sangat mirip dengan ayahnya.

Dari ekspresi, Keira menilai bahwa pria ini adalah sosok yang hangat dan tegas. Di sebelah kanan, ada Ibu Nana. Wanita yang kelihatan jauh lebih muda dari suaminya, bahkan bisa dikatakan dia terlalu muda sampai-sampai duduk di sebelah anaknya begini jadi membuat wanita itu terlihat seperti kakak daripada ibu. Ibu Nana adalah ibu rumah tangga yang mengelola bisnis menjahit di rumah. Koleksi hasil jahitannya terpampang rapih, semenjak memasuki ruangan. Semua taplak, tirai, bahkan hiasan-hiasan anyaman tertata rapih sebagai penghias rumah. Wanita tersebut berambut agak panjang dan dikucir sedikit. Sedari tadi, Ibu Nana terus tersenyum.

Di paling kanan, sebelah sang ibu. Nana duduk gelisah, berusaha tampak tegar sambil menatap haru teman-teman, pelatih, dan gurunya yang sudah bersedia datang untuk membicarakan masalah pribadinya ini.

“Sebelumnya, saya sangat berterimakasih karena Anda berdua bersedia meluangkan waktu untuk berbicara dengan kami.” Shiro-sensei berkata. Ketika pria itu sedikit membungkuk, yang lainnya otomatis mengikuti.

“Tidak perlu terlalu kaku, Pak Guru.” Ibu Nana berkata, suaranya sejernih air. Dia tersenyum manis, tampak seperti langit cerah berhiaskan awan. “Kami senang karena Pak Guru dan Bu Pelatih, juga teman-teman Nana sudah mendukung dan menerima Nana selama ini.”

Suaminya mengangguk setuju, ikut tersenyum kecil. “Nana sudah menceritakan dan berbicara pada kami sebelumnya, Pak Guru-Bu Pelatih. Soal masalah yang klub basket ini tengah hadapi.” Ekspresinya berubah keruh, seperti daun musim gugur. “Sungguh sangat disayangkan,” nada suaranya memberat, tidak terlihat dibuat-buat.

“Namun, aku sungguh menginginkan yang terbaik untuk putriku. Seperti kita semua, seperti orang tua dari adik-adik sekalian.” Ayah Nana memandangi para anggota Meisei yang duduk di belakang Shiro-sensei dan Pelatih Akimoto sambil sedikit tersenyum. “Saya khawatir, kegiatan klub ini akan menyita waktu belajar Nana dan membuatnya tidak bisa fokus menghadapi ujian. Nana sudah kelas tiga, saya ingin dia benar-benar memperhatikan masa depannya. UTS baru saja lewat, tidak lama lagi akan ada ujian semester pertama dan tanpa kita sadari, masa penerimaan mahasiswa baru akan hadir.”

Kali ini Pelatih Akimoto yang berbicara. “Saya memang tidak mengenal Nana sebaik orang tuanya, tetapi saya yakin kalau Nana adalah siswi yang sangat cerdas. Setiap tahun ajaran baru, saya rutin memeriksakan nilai-nilai anak didik saya untuk memastikan bahwa mereka tidak ada masalah dalam belajar. Biar bagaimanapun, meskipun saya hanyalah pelatih klub, saya tetap merasa bahwa anak-anak ini adalah anak-anak saya juga. Mereka dititipkan oleh pihak orang tua ke sekolah dan saya adalah bagian dari sekolah. Saya merasa bertanggungjawab pula terhadap nilai mereka.” Pelatih Akimoto sedikit menoleh ke belakang, memandangi anggota klubnya. Dia kembali menghadap depan.

“Dengan mengetahui nilai-nilai mereka di kelas, saya tahu masalah yang mereka hadapi dan dapat mengatur jadwal latihan khusus. Bagi anak-anak yang tidak lulus ujian, ada larangan mengikuti latihan sampai hasil ujian susulannya keluar. Di klub pun, aku meminta anak-anak untuk saling mengajari, demi membangun kebersamaan mereka. Tanpa maksud memberatkan anak-anak di klub dengan menuntut mereka mendapatkan nilai bagus, aku hanya berharap dengan cara ini. Anggapan bahwa kegiatan klub dapat mencederai nilai sekolah menghilang.” Pelatih Akimoto tampak sangat berhati-hati ketika bicara, memilah mana kata yang tepat untuk menyusun kalimatnya. Jarang-jarang, wanita tegas itu kelihatan gugup begini.

“Karena itulah, saya tahu bahwa Nana adalah gadis cerdas. Sepanjang tiga tahun memperhatikannya, dia sama sekali tak pernah mengalami masalah belajar apa pun, bahkan permainannya di klub basket juga bagus. Dia senang membantu rekan-rekan setim dan juniornya. Juga sangat bersemangat dan berusaha keras demi mempertahankan klub ini.”

Keira bisa melihat Nana yang sudah berkaca-kaca karena mendengar pembelaan Pelatih Akimoto.

“Maaf, jika permintaan kami lancang. Tentu saja, saya memahami bahwa orang tua Nana menginginkan yang terbaik. Saya sendiri belum berkeluarga, tetapi anak-anak dan klub ini sudah saya anggap sebagai rumah. Sayangnya, beberapa waktu terakhir, performa kami kurang maksimal. Saya akan menanggung kesalahan itu. Tahun ini, menjadi tahun terakhir kami untuk bisa membuktikan bahwa eksistensi klub basket putri layak untuk diperjuangkan.”

Ada luka yang bisa Keira tangkap dari nada suara dan tatapan Pelatih Akimoto. Bahkan senior-senior yang duduk di depan dan di sebelahnya juga kelihatan berkaca-kaca dan mulai menarik ingus. Memang belum genap setahun Keira bergabung di klub ini, tetapi dia akui bahwa tempat inilah yang lebih dulu menerima keberadaannya di sekolah alih-alih kelas.

Orang tua Nana terlihat menyimak perkataan Pelatih Akimoto dengan baik sambil berpegangan tangan. Mereka terdiam, menunduk, saling menatap, kembali melihat Pelatih Akimoto. Begitu terus selama beberapa waktu.

“Jika Nana keluar ... maka klub ini sudah pasti akan dibubarkan, tetapi bukan karena itu saja ... bahkan jika klub ini akan terus ada, saya tidak ingin Nana keluar dari klub jika bukan karena keinginannya sendiri. Saya sangat menyayangi Nana dan yang lainnya, saya akan memperjuangkan mereka jika perlu. Jadi tolong, bisakah Anda kembali memikirkan ulang soal mengeluarkan Nana?” Pelatih Akimoto kembali membungkuk. Anggota regu yang lain juga mengikuti gerakannya. Mereka semua kembali tegak, selama beberapa saat tidak ada yang bicara.

Shiro-sensei kemudian berkata, “Saya rasa, itulah semua yang Pelatih Akimoto ingin sampaikan. Tentu saja, keputusan terakhir tetap ada di tangan Ayah dan Ibu Nana juga Nana sendiri. Kami tidak bisa memaksa, kami datang kemari untuk berbicara dan menyelesaikan semua ini secara baik-baik.” Suaranya lebih tegas dan tegar, tetapi juga lembut tanpa paksaan.

Ayah Nana mengangguk, dia memberi aba-aba agar Nana yang duduk di sebelah ibunya mendekat. Gadis berhidung kemerahan itu mengangguk, lantas berganti posisi jadi bersimpuh di sebelah sang ayah.

“Nana, apa kau yakin bahwa semua ini tidak akan memberatkanmu? Ujian-ujian yang akan datang, mata pelajaran di sekolah, tanggung jawab di rumah juga kegiatan klub. Apa kau yakin bisa mengimbangi semuanya? Apa kau sudah ada rencana tentang masa depanmu?”

Nana mengangguk. “Iya, Ayah. Aku sama sekali tidak keberatan. Aku sangat bersyukur karena Ayah dan Ibu begitu mendukung selama ini dan membiarkanku mencintai basket. Aku ... aku belum mau berhenti.” Dia menggeleng, suaranya parau dan Nana mulai menangis. “Aku yakin bisa melakukan semuanya, soal masa depan ... aku ingin jadi guru. Aku masih belum yakin, tetapi aku janji untuk tidak mengecewakan Ayah ataupun Ibu.” Gadis itu mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk untuk menatap Ayah dan Ibunya.

Ibunya mengusap mata dan kepala Nana. Dia mengangguk. Membuat gadis itu beserta yang lainnya tercengang dan menahan napas. Nana menoleh pada ayahnya, berharap banyak.

“Nana, Ayah akan memberikanmu izin untuk mengikuti kegiatan klub sampai akhir tahun. Jika nilai ujian semestermu tidak menurun atau lebih baik dari tahun kemarin.”

Nana menangis makin kencang, dia memeluk kedua orang tuanya. Keira tersebut kecil, Aki sudah menangis sejak tadi sementara Fuse dan Hara mati-matian menahan tangis. Para senior kelas tiga tidak menyembunyikan keharuan mereka dan langsung berlari menuju Nana, memeluk gadis itu erat-erat sampai Nana terjatuh ke belakang.

Manajer Risa yang masih agak waras, terpaksa menarik kaki Kame dan Nori agar sedikit bergeser dari depan orang tua Nana. Keempat siswi kelas tiga itu kemudian berpelukan erat sambil menangis di lantai.

“Syukurlah, Nana ... huhuhu.”

Para siswi kelas dua tidak ada yang menangis, mereka hanya memandangi kejadian di depan dengan penuh haru. Samar-samar Keira mendengar Jun bertanya, apakah teman-temannya juga akan mempertahankan gadis itu seperti yang mereka lakukan ke Nana dan Nami mengingatkan Jun kalau dia sudah tidak punya orang tua. Jadi tidak perlu khawatir ada orang yang memintanya hengkang dari klub. Nami juga menambahkan bahwa dia akan menendang bokong Jun kalau sampai berani-beraninya keluar sebelum jadi pemain reguler. Lawakan yang seharusnya tak lucu itu malah menghibur para siswi kelas dua tersebut. Mereka sekarang tertawa, tetapi juga seperti akan menangis di waktu yang sama.

Aki bersandar di bahu kanan Keira. Fuse dan Hara sama-sama tidak mengatakan apa pun, tenggelam dalam benak masing-masing. Shiro-sensei dan Pelatih Akimoto gantian bersalaman dengan orang tua Nana, sementara gadis itu sudah tertawa-tawa bersama teman-teman seangkatannya.

Keira tersenyum kecil, merasa perasaannya begitu campur aduk. Sebentar lagi US, rasanya baru kemarin aku masuk SMA. Gadis itu membantin, prihatin. Sial, kalau nilaiku enggak lulus ujian semester bisa-bisa harus ambil kelas tambahan sepanjang libur musim panas. Keira malah menangis dalam hati.

Tepat malam itu juga, Pelatih Akimoto malah menyampaikan bahwa mereka akan mengadakan summer camp sepanjang libur musim panas bersama sekolah-sekolah lain.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top