Part. 4 - Cocktail Party

Yang nagih Joel, pengen banget diselepet sama bapaknya, yah? 🤣
Orait, sperti yang aku pernah bilang untuk tancap gas di lapak ini.
Jadi, kita ngegas dari skrg!



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Dua minggu berada di Jakarta, dengan banyaknya masalah yang ada di kantor cabang, sudah membuat kepala Miranda pening karena terlalu banyak pikiran. Bagaimana bisa sebuah perusahaan yang cukup besar, tidak dikaji dengan benar oleh kepala cabang, sehingga banyak masalah yang terjadi dan tidak bisa dihindari?

Menempati posisi Chief Editor di BusinessMagz cabang Indonesia, bukan hal mudah bagi Miranda untuk memperbaiki keadaan itu dalam waktu singkat, karena sudah menurun drastis selama tiga bulan terakhir. Hilang sudah harapannya untuk segera angkat kaki dari negara itu, sampai mengubah semua rencananya.

Rapat demi rapat dilakukan, membahas berbagai permasalahan dengan dokumen-dokumen internal yang nyaris membuatnya gila. Baru kali ini, Miranda merasa kewalahan dalam menghadapi masalah pekerjaan. Semua tidak terkendali, semenjak Chief Editor terdahulu mengundurkan diri. Sungguh prestasi yang memalukan, jika dibandingkan dengan kantor pusat di LA, yang berhasil masuk ke dalam daftar 10 majalah terlaris di sana.

"Kalau yang kalian bilang soal pasar di Jakarta, umumnya tertarik dengan sosok yang pamornya lagi naik, dan dijadikan cover majalah, kenapa nggak coba cari? Maksud saya, dalam dunia ini, nggak cuma satu atau dua orang yang sukses, kan?" ucap Miranda dingin, sambil menatap seluruh peserta rapat tanpa ekspresi.

Terbiasa menjadi orang yang dingin, tutur kata pedas, dan cenderung serius, hal itu membuat Miranda menjadi sosok yang disegani, sekaligus ditakuti oleh para staff di kantor. Bukan hanya di situ, tapi di kantor pusat, dan cabang yang lainnya pun demikian. Miranda sama sekali tidak berniat untuk bersikap angkuh, hanya saja, dia sudah lupa kapan terakhir kalinya bisa bersikap ramah dan hangat pada orang lain.

"Sudah, Bu," jawab Simon, Creative Director di perusahaan itu. "Kami sudah berusaha untuk membuat janji pada satu orang yang kami incar sejak enam bulan ini, karena beliau sedang menjadi sorotan selama setahun terakhir."

Mata Miranda membulat. "Enam bulan hanya untuk mendekati satu orang?"

"Beliau selalu menolak tawaran wawancara dari kami, Bu," kini giliran Ervina, si Managing Editor, dengan ekspresi masam.

"Lalu, informasi apa saja yang sudah kalian dapat, sampai gigih dalam mengejar orang itu selama enam bulan?" tanya Miranda dengan alis berkerut heran.

"Nggak banyak, Bu. Website perusahaan, sosial media, dan yang lainnya, sama sekali nggak ada profil khusus tentang beliau. Hanya tercatat sebagai salah satu pengusaha muda yang sukses di bawah usia 30 tahun," jawab Simon cepat.

Menggeram pelan, Miranda menatap Simon dengan tajam. "Kalau cuma gara-gara itu, kenapa nggak cari yang lain? Pengusaha muda di negara ini, nggak cuma satu, kan? Lagian, orang macam apa yang mau kamu jadikan profil utama, kalau informasi dirinya aja, nggak bisa kita dapetin di Google?"

Nada tinggi dalam suara Miranda, membuat suasana di ruang rapat menjadi tegang. Rasa lelah dan penat, membuat Miranda sudah tidak bisa lagi bersabar. Menunda pekerjaan adalah hal yang dibencinya, juga mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja, membuatnya gerah tanpa adanya jalan keluar.

"Untuk para pengusaha muda, sudah pernah kita wawancara, baik majalah ini, atau majalah kompetitor, Bu. Tapi, yang satu ini berbeda, karena tidak pernah sekalipun menerima wawancara dari pihak mana pun. Jika saja kita bisa mendapatkannya, maka majalah ini akan menjadi yang pertama berhasil membawanya menjadi profil utama, Bu," ucap Winda, asisten pribadi Miranda, yang memberi jawaban, setelah suasana hening selama beberapa detik, karena tidak ada yang berani menjawab.

"Memangnya apa pekerjaannya? Apakah sehebat itu dalam menjalankan bisnisnya?" desis Miranda geram, sambil merutuk siapa pun yang sedang dibahasnya sekarang.

Betapa sombong dan angkuh sekali, pikir Miranda. Umumnya, para pengusaha akan berlomba untuk tampil di majalah terkemuka, atau sebagai pembicara dalam berbagai event. Mereka seakan ingin mencari nama, mengenalkan perusahaan, dan meraih keuntungan dari nama besar yang sudah dikenal banyak orang. Tapi kali ini, sungguh tidak masuk akal.

"Beliau masuk dalam salah satu daftar orang kaya termuda, di usianya yang baru mencapai 29 tahun, Bu. Selain sukses dalam menjalani usaha di bidang entertainment terbesar ketiga di Indonesia, beliau juga adalah ahli waris dari perusahaan exim terkemuka, milik keluarganya," jawab Ervina kemudian.

"Untuk Creative Director terkemuka seperti Alwindo Chandra, tidak mampu mendapatkan wawancara darinya, Bu," tambah Simon.

Kini, Miranda tertegun dengan tambahan informasi dari Simon barusan. Seorang multitalenta yang cukup terkenal seperti Alwindo Chandra, bisa ditolak begitu saja. Sungguh, Miranda menjadi semakin tidak percaya dengan seseorang yang dibicarakan saat ini. Sebagian dirinya merasa penasaran, sebagiannya lagi merasa tertantang.

"Apakah dia memang sehebat itu?" gumam Miranda dengan tatapan menerawang.

Semua peserta rapat kompak menganggukkan kepala, sambil mengawasi ekspresi Miranda yang tampak masam dan lelah di sana. Terdiam sejenak, seolah mereka membutuhkan waktu untuk berpikir, menunggu keputusan di akhir rapat yang biasanya dilakukan Miranda.

Miranda menoleh pada Winda yang tampak tersentak ketika mendapat tatapan tegas darinya. "Siapkan data profil tentang orang itu ke meja saya, biar saya kaji ulang untuk penindakan yang akan dilakukan, apakah tetap harus dengannya, atau kita ganti orang."

Winda hendak membalas, tapi tidak jadi, karena ponsel Miranda berbunyi. Sambil beranjak, Miranda melambaikan tangan kepada para peserta rapat, tanda bahwa rapat sudah usai, lalu berjalan keluar dari ruang rapat, dan mengangkat ponselnya.

"Yes?" ucap Miranda sambil mengapit ponsel di antara bahu dan telinga, lalu membuka pintu ruangannya.

"Gila aja kalo hari Sabtu, lu masih kerja," celetuk suara di sebrang sana.

"Kerjaan gue banyak banget di sini, Drey. Gue hampir gila tahu, gak?" keluh Miranda pelan, lalu menghempaskan tubuh di kursinya.

"Siapa suruh lu yang nggak bisa santai dikit? Nggak usah buru-buru kayak dikejer setan lha. Gue tahu banget kalo ada yang kangen di sana," balas Audrey dengan nada jenuh.

"Gue nggak betah di sini," sahut Miranda jujur.

Audrey hanya tertawa hambar. "Pantesan aja, lu selalu menghindar dari gue."

"No, bukan itu! Gue...,"

"Nggak usah banyak bacot. Lu ada janji sama gue untuk hadirin event sore ini," sela Audrey tegas, terdengar seperti tidak mau tahu.

Miranda hanya menghela napas dan bersandar di punggung kursi, sambil melihat kedatangan Winda ke dalam ruangan, lalu menaruh seberkas dokumen di atas mejanya, dan mengundurkan diri setelahnya.

"Perlu banget yah ke situ? Gue bener-bener males ke tempat yang rame-ramean gitu," tanya Miranda.

"Ini nggak rame-ramean, karena bukan pesta. Cuma sekedar kasih support buat sepupu yang rese, karena udah ribet ingetin gue untuk dateng," jawab Audrey lugas.

"Terus itu acara apa?"

"Cuma cocktail party, sekedar bullshit-an sama kumpulan pengusaha gitu."

Mata Miranda langsung melebar, ketika mendengar jawaban Audrey soal kumpulan pengusaha. Sehubungan dirinya yang minim pengetahuan tentang pengusaha di Indonesia, juga karena sedang mencari tahu lebih banyak untuk perkembangan bisnis di negara ini, rasanya tawaran untuk menghadiri acara yang diajak Aurey, tidak ada salahnya.

"Acaranya jam berapa?" tanya Miranda, kali ini dengan nada penuh minat.

"Jam 5-an. Kenapa? Jangan bilang kalo lu...,"

"Oke! Gue akan siap di jam setengah 5. Lu jemput gue, kan?" sela Miranda cepat.

Audrey terkekeh senang di sebrang sana. "Nah, gitu dong. Nanti abis dari situ, kita bisa hang out bareng."

"Okay, atur aja. Gue beresin kerjaan dulu, lalu pulang untuk siap-siap."

Telepon dimatikan. Miranda segera kembali menekuni beberapa pekerjaan, berpikir untuk bekerja selama satu jam lagi, dan pulang setelahnya. Tatapannya tertuju pada seberkas dokumen yang ditaruh Winda di meja. Segera mengambil dokumen itu, dan membukanya. Tidak sampai sedetik, napas Miranda seolah tersengal ketika melihat halaman depan pada dokumen itu.

Mengerjap cepat, lalu bergerak gelisah, dengan degup jantung yang sudah bergemuruh tidak karuan, Miranda mencoba membuka halaman per halaman dengan tangan yang gemetar. Shit! This is so fucking shit! Batinnya mengumpat keras.

Kepalanya bertambah pening, seiring dengan rasa pusing yang mulai menyelimuti. Miranda memejamkan mata dan menaruh satu tangan di kening sebagai penopang kepala, untuk menahan rasa pusing yang kian menjalar. Tidak mungkin, kembali dirinya membatin. Bagaimana mungkin dirinya harus dihadapkan dalam situasi yang tidak diinginkan dalam cara seperti ini?

Berdiam diri selama beberapa saat, atau mungkin cukup lama, Miranda menenangkan diri. Ketika sudah bisa menarik napas dalam-dalam, menghitung dari satu sampai sepuluh dalam hati, Miranda membuka mata, dan langsung menutup berkas itu dengan kasar.

Tidak ingin terus berpikir, Miranda segera beranjak dan meninggalkan ruangan untuk kembali ke apartemennya. Mempersiapkan diri untuk menghadiri event yang dijanjikan Audrey. Event yang katanya adalah kumpulan para pengusaha, dimana Miranda yakin bisa berkenalan dengan beberapa orang di sana, untuk mencari tahu dan mengenalkan diri. Seperti itulah rencananya.

Hal itu sukses mengalihkan perhatian Miranda yang sempat kacau, sampai Audrey menjemput dan bersama-sama pergi menghadiri sebuah acara yang dihelat di sebuah hotel ternama. Memakai evening dress dengan model bahu terbuka, serta riasan yang menampilkan kecantikan alami yang dimilikinya, Miranda sukses menjadi pusat perhatian.

"Masih inget sama Kakak Sepupu gue ini?" celetuk Audrey sambil terkekeh, ketika mereka sudah tiba dan disambut oleh seorang pria yang tampak begitu menawan, dalam balutan formal itu.

Pria yang dikenalkan Audrey tampak mengerutkan alis saat menatap Miranda. "Wait! Lu itu Miranda? Temen SMU si Audrey, yang suka main ke rumah?"

"Exactly! Yang pernah lu taksir diem-diem, tapi Miranda keburu pindah ke US," balas Audrey.

Alis Miranda terangkat, ketika melihat sosok kakak sepupu Audrey yang terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya. Dengan kesan dewasa, rahang tegas, dan sorot mata tajam, Miranda yakin jika pria itu sanggup meluluhkan semua hati wanita, lewat tatapan yang sedang diberikannya saat ini.

"Serius? Apa kabar? Lagi pulang kampung?" sapanya sambil mengulurkan tangan ke arah Miranda, yang langsung disambut untuk berjabatan. "In case, kalau lu lupa. Gue Nathan."

"No, gue nggak lupa. Agak amazed karena lu makin oke," balas Miranda sambil melebarkan senyuman.

"Thanks, lu juga. Keliatan makin stunning," sahut Nathan dengan tatapan menilai. "Wow."

"Udah mau merit, tuh mata jangan jajan!" tegur Audrey sambil menarik Nathan untuk menjauh dari Miranda, dan sukses melepas jabatan tangan mereka.

Nathan mendesis tajam ke arah Audrey. "Gue muji, bukan berarti gue main hati! Biar bangsat kayak gini, gue tuh setia!"

Audrey terkekeh geli. "Iya, tahu deh yang jadi bucinnya Lea."

"Nathan udah mau nikah? Wah, congrats, yah. Mana calon istrinya?" tanya Miranda hangat.

"She's not here. Lagi di NYC buat magang," jawab Nathan dengan bibir menekuk cemberut.

Melihat ekspresi masam dari Nathan, membuat Miranda tidak bisa menahan senyuman geli. Tampak sekali jika pria itu sangat mencintai wanitanya, sehingga perlu mengubah ekspresinya tanpa ragu, ketika mendapat pertanyaan tentang calon istrinya.

"So, ini acara untuk ngerayain kesuksesan perusahaan, karena menang tender besar di Taiwan?" tanya Miranda, mengalihkan pembicaraan.

Nathan mengangguk dengan mantap. "Cuma acara syukuran aja, sekalian jaga hubungan sama relasi dan kolega."

"Wow! Lu masih muda, tapi udah sukses. Salut! Selamat yah untuk keberhasilan ini," balas Miranda tulus.

Audrey hanya tertawa pelan. "Naluri wartawannya muncul deh."

Miranda terkekeh, dan Nathan mengerutkan alisnya. "Wartawan? Siapa yang jadi wartawan?"

"Actually, bukan wartawan. Gue adalah Chief Editor di majalah bisnis BusinessMagz, dan lagi mutasi kerja di cabang Jakarta," jawab Miranda dengan lugas.

"Wow! BusinessMagz yang itu?" balas Nathan dengan ekspresi takjub.

"Yeah, yang itu," sahut Miranda dengan perasaan bangga yang tidak bisa dibendung, setiap kali mendapat respon yang serupa dengan Nathan tentang pekerjaannya.

Obrolan mereka masih terjadi, diiringi dengan canda tawa. Bahkan, Nathan mengenalkan Miranda pada beberapa rekanan, juga kolega yang merupakan para pengusaha sukses. Ada banyak nama yang baru diketahuinya, juga tidak sedikit yang terlihat menarik. Termasuk pengusaha yang bernama Wayne, yang katanya adalah sahabat Nathan, bersama dengan istrinya yang sedang hamil muda.

Tadinya tidak ada masalah, semua pun berjalan seperti sedia kala. Tidak ada halangan, atau hambatan selama mengikuti acara itu. Tapi semuanya berubah total, ketika ada dua orang pria muda datang, dan langsung disambut oleh Nathan dengan menghampiri mereka.

Tampak dari posisi Miranda berdiri, seorang pria dengan penampilan yang begitu luar biasa mempesona, seolah menghipnotis dirinya untuk terpaku menatapnya. Bukan hanya itu saja, seluruh energi Miranda seolah terhisap habis, saat pria itu sudah menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin di sana.

Seseorang yang tidak diinginkan untuk bertemu. Seseorang yang sudah membuatnya membenci negara kelahirannya sendiri. Seseorang yang membuat napasnya tertahan, setiap kali mengingatnya. Juga, seseorang yang diharapkan para staff untuk dijadikan sebagai profil utama yang sulit untuk didapat. Dia adalah orang yang sama.

Christian fucking Haydenchandra, itu namanya.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Next part goes to CH-Zone 😏
Udah mikir yang iya-iya aja kan?
SAMA! 🤣
Mukanya Tian ngegas banget, sih!
Jadinya kan aku minta sama beliau buat bikin lanjutan 🙈

Gimana? Aku pengertian, kan?
HAHAHAHA 😂

Nggak bapak, nggak anak.
Ngegas mulu, heran 😑




27.01.2020 (19.53 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top