Part. 6 - Painful Kiss

Nulis part ini sejak sore, karena ikutin voting terbanyak.
Gileee, apa yang kalian inginkan dari cowok kampret ini, sih? 😅

Ngeselin, tapi gak bisa benci.
Entah kenapa aku bisa bikin tokoh macam ini pas zaman SMA, yak?
😣😣😣😣


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Lelah. Lelah. Dan lelah. Itulah yang dirasakan Miranda saat ini. Dengan memakai gaun panjang berwarna hitam, peluh yang sudah membasahi kening, Miranda berlari dengan kencang tanpa memakai alas kaki.

Derap pacu larinya semakin kencang, seiring dengan deru napasnya yang memburu, sambil mencengkeram erat gaun bagian depan untuk membebaskan kakinya berlari. Tidak tentu arah, yang Miranda tahu hanya berlari ke depan tanpa ingin menoleh ke belakang.

Kilat cahaya membelah langit malam, bersamaan dengan suara petir yang bergemuruh, lalu hujan deras turun. Begitu lebat dan angin begitu kencang, membuat kecepatan Miranda menurun, karena gaunnya terasa berat. Dia basah kuyup.

Meski tubuhnya menggigil, tapi yang Miranda rasakan adalah hawa panas yang sudah menjalar ke sekujur tubuhnya. Menyerah. Miranda tersungkur karena kedua kakinya sudah tidak mampu berlari. Dia merasa kepanasan, seolah terbakar, meski sekelilingnya hujan lebat.

Kemudian, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan mendapati bahwa dia berada di tengah kegelapan. Tidak ada siapa pun. Sendirian. Tubuhnya menggigil. Tapi terasa panas di dalam. Mulai berteriak, meminta pertolongan, tapi tidak ada balasan.

Sampai akhirnya, Miranda terkesiap ketika ada sesuatu seperti mengisap tubuhnya untuk masuk ke dalam. Bingung. Panik. Takut. Dataran yang dipijakinya berubah menjadi pasir. Semakin dirinya bergerak, semakin terhisap ke dalam. Berusaha berteriak memanggil, tetap tidak ada balasan. Percuma. Percuma. Dan percuma. Miranda yakin dia akan sesak napas lalu mati, karena seluruh tubuhnya sudah terselubungi oleh pasir.

🌷🌷🌷🌷🌷

"HELP! HELP! HELP!!!!"

Miranda berteriak parau, lalu terbangun dalam napas yang terengah-engah, dan sekujur tubuhnya berkeringat. Mengerjap panik, lalu memandang sekelilingnya, bahwa ternyata dia masih berada di dalam kamar tidurnya.

Satu tangan sudah diletakkan di dada, seiring dengan hembusan napas lega bahwa apa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi. Lelah. Itulah yang dirasakan selama beberapa tahun terakhir. Mimpi buruk terus mendatangi seolah tiada henti, begitu juga dengan perasaan yang semakin tidak karuan.

Miranda mengangkat kepala dan melihat jam dinding baru menunjukkan pukul dua dini hari. Segera menyibakkan selimut, dia mengambil ponsel yang ada di nakas, dan menelepon seseorang yang bisa memberinya ketenangan.

"Alright, M! You're late!" suara kesal yang terdengar di sebrang sana, spontan memberikan kelegaan bagi Miranda.

"Baby," panggil Miranda lembut. "I'm so sorry. I...,"

"Are you okay?" selanya cemas.

"Yes, I'm fine, Joel. I just... I miss you," jawab Miranda dengan suara gemetar.

"Hey, jangan menangis, Cantik. Aku akan menyusulmu sebentar lagi. Aku tidak sabar untuk menunggu saat dimana aku bisa bertemu denganmu. You know how much I miss you, right?" ujar Joel, seseorang yang selalu memberinya ketenangan, lewat hanya dari suaranya saja.

"Me too, Baby. Have you eaten?" balas Miranda dengan lembut.

"I have to eat, or Rosie will be very angry," bisik Joel dengan nada yang sangat pelan, "You know that her dish make me sick, right?"

Miranda tertawa pelan. "Don't be like that."

Joel ikut tertawa di sebrang sana. "I know, but it's good to hear your laugh, M. I'm good here, don't worry. My baggage is fully loaded. Can't wait to see you next week."

Senyuman Miranda mengembang begitu saja ketika teringat bahwa Joel akan menyusul minggu depan. Meski enggan, tapi dirinya tidak mampu untuk berpisah begitu lama dengannya. Setelah berbicara selama beberapa menit lagi, telepon itu dimatikan, dan Miranda terdiam selama beberapa saat.

Tangan yang menangkup dada, masih berada di sana untuk merasakan degup jantung yang mulai normal, meski perasaannya tidak membaik. Rasa cemas mulai menghinggap, juga panik yang melanda. Semua karena pria sialan yang bernama Christian Haydenchandra, yang sudah meyentuhnya sekitar enam jam yang lalu. Sialnya lagi, Miranda tidak berusaha lebih kuat untuk menolak, tapi justru menikmati sentuhannya.

Tidak pernah merasa begitu sensitif, juga tidak lagi memiliki hasrat yang begitu mendamba. Miranda bahkan lupa kapan dirinya menginginkan seks untuk dirinya sendiri. Jawabannya : tidak pernah. Shit!

Karena tidak bisa tidur, sisa malam itu dihabiskan Miranda dengan meneguk wine dan bekerja untuk mencari informasi tentang pebisnis muda di Jakarta. Nama Christian sudah dicoret dalam progres kenaikan rating penjualan majalah. Masih ada banyak pengusaha-pengusaha lainnya, dan tidak harus terpaku pada Christian yang hanya menempati urutan ke-4 dalam daftar pebisnis muda tersukses.

Miranda sudah mengumpulkan informasi, mengambil jam tidur yang tidak seberapa, karena sudah tidak sabar untuk segera bekerja. Lingkaran hitam di mata adalah pekerjaan rutin yang melelahkan bagi Miranda di setiap pagi, karena harus berusaha keras untuk menutupinya.

Setelah bersiap dan menikmati sarapan seadanya, Miranda bergegas menuju ke kantor dengan berbagai ide baru yang akan disampaikan pada tim-nya hari ini. Tapi begitu dia menapakkan kakinya di kantor itu, Winda dan Simon langsung menyerbunya dengan seruan selamat pagi, serta keramahan yang membingungkan.

"Pagi," balas Miranda kalem. "Tolong panggilkan semua tim untuk rapat. Ada banyak yang harus kita lakukan hari ini."

"Iya, Bu. Kami tahu! Kita udah excited juga pas dapet kabar barusan!" balas Winda antusias.

Miranda memutar tubuhnya untuk menatap Winda dengan heran. "Kabar apa?"

"Ibu belum tahu? Saya pikir Ibu yang udah hubungi pihak CH Entertainment, setelah terima dokumen dari Winda kemarin," tanya Simon heran.

Miranda mengerjap bingung. "Saya...,"

"We got the interview, Ma'am!" seru Winda girang, disambut pekikan senang dari Simon.

"Interview?" Miranda menjadi semakin bingung.

"Yes! We got the interview!" balas Simon senang. "Barusan, pihak CH Entertainment konfirmasi bahwa CEO mereka, Christian Haydenchandra, bersedia diinterview sama kita, Bu. Katanya Ibu yang udah langsung bicara sama beliau semalam."

That asshole prick! Maki Miranda dalam hati. Kedua tangannya sudah mengepal erat, bersamaan dengan dengusan napas kasar. Bajingan sialan itu sedang mengambil kesempatan untuk memainkan kartu AS-nya dengan mencari masalah. Damnit!

"Jika sudah demikian, silakan atur tim wawancara untuk bergegas pergi ke sana," desis Miranda geram, sambil berjalan mendahului mereka dengan emosi yang sudah merambat naik.

"Tapi, Bu!"

"Apa lagi?" Miranda mendelik tajam pada Winda yang terlihat menciut di sana.

"Bapak Christian maunya diinterview langsung sama Chief Editor, nggak mau sama yang lain," jawab Winda dengan nada mencicit.

Miranda menggertakkan gigi dan terlihat semakin berang saat ini. Melihat ekspresi wajahnya yang menggelap, Winda dan Simon spontan menundukkan kepala, lalu melirik kanan kiri untuk meminta pertolongan pada staff lain yang sedang pura-pura sibuk di mejanya.

"Telepon balik ke sekretarisnya," ucap Miranda dingin, "Kalo dia mau diinterview, nggak usah banyak permintaan. Bukan tugas Chief Editor untuk interview dan jelasin aja kalo saya lagi banyak urusan!"

"Tapi...," Winda hendak bersuara, tapi melirik takut pada Miranda yang sedang menggeram pelan.

"Nggak usah banyak tapi!" desis Miranda tajam.

"Tadi yang telepon bukan sekretarisnya, Bu," Simon mengambil alih ucapan. "Pak Christian sendiri yang telepon dan bilang kalo Ibu pasti nggak bersedia, lalu minta saya sampein kalo beliau yang akan datang ke sini, dalam waktu 2 jam dari sekarang."

"What the fuck!" umpat Miranda pelan, lalu berjalan cepat untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.

Melempar tasnya di atas meja, lalu menghempaskan tubuh di kursi, dan memijit pelan keningnya, Miranda menarik napas dengan berat. Dia sudah berhitung dalam hati, berusaha menenangkan diri, tapi tidak berhasil. Kejadian semalam, mimpi buruk, dan tidak bisa tidur, membuatnya kacau.

Dia yakin Christian akan melakukan apa saja, untuk mengacaukan hidupnya yang sudah berantakan. Kembali merutuki diri karena harus tertimpa sial dengan urusan mutasi kerja di Jakarta, juga rapalan kutukan pada Sir John dan Christian yang bergema dalam pikirannya.

Di sela-sela kesibukannya dalam merutuk, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Miranda menggeram kesal, lalu meraih tas dan mengeluarkan ponselnya. Alisnya berkerut ketika mendapati nomor tak dikenal menelepon. Dia yakin jika belum memberikan nomor pribadinya kepada siapa pun, hanya kepada Audrey dan staff yang ada di BusinessMagz.

"Hello," ucap Miranda setelah bergumul untuk mengangkat teleponnya.

"Oh, masih bisa angkat telepon rupanya. Kirain, masih asik tidur karena capek semalem," suara bariton dengan nada penuh ejekan terdengar di sebrang sana. Christian. Shit!

"Darimana kamu tahu nomor...,"

"Itu bukan hal penting!" sela Christian tajam. "Yang terpenting sekarang adalah kamu datang ke sini. Sekarang. Juga!"

"No! Nggak usah sombong, karena kamu nggak sepenting itu. Aku udah dapetin profil yang jauh lebih baik dari kamu dan...,"

"Aku nggak peduli! Kalo kamu nggak dateng, aku yang akan datang ke sana," sela Christian lagi.

"Kamu nggak akan diterima di sini!" desis Miranda sinis.

"Oh, kita lihat apa yang bisa aku lakuin di sana. Kayaknya, bikin sedikit drama buat jadi gossip selama sebulan, itu boleh juga. Gimana tanggapan orang-orang kalo tahu Chief Editor BusinessMagz ngegodain CEO CH Entertainment untuk seks satu malam, demi wawancara buat naikin rating? It sounds so great, right?"

"Fuck you, Christian!" sembur Miranda sambil beranjak berdiri, dengan kepanikan yang semakin menjadi ketika mendengar ancaman kurang ajar dari pria itu. "Kamu yang datengin aku, kamu yang maksa, dan...,"

"They don't give a fuck for the real story, Bitch. Lagipula, kita sama-sama tahu kalo kamu juga nikmatin. Ada g-string robek punya kamu di sini. Jangan lupa diambil, yah. Satu jam dari sekarang," sela Christian sinis, lalu menutup teleponnya.

Shit! Miranda membanting ponselnya di meja, dan mencengkeram rambutnya dengan frustrasi. Pakaian dalam yang tidak bisa ditemukannya semalam, sehingga harus pulang tanpa memakainya, dan sama sekali tidak berpikir jika Christian yang mengambilnya.

Miranda tahu jika Christian begitu membencinya dan akan melakukan apa pun jika mereka bertemu. Dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan berbagai alibi atau amukannya, sama sekali tidak memperhitungkan bagaimana Christian memberi salam pertemuan seperti semalam, hingga tidak tahu apa yang harus dilakukan, selain memberi perlawanan yang sia-sia, dan berakhir menikmatinya.

Tidak ingin adanya keributan atau kekacauan di tempatnya, Miranda segera bergegas dan keluar dari ruang kerja, meminta Winda untuk mengirim alamat perusahaan sialan itu, dan keluar untuk menuju ke mobilnya. Dengan seorang supir pribadi, Miranda tiba di sebuah gedung yang berada di Jakarta Pusat, sekitar satu jam kemudian. Tanpa perlu berpikir lagi, Miranda segera memasuki gedung itu dan menyampaikan janji temu dengan resepsionis.

Seorang asisten pribadi datang menyambut, seolah sudah menunggu kedatangannya, memberi arahan pada Miranda agar mengikutinya. Terletak di lantai teratas gedung, Miranda memasuki sebuah ruang kerja yang sangat luas. Meja kerja dengan kursi besar khas CEO terletak di tengah-tengah ruangan, dengan jendela kaca besar yang menampilkan cerahnya kota Jakarta sebagai latar belakangnya. Terdapat dua lemari kaca raksasa sepanjang tembok di dua sisi ruangan, dengan berbagai penghargaan yang terpajang didalamnya.

"Silahkan duduk, Bu. Bapak akan segera menemui Anda sebentar lagi," ujar asisten itu dengan ramah, sambil mengarahkan tangan pada sofa panjang dalam ruangan.

"Terima kasih," balas Miranda dengan suara yang nyaris berbisik.

Asisten itu berlalu dan meninggalkan Miranda seorang diri yang masih berdiri mematung di tengah-tengah ruangan. Dia bisa mendengar suara dentingan jam dinding yang berdetak. Sunyi. Tenang. Dan mencekam. Mengerjap cepat untuk mengabaikan rasa panik yang masih menyergap, tapi tidak bisa. Justru. Miranda menegang saat mendengar suara langkah yang mendekat, pintu terbuka, lalu ditutup kembali dengan suara kencang.

Pintu itu seperti sengaja dibanting dengan keras, sampai menghasilkan getaran yang merambat ke seluruh ruangan, dan membuat Miranda tersentak kaget, bahkan sampai lupa bagaimana caranya untuk bernafas. Setelah menarik napas panjang, Miranda memutar tubuh dan berhadapan dengan sosok yang berdiri dengan jarak tidak lebih dari dua meter darinya.

Tampak Christian terlihat begitu mempesona dalam balutan setelan jasnya. Sorot mata tajam dan penuh amarah itu, sedang menghunus ke arahnya. Ekspresi datar yang familiar, tidak banyak berubah. Sosoknya begitu tegap dan tinggi, nyaris sempurna tapi terasa menyakitkan.

"Miranda Stella," sapanya dingin.

"Nggak usah buang waktu! Apa mau kamu, sampe suruh aku datang ke sini?" balas Miranda ketus, cukup takjub dengan keberaniannya dalam memberikan balasan yang terdengar menyebalkan, hingga membuat ekspresi Christian menggelap.

Sorot mata tajam Christian menelusuri rambut, pipi, bibir, hidung, dan terakhir adalah mata Miranda. Menatapnya penuh penilaian, seolah mempelajari setiap detail wajahnya. Miranda berusaha keras menahan diri untuk terlihat santai dan tidak terpengaruh.

"Kenapa harus buru-buru? Kita belum ngobrol banyak semalam," ucap Christian tengil.

Seringaian sinis ditampilkan pria itu, membuat Miranda menggertakkan gigi untuk menahan umpatan yang nyaris keluar begitu saja. Keinginannya adalah satu, menyelesaikan urusan dengan pria itu, dan pergi.

"Aku nggak ada niat buat ngobrol sama kamu," ujar Miranda tegas.

Alis Christian terangkat dengan ekspresi yang masih begitu datar. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku, lalu berjalan mendekat padanya, dan spontan Miranda melangkah mundur. Tapi belum sempat mundur, tangan Christian sudah lebih dulu meraih pinggang dan menarik dirinya ke dalam dekapan pria itu.

Tindakan Christian yang tiba-tiba, membuat kepanikan Miranda semakin mendesak dan menjadi tegang. Otaknya berjalan lambat dan rasa pening langsung menghantam kepalanya. Kedua tangan sudah bekerja untuk mendorong dada Christian, tapi pria itu sama sekali tidak bergeser sedikit pun.

"Memangnya kamu pikir aku mau ngobrol, huh? Aku hanya mau kamu jelasin tentang kepergian kamu selama tujuh tahun sialan ini, Miranda! Apa yang udah kamu sembunyiin dari aku, sampai harus jadi pengecut kayak gitu?" desis Christian geram.

Napas Christian menyembur hangat wajah Miranda, sehingga dia bisa merasakan panas yang menjalar di pipi, sambil menatapnya dengan napas yang tertahan dan kepanikan yang menyiksa.

"Nggak ada penjelasan! Aku pergi karena kamu memang nggak menginginkanku!" balas Miranda dengan suara tercekat.

Kedua tangan masih berusaha keras untuk mendorong bahu Christian, tapi pria itu segera mencengkeram kedua pergelangan tangan Miranda dalam satu kepalan tangannya yang besar.

"Gitu?" sahut Christian dengan alis terangkat setengah, terlihat menantang. "Udah tahu nggak diinginkan, tapi datengin orang buat kasih perpisahan, dengan mau ditidurin dan kasih selaput dara kamu? Ckck, murahan!"

Miranda menahan diri untuk tidak menangis, meski merasa begitu terhina dengan ucapan Christian barusan. Sadar diri jika dia hanya dimanfaatkan, juga tidak menyangka dengan kenyataan yang menyudutkan posisinya, Miranda sudah salah langkah dengan membiarkan Christian mengambil keperawanannya waktu itu. Persis sebelum dia bertolak ke bandara dan meninggalkan Jakarta, tujuh tahun yang lalu.

Berbagai cara sudah dilakukan untuk melupakan pria sialan itu, salah satunya adalah memulai hubungan dengan orang lain. Tapi ternyata, otak dan tubuhnya hanya bereaksi kepada satu-satunya bajingan yang sedang memeluk paksa dirinya saat ini.

"Udah tahu murahan, ngapain masih ngotot sekarang?" balas Miranda sambil tersenyum sinis.

Ucapan sinis Miranda dibalas Christian dengan remasan kuat pada kedua pergelangan tangan yang masih berada dalam cengkeramannya, hingga membuat Miranda meringis pelan.

"Apa yang kamu tahu tentang mereka? Apa kamu lakuin itu semua, hanya karena merasa perlu saling bantu antar sesama perempuan murahan yang...,"

PLAK! Entah datang darimana kekuatan Miranda untuk meloloskan satu tangan dari cengkeraman Christian, dan menamparnya dengan begitu keras.

Dengan napas yang memburu, sorot mata yang menusuk tajam, dan emosi yang sudah meluap, Miranda mendorong kasar Christian sekuat tenaga, dan pria itu langsung melepaskan cengkeramannya. Tampak kaget, tapi masih terlihat datar, Christian mengusap pipinya yang memerah akibat tamparan itu.

"Kamu boleh menghina aku, tapi nggak orang tua! Bagaimana pun, dia...,"

"Don't dare to say that damn words, Bitch! You have no rights to...,"

"Then shut the fuck up, and mind your own business, Asshole!" sembur Miranda galak. "Let's end this shit, Christian! Kita nggak ada hubungan apa pun sedari dulu, jadi nggak usah bersikap seolah-olah kamu adalah cowok yang gagal move on!"

"What the hell!"

"And you're the devil prick!" tambah Miranda geram, lalu menghela napas lelah karena sudah menahan beban emosi dalam dirinya. "Look, aku ke sini, bukan untuk mengiba atau meminta belas kasihan supaya kamu mau diwawancara. Jujur aja, kamu itu nggak penting. Masih banyak pengusaha lain yang bisa aku jadikan profil utama di majalah. Dan aku yakin, kamu udah pasti cari tahu tentang kemampuan aku, bukan? Kalau nggak, mana mungkin kamu beraninya main ngancem dan minta aku datang ke sini? No fucking way!"

Tatapan Christian semakin menusuk, tanda bahwa pria itu sedang menahan emosi, dan begitu membencinya. Tidak ada cara lain, selain membuatnya bertambah benci, sebab Miranda sama sekali tidak berniat untuk berhubungan baik dengannya, dan itu adalah hal yang tidak akan pernah terjadi.

"You made my life like a mess, Miranda!" ucapnya tanpa ekspresi.

Miranda mengerjap lirih dan meneguhkan diri untuk tetap berdiri teguh dengan dagu terangkat. Berhadapan dengan Christian harus berani, tidak boleh takut. He can smell fear, batin Miranda.

Dengan seluruh keberanian, Miranda melangkah untuk mendekati Christian, mengangkat satu tangan untuk menyentuh pipinya yang memerah, lalu menatapnya dengan dalam. "And you turn my life into ashes, Christian."

Sedetik kemudian, Miranda berjinjit dan mencium bibir Christian dengan cara yang paling kasar. Sebuah balasan untuk penghinaan yang sudah dilakukan pria itu padanya semalam. Mencengkeram rambut Christian dan menekannya turun agar menunduk, sekaligus memperdalam ciuman itu. Balasan datang dalam gigitan keras di bibir bawahnya, dan Miranda bisa melihat sorot mata tajam Christian tampak berkilat marah.

Ciuman yang menyakitkan, tapi menimbulkan debaran asing yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Meski saling menyakiti dalam gigitan dan hisapan keras, baik Miranda atau Christian enggan untuk menghentikan, tapi justru berlomba untuk bertahan. Christian yang sudah merangkul pinggang Miranda sambil menangkup rahangnya dengan keras, dan Miranda yang masih menjambak rambut Christian sambil mencengkeram erat sisi jas yang dikenakan pria itu.

Sampai akhirnya, ciuman itu melembut. Ketika Miranda mengisap bibir bawah Christian, dia bisa mencecap rasa darah di sana, demikian juga sebaliknya. Tanpa sadar, keduanya menutup mata untuk menikmati ciuman itu, saling merapatkan tubuh, dengan tujuan untuk merasakan kehangatan lebih.

Suara cecapan dan hisapan memenuhi ruangan itu, seolah tidak mempedulikan hal lain di sekitarnya. Cukup lama, bisa dibilang, itu adalah ciuman terlama yang dilakukan Miranda seumur hidupnya. Lagipula, Miranda tidak pernah sekalipun membiarkan pria lain menciumnya sampai sedalam itu, terkecuali Christian. Shit! Mengingat kenyataan itu, membuat Miranda menghentikan hisapannya.

Dua bibir sudah terlepas, dengan kening yang saling beradu, selagi mereka bernapas terengah-engah, tanpa memutuskan tatapan. Menatap selama beberapa saat, lalu saling melepaskan diri untuk menciptakan jarak di antara keduanya.

"Balasan setimpal untuk apa yang kamu lakuin semalam," ucap Miranda serak, sambil menangkup dadanya yang masih bergemuruh kencang.

Tentu saja, ciuman itu membuat luka di bibir bawah Christian lebih besar, karena Miranda tidak main-main dalam menggigitnya. Meski Miranda sudah mengisap, tetap masih ada sisa darah yang muncul di sana. Tapi hal itu tampaknya tidak menjadi masalah, karena Christian terlihat biasa saja.

"Semoga hal itu bisa bikin kamu lega karena udah bisa balesin aku," balas Christian datar. "Tapi tetap nggak akan mengubah keinginan aku, untuk tahu tentang apa yang udah kamu sembunyikan, sampai harus pergi selama ini."

"Nggak ada yang...,"

"Terserah. Aku nggak peduli, dan sama sekali nggak mau tahu. Sekalipun kamu bisa cari pengganti profil, tetap nggak akan mengubah apa pun, karena minimnya pengetahuan kamu soal perkembangan bisnis di sini, dan dengan siapa kamu akan berhadapan," sela Christian sinis.

"Dan kamu merasa perlu sombong karena lagi di atas angin?" balas Miranda.

Christian hanya tersenyum sinis. "Kamu akan kasih tahu aku tentang semuanya yang kamu tahu, dan aku akan bersedia untuk diwawancara sama kamu. Pikir baik-baik tawaranku, dan aku kasih waktu selama 24 jam ke depan. That's a good deal, right?"

"Nggak usah pake mikir! Aku bisa jawab sekarang, dan jawabannya tetap nggak memakai kamu sebagai profil utama!" ucap Miranda dengan penuh penekanan.

Kembali tersenyum sinis, Christian hanya mengangkat bahu, dan menyilangkan tangan dengan angkuh. "Kalau begitu, kamu bisa pergi, dan pintu keluar masih tetap di sana."

Terdiam, Miranda tampak mengernyit bingung dengan balasan Christian yang begitu santai dan mencurigakan. Berhubung dengan rasa tidak nyaman yang semakin menyergap, Miranda tidak ingin berlama-lama berada di sana, dan memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan itu dengan tergesa. Sama sekali tidak menoleh ke belakang, dimana Christian mengawasi kepergiannya dengan mata yang menyipit tajam.

Begitu dia sudah kembali ke dalam mobil, dan duduk di kursi belakang, di situ Miranda tidak bisa menahan isakan pelan yang terdengar pilu di sana. Tangannya sudah menangkup dada yang terasa begitu sesak dan masih bergemuruh cepat.

Seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan, demikian perasaan Miranda yang mengatakan bahwa dirinya akan mengalami hal yang jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya.

"This too will pass, Miranda," bisiknya pelan kepada diri sendiri, sambil mengusap pipinya yang basah, dan menyandarkan kepala di sisi jendela. Menatap kosong pada jalan yang begitu padat, tanpa memiliki keinginan untuk menjalani sisa hari itu dengan bekerja.

Yang dia inginkan adalah segera menyingkir dari negara itu, dan menjalani sisa hidupnya dengan Joel di negara asing yang sudah menjadi rumahnya. Itu saja. Tapi hati kecilnya mengatakan bahwa tidak akan sesederhana itu.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



3324 words untuk kalian!
Emosiku terkuras tulis part ini.
Rasanya tuh pengen kemplang, tapi malah jadinya baper juga 😖

Fix, hatiku terlalu lemah 😭🤣
Happy Valentine, Genks!
Ciyeee... yang ngarep dapetin bunga sama coklat dari yayang.
Sama! Aku juga lagi ngarep 😭




13.02.2020 (21.59 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top