Part 5 - The breathless reunion

WARNING : MATURE CONTENT (21+)

Written by. CH-Zone

Siapin hati, netralkan degup jantung.
Karena Christian-nya dibikin bejat sama Babang 😖

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Tidak memiliki teman dalam menghadiri event perusahaan Nathan, maka itu berarti, hanya Adrian yang bisa menemani Christian. Meski teman sialannya itu sudah menolak, tapi dia tetap gigih sampai menjemputnya ke rumah.

Meski sebenarnya, dia tidak begitu bersemangat dalam menghadiri event seperti itu. Bukan apa-apa. Tidak biasanya, Christian merasa kurang bersemangat dalam menjalani hari. Sebaliknya, dia menyibukkan diri dengan kesibukan dan melewatkan semua jadwal yang sudah diaturnya sejak awal. Jika bukan karena Nathan adalah teman baik, tentu saja Christian tidak ingin hadir dalam acara itu.

Jika tadinya Christian kurang bersemangat, kali ini dia bertambah tidak senang. Karena seseorang yang sudah membuat kekesalannya meluap selama beberapa hari terakhir, kini berdiri tidak jauh dari posisinya. Dia adalah wanita yang tidak sengaja berpapasan dengan dirinya di jalan. Sang perusak hidup, rutuk Christian dalam hati.

Seperti penjahat pada umumnya, jika bertemu dengan salah satu korban, sudah pasti akan mencari seribu langkah untuk menghindar, dan perlahan kabur. Seperti sekarang, dimana Nathan yang memanggil wanita yang berdiri di samping orang itu, hendak mengenalkannya pada Christian dan Adrian, tampak segera bergerak ke sisi lain hall, lalu berlagak sibuk dengan mengobrol pada siapa pun yang sudah menjadi incarannya untuk menghindar.

“Kenalin, ini Audrey, adek sepupu gue yang baru balik dari Jepang,” ujar Nathan memperkenalkan wanita cantik yang baru pertama kali dilihat Christian, dan dua temannya yang lain.

“Untuk ukuran muka preman kayak lu, gua masih nggak nyangka kalau lu selalu dikelilingi sama cewek cute. Tunangan kayak Lea, sepupu kayak dia. Apes banget mereka dapetin lu, Than,” celetuk Adrian sambil mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Audrey. “Hai, Gue Adrian.”

“Audrey,” jawab sepupu Nathan dengan ramah, lalu berlanjut berjabatan tangan dengan Christian.

Perkenalan itu tidak terlalu berarti. Jika biasanya Christian bersemangat dalam proses perkenalan dengan wanita cantik, kali ini justru membosankan. Hingga akhirnya, ketika orang itu ditarik oleh Audrey untuk ikut dalam obrolan mereka, di situ Christian langsung menyeringai licik.

“Kenalin, ini Miranda, temennya Audrey. Dia adalah Chief Editor di BusinessMagz,” ujar Nathan, mengenalkan wanita itu, yang sialnya tampak begitu anggun dan terkesan menantang.

Matanya sudah menyapu lekuk tubuh dalam balutan evening gown yang indah. Belahan tinggi yang memamerkan kakinya secara terang-terangan, juga belahan payudara dari illusion neckline cut di bagian atas gaun. Dari semua yang terlihat, pikiran Christian langsung bekerja untuk bagaimana melucuti gaun sialan itu.

BusinessMagz? Hmmm, bukankah itu majalah sialan yang terus menerus meneror dirinya untuk sebuah wawancara? Pantas saja menyebalkan, sebab memiliki kepala editor seperti wanita ular itu. Christian sampai harus mendengus dan memberi ekspresi dingin padanya.

“Wow! Setahu gue, Chief Editor itu kebanyakan culun, tapi kok bisa stunning kayak gini? Hai, gue Adrian,” kembali Adrian memberikan keramahan yang tidak biasa, dan terlihat tertarik pada Miranda.

Hi, you look alike that Super Junior guy,” balas Miranda sambil menjabat tangan Adrian.

Cih! Christian hanya mencibir dalam hati tentang jurus godaan yang sudah terlewat basi. Ditambah lagi, Adrian terlihat kesenangan hingga harus bersemu merah seperti itu. Malu-maluin, batinnya.

BusinessMagz itu bukannya majalah yang lagi ngebet sama lu buat interview, Tian?” tanya Wayne kemudian, yang sedaritadi hanya sibuk memperhatikan kenyamanan istri cantiknya yang sedang hamil 5 bulan itu.

“Iya, yah? Pantes aja daritadi gue ngerasa nggak asing sama nama itu,” celetuk Nathan, lalu menoleh pada Miranda dengan senyuman hangat. “Emangnya bener kalo Christian lagi diminta pihak lu buat interview? Kalo iya, kebetulan banget dia ada di sini. Lu bisa ajak dia ngobrol.”

“Bener juga kata Nathan,” timpal Audrey.

Nyatanya, Miranda tampak tidak terlalu antusias, dan justru hanya tersenyum sopan.

“Emangnya gue ada bilang, kalo gue mau diwawancara?” tanya Christian dengan tengil.

“Kumat deh sombongnya,” celetuk Adrian sambil berdecak pelan.

“Bukan sombong, meski dia kenalan Nathan, bukan berarti gue harus...,”

Sorry, kalau nama perusahaan saya harus bikin kamu merasa terusik. Sorry juga, kalau misalnya apa yang mereka ngomong itu bener, soal pihak BusinessMagz yang terus cari kamu, sampe ngebet. Sebagai Chief Editor baru di sana, saya lagi beberes. Jadi, tenang aja. Saya juga nggak niat buat wawancara di acara orang kayak gini,” sela Miranda dengan dagu terangkat dan terdengar sinis.

Fuck! Christian menggertakkan gigi melihat betapa angkuhnya wanita sialan itu. Sementara yang lainnya, khususnya ketiga teman baiknya, hanya mengulum senyum geli sambil menatap Christian dengan tatapan mengejek.

Alright, Guys! Silakan ambil makanan yang tersaji, gue muter dulu,” ujar Nathan sambil terkekeh, lalu berjalan untuk menyapa beberapa kolega yang dihampirinya.

“Yuk, kita makan. Gue laper nih,” ajak Adrian, yang tidak dipedulikan oleh Christian.

Wayne dan Cassandra masih mengobrol dengan suara pelan, seperti keluhan atau perbincangan ala pasangan muda yang norak. Tatapan Christian masih menatap tajam pada Miranda yang sedang berbicara pelan di sana.

Sampai akhirnya, ketika Miranda berjalan meninggalkan Audrey menuju ke luar dari hall acara, Christian spontan mengikuti tanpa perlu berkata apa-apa pada temannya yang sudah sibuk sendiri.

Tidak habis pikir dengan sikap Miranda yang cuek, dan seolah tidak terjadi apa-apa. Dalam hati dia bertanya, apakah wanita itu sudah melupakan semuanya? Atau memiliki amnesia akut sehingga tidak mengingat satu hal pun? Bahkan, dengan hebatnya bersikap seolah tidak mengenalinya. Shit!

Melihat Miranda yang masuk ke dalam toilet wanita, di situ Christian menoleh ke belakang yang tampak sepi, lalu kembali melangkah untuk mengambil sebuah pembatas dan menaruhnya tepat di depan pintu toilet wanita. Tanpa ragu, dia membuka pintu dan mendapati Miranda sedang memoles lipstick.

“Nggak sabaran banget sampe harus samperin orang ke sini?” cetus Miranda dengan sinis, sambil menutup lipstick dan menaruhnya kembali ke dalam pouch.

“Nggak usah buang waktu,” desis Christian dingin. “Setelah kamu main kabur, dan sekarang main nongol tanpa permisi.”

“Then what? Apa aku harus minta izin sama kamu untuk datang ke Jakarta?” balas Miranda sambil mengangkat alisnya dengan lantang, dari balik cermin tanpa berbalik menghadapnya.

“Oh, jadi kaburnya ke LN? Pantes aja, nggak pernah ketemu! Pengecut!”

Mendengar umpatan Christian, Miranda langsung berbalik dan menatapnya dengan ekspresi menggelap. “Kamu nggak berhak ngatain orang kayak gitu, sementara kamu sendiri udah...What the heck!”

Tiba-tiba, Christian menarik Miranda untuk maju dan mendekapnya erat. Tidak sampai di situ, dia mendesak tubuh Miranda ke dinding bilik dan menekannya di sana. Tatapan yang mengintimidasi, tekanan yang cukup dalam, hingga membuat Miranda meringis pelan. Di situ, Christian menyeringai puas ketika bisa melihat sorot mata sok berani itu, berubah menjadi takut dan cemas.

“Jelasin ke aku sekarang juga, apa yang kamu tahu dan kenapa sampai harus kabur dari aku?” desis Christian tajam.

“Kamu memang nggak pernah peduli sama aku, ingat? Dan kenapa harus tanya soal itu? Perlu aku tegaskan, aku nggak kabur! Aku cuma jalanin apa yang kamu mau, yaitu menjauh dari kamu! Engghhh!”

Semakin berang, sampai Christian menangkup leher Miranda dalam satu cengkeraman kuat di sana. Sorot matanya begitu tajam, dan nyaris tidak berperasaan. Bahkan, tidak peduli ketika Miranda sudah bernapas dengan terengah.

“Don’t tease me, Bitch!” sembur Christian dengan nada yang begitu dingin.

Kedua tangan Miranda sudah mencengkeram pergelangan tangan Christian yang menangkup lehernya, berusaha untuk menariknya tapi sia-sia. Sebab, Christian semakin kuat dan pemberontakan Miranda tidak berarti apa-apa.

“Lepasin aku,” ucap Miranda dengan suara tercekat.

“Nggak dengan kamu yang masih pura-pura. Atau kamu pengen banget dipaksa kayak gini? Huh?”

“Christian!”

What? Pengen bilang kalo kamu udah lupa? Atau itu masa lalu yang kamu anggap nggak berarti apa-apa? Jangan-jangan, kamu mau bilang kalo udah lupa dengan salam perpisahan waktu itu? Gimana kalo aku yang ingetin kamu?”

“N-Nggak!”

“Why? Nggak ada yang aneh, bukan? Buat cewek gampangan kayak kamu, mungkin udah jadi hal yang biasa dengan kasih badan kamu sebagai salam perpisahan. Sialnya, aku yang kedapetan selaput dara kamu, dan itu yang bikin aku muak!”

Alasan kenapa Christian tidak pernah menghargai wanita? Semua karena Miranda. Bahkan yang menbuatnya gerah adalah setiap kali dia bercinta dengan siapa pun juga, setiap kali itulah matanya terpejam dan bayangan akan seorang Miranda memenuhi ruang pikirannya di saat mencapai pelepasan. Sebanyak apa pun dia berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok jalang yang ada di hadapannya, justru semakin membuat kebenciannya bertambah.

“Christian, please!” ucap Miranda dengan susah payah, dan terus berusaha untuk menarik cengkeraman Christian di lehernya.

“Please what?” bisik Christian tajam, sambil mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Miranda, sehingga wanita itu tidak mampu berkutik.

Satu tangan yang lain, sudah mendarat dengan kurang ajar di kulit paha Miranda. Gaun indah dengan belahan tinggi, memudahkannya untuk membelai kulit terlembut yang pernah disentuhnya. Apa memang selembut ini? Pikir Christian. Dia sudah lupa bagaimana kelembutan dan kehangatan tubuh itu, tapi herannya, tidak mampu melupakan ekspresi yang ditampilkan Miranda. Ekspresi cinta yang sedih. Fuck!

Miranda semakin memberontak, seperti merasa tidak terima disentuh. Meski bernapas dengan terengah, tapi sorot matanya mengilat tajam, seperti hendak memangsa lawannya. Membuat hasrat Christian melonjak begitu saja, melihat betapa liarnya wanita itu sekarang.

“Don’t touch me, Son of a Bitch!” umpat Miranda, lalu meringis perlahan ketika Christian mengetatkan cengkeraman di leher.

Entah kenapa melihat Miranda yang terlihat kesakitan membuat Christian bergairah. Tidak pernah memperlakukan wanita dengan kasar, tapi untuk Miranda, itu pengecualian. Seperti ada sensasi liar dalam diri untuk mencapai kepuasan dengan melihat lawan mainnya terluka.

Belaian di paha kini berubah menjadi remasan kuat di pangkal paha, lalu tangannya merayap naik, tepat di depan titik sensitif yang membuat napas Christian memberat. Wanita itu memakai g-string, sehingga Christian bisa membelai lipatan vagina yang rapat dan sepertinya sempit.

Miranda semakin brutal dalam melepaskan diri. Memukul-mukul bahu Christian, mendesaknya mundur, dan berusaha menginjak kaki Christian yang kini sengaja menahan di antara dua kakinya, agar Miranda bisa berdiri dengan kedua kaki yang dilebarkan.

“J-Jangan!” pekik Miranda kaget, ketika satu jari Christian sudah menyelip di celah g-string, untuk menyentuhnya secara langsung.

“Fuck!” desah Christian sambil memejamkan mata, ketika berhasil menyentuh klitoris mungil itu.

Degup jantung yang bergemuruh semakin kencang, napas yang sudah memburu kasar, dan hasrat yang ingin dipuaskan sekarang juga. Sial! Sudah bertahun-tahun lamanya, seharusnya Christian melupakannya. Saat berpapasan dengannya beberapa hari lalu, niatnya adalah untuk membalaskan dendam. Ternyata, hal pertama yang diinginkannya adalah membutuhkan pelepasan dari jalang licik itu.

“Shit!” erang Miranda dengan napas terengah, ketika satu jari sudah meluncur masuk ke dalam celahnya yang belum begitu basah.

Cengkeraman di leher Miranda terlepas, dimana Christian mulai bernapsu untuk meremas payudara, sambil terus mendesakkan jarinya untuk masuk ke dalam inti tubuh yang begitu sempit, hingga wanita itu menjadi cukup basah.

Christian meringis ketika tangan Miranda mulai mencengkeram rambutnya, menjambaknya kasar, agar tatapan mereka bertemu. Keduanya memberi sorot mata tajam yang sama, napas kasar saling bertubrukan, dan dada yang naik turun.

“Have you never been fucked like this, huh? You’re fucking wet, Bitch,” bisik Christian dengan nada sinis dan terkesan mengejek.

Munafik, batin Christian. Untuk apa memberontak, jika bisa menikmati apa yang dilakukannya sekarang? Terlalu sering berpura-pura, tapi memiliki keinginan yang sama. Dasar wanita, semua sama saja. Christian bahkan sudah mempersiapkan amunisi untuk melawan Miranda, jika dia kembali berulah. Tapi ternyata, Christian salah sangka.

“I’ve had better, Dickhead!” balas Miranda dengan nada yang tidak kalah sinis, dan masih sempat memberikan seringaian mengejek, lalu akhirnya mengerang pelan ketika Christian menambah jumlah jari untuk memompa tubuhnya.

Christian kembali meringis karena Miranda membalasnya dengan mengetatkan jambakan di rambutnya, hingga kepalanya mendongak ke atas. Tidak pasrah dan terus melakukan perlawanan, Miranda justru membuat Christian semakin bergairah.

Menarik dua jarinya dari celah yang sudah sangat basah, Christian merobek g-string itu tanpa ragu. Kini, keduanya spontan berciuman, namun bukan ciuman yang hangat, melainkan keinginan untuk saling menyakiti. Christian menggigit bibir bawah Miranda, dan wanita itu menggigit bibir atasnya. Hisapan yang keras dan kasar, diiringi rintihan sakit dari keduanya. Christian yakin jika lidahnya sudah berdarah karena gigitan Miranda yang begitu keras.

Barulah ketika Christian sudah berhasil memasuki tubuh sempit itu, keduanya sama-sama menarik diri untuk mengerang penuh damba, seperti baru merasakan nikmatnya bercinta. Christian bahkan seperti masih remaja, dengan sensasi yang menjadi keinginannya sejak lama.

Begitu sempit, bahkan Miranda mencengkeramnya begitu hebat dan sesak di bawah sana. Panas, liar, dan berkedut nyeri. Christian bahkan membutuhkan waktu beberapa saat untuk menenangkan degup jantungnya yang kian bergemuruh.

“Someone had always fuck himself, huh?” ejek Miranda dengan suara parau.

Meski wanita itu sudah terlihat kacau dan tak berdaya, tapi mulutnya tetap berbisa. Didudukkan di atas sisi washtafle berkeramik, dua kaki yang sudah dilebarkan, dengan Christian yang sudah masuk ke dalam tubuhnya, tentu saja posisi itu begitu liar dan menggairahkan. Celana yang dikenakan Christian menumpuk di pergelangan kaki, membebaskan kejantanannya untuk masuk ke dalam tubuh sempit, yang dengan sialannya terasa begitu nikmat.

“Devious, filthy girl!” umpat Christian sambil mendorong lebih dalam, dan mendesak dalam hentakan-hentakan keras sekarang.

Setiap dorongan, setiap kali itulah Christian mengerang penuh nikmat. Miranda benar-benar sempit. Tidak pernah merasakan sempitnya tubuh wanita, selain jalang licik yang digagahinya sekarang. Gesekan-gesekan di dalam semakin memanas, membuat kepala Christian semakin pening oleh desakan gairah yang hampir mencapai puncaknya.

Kedua tangan pun sudah membuka gaun bagian atas, meremas payudara itu dengan kencang, hingga Miranda merintih kesakitan. Meski demikian, desahan kenikmatannya terdengar semakin lirih, seperti memohon untuk Christian mempercepat gerakannya.

Ahhhhh,” erang Miranda, dan Christian dengan cepat membekap mulutnya rapat-rapat, bersamaan dengan dirinya yang segera menarik diri untuk mengeluarkan pelepasannya di sisi tubuh Miranda.

Keduanya bernapas dalam buruan kasar, menikmati sensasi klimaks yang masih terasa dalam diri, dan menunggu hingga klimaks itu menurun. Tidak ada kalimat yang terucap setelahnya, karena keduanya sudah sibuk merapikan diri sendiri.

Seperti biasa, jika sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, Christian akan bergegas meninggalkan tanpa basa basi. Dan tidak ada pengecualian, termasuk pada Miranda sekali pun. Tapi kali ini, masih ada keinginan yang belum sempat dilakukan, karena tujuan hidupnya jika dipertemukan kembali oleh pengrusak hidupnya, adalah untuk menghancurkannya.

Dengan pakaian dan tatanan yang sudah kembali seperti semula, Christian menoleh pada Miranda yang masih berkutat menaikkan gaunnya dengan susah payah. Menyeringai sinis karena tidak ingin membantunya menaikkan risleting gaun, justru puas melihat ekspresi kesal yang ditampilkan wanita itu.

“Masih butuh wawancara?” celetuk Christian dengan nada mengejek.

Miranda mendelik tajam dan menatapnya dengan sorot mata membunuh. “Dalam mimpi!”

Christian tertawa sinis dan mendekat untuk memberikan ciuman ringan di bahu Miranda, tapi wanita itu langsung mendorongnya kasar.

For such a pompous know-it-all, you really are a stupid son of a bitch!” maki Miranda sinis, yang sudah berhasil menaikkan risleting gaun, dan mulai merapikan rambutnya.

What goes around comes around, Sneaky Bitch!” balas Christian tidak kalah sinis. “Mumpung lagi baik hati, silakan suruh staff kamu untuk konfirmasi lanjutan soal wawancara apa pun yang kalian mau.”

Miranda hanya mendengus dan mulai merias diri di sana, terkesan tidak menanggapi ucapan Christian barusan. Hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada Christian, sebab dia yakin jika profil dirinya memang dibutuhkan untuk majalah sialan yang sudah meneror dirinya hingga berbulan-bulan.

Saat Christian sudah berjalan dan memegang kenop pintu, di situ suara Miranda terdengar dengan begitu dingin dan sinis.

“Apa yang bikin kamu harus membahas wawancara dari BusinessMagz kali ini? Bukannya kamu selalu menolak dan nggak suka diwawancara?” desisnya tajam.

Christian menoleh dan menyeringai penuh kemenangan. Menatap betapa cantiknya wajah yang masih merona karena klimaks, juga lekuk tubuh dewasa yang begitu sempurna di sana.

“Kenapa, nggak? Barusan, Chief Editor-nya udah kasih bayaran di muka. Tinggal tunggu pembayaran selanjutnya, sampai pelunasannya aja,” balas Christian santai, lalu membuka pintu dan segera menutupnya dengan kencang.

Jika wanita itu berpikir bisa melarikan diri kali ini, tentu saja dia tidak akan membiarkannya seperti waktu itu. Karena saat ini, amarahnya sudah menguar dan menjalar hingga ke ubun-ubun, dengan keinginan untuk menghancurkannya sampai berkeping-keping.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Tadinya sempet adu argumen soal sex scene di reuni ini, karena takut akan mempengaruhi alur pertemuan yang udah aku tetapkan di versi awal, tapi Babang bilang untuk sekelas Christian, semua mungkin aja dengan berbagai alasan.

Aku kasih dia improvisasi. Hasilnya?
Cukup amazed dengan idenya yang pake alasan interview di akhir part ini, sehingga aku bisa lanjutin improvisasi tanpa perlu melenceng dari alur.




03.02.2020 (21.44 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top