19
Selain Kame, Nori, dan Nana. Tentu saja, primadona mereka Yuudai juga mengikuti kategori lomba ini. Remaja laki-laki itu sudah menggulung celana panjangnya sampai ke paha, sementara gadis-gadis teman sekelasnya yang juga merupakan rekan setim Keira mengelilingi Yuudai seperti sebuah benteng manusia. Satu tim beranggotakan pemain basket semua.
Di tim Keira, dia punya Kento, Aiko---si wakil ketua kelas---, Fuse, dan Kiruuhito---laki-laki yang suka jualan di kelas. Mereka pun membuat formasi yang sama, Keira di tengah-tengah. Kento menoleh ke belakang dan berkata, “Jangan khawatirkan kami, kau ambil saja ikat kepala yang lain. Biarpun kami keluar, asalkan primadona bertahan sampai waktunya habis, kita masih bisa menang.” Nilai dari ikat kepala primadona lebih tinggi daripada pemain biasa, jadi keberadaan mereka memang krusial.
Sayangnya, begitu peluit dibunyikan, rencana itu tidak berjalan sesuai rencana. Puluhan orang langsung mendekati lawan terdekat mereka, berusaha menarik ikat kepala. Tentu saja, sang pemilik ikat kepala tidak tinggal diam dan balas menyerang. Keadaan jadi di luar kendali, mustahil untuk mempertahankan kerjasama tim di tengah-tengah orang yang menjaga diri sendiri. Sebenarnya Keira sudah menduga hal ini, mau-tidak mau dia memang harus turun tangan langsung. Teman-teman sekelas tidak mungkin menjaganya sampai permainan usai, kalau ikat kepala mereka terambil.
Keira memasang kuda-kuda, di tengah-tengah padatnya pemain dan lumpur yang menjadi medan tempur dadakan. Gadis itu berencana untuk tetap di tempatnya berdiri sekarang dan menghidar menggunakan sedikit teknik beladiri.
Kan enggak ada aturan yang melarang penggunaan teknik ini, yang penting tadi cuma bisa bertahan. Gadis itu membatin. Lagi pula, sejak awal kategori ini emang banyak main fisik. Dari arah kanan dan kiri dua siswa hendak menyerang bersamaan.
Asalkan tidak melukai atau menyebabkan cedera berat, tidak masalah.
Keira mengambil langkah maju ke sebelah kiri lebih dulu, kakinya menendang pelan mata kaki lawan dan berkat bantuan licinnya lumpur, siswa kelas satu itu bisa jatuh dengan mudah. Dia kemudian melakukan hal yang sama untuk siswa satu lagi. Beberapa siswa yang datang setelahnya bisa dengan mudah dia hindari menggunakan gerakan tangan untuk menahan tangan lawan yang hendak menggapai kepalanya, sedikit bantingan dari lawan satu ke lawan lainnya yang membuat mereka jatuh ke lumpur, dan lain-lain.
Alhasil, banyak siswa yang awalnya menargetkan Keira karena gadis itu hanya diam di tempat berpikir ulang dan berujung ganti target. Jumlah pemain sudah banyak berkurang daripada yang awal, masih ada waktu lima menit sebelum permainan usai.
Keira sudah menggenggam sepuluh ikat kepala dari dua belas atau tiga belas orang yang berhasil dijatuhkannya. Pada kategori ini, tiga peraih ikat kepala terbanyak akan mendapatkan poin sebagai juara satu, dua, dan tiga. Keira memasukkan ikat-ikat kepala yang sudah dia kumpulkan ke dalam saku dan menyadari bahwa lawan berikutnya sudah ada di depan mata.
Yuudai tersenyum miring, membuat Keira merasakan perasaan ganjil dan tidak mengenakkan di sekujur tubuh. Kapten tim basket putra itu memasuki pose bernama zenkutsu dachi, salah satu kuda-kuda dalam bela diri karate.
Keira terbelalak, tentu saja dia tidak berharap hanya dirinya yang bisa melakukan bela diri di sekolah. Hanya saja, melihat Yuudai memasuki posisi seperti itu membuat Keira menyadari bahwa dia sudah pasti akan kalah. Dari kuda-kuda saja, Yuudai kelihatan kokoh sekali.
Gadis itu menggeleng, menolak merasa kalah ketika belum melakukan apa pun. Perebutan ikat kepala antar primadona kelas dua dan tiga itu jadi mirip atraksi bela diri gaya bebas. Sesekali mereka saling tangkis serangan tangan, tetapi tidak jarang memasukkan gerakan tambahan demi meraih ikat kepala yang melingkari kening lawan. Saat awal pertandingan, Keira pikir lawan terberatnya nanti adalah senior-seniornya dari klub basket. Tidak disangka, dia malah berhadapan dengan kapten tim putra.
Tangan Yuudai lurus ke atas, membuat Keira terpaksa mendongak untuk menghindar. Ketika senior kelas tiga itu menurunkan tangan, Keira menahannya dengan kedua lengan membentuk huruf X. Sepertinya mereka berdua jadi bahan tontonan seru karena pembawa acara tampak bersemangat mengomentari.
Saat Keira mulai hilang keseimbangan dan nyaris terpeleset, dia dibuat terkejut oleh ikat kepala Yuudai yang terlepas. Sontak kapten tim putra itu menoleh ke belakang, mendapati Hideo memegangi ikat kepala birunya.
Hideo tertawa. “Kau terlalu fokus pada satu lawan sampai tidak menyadari aku yang mendekat.” Laki-laki itu dijitak Yuudai karena dianggap kurang ajar.
“Sialan, kau! Berani-beraninya mengambil ikat kepala milik kaptenmu sendiri. Awas saja nanti.” Yuudai mencak-mencak, sementara Hideo hanya bisa pasrah diomeli begitu. Keira merasa lega karena ini berarti dia aman.
Peluit tanda pertandingan selesai berbunyi. Kelas 3-1 yang terkenal paling atletik gagal mendapatkan poin mereka pada kategori ini.
“Apa aku harus berterima kasih atau tidak?” tanya Keira saat dia dan Hideo berjalan bersama menuju tenda kelas masing-masing. Walau berbeda angkatan, letaknya masih searah.
Hideo terkekeh sambil mengusap tengkuknya. “Kau harus ganti baju,” balas laki-laki itu sambil menunjuk pakaian Keira yang memang sudah berubah warna dari biru ke cokelat, apalagi celana pendeknya.
Saat sampai di tenda 1-4, teman-teman sekelas menyoraki keberhasilan Keira meraih posisi kedua. Gadis itu bahkan menerima pinjaman baju olahraga dari teman perempuannya yang lain untuk mengikuti pertandingan berikutnya, anak laki-laki memuji teknik yang Keira gunakan saat menghindari lawan.
“Ini bajuku. Aku belum ikut pertandingan sama sekali, jadi bajunya belum bau keringat. Aku akan pakai bajumu, Hanazawa-san. Kau berjuanglah, ya!”
“Minum dulu.”
“Kakimu ada yang luka? Mau dipijat tidak?”
“Hei! Ambilkan kursi!”
“Mau makan?”
Itu kali pertama Keira merasa benar-benar diterima dalam kelasnya.
---
Sebenarnya baju pemberian teman Keira sedikit sempit. Gadis itu baru ingat bahwa tubuhnya yang paling tinggi dibandingkan gadis-gadis lain, tetapi dia tidak enak mau mengaku. Dia malah kepikiran karena pasti seragamnya juga terlalu besar untuk gadis itu.
“Hanazawa-san, ini pakai jaketku saja.” Kento menghampiri Keira dan menyampirkan jaketnya ke bahu gadis itu.
Keira menerima jaket pemberian Kento dan berterima kasih. Dia memang merasa sedikit tak nyaman dengan atasannya. “Bajuku bagaimana, ya? Apa tidak masalah? Aku pakai seragamku sendiri saja juga tidak apa-apa sebenarnya, nanti kan memang bakalan lebih kotor lagi. Kalau dia mau bertanding tapi bajunya kebesaran, malah tidak enak.”
“Jangan khawatirkan itu. Biarkan yang lain mengurusnya, oke? Kau sudah berusaha keras, jadi setidaknya harus tampil bagus sampai selesai. Seragammu lagi dicuci cepat oleh anak-anak perempuan yang lain dan mau dijemur, berhubungan panas begini.” Kento menyipit sambil mendongak sebentar. “Jadi palingan nanti, saat acara lomba terakhir, kau sudah bisa pakai seragam sendiri.”
Keira tidak sangka teman-temannya bersedia melakukan itu, dia merasa hatinya seperti meleleh di dalam. Perasaan asing yang menyenangkan. Gadis itu tersenyum, membuat Kento ikut tersenyum.
“Syukurlah, ya.” Mereka berucap bersamaan.
Pertandingan selanjutnya adalah lomba memasukkan bola ke dalam keranjang, lomba menggelindingkan bola raksasa di lintasan lari, lomba gebuk chanbara, dan yang terakhir adalah estafet antarkelas.
“Hanazawa-san, bajumu sudah kering dan disetrika. Ayo, ganti dulu. Cepat-cepat!” Aiko berseru sambil menarik tangan Keira yang baru kembali dari lomba gebuk chanbara. Ada jeda sepuluh menit sebelum lomba final. Beberapa siswi tampak membawa seragam Keira yang telah dilipat rapih.
“He? Dari mana kalian mendapatkan setrikaan?” Keira berseru terkejut.
Aiko tersenyum miring. “Dari ruang klub jahit,” balasnya enteng sambil mengacungkan jempol.
Tak lama, Keira sudah bersiap dengan pakaian wangi dan tanpa garis lekuk sedikit pun. Teman-temannya menyoraki selagi gadis itu berjalan menuju titik keempat sebagai pelari terakhir yang akan meluncur menuju gadis finish.
Secara keseluruhan, estafet antarkelas hampir sama dengan kategori yang kedua, yakni estafet halang-rintang. Perbedaannya terletak pada tidak adanya halang-rintang dalam kategori lomba ini dan jarak lintasan yang lebih panjang. Setiap kelas mengirimkan empat perwakilan dan kelas yang juara satu akan mendapatkan 1.000 poin. Kemenangan mutlak.
“Wah, baju baru.” Hideo menggoda, dia mendapatkan barisan di sebelah Keira sebagai perwakilan kelas 2-2. "Kau punya teman-teman yang baik, ya.”
Keira menoleh dan tersenyum malu. Dia mengangguk singkat. Begitu tanda bahwa perlombaan dimulai, semua pelari memasuki posisi siaga sementara pelari pertama mulai berlomba sembari membawa tongkat estafet.
Keira dan Hideo mendapatkan tongkat mereka bersamaan dan keduanya berlari menuju garis akhir diiringi teriakan-teriakan penyemangat dari rekan-rekan sekelas. Keduanya saling lirik sebentar, seolah menilai kekuatan lawan sebelum kemudian kembali fokus pada lintasan. Sayangnya, di tikungan, Keira tergelincir dan badannya jatuh terguling melewati lintasan pemain lain. Hideo yang melihatnya tampak kasihan, tetapi tidak berhenti berlari.
Keira merasa badannya sedikit ngilu. Jujur saja, dia memang agak capek karena harus mengikuti semua kategori tanpa pengganti sejak pagi.
“HANAZAWA-SAN, BERJUANGLAH!”
“BERJUANGLAH! KAU PASTI BISA!”
“TUAN PUTRI!”
Mendengar sorakan teman-temannya, Keira menekan tanah dengan tangan dan kembali berdiri. Dia sedikit limbung, gadis itu menggeleng sebentar untuk meraih kesadarannya sambil mengelus selempang primadonanya. Dia mengambil tongkat estafet yang terjatuh lantas langsung berlari mengejar ketertinggalan.
“Wah, primadona kelas 1-4 sudah melewati empat pemain lain! Dia benar-benar bangkit dari jatuhnya! Sekarang persaingan tipis antara perwakilan 1-4 dan 2-2 terjadi, siapakah yang akan menang?” Mujioka-sensei berseru senang bercampur bangga.
Keira mempercepat larinya sampai kini dia bisa sejajar dengan Hideo. Namun, mendekati garis akhir, Hideo melebarkan langkah dan memutus pita garis finish lebih dulu.
Kedua pemenang utama itu terengah-engah, mereka tidak sangka akan kehabisan napas hanya karena berlari seperti itu. Namun, Keira akui dia memang berusaha keras untuk mengejar Hideo tadi. Gadis itu membungkuk sambil menekan lutut, dadanya naik-turun tak karuan.
“Keira, kau memang benar-benar hebat, ya.” Hideo memuji, ikut membungkuk di depan gadis itu sambil menatap wajah Keira yang tidak estetik karena kecapekan.
Belum sempat Keira membalas ucapan Hideo, dia sudah diserbu teman-temannya yang khawatir. Mereka menanyakan kakinya yang luka atau apa yang dia butuhkan, bahkan ada yang berniat mencuci seragamnya lagi. Teman-teman sekelasnya lebih peduli pada kesehatan Keira daripada kemenangan gadis itu. Kelas 1-4 meraih juara kedua umum, di bawah kelas 2-1. Meskipun kelasnya tidak berhasil mendapatkan hadiah utama, Keira tahu hal apa yang paling penting dari itu.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top