Part 23 - Joel Christian
Teruntuk reader yang sudah sabar menanti dan penuh pengertian.
Yang nggak pernah lelah dalam menyemangatiku 💜
Nih, aku kasih bacaan.
Tenang aja. Part ini aman 😄
Cuma satu yang kuminta, rasa penasaran itu bisa mengusik kehaluan.
Siap2 aja, yah.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
JC mendrible bola dengan penuh percaya diri. Dia hendak menembak bola ke arah ring tapi tiba-tiba bolanya menghilang. Tertegun sesaat, lalu berbalik dan mendapati Christian sudah mengambil alih.
Pria tinggi itu melesat cepat melewati JC yang masih tercengang melihatnya, mendrible bola ke arah ring sebaliknya, lalu berhenti di garis tiga angka dan melompat tinggi sambil melayangkan tembakan bola pada ring, lalu... BLUG! Bola itu masuk dengan mulus.
"Dasar tukang pamer," ucap JC dengan ekspresi cemberut ketika melihat Christian menyeringai penuh kemenangan di sana.
Christian mengangkat bahu sebagai respon dan merasa perlu berbangga hati karena bisa membungkam mulut anak tengil itu. Meski merasa cukup konyol karena harus bersaing dengan anak kecil, tapi hal itu membuat beban hidupnya terasa lebih ringan. Bersamanya, Christian bisa melupakan sejenak tentang permasalahan yang sedang menjadi pusat pikirannya saat ini.
Hari ini adalah hari Jumat, dimana setelah menjalani tugasnya sebagai guru eskul, Christian memenuhi permintaan kedua dari anak tengil itu. Simple dan tidak menyulitkan. Anak itu hanya ingin memainkan X-Box yang dimilikinya saat bermain lego minggu lalu di rumahnya. Tentu saja, mereka sedang berada di rumah Christian, dan bermain basket di backyard.
JC begitu menyukai playroom miliknya yang dipenuhi berbagai permainan untuk menyalurkan hobi. Tampak begitu senang dan tertawa lepas selama bermain, meski hanya ada mereka berdua saja. Christian pun cukup menikmati permainan yang diinginkan JC dan menjadi lawan mainnya. Tidak ada menang atau kalah, yang ada hanyalah perasaan senang yang diiringi dengan canda dan tawa.
Tidak terasa hari mulai sore, karena waktu bersama dengan anak itu terasa begitu singkat. Makan siang bersama setelah jam eskul usai, segera pulang ke rumah untuk bermain di playroom, dan diakhiri dengan bermain basket. Mulut anak itu pun tidak berhenti mengunyah, seolah tidak ada hari esok untuk menikmati makanan kesukaannya.
Berbagai chips dihabisinya dalam sekejap, juga permintaan untuk memesan pizza dalam varian rasa. Christian tidak mengerti dengan daya tampung dari perut anak sekecil itu yang masih sanggup memakan pizza dengan gigitan besar, yang membuatnya meringis pelan melihatnya.
"I think I like you, Dude," ucap JC dengan mulut penuh.
"Of course, you like me," balas Christian tengil.
JC mengangguk sambil mengunyah dengan mulut yang sudah berlumuran saus tomat. Christian hanya menggeleng dan menatap JC tidak percaya dengan aksi makannya yang gila-gilaan.
"You make me feel like I'm the happiest boy in the world," tambah JC sambil mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Christian meringis jijik melihat JC membersihkan mulut seperti itu. Spontan menarik selembar tissue, Christian bergeser untuk mendekat pada anak itu, dan mengusap mulutnya, dilanjutkan membersihkan punggung tangannya.
"Jorok banget sih lu jadi anak," sewotnya ketus.
"What?" tanya JC bingung.
"Messy, clumsy, and dirty. That's you," jawab Christian sambil mendelik tajam padanya.
JC hanya mengangkat bahu dan menatapnya dengan sumringah. "Sudah ada dirimu yang membersihkan. Thanks, Dude."
Setelah menghabiskan satu potongan besar, kini JC mengambil kembali sepotong pizza dan menggigitnya dengan lahap. Dia begitu tekun dan tampak antusias dalam menikmati makanan itu.
"Setelah itu habis, kau tidak boleh makan lagi," tukas Christian tegas.
JC tersentak dan menatap Christian dengan tatapan tidak setuju. "Why? Ini masih banyak."
"Justru karena masih banyak, kau tidak perlu terburu-buru. Apa kau tidak tahu jika sudah makan terlalu banyak? Bagaimana jika kau sampai muntah dan perutmu bermasalah?"
JC mengerang kecewa dan menekuk bibirnya cemberut, tanda bahwa dia merasa terusik dengan larangan yang dilemparkan Christian barusan. "Kau terdengar seperti ibuku."
"Tidak usah ibumu, aku yang orang lain saja sudah gerah melihatmu serakus itu," balas Christian dengan satu alis terangkat, ketika JC membalasnya dengan menggigit pizza yang dipegangnya dalam gigitan besar hingga mulut kecilnya begitu penuh dan sesak.
Merasa gemas dan kesal, Christian menoyor kepala anak itu. Dia segera beranjak dari kursi, menutup kotak pizza dan mengumpulkannya ke samping. Sama sekali tidak mengindahkan aksi protes JC lewat gumaman tak jelasnya karena mulut yang masih penuh.
"Take a break, Buddy," ujar Christian sambil menuangkan segelas air putih dan menyodorkan pada JC.
Anak itu mengangguk sambil menerima segelas air putih dan meneguknya, lalu menghela napas lega. "I'm so full."
Ya iya lha, udah pasti kenyang. Makan udah kayak babi gitu, batin Christian sewot.
"Do you want to go home now?" tawar Christian kemudian.
JC menggeleng dan tersenyum sumringah padanya. "Aku masih ingin mengobrol denganmu."
"Apakah ibumu tidak akan marah?" tanya Christian untuk memastikan.
"Aku sudah mendapat ijin darinya dan mengatakan bahwa kau akan mengantarku pulang. Tenang saja," jawab JC senang.
Christian mengangguk dan kembali duduk di sisi JC sambil menaruh satu tangan di sandaran kursi yang diduduki anak itu. "Jadi, apa yang ingin kau lakukan sekarang? Masih ingin bermain X-Box?"
JC menggelengkan kepalanya sambil mengubah posisi duduk untuk mengarah pada Christian, lalu duduk bersila dan menopang dagu. "Let's have some talk, Dude."
"Okay."
"Do you have a girlfriend? Wife? Or soulmate?"
Pertanyaan JC spontan membuat dahi Christian berkerut dan menatapnya dengan seksama. Sorot mata ingin tahu dari JC membuatnya spontan teringat dengan sosok Miranda. Entah sebutan apa yang pantas untuk wanita itu, mengingat tidak adanya pernyataan dari satu sama lain dan hubungan itu terjadi begitu saja.
"I guess no," jawab Christian akhirnya.
Ekspresi JC menjadi tertegun, lalu kemudian senyuman lebar mengembang di wajahnya. "Really?"
"Yeah, why?" tanya Christian heran.
"Aku merasa bersyukur karena kau bisa menemaniku bermain. Jika kau memiliki kekasih, belum tentu kau memilliki waktu untuk bersenang-senang seperti ini," jawab JC lugas.
Ada benarnya, pikir Christian setuju. Kenyataannya memang seperti itu ketika Christian teringat dengan Nathan dan Wayne yang sudah begitu sibuknya dan jarang memiliki waktu senggang untuk sekedar bertemu selain jam cheating off day. Lagi pula, Christian pun sampai absen dua kali berturut-turut dari jadwal Jumat rutinnya karena meluangkan waktu untuk bermain dengan JC. Satu hal yang patut diberi apresiasi karena Christian yang bisa dibilang tidak pernah mangkir dari ritual mingguannya bersama dengan teman-temannya.
"Aku akan memberimu satu rahasia, Dude," ucap JC dengan suara pelan, seolah tidak ingin ada yang mendengarkan ucapannya meski hanya berdua saja dengan Christian di situ.
Alis Christian terangkat. "Apa?"
"Bahwa wanita itu sangat cerewet, seperti ibuku," bisik JC sambil memicingkan matanya, yang sukses membuat Christian tergelak melihat ekspresinya yang sok dewasa itu.
"Sotoy banget sih lu," celetuk Christian geli.
Alis JC bertaut dan menatapnya sebal. "Aku serius, tapi aku sangat mencintainya. Dia adalah segalanya untukku. Apa kau masih memilliki ibu, Dude?"
Tawa Christian langsung lenyap ketika mendengar pertanyaan JC itu. Kata ibu sudah menjadi boomerang untuk dirinya sendiri dan itu terasa menyakitkan dalam ingatan. Menyadari perubahan ekspresi wajah Christian, JC mengerjap cemas dan segera beranjak untuk mengarahkan satu tangan guna mengusap sisi wajah Christian, seolah menenangkan.
Deg! Sentuhan ringan itu membuat tatapan Christian sepenuhnya menatap wajah JC yang terlihat cemas dan sedih, memberi sensasi asing yang menyeruak dalam dada. Degup jantungnya perlahan bergemuruh, dengan perasaan hangat yang sudah menjalar di sekujur tubuh, dan kebersamaan yang menenangkan seperti saat ini.
"I'm so sorry if I may hurt you with my question, Dude. You don't need to answer if it's..."
"No, it's okay, Buddy," sela Christian cepat. "Ibuku sudah tiada."
Sorot mata JC terlihat sedih dan mulai berkaca-kaca, seolah mewakili perasaan Christian saat ini. Dia beranjak ke pangkuan Christian untuk memberi pelukan erat. Damn! Degup jantungnya semakin bergemuruh kencang dengan napas yang mulai memberat ketika menerima pelukan itu. Meski dia merasa gelisah, tapi pelukan itu terasa benar.
"Don't be sad, I'm here for you. I'm your bestfriend," ucap JC dengan nada sedih.
Christian spontan merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukan yang lebih erat sambil memejamkan matanya, membiarkan dirinya menikmati sensasi asing yang terasa menyenangkan. Kehadiran anak itu seolah memberi kelegaan untuk beban berat yang selama ini dipikulnya.
"Thanks," balas Christian dengan suara yang sangat pelan.
"I like you, Sir. You're a good man," tukas JC sambil menarik diri dan membetulkan posisi duduk di pangkuan Christian tanpa berpikir untuk kembali ke kursinya. "Sangat jarang bertemu dengan pria dewasa sepertimu. Kau adalah teman yang baik. Kurasa, kau dan ibuku bisa menjadi partner yang keren jika bersama."
Dahi Christian berkerut. "Ibumu?"
JC mengangguk mantap. "Ibuku adalah wanita terkeren di dunia. Dia sangat mencintai dan menyayangiku. Sayangnya, dia terus bersedih dan murung. Tapi jika aku ada, perasaannya membaik. Apa kau paham apa artinya?"
"Apa?"
"Bahwa aku sangat hebat dalam membuat ibuku nyaman," jawabnya bangga.
Christian hanya tersenyum hambar melihat bagaimana anak itu masih sempat untuk membanggakan dirinya di saat seperti itu. "Kau memang anak yang hebat."
"Memang," sahut JC tanpa ragu.
"Lalu, dimana ayahmu?" tanya Christian kemudian.
Jika tadi Christian merasa sedih saat JC menanyakan tentang ibunya, kini berbalik menjadi ekspresi JC yang tampak murung. Ada sorot kerinduan yang terpancar di dalam manik matanya.
"I don't know about him. Aku hanya berdua saja dengan ibuku," jawab JC sedih.
Damn! Ada amarah dan rasa tidak terima ketika mendengar jawaban JC yang menyakitkan hatinya. Dia spontan mengusap punggung kecil itu dan menatapnya dengan tajam.
"Look at me, Buddy," ujar Christian dan JC melakukannya. "You have me because I'm your best buddy, remember? Whenever you need me, I'll be there for you."
Untuk pertama kalinya, Christian mengucapkan janji yang timbul dari dalam hati. Meski dirinya merasa konyol, tapi senyuman lebar yang kini menghias wajah anak itu sudah memberi kebahagiaan yang tak terkira.
"Really?" tanyanya sumringah.
"Yes!" jawab Christian mantap dan JC kembali memeluknya lagi, kali ini lebih erat dari sebelumnya.
"I like you so much, Dude."
Christian tertawa dan melepas pelukan, lalu mengusap kepala anak itu dengan lembut. "Hari sudah malam, kau harus segera pulang."
JC mengerang kecewa tapi tidak protes karena sudah turun dari pangkuan Christian untuk mengambil tasnya. Dia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, sementara Christian membereskan pizza yang masih tersedia di meja.
"Apa kau ingin membawa pizza ini pulang dan... hey, apa kau baik-baik saja?"
Melihat JC yang membungkuk sambil menangkup perutnya, Christian segera menghampiri untuk memeriksa keadaannya. Wajah anak itu tampak menahan sakit. Shit!
"Apa yang terjadi? Barusan kau baik-baik saja," tanya Christian panik.
"Kurasa aku kekenyangan dan seharusnya aku tidak makan terlalu banyak," jawab JC dengan suara yang ingin menangis.
Christian menghela napas dan menelan umpatan dalam hati karena ulah anak itu yang benar-benar tidak mengindahkan peringatan untuk menahan diri dalam menikmati semua makanan yang diinginkannya hari ini.
"Aku harus membawamu ke dokter," putus Christian dan JC langsung menggeleng dengan cepat.
"Tidak usah, Dude. Aku akan baik-baik saja jika sudah mendapatkan obat lambungku," ujar JC kemudian.
"Obat lambung? Apakah perutmu sensitif?" tanya Christian kaget.
JC mengangguk dengan ekspresi bersalah. "Maaf, aku tidak memberitahumu soal ini. Aku hanya ingin menikmati makanan kesukaanku dan..."
"Tidak usah meminta maaf," sela Christian cepat sambil membungkuk untuk menyamakan posisi kepala. "Aku akan mengantarmu pulang, jika kau merasa tidak nyaman, beritahu aku, okay?"
JC mengangguk dan menggandeng tangan Christian untuk berjalan menuju ke garasi. Setelah memastikan anak itu duduk dengan nyaman dan sudah memakaikan sabuk pengaman padanya, Christian segera melajukan kemudi untuk mengantar anak itu pulang.
"Apakah ibumu sudah pulang bekerja?" tanya Christian sambil melirik pada JC yang terdiam.
"Sepertinya begitu," jawabnya pelan.
"Kenapa kau tampak cemas? Apa kau takut jika ibumu marah padamu?"
JC menekuk bibirnya dan tampak ingin menangis. "Aku sudah berjanji padanya untuk menjaga makananku saat pergi bersamamu. Tapi aku mengabaikannya. Dia akan sangat cemas dan takut nantinya. Aku selalu membuatnya sedih."
"Tidak! Tenang saja! Aku akan menghadapnya karena sudah lalai dalam memberimu makanan itu. Kau tidak usah kuatir."
"Tapi aku yang meminta dan kau tidak tahu soal masalah perutku."
"Cukup untuk merasa bersalah dalam keadaan seperti ini, Buddy. Kau tidak usah takut atau cemas, biar aku yang menjelaskannya."
JC mengangguk patuh dan mengusap matanya dengan punggung tangan, tampak berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menangis. Dasar cengeng, batin Christian. Gayanya yang sok dewasa dan begitu rakus membuatnya lupa akan segalanya. Untung saja karena masih kecil, Christian memaklumi. Jika tidak, ingin rasanya dia melempar anak itu keluar.
"Omong-omong, siapa namamu yang sebenarnya? Apa benar hanya JC saja?" tanya Christian sambil membelokkan kemudi untuk memasuki jalan bebas hambatan.
Senyum JC mengembang sedikit. "Aku suka membuat banyak singkatan, tujuannya untuk supaya lebih efektif dan mudah mengingatnya."
"So, JC stands for what?" tanya Christian yang sama sekali tidak pernah melihat buku absen yang diberikan Allyssandra dan hanya bertanya lewat interaksi langsung pada murid-muridnya.
"It's Joel Christian," jawab JC bangga.
Dahi Christian berkerut dan langsung menoleh pada JC dengan tatapan menilai. Joel, batinnya. Nama yang sama seperti anak Miranda yang sempat diketahuinya waktu itu.
"Well, nama belakangmu sama dengan namaku," gumam Christian pelan.
JC mengangguk sambil tersenyum. "Bukankah itu keren? Mungkin karena itulah, kita bisa berteman baik."
Christian hanya menanggapi dengan senyuman dan terdiam cukup lama dalam pikirannya yang sudah melalang buana, sampai tidak ada obrolan yang dilakukan keduanya hingga tiba di tempat tinggal anak itu.
Anak itu tinggal di gedung apartemen yang sama dengan Miranda. Christian sudah pernah mengantar JC pulang hingga ke unitnya dan hanya ada seorang wanita paruh baya berparas import yang menyambut kepulangan anak itu. Sementara unit Miranda, sampai hari ini tidak diketahuinya karena wanita sialan itu tidak pernah membiarkannya untuk bertamu.
Begitu tiba, Christian memarkirkan mobil di basement, dan segera keluar dari mobil untuk membukakan pintu bagi JC yang tampak melemah. Dia membungkuk untuk menatap wajah anak itu yang tampak pucat dan terlihat ingin menangis.
"Anak laki-laki tidak boleh cengeng," ucap Christian tegas. "Jika kau melakukan kesalahan, hadapi saja. Jika kau harus dihukum, terima saja. Sebagai anak laki-laki, kau harus bertanggung jawab."
JC mengangguk saja ketika Christian sudah melepas sabuk pengamannya dan berinisiatif untuk menggendong anak itu. Spontan, anak itu memeluk lehernya sambil menyandarkan kepala di bahu saat Christian menggendongnya. Masih mengingat lantai dan nomor unit apartemen anak itu, Christian berjalan dan mengabaikan beberapa orang yang ada di dalam lift yang sama, yang rata-rata adalah wanita muda yang menatapnya dengan sorot mata penuh minat.
Begitu lantai tujuannya tiba, Christian segera keluar dari sana dan berjalan menuju ke unit yang berada di sudut koridor panjang, lalu menekan bel yang ada di samping pintu unit. Tidak butuh waktu lama, pintu itu terbuka dan mata Christian melebar kaget ketika melihat sosok Miranda yang membuka pintu. Dengan ekspresi kaget yang sama, Miranda mengerjap tidak percaya sambil menatap Christian dan JC secara bergantian.
"K-Kamu kenapa bisa bawa Joel?" tanya Miranda dengan suara gemetar.
Merasa namanya disebut, JC segera menegakkan kepala dan menoleh untuk melihat Miranda dengan ekspresinya yang bersalah. "Hi, M. I'm home. This is Mr. X, my best buddy."
Napas Christian tertahan dan bergeming saja ketika mengetahui anak tengil yang bernama JC adalah anak dari Miranda. Shit! Jadi, selama ini gue udah kenal sama anaknya Miranda, ucap Christian dalam hati.
Entah kenapa ada kesan tidak suka saat Christian melihat sorot mata Miranda saat ini. Sorot mata yang menampilkan ketakutan seolah Christian akan merebut sesuatu darinya dan sepertinya itu bukan hal yang baik.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Jujur aja, nulis bagian terakhir bikin aku deg2an sendiri.
Aku berusaha untuk membawa kalian dalam emosi yang dirasakan keduanya.
Rasa sakitnya, lukanya, pertahanannya, supaya bisa lebih gemes.
Satu lagi, nggak ada paksaan untuk kalian harus baca versi terbaru jika lebih menyukai versi yang pertama.
Ini adalah revisi, yang artinya ada perubahan meski alur sama.
Kalo sama aja kayak yang pertama, itu namanya buang2 waktu.
Tetap semangat dalam melanjutkan puasanya dan selamat berjuang 😚
I purple you 💜
28.04.2020 (13.47 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top