Part. 7 - Make things right

Emang susah yah jadi bajingan,
Dikeselin iya, dimaki iya, tapi ditunggu.
Aku maklum aja, karena kayak kamu.
Sebab, di dunia orange ini, makin bajingan, makin disukai.
Gak bisa benci aku tuh 🙈



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Napas Christian memburu dan dadanya terasa terbakar, dan itulah yang dibutuhkannya saat ini, untuk penyegaran fisik dan mentalnya. Pikirannya melayang pada pergulatannya dengan Miranda, dan ciuman terakhirnya. Brengsek, makinya dalam hati. Seharusnya, dia tidak perlu mengingat wanita sialan itu, dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti.

Mengabaikan ingatan di kepala, Christian menaikkan volume di Ipod, dan menaikkan sudut tanjakan treadmill, lalu berlari sampai kehabisan napas. Bahkan, dia tidak peduli dengan keringat yang sudah mengalir deras, dan rasa nyeri yang timbul dari dada, setiap kali menarik napas.

Tak lama kemudian, treadmill itu melambat, dan Christian langsung mendesis ke samping kanannya, mendapati Wayne yang sedang menurunkan kecepatan treadmill-nya, sambil menatapnya dengan ekspresi ngeri.

"What?" teriak Christian parau, sambil mencabut earphone dari telinganya dengan kasar.

"Gila atau sinting lu? Kalo mau mati, juga nggak kayak gini caranya," desis Wayne galak.

Christian hanya mendengus, lalu turun dari treadmill, dan berjalan ke sudut gym untuk duduk sambil menyeka keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.

"Do you have any fucking problem, Man?" tanya Wayne sambil menyodorkan sebotol air mineral padanya.

Christian langsung menerimanya dan membuka tutup botolnya. "Nggak!"

Mengabaikan tatapan Wayne yang tampak menilainya dengan seksama, Christian meneguk air mineral itu dengan cepat, dan menandaskannya. Dia mendesah panjang, lalu kembali bernapas dengan terengah. Sudah cukup lelah dalam melatih bentuk tubuh selama dua jam bersama dengan Wayne hari ini.

"Lu nggak bakalan sekacau ini kalo nggak ada masalah, Tian," komentar Wayne dengan kalem.

Wayne mengambil duduk di samping Christian, lalu menyeka keringat, dan sama-sama terdiam untuk beristirahat. Berada di sport club yang terletak di dalam perumahan Wayne, mereka berdua menghabiskan waktu sore di gym atas permintaan Christian yang mendadak.

"Darimana lu tahu kalo gue lagi kacau?" tanya Christian akhirnya. Menyerah karena terus diberi tatapan yang mengintimidasi dari temannya yang satu itu.

Entah memiliki cenayang atau tidak, yang pasti, Wayne selalu pandai dalam membaca situasi dan kondisi para temannya. Sudah pasti, dia akan meluangkan waktu untuk sekedar bertemu dan berbincang.

"Ini tuh hari Rabu, dan masih jam 4 sore. Lu nggak mungkin telepon gue buat nge-gym, kalo nggak ada niat buat cerita. Lagian juga, hari ini tuh jadwal sama model baru lu yang namanya Saphira. Gue aja sampe inget jadwal cewek lu, masa iya, lu bisa lupa dan lebih milih mangkir buat nge-gym? Nggak mungkin banget," jawab Wayne menjelaskan.

Christian hanya tersenyum kecut dan enggan untuk membalas, karena Wayne pasti akan mudah membacanya begitu saja, lewat dari ekspresinya saat ini. Sebagai sosok yang paling cinta damai, Wayne memang selalu menjadi penengah dalam persahabatan mereka.

"Ditambah lagi, aksi gila-gilaan lu ini, nggak kayak biasanya. Udah lama banget nggak liat lu kayak gini. Terakhir adalah waktu denger bokap lu mau kawin lagi," tambah Wayne santai.

Christian menghela napas sambil mengusap kepalanya dengan handuk. Sejak bertemu dengan Miranda tiga hari yang lalu, dia menjadi lebih kacau. Dirinya seolah ditarik kembali pada masa lalu yang ingin dilupakannya, sampai tidak bisa tidur nyenyak dan memenuhi kepalanya dengan berbagai hal yang menjengkelkan. Sial! Tuh cewek emang perusak hidup gue, batinnya kesal.

"Gue ketemu cewek," ucap Christian akhirnya, dan Wayne langsung mendesah malas.

"Tapi ini bukan cewek biasa yang gue mainin, Wayne," buru-buru Christian memberi klarifikasi, sebelum Wayne berasumsi yang bukan-bukan.

"Terus?" tanya Wayne datar, seolah tidak tertarik dengan apa yang akan disampaikan Christian.

"Dia perusak hidup gue," jawab Christian ketus.

Alis Wayne berkerut bingung. "Really? Siapa? Wonder woman? Captain Marvel? Atau...,"

"Seriusan deh, Wayne. Lu nawarin diri buat dengerin curhat gue, tapi malah ngejulid gitu, sih?" sela Christian dengan ekspresi tidak senang.

Wayne hanya tertawa pelan. "Gue juga serius, Tian. Sejak kapan lu bisa dirusak sama cewek? Yang ada, lu yang ngerusak cewek mulu."

"Terserah, deh," celetuk Christian ketus.

"Okay, sorry, gue bercanda. Jadi, cewek ini siapa? Kenapa dia bisa ngerusak dan bikin lu kayak gini?" balas Wayne sambil memasang ekspresi serius, dan mengubah posisi duduk untuk menghadap Christian.

"Cewek itu brengsek, Wayne!" sahut Christian dingin. "Sumpah, gue bisa benci sama cewek, gara-gara dia. I mean, liat muka dia bikin gue... shit!"

"Bikin lu sange?" tembak Wayne telak, dan itu membuat Christian meradang.

"Nggak ada pertanyaan yang lebih berbobot?" balas Christian judes.

Wayne mengangkat bahu. "Dari semua yang lu punya, keliatan berkelas. Tapi soal nafsu, itu murahan. Sorry not sorry, Man. Gue sebagai temen baik, cuma bisa jujur dan ngomong apa adanya, biar lu sadar. Tapi kalo lu tersinggung dan nggak terima, yah udah. Gue emang gini orangnya, nggak bisa ngomongin orang di belakang."

"Gue nggak tersinggung dan bukannya nggak terima, tapi senggaknya, mikir-mikir dulu timing-nya ngepas atau nggak buat bahas kayak gitu di saat orang lagi serius," sahut Christian sengit.

"Nah, kesel kan lu kalo digituin? Lagi serius, tapi nyeletuk yang nggak nyambung. Itu tuh yang dirasain sama Nathan dan Adrian sama lu."

"Perlu banget lu kasih karma di saat gue lagi begini?"

"Yah nggak sih, gue cuma spontan aja. Balik lagi ke urusan yang tadi, jadi tuh cewek bikin lu kenapa?" ujar Wayne santai, seolah tidak merasa sudah membuat Christian keki.

Menghela napas dengan kasar, Christian terdiam selama beberapa saat. Tampak berpikir dengan tatapan yang menerawang, mengingat beberapa kejadian yang tidak disukainya, hingga menimbulkan kepahitan dalam hati.

"Lu masih inget saat kita di Oxford, Wayne?" tanya Christian kemudian.

Wayne tidak langsung menjawab, tapi terdiam sambil mengawasi ekspresi Christian. Keduanya tampak memperhatikan satu sama lain, memberi kesempatan untuk melanjutkan atau membalas. Hingga akhirnya, Christian yang lebih dulu untuk melanjutkan, karena Wayne tidak terlihat ingin menjawab pertanyaannya.

"Kita berteman sejak awal masuk kuliah. Juga tinggal bareng di flat yang sama. Gue yakin, lu dan Nathan tahu jelas siapa gue saat awal kuliah, sampe berubah jadi kayak gini," lanjut Christian pelan.

Wayne mengangguk dan terlihat maklum. "Gue pikir karena... lu terlalu shocked dengan masalah keluarga. Gue dan Nathan nggak berani tanya, juga nggak mau menghakimi, karena ketentuan kita tentang urusan pribadi, bukan? Tapi kita berdua tetep ngawasin dan mastiin kalo lu nggak kelewat batas, Tian."

"Itu memang benar," balas Christian sambil mengangguk, lalu tertawa hambar dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue benci mengakui kalo gue adalah anak broken home, yang sama sekali nggak dapetin perhatian dari orang tua, dan merasa nggak ada gunanya dilahirkan dalam keadaan kayak gini."

"No! Don't say that rude things, Man. You're good. You're great. You're the most talented and most wanted man ever," sahut Wayne dengan lugas.

Tersenyum hambar, Christian tampak tidak menyukai pujian atau dukungan Wayne seperti barusan. Di balik kehebatan yang dimiliki, ada keterpurukan yang berusaha disembunyikan. Dia tidak ingin terlihat kecewa, apalagi terluka. Tapi kedatangan Miranda, seolah membuka luka lama yang selama ini dia tutupi. Shit.

"Gue akan beritahu alasannya, Wayne. Alasan kenapa gue menjadi seperti ini. But please, keep it. Karena ini adalah aib gue, yang nggak akan mungkin dengan bangga gue ceritakan ke orang lain."

"You can count on me," ucap Wayne tegas, dan Christian tahu jika pria itu bisa dipercaya.

Setelahnya, Christian menceritakan apa saja dalam suara rendah, dan Wayne mendengarkan dengan seksama, tanpa sekalipun menyela. Christian berbicara. Wayne mendengar. Kedua sahabat itu tampak begitu serius dalam melakukan pembicaraan di sudut gym yang belum ada pengunjung selain mereka.

Wayne mengerutkan alis, berusaha mengikuti apa yang dijelaskan Christian dengan serius. Begitu Christian mengakhiri ceritanya, Wayne pun segera membuka suara.

"Jadi, alasan lu benci dia, karena lu yakin dia tahu sesuatu yang lu nggak tahu?" tanya Wayne kemudian, dan Christian langsung mengangguk sebagai jawaban.

"Lu sama dia pernah jadian?" tanya Wayne lagi.

"No fucking way! Gue nggak suka sama dia! Cuma manfaatin aja untuk sekedar cari tahu," jawab Christian ketus.

"Biasa aja dong, Dude. Nggak usah ngegas gitu. Kalo nggak jadian, ya udah. Kenapa harus marah?" balas Wayne sinis.

"Pertanyaan lu nggak berbobot!" hardik Christian.

"Gue adalah orang yang nggak mungkin kasih pertanyaan konyol karena gue terlalu cerdas, Tian. Asal lu tahu, dari cara lu cerita tentang cewek itu, udah jelas kalo lu punya rasa sama dia. I mean, bukan saat lu masih sama dia, tapi saat dia udah nggak ada," ucap Wayne.

Christian menghela napas kembali. Mencoba mengingat kapan dirinya menjadi begitu marah terhadap Miranda, dan sialnya, Wayne lagi-lagi benar, karena kemarahannya bermula semenjak kepergian Miranda tanpa kabar.

"Seseorang itu akan menjadi penting saat dia pergi, dan lu akan merasa kehilangan. Itu bukan pepatah, tapi kenyataan. Akui itu, Tian," ujar Wayne mengingatkan.

"Then what now? Gue nggak bisa bersikap baik sama dia. Demi apa yah, gue...,"

"Btw, bibir bawah lu kenapa? Abis gigit-gigitan sama siapa? Dia?" sela Wayne yang tampak baru mengingat sesuatu, dan terlihat antusias dalam melempar pertanyaannya.

"Bukan urusan lu!" desis Christian tajam.

Wayne tertawa pelan. "Mulut ngomong benci, tapi tetep aja bibir lu nggak bisa selow."

Christian mendengus saja mendengar ejekan Wayne, dan membuang muka ke arah lain. Kembali teringat ciuman kasar yang dilakukan di ruang kerjanya saat itu. Miranda yang berniat membalas perlakuannya yang kurang ajar di toilet hotel, dan Christian membiarkannya membalas dengan memberi kesempatan Miranda untuk menggigitnya dengan keras.

Seharusnya, Christian tidak mengingat hal menjengkelkan itu. Tapi akhir dari ciuman itu, membuat Christian tidak bisa melupakan bagaimana ekspresi Miranda yang menahan amarah dan sedih di saat yang bersamaan. Wanita itu terlalu menahan diri karena tubuhnya gemetar dalam pelukannya. Cukup berani, tapi hampir gagal karena cenderung gugup dan panik. Oleh karena itu, Christian memilih untuk berdiam diri selama tiga hari ini, dan memikirkan cara lain untuk membuat wanita itu berbicara.

"Jadi, predikat lu sebagai womanizer selama ini untuk apa, Tian? Balas dendam karena masa lalu? Lu ngerasa apa yang lu alami, semua cewek yang nggak ada urusannya sama lu, kudu tanggung jawab, gitu?" tanya Wayne lagi.

"Just being human and stuff, Dude," jawab Christian masam.

Wayne memperhatikan dalam diam, dan Christian langsung berdecak malas. Jika Wayne sudah menampilkan sorot mata teduh dan senyuman yang hangat, itu berarti dia akan memberikan pernyataan yang tidak akan disukainya.

"We're friends, right?" tanya Wayne untuk yang kesekian kalinya.

Christian hanya mengangguk dan tidak ingin menjawab.

"As your best friend, let me remind you one thing, Christian," ujar Wayne sambil mengacungkan satu jari telunjuk padanya. "Respect yourself, Man. Either your value, your quality, or your heart. Udah nggak zaman balas dendam. Lagian, lu bukan lagi anak kuliah yang masih labil. Lu udah jadi dewasa, baik visual atau pemikiran, juga hati."

Christian menatap tajam pada Wayne, berusaha mencari penjelasan lebih, selain kata-kata yang sudah sering didengarnya dari temannya itu. "Is that the only thing that you can give to me, Buddy? Nothing else?"

Wayne tertawa pelan, lalu menepuk bahu Christian dengan mantap. "Gue yakin dia punya alasan kuat untuk pergi. Kalo nggak, mana mungkin dia akan tinggalin orang yang katanya tergila-gila sama lu? Cewek kalo udah sayang, nggak akan mungkin tiba-tiba benci, karena mereka adalah mahkluk yang naif. Misalkan udah diselingkuhi atau dikasari, mereka tetap bertahan atas nama cinta."

"Wayne,..."

"Everything happens for a reason. Stop focusing of finding the mistake, and start to understand the reason. This is the least that you can do to make things right, Tian."



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Seberapa besar masalah yang kamu alami, hadapi dengan kepala terangkat.
Bukan menjadi rapuh dan jatuh kedalamnya, lalu menyerah.

Ingat, tidak apa2 menjadi lelah, tapi bukan berarti menjadi lemah.
Istirahat sejenak, lepaskan beban untuk sementara waktu.
Tidak ada tenggat waktu untuk kita kembali mengulang sesuatu dari awal.

Better late than never, yes?
Sekalipun terlambat, itu tidak apa2, daripada tidak mencoba sama sekali.
Dan jangan pernah merasa rendah diri, karena nilai yang ada dalam diri kamu, jauh lebih berharga dari apapun.

Kita hebat seturut dengan karya diri yang sudah dirancangkan Tuhan atas hidup kita, jadi jangan bandingkan dirimu dengan orang lain, yes 💜

P.S. aku kasih penampakan Tian pas lagi workout kek tadi 😷😛

17.02.2020 (17.58 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top