Part 8 - The sweet revenge

Voting terbanyak ada pada Daddy 💜
Siap2, yah!
Kita liat apa yang bisa didapetin Tian saat mencoba berulah ke Miranda.

Happy Reading 💜


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


1. Patrick Lee
2. Wayne Joseph Setiawan
3. Purnawan Setyadi
4. Christian Haydenchandra
5. Jusuf Sutopo
6. Jonah Lukito
7. Nathanael Hadiwijaya
8. Asril Salim
9. Thomas Wirawan
10. Reinold Sutedja
11. Adrian Raymond
12. Brandon Ong
13. William James Setyadi
14. Alvin Wirando
15. Lee Gunawan
16. Sapto Manopo
17. Alwin Mananta
18. Dylan Winata
19. Felix Herbowo
20. Willbert Aldwin

Miranda membaca daftar 20 besar untuk pengusaha tersukses dari dokumen yang baru saja diberikan asistennya. Dia berusaha untuk mengalihkan kekesalannya dengan mencari profil lain, selain pria sialan yang sudah membuatnya begitu murka selama berada di Jakarta. Mudah saja untuk mencari profil, karena Miranda hanya tinggal meminta Nathan, sepupu dari Audrey untuk wawancara. Akan tetapi, Miranda merasa perlu berusaha terlebih dahulu, daripada mengambil jalan pintas seperti itu.

Alih-alih melihat daftar teratas, Miranda justru merasa tertarik dengan nomor terakhir, yaitu Willbert Aldwin. Seorang pengusaha muda yang sukses di Jakarta, juga di Singapore. Sayangnya, pengusaha itu lebih sering berada di Singapore, dan akan di Jakarta di akhir bulan, yang berarti Miranda harus mencoret nama itu sebagai profilnya.

Lalu ada Dylan Winata, pengusaha yang menjalani perusahaan waralaba dalam menjadi master franchise untuk beberapa restoran ternama dari luar negeri. Miranda sudah menghubungi langsung sang CEO, tapi sayangnya, beliau tidak berada di dalam negeri, sehingga menunjuk principle dari USA, yang kebetulan berkunjung ke Jakarta, bersama seorang direktur utama untuk melakukan wawancara. It's better than nothing, pikir Miranda.

Justru bisa bertemu dengan principle, itu adalah hal terbaik yang bisa didapati Miranda karena sangat jarang memiliki kesempatan seperti itu. Wawancara akan dilakukan sekitar jam 2 siang, dan Miranda masih memiliki banyak waktu untuk menyiapkan dokumen yang dibutuhkan.

Hari yang cukup sibuk, sehingga membuat Miranda tenggelam dalam pekerjaannya. Bahkan, ketika ponselnya berbunyi, Miranda tidak melihat siapa yang menelepon, dan langsung mengangkatnya begitu saja.

"Halo."

"Turun ke lobby, dan temuin aku sekarang juga!"

Suara berat bernada perintah itu, membuat Miranda tersentak dan langsung beranjak dari kursi karena kaget. Mengerjap cemas, lalu melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Shit! Itu Christian.

"Aku udah bilang untuk jangan...,"

"Kamu bisa mulai dengan pertanyaan pertama kamu!" sela Christian tidak mau tahu.

"Untuk apa? Kamu udah nggak diperlukan untuk...,"

"Turun sekarang, atau aku yang akan naik ke atas!"

Klik! Telepon dimatikan dan Miranda menggeram kesal. Mau apa lagi sekarang? umpat Miranda gerah, sambil memasukkan ponsel ke dalam tas, beserta barang-barangnya yang lain. Tidak menginginkan adanya keributan di situ, Miranda memilih untuk segera turun dan mengusir Christian.

"Saya ada urusan! Kalau ada yang penting, langsung telepon saya!" seru Miranda sambil melewati Winda, tanpa memberinya kesempatan untuk bertanya.

Miranda segera turun menuju ke lobby, dan mendapati Christian sedang menunggu di depan, sambil bersandar di mobil sport-nya. Tentu saja, pria itu selalu tampil dengan rupawan, sehingga membuat siapapun yang melewatinya pasti akan menoleh dan berdecak kagum di sana. Tapi itu terlihat menyakitkan di mata Miranda sekarang, dan bisa melihat sorot mata tajam pria itu dari balik aviator yang dikenakannya.

"Puas?" desis Miranda begitu sudah tiba di hadapan Christian. Terlihat begitu sinis dan geram, seolah ingin memuntahkan amarahnya di saat itu juga. "Mau apa kamu sekarang? Aku udah bilang kalau kamu nggak dipake lagi buat jadi profile!"

Christian memberi senyum setengah yang sinis. "No thank you, or any kind of shit greetings?"

"Why do I have to thank you?" balas Miranda ketus.

Membuka pintu mobil depan, Christian menatap Miranda dengan tengil. "Get in the car!"

"No!" tolak Miranda mentah-mentah.

"No?" tanya Christian dengan ekspresinya yang menyebalkan.

"Definitely no!" jawab Miranda tegas.

Christian kembali tersenyum sinis, kali ini bertolak pinggang, terkesan menantang. "Kalau aku jadi kamu, mendingan masuk ke dalam mobil sekarang. Aku bisa nekat dan bikin kamu nangis darah di sini, kalau kamu masih keras kepala kayak gitu, lho."

Damn! Melihat ekspresi Christian yang begitu dingin dan serius, membuat Miranda menghentakkan kaki untuk melampiaskan kekesalan, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil itu. BRAK! Pintu ditutup dengan begitu kencang, hingga membuatnya melonjak kaget. Kemudian, Christian masuk dan duduk di bangku kemudi, lalu... BRAK! Pintu kembali ditutup dengan kencang.

"Nggak bisa pelan-pelan tutup pintunya?!" desis Miranda kesal.

"Ssshhh, nggak usah nanya yang nggak penting," balas Christian songong, sambil menyalakan mesin dan melajukan kemudinya.

"Aku tuh heran banget yah, bisa ada orang yang kepedean kayak kamu. Udah nggak dibutuhin, masih aja maksa! Nggak usah ngerasa penting!" ucap Miranda sinis.

"Aku? Maksain diri? Crap! Sebelum kamu ngebacot, ada baiknya cek kerjaan anak buah kamu, yang masih aja hubungin aku sampe sekarang. Aku justru mikirnya Chief Editor-nya yang terlalu sombong untuk ngakuin kalau masih butuh," sahut Christian nyolot.

"Bohong!" bantah Miranda sambil menatap Christian dengan tatapan tidak percaya. "Nggak usah ngarang, karena...,"

"Excuse me, Ma'am! Kalau mau nuduh orang, liat-liat dulu!" sela Christian sengit, lalu melirik tajam pada Miranda. "Jadi orang tetep aja nggak berubah. Tetep muna dan selalu nuduh orang sembarangan!"

"Aku nggak pernah muna dan nuduh sembarangan! Justru kamu yang ngerasa paling bener, dan suka hina-hina orang tanpa alasan!" balas Miranda tidak mau kalah.

Sambil menyeringai sinis, Christian melepaskan aviator-nya, dan menatap Miranda dengan tatapan mengejek. "Jangan pancing emosi sama orang yang nggak suka sama kamu."

"Dan jangan cari masalah sama orang yang nggak mau liat muka kamu!"

"Really? Biar kayak gini, ada yang dulunya cinta mati lho sama aku. Malah pake nggak tahu diri, udah ditolak masih aja tawarin diri. Malah, aku dapet jackpot, lho!"

Miranda bergidik jijik, lalu membuang muka. Menatap kesal jalanan ibukota yang selalu macet dan membuat laju kendaraan melambat seperti ini. "Kamu bener-bener cowok paling nggak tahu malu, dan nggak pernah ngalah sama perempuan!"

"Udah nggak zaman kalau cowok kudu ngalah sama perempuan! Katanya emansipasi!"

"Nggak ada urusannya sama aku, karena bukan aku yang ngomong soal emansipasi!"

Hening. Keduanya sama-sama menghela napas dengan lelah. Sudah tujuh tahun tidak bertemu, tapi tetap tidak ada hal yang berubah di antara mereka. Dimulai dari pertemuan pertama, hingga sekarang, emosi Miranda menjadi naik turun tidak karuan. Tidak percaya dengan dirinya yang pernah menyukai pria sialan itu, dan merutuk dirinya sendiri karena sudah melakukan kesalahan dalam memilihnya sebagai cinta pertamanya. Shit!

Miranda masih terdiam sambil melakukan kebiasaan yang tidak bisa hilang sejak dulu, yang akan memainkan cincin yang dikenakannya, jika sedang melamun atau kalut. Hal itu menarik perhatian Christian yang tidak sengaja melihat sebuah cincin tersemat di jari manisnya.

"Ciyeee, yang udah jadi bini orang," ejek Christian dengan nada melecehkan. "Ada yang mau juga sama cewek barbar kayak kamu? Kayaknya perlu banget titip salam buat siapapun yang jadi suami, kalau kemarin bininya dapet salam tempel dari cowok lain."

Miranda memejamkan mata sambil menahan diri untuk tidak mengeluarkan umpatan kasar. Entah apa yang diinginkan pria sialan itu, sampai harus datang ke kantornya, dan membawanya pergi sekarang. Dia berusaha keras untuk tidak terpancing emosi, dengan terus menatap jalan sialan yang masih saja merambat pelan.

"Nggak bisa jawab karena udah zina, atau karena ketauan main serong sama aku?" kembali Christian mengejek.

Miranda mendelik tajam padanya. "Mau tahu aja? Atau mau tahu banget? Lagian juga, itu hal yang biasa, kan? Childish banget sampe ngungkit-ngungkit hal yang nggak penting, atau jangan-jangan kamu baru pernah ngerasain puas, karena baru dapetin barang enak kayak aku?"

Balasan Miranda sukses membuat Christian meradang. Tampak sekali jika tidak terima kekalahan di sana. Tidak ada cara lain untuk melawannya, selain membalas dengan sindiran atau hinaan lebih kejam dari bajingan itu. Sebab, Miranda merasa tidak perlu terus diam, atau Christian akan bersikap seenaknya.

"Nggak kebalik? Bisa jadi, punya suami kamu nggak gitu memuaskan, sampe kamu harus senikmat itu. Untuk ukuran bini orang, kamu termasuk sempit. Terbukti kalau dia nggak sebesar itu." Seperti tidak ingin kalah, Christian semakin bernafsu dalam melempar ejekan.

Miranda hanya tersenyum kecut. "Atau bisa jadi, mungkin kamu yang nggak seberapa besar karena harus mengakui aku senikmat itu. Good to know that I'm that tight, Asshole."

Christian terlihat tidak senang dan seperti bergumam sendiri di sana. Tidak tahu apa yang sedang diucapkan, tapi jika dilihat dari ekspresi dan nada suara, dia seperti sedang merutuk dirinya sendiri. Entahlah. Miranda tidak ingin melihatnya lebih lama, selain merasakan gejolak rasa nyeri yang kembali menjalar di dadanya.

Sisa perjalanan itu dihabiskan dengan keheningan, dan tiba pada satu restoran yang cukup ramai pengunjung. Berjalan bersama tapi tidak berdampingan, sebab Miranda lebih memilih berada di posisi selisih satu langkah dari Christian, atau tepat di belakang pria itu.

Seperti sudah sering mengunjungi restoran itu, Christian langsung memberi kode tangan pada pelayan yang seperti sudah kenal padanya, lalu segera mengarahkan jalan untuk menuju ke sebuah ruang private dengan satu meja dan dua kursi di sana. What a bullshit, batin Miranda geram.

"Fancy thing, huh?" sindir Miranda.

Christian menoleh padanya dengan alis terangkat setengah. "Don't expect too much, Darling. This is not a romantic lunch."

Miranda tidak bisa menahan diri untuk terkekeh geli mendengar ucapan Christian yang begitu percaya diri. Sebaliknya, Miranda bisa membaca niat terselubung dari pria yang mungkin merasa bersalah, dan berpikir dirinya akan luluh dengan ajakan makan siang di restoran mahal, lalu melupakan apa yang sudah pernah diperbuatnya.

"Apa niat kamu sebenarnya?" tembak Miranda tanpa basa basi, ketika mereka sudah duduk berhadapan.

Christian hanya memutar bola mata dan memusatkan perhatian pada buku menu yang sudah diberikan pelayan, yang masih berdiri di sisi meja, untuk mencatat pesanannya.

"Apa kamu masih suka Salmon Steak? Di sini, Salmon-nya cukup enak dan recommended," tanya Christian tanpa sekalipun menoleh ke arahnya.

Miranda menghela napas dan menatap Christian kesal. "Aku alergi seafood!"

Christian melebarkan matanya dan melebarkan sebuah senyuman, lalu menoleh pada pelayan. "Salmon Steak 1 porsi, dan pesanan saya yang kayak biasa. Thanks."

"Hey, aku alergi!" seru Miranda, berusaha menahan pelayan, tapi Christian segera menyuruh pelayan untuk berlalu dari ruangan itu.

"Gokil banget, kan, aku? Ingatan aku cukup oke karena masih inget apa makanan kesukaan kamu," ucap Christian sambil menyeringai licik.

"Aku. Alergi!" tukas Miranda dengan penuh penekanan.

Seringaian Christian semakin melebar. "Aku tahu. Makanya sengaja pesenin makanan itu, biar kamu cepet sembuh."

Miranda memejamkan matanya sambil mengumpat dalam hati. Dia menggelengkan kepala, lalu membuka mata untuk menatap Christian dengan tajam. "Mau kamu apa, Christian?"

Sambil menyilangkan kaki, Christian tampak begitu menikmati ekspresi kesal yang ditampilkan Miranda. "Staff kamu butuh aku jadi profil utama, jadi aku kasih kesempatan untuk kamu wawancara. Anggap aja, ini balas budi karena kamu udah kasih pembayaran di muka."

Jika ada segelas air di meja itu, sudah pasti Miranda akan menyiram wajah sialan itu sekarang. Berusaha untuk menahan diri dengan mengepalkan kedua tangan, Miranda masih menatapnya dengan sorot mata yang semakin menghunus tajam.

"I know you, Christian. Kamu nggak akan jadi orang yang tahu diri kayak gini," ucap Miranda dengan mata menyipit curiga.

Saat ini, ekspresi Christian berubah menjadi busuk. Kebencian ada dalam sorot mata itu, serta menahan diri untuk tidak mengumpat lewat rahang yang mengetat. Miranda tahu jika Christian hanya sengaja dan terus memancingnya, tapi dia tidak menginginkan permainan yang ditawarkannya.

"Daripada kebanyakan ngebacot yang nggak perlu, mending kamu kasih pertanyaan yang mau kamu tanyain ke aku. See? This is exclusive interview from me, and just for you," ujar Christian sambil menyilangkan tangan dan menatap Miranda dengan angkuh.

Alis Miranda berkerut heran. Meski demikian, dia mulai membuka tas untuk mengambil buku agenda dan ponsel, segera bersiap melakukan wawancara. Menghela napas lelah, Miranda menyibakkan rambutnya dengan gusar, dan tampak tidak nyaman dengan situasi saat ini. Masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, Miranda tidak menyadari jika sedaritadi Christian mengawasi gerakannya.

"Udah siap?" tanya Miranda sambil mendongak, dan keduanya bertemu dalam tatapan yang membuat rasa nyeri dalam dada semakin menusuk.

Berusaha untuk menguatkan diri sedaritadi, nyatanya Miranda tidak cukup kuat untuk menerima sorot mata tajam dari Christian. Seperti mengerti situasi yang terasa mencekam bagi Miranda, Christian memutus tatapan itu dengan berdecak pelan, lalu bersikap acuh tak acuh.

"Silakan," jawabnya kemudian.

Miranda menyalakan perekam suara di ponsel, dan menaruhnya di tengah meja, lalu memusatkan perhatian pada poin-poin pertanyaan yang memang sudah disiapkan oleh staff-nya untuk mewawancarai manusia tersombong yang ada di hadapannya.

"Dengan keluarga yang memiliki usaha di jalur ekspor import, kenapa Anda memilih jalur entertainment?" tanya Miranda, lalu menatap Christian kemudian.

Christian tampak terlihat jenuh dan mendengus tidak suka dengan pertanyaan yang dilemparkan Miranda barusan. "Kenapa nggak? Bisnis itu luas, dan nggak ada ketentuan yang bisa membatasi kesuksesan seseorang lewat jalur apa pun, kalau dia punya niat untuk usaha. Naluri bisnis orang itu beda-beda."

Miranda menatap Christian sambil menggelengkan kepala dengan jawabannya yang tidak enak untuk didengar. Jika wawancara ini berhasil, sudah pasti dia harus merangkai kata-kata EYD yang tidak akan mungkin keluar dari mulut Christian, apalagi nada sinisnya yang sama sekali tidak diperlukan.

"Dengan kata lain, Anda tidak minat untuk melanjutkan usaha keluarga, sementara Anda adalah sala satu ahli warisnya?" tanya Miranda lagi.

"Nggak ada hubungannya antara jadi ahli waris dengan jalanin bisnis sendiri," jawab Christian tanpa ekspresi, lalu menyeringai licik di sana. "Terus, kayaknya aku lupa untuk kasih tahu kamu tentang satu hal."

Alis Miranda berkerut bingung. "Apa?"

"Kalau kamu cuma boleh kasih satu pertanyaan di pertemuan kali ini. Nggak lebih," jawab Christian dengan ekspresi tak berdosa.

"Damn you, Bastard!" desis Miranda geram.

"Mind your language, Bitch. At least, I gave you one answer already," balas Christian dalam sorot mata yang begitu dingin di sana.

Tidak ada yang bisa dilakukan Miranda, selain mengumpulkan seluruh barang-barangnya ke dalam tas, dan beranjak dari sana tanpa perlu menoleh ke belakang. Marah, lelah, kesal, semua bercampur menjadi satu. Dia bersumpah akan membuktikan kemampuannya dengan menaikkan rating majalah itu, tanpa profil pria sialan yang terdengar sedang terkekeh di sana.

Saat baru melangkah beberapa langkah, di situ dia berpapasan dengan seorang pelayan yang sedang membawa pesanan untuk diantar. Sebuah ide terlintas dan spontan membuatnya menyeringai licik. Dengan cepat, dia mengambil satu pitcher berisi minuman sari buah, lalu berbalik untuk kembali ke meja itu, dimana Christian masih terkekeh dan menatapnya remeh.

Tanpa ragu, Miranda menumpahkan isi pitcher itu tepat di atas kepala Christian tanpa sisa, hingga membuat pria itu tersentak dan segera beranjak dari kursi.

"Kamu...,"

"Aku juga lupa kasih tahu kamu, kalau daritadi aku kepengen siram muka kamu, bukan interview," ucap Miranda sambil tersenyum manis dan menaruh pitcher kosong di atas meja, lalu berbalik untuk berlalu pergi sambil menyeringai puas, dan tertawa terbahak-bahak.

Miranda bersumpah jika itu adalah pertama kalinya, dia bisa tertawa selepas itu, dengan kelegaan yang menyeruak dalam dada.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Pernah sirem cowok kampret kayak gitu?
Aku pernah 😊
Waktu itu pake Fanta, dong.
Terus, beliau pake baju putih.

Tahu kenapa aku sirem?
Karena dia masih gak mau diputusin, padahal udah ketauan selingkuh.
Yauda, biar bisa mikir, tak sirem aja kepalanya pake Fanta. Biar segeran 🤣

20.02.2020 (20.53 PM)

P.S.
Untuk nama pengusaha muda di no : 17,18, dan 20 : sebenarnya aku ada cerita series untuk mereka bertiga 🤣
Tapi gak pernah aku update, karena sumpah itu alay banget.
Yg namanya Willbert, itu yang paling oke. 11 12 sama Christian lha 😛

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top