Part. 22 - Parking lot surprise

Daddy Tian for the greatest woman who read this story 💜

Selamat Hari Kartini, Girls.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


7 years earlier...

Jika biasanya aku merasa senang berhadapan dengan Om Jose, kali ini tidak. Justru sebaliknya, aku membencinya dan enggan untuk melihat wajahnya dengan melihat ke arah lain, meski kami berdiri berhadapan.

Sudah berada di bandara, aku menggenggam erat pegangan koper dan berusaha untuk tidak menangis. Setelah menghabiskan sisa hariku dengan bersama Christian di apartemennya, aku meninggalkannya begitu saja saat dia masih terlelap dengan sepucuk surat. Aku tidak sanggup untuk mengucapkan selamat tinggal karena perpisahan ini sudah menyakiti hatiku.

"Kuharap kau tidak berlama-lama untuk membenciku," ujar Om Jose dengan pelan. "Kau akan baik-baik saja di Ontario bersama ibumu, Sayang. Dia akan melindungi dan merawatmu di sana."

Aku hanya tersenyum getir. Semenjak perceraian orang tuaku, aku sudah seperti sebatang kara. Ayahku pergi entah kemana dan ibuku menikah dengan pria asing, meninggalkanku di Jakarta untuk menetap di Ontario sejak 5 tahun lalu. Om Jose-lah yang selama ini sudah berbaik hati menjagaku seperti putrinya sendiri dengan memberi salah satu rumahnya sebagai tempat tinggal dan membiayai sekolahku.

"Alice sudah berjanji akan menjagamu dengan baik dan menyesal sudah menelantarkanmu," ucap Om Jose dengan ekspresi sedih.

"Aku hanya ingin di sini, Om. Apakah masih ada kesempatan untukku memilih? Setidaknya, tetap bersama denganmu," balasku lirih.

Om Jose dengan cepat menggelengkan kepala dan menatapku tajam. Dengan dua tangannya yang sudah menangkup bahuku, dia membungkuk untuk menatapku lekat.

"Kau tidak aman di sini dan aku tidak ingin ada yang menyakitimu," ucapnya untuk yang kesekian kalinya.

"Aku baik-baik saja," balasku lagi.

"Kau tidak mengerti, Miranda. Kau tidak akan pernah mengerti," sahut Om Jose sambil menggeleng. "Seseorang ingin menghancurkanku, dan kau sudah menjadi incaran berikutnya."

"Christian tidak akan menyakitiku," tukasku dengan air mata yang sudah berlinang.

Om Jose menghela napas lelah. "Anak itu hanya memanfaatkan perasaanmu untuk menyakitimu karena aku."

"Itu karena kau berusaha merebut ibunya dari ayahnya," ujarku sedih.

Kembali menggeleng dengan keras, Om Jose sudah menggeram pelan dan melotot tajam padaku. "Christina adalah wanita yang kucintai, tapi dia adalah orang yang setia. Oleh karena itu, aku merasa perlu bertanggung jawab untuk melindunginya, sama seperti aku melindungimu."

"Aku tidak mengerti."

"Kau akan mengerti di kemudian hari. Dengarkan aku baik-baik, Miranda. Jangan percaya kepada siapa pun, selain dirimu sendiri. Juga pada orang sekitarmu. Ibumu akan menjemput tepat waktu dan tinggallah bersamanya."

"Lalu apa yang akan kau lakukan di sini, Om? Apa kau akan baik-baik saja? Kenapa aku tidak boleh bersamamu?"

"Karena aku tidak ingin kau terluka. Aku mengasihimu dan mencintaimu seperti putriku sendiri, Sayang. Kau selalu ingin membalas kebaikanku, bukan?"

Aku mengangguk dan isakanku mulai terdengar.

"Kalau begitu, pergilah. Jangan pernah kembali ke sini dan tunggu aku menjemputmu setelah urusanku selesai. Waktuku sudah tidak banyak karena sehabis ini, aku harus membawa Christina untuk pergi," ucap Om Jose dengan suara serak, tampak begitu sedih.

"B-Bagaimana dengan Christian? Apa dia...,"

"Dia akan baik-baik saja karena masih ada ayahnya yang mengawasi. Tapi Christina? Tidak."

Melihat kesungguhan Om Jose, ada kelegaan yang menjalar dalam hati bahwa Christian akan baik-baik saja. Masih belum memahami karena semua terjadi begitu cepat, aku tidak memiliki waktu untuk bertanya lebih banyak. Om Jose mengantarku hingga pintu keberangkatan sambil merangkulku dengan erat. Kesedihan yang besar tampak jelas di wajahnya, terlihat tidak rela untuk melepasku.

"This is it, Miranda," ucap Om Jose ketika kami sama-sama berhenti tepat di pintu keberangkatan.

Aku mengangguk sambil menundukkan kepala, tidak ingin melihatnya lebih lama. Entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir dan membasahi wajahku sekarang. Aku sudah benar-benar kacau.

Dua tangan besar Om Jose tiba-tiba menangkup wajahku, mendongakkannya, dan mengusap pipiku yang basah dengan ibu jarinya. Sorot mata penuh kasih dan senyuman lirih yang berusaha menenangkan, membuat rasa sedihku semakin membesar. Dia melihatku seolah ini adalah terakhir kalinya kami bertemu.

"Aku sudah menaruh sebuah kartu dan buku tabungan di dalam tasmu. Aku percaya jika kau bisa menjaga pemberianku dan tidak dipergunakan dengan sembarangan. Meski Alice adalah kakakku dan dia adalah ibumu, aku tetap tidak ingin kau kekurangan," ujar Om Jose kemudian.

"Terima kasih," balasku dan langsung menyambut pelukannya dengan erat.

Tangisku kembali mengudara dan teredam di dadanya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menangis dan mengikuti perintahnya. Cukup lama kami berpelukan untuk menghabiskan sisa kebersamaan itu, sampai akhirnya suara panggilan untuk segera menuju ke boarding room terdengar, dan kami saling menarik diri.

"Jaga dirimu, Sayang. Kabari aku jika kau sudah tiba di sana," tukas Om Jose lembut, lalu mencium keningku dengan dalam.

"Kau juga, Om. Kau harus berjanji padaku untuk menjaga dirimu dan memberikan penjelasan padaku," sahutku pelan.

Dia mengangguk dan kembali mengusap kepalaku dengan penuh kasih. "Kau juga harus berjanji padaku untuk tetap hidup dan berjuang dalam keadaan apa pun."

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Minggu depan, akan ada sebuah paket yang kukirimkan atas namamu. Simpan itu baik-baik, jangan sampai ada yang tahu, termasuk Alice," ujarnya lagi.

"Paket apa?" tanyaku serak.

Dengan senyuman yang tidak sampai ke matanya, Om Jose mengusap kepalaku dengan lembut. "Sebuah kebenaran yang belum sempat terucap."

Itu adalah kata-kata terakhir dari Om Jose yang selalu kuingat sampai detik ini.

Untuk semua janji yang diucapkan, nyatanya tidak ada satu pun yang ditepati. Setibanya aku di Ontario, aku segera menghubunginya tapi ponselnya tidak aktif. Berhari-hari aku mencoba, namun tidak berhasil. Aku terus menunggu, hingga paket yang dijanjikannya padaku tiba.

Merasa kesal karena tidak mendapat kabar dari Om Jose, aku tidak pernah membuka paket itu dan menyimpannya di dalam lemari, menyembunyikannya di sudut terdalam.

Sampai satu hari, aku mendapat kabar yang nyaris membuat duniaku seakan runtuh seketika. Genap dua minggu aku di sana, ibuku menangis histeris dan menerobos masuk ke dalam kamarku saat aku sedang membaca buku. Dia datang membawa sebuah kabar. Yeah. Kabar kematian Om Jose dengan wanita bernama Christina dalam sebuah kecelakaan, yang membuat jenazah keduanya tidak dikenali karena hangus terbakar.


🌷🌷🌷🌷🌷


Present day...

Miranda menatap ponselnya dengan tatapan kosong saat menerima pesan singkat dari pihak pengacara tentang perlindungan diri sebagai fasilitas keamanan untuk dirinya. Tidak menyangka jika dia akan begitu cepat dalam menerima konfirmasi dari Gordon dan keputusannya untuk melangkah lebih jauh.

Miranda menghela napas dan mengusap wajahnya dengan perasaan kalut sambil menaruh ponselnya di meja. Dia kembali meraih gelasnya yang masih berisi setengah wine, lalu meneguknya sampai habis.

Setelah pulang dari rumah Christian waktu itu, tidak ada pesan singkat atau telepon darinya. Miranda pun tidak mencoba untuk menghubunginya karena memang seperti itu. Tidak ada hubungan spesial. Tidak ada komitmen. Semua harus berjalan sebagaimana mestinya, seperti dulu kala. Meski kuatir, Miranda menahan diri untuk tidak menanyakan kondisi terkini dari Christian.

"Are you good, Mom?"

Suara mengantuk dari belakang membuat Miranda tersentak dan menoleh ke sumber suara. Senyumnya langsung mengembang ketika melihat Joel tampak mengucek mata. Sepertinya, anak itu terbangun.

"Good. Come here, Honey," ujar Miranda sambil merentangkan dua tangannya untuk menyambut Joel ke dalam pelukan.

"Kau pulang terlambat lagi," gerutu Joel dengan nada tidak suka. "Apakah sesibuk itu pekerjaanmu?"

"Deadline, sudah memasuki minggu ketiga dan...,"

Joel langsung berdecak pelan dan mengambil duduk di pangkuan Miranda. "You know what, Mom? Aku ingin cepat dewasa dan bekerja untuk mencukupi kebutuhanmu. I want you to enjoy life."

Miranda terharu melihat bagaimana Joel begitu serius dalam menyampaikan keinginan yang sering diucapkannya di setiap kali Miranda harus pulang terlambat.

"I'll be fine, Honey," ujar Miranda menenangkan.

Joel hanya cemberut dan membuang muka dengan ekspresi tidak senang. "Kau tidak sedang berkencan dengan siapa pun, kan?"

"W-What? Apa yang kau pikirkan?" tanya Miranda dengan tawa hambar.

"I know you need someone to encourage you, but please, you have to choose wisely, M. At least, bring him to me, so I can share my thought about to reject him," jawab Joel dengan nada sungguh-sungguh.

Miranda tertawa pelan sambil mengusap kepala Joel dan menatapnya hangat. "Aku tidak sedang berkencan."

"Benarkah?"

Miranda mengangguk dan Joel menghela napas lega. Seperti ingin menyampaikan sesuatu, Joel memainkan satu tangan Miranda dengan ekspresi merajuk.

"Aku sudah menjalani hukumanku dengan baik," ujar Joel kemudian. "Cukup makan, cukup tidur, dan menuruti semua aturanmu."

"To the point saja, apa yang kau inginkan?"

Joel memberikan cengiran lebar yang tampak begitu lega dan senang. "Aku memiliki ibu terkeren di dunia karena tidak menyukai basa basi, dan kau tahu aku adalah perayu yang payah. Here it is, lusa adalah Jumat dan aku ingin pergi bersama dengan temanku."

"Teman yang mengajakmu bermain lego dan makan di rumahnya sehingga perutmu bermasalah selama berhari-hari?" tanya Miranda sambil menyipitkan matanya dengan ekspresi tidak suka.

"Tapi aku baik-baik saja sekarang," jawab Joel mantap. "Please, M. Dia adalah sahabat pertamaku selama tinggal di sini. Aku mulai merasa senang dengan negeri ini selama mengenalnya. Kau tahu? Ternyata negeri ini tidak seburuk yang kukira."

Miranda hanya tersenyum kecut mendengar ucapan terakhir Joel. Sering menjalani mutasi yang mengharuskan Miranda untuk membawa Joel, anak itu sering mengeluh bosan untuk hari-harinya yang panjang dan melelahkan. Sementara di sini, atau setelah masuk sekolah, Joel hampir tidak pernah mengeluh lagi.

"Aku akan menjaga diriku dengan baik, M. Percayalah," tambah Joel dengan serius.

"Aku tahu kau bisa menjaga dirimu karena kau terlalu sibuk menikmati kesenangan seperti menikmati pasta atau es krim yang berlebihan. Apa temanmu tahu soal perutmu yang sensitif?"

"Dia tidak tahu karena aku tidak memberitahunya. Lagi pula, kami adalah pria, merasa sakit sedikit justru tidak apa-apa. Pria harus kuat!"

"Joel!"

Joel tersentak dan langsung turun dari pangkuan ketika mendengar bentakan yang tidak sengaja dilakukan oleh Miranda. Anak itu segera mundur dan menundukkan kepala dengan ekspresi yang sedih, sukses membuat Miranda merasa bersalah.

"H-Honey, I'm so sorry, I...,"

"Aku hanya ingin merasakan sesuatu yang menyenangkan dan tidak ingin membuatmu terbeban, M. Kau sibuk dan aku butuh teman. Apa itu salah?" tanya Joel dengan nada yang begitu sedih.

"Joel, tidak seperti itu. Aku hanya cemas jika kau kembali sakit dan tidak ingin kau sampai tersesat karena lupa waktu untuk pulang."

"Temanku sempat mengantarku pulang, tapi kau tidak ada karena masih sibuk bekerja. Hanya ada Rosie di sini. Apa kau ingin aku berdiam diri di tempat ini setelah pulang sekolah, M? Apa kau senang melihatku bosan dan mengeluh?"

Miranda segera memeluk Joel dengan erat dan mencium puncak kepala dengan dalam. Tidak menyukai wajah Joel yang bersedih, karena harapan Miranda agar anak itu terus berbahagia. Meski hidupnya berantakan, tapi tidak tidak akan membiarkan Joel mengalami hal yang sama seperti dirinya.

"Jangan menangis, Sayang. Jika kau ingin pergi bersama dengan temanmu, silakan. Asal kau berjanji untuk menjaga apa yang kau konsumsi. Jika kau butuh aku menjemputmu, kabari aku," ujar Miranda kemudian.

Isakan Joel langsung terhenti dan menarik diri untuk menatap Miranda dengan seksama. "Really? Can I go with my buddy?"

Miranda mengangguk. "Yes. Who is he?"

"He's Mr. X," jawab Joel sumringah.

"What?"

Ponselnya berbunyi saat Joel hendak kembali menjawab. Miranda segera beranjak dan melihat layar ponsel yang menampilkan nama Christian di sana. Degup jantungnya tiba-tiba bergemuruh kencang, juga rasa rindu yang menyeruak ketika mendapatkan panggilan telepon dari pria itu.

"Is that from your boss, Mom?" tanya Joel dengan dahi berkerut karena Miranda tak kungjung menerima telepon itu.

"Mmmm, my friend," jawab Miranda gugup.

"Okay, I'll go back to my bed. Thanks for your permission. Get some rest, M. It's 10 already," ucap Joel sambil memeluk pinggang Miranda dan berlari menuju kamarnya dengan seruan kebebasan yang begitu girang.

Miranda hanya tertawa pelan melihat sikap Joel dan kembali memusatkan perhatian pada ponselnya, lalu segera mengangkatnya. "Halo..."

"Lama banget sih angkat teleponnya?! Lagi enak atau gimana? Sori aja kalo kamu lagi nanggung," sewot Christian dari sebrang sana.

"Kamu ngomong apaan sih?" cetus Miranda ketus.

"Unit kamu lantai berapa?" tanya Christian dengan nada tidak suka.

Mata Miranda melebar. "Emangnya kamu lagi dimana?"

"Mau samperin cewek songong yang sama sekali nggak punya hati karena nggak nanyain kabar," jawab Christian datar. "Sebut lantai berapa? Aku mau samperin karena udah di lobby."

"Wait there! Jangan coba-coba naik ke sini atau aku akan bener-bener benci sama kamu!"

"Kamu nggak bakalan bisa benci sama aku. Kalo dalam 2 menit kamu nggak turun ke sini, aku.."

"Iya, aku turun!"

Miranda segera mematikan ponsel dan tidak sadar menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyuman ketika mengetahui jika Christian yang sudah ada di lobby apartemennya. Enggan untuk membiarkan siapa pun yang mendatangi teritori pribadinya, Miranda selalu meminta kepada siapa saja yang datang untuk menunggu di lobby.

Begitu tiba di lobby, dia bisa melihat sosok jangkung Christian sedang berdiri membelakanginya. Kerinduan yang dirasakan semakin memberat ketika pria itu berbalik karena sudah menyadari kehadirannya. Dengan tatapan tidak suka, pria itu memperhatikan dirinya dari atas hingga ke bawah dan kembali pada sorot matanya.

"Hari gini masih lembur? Ckckck. Emang berapa sih duit lembur yang kamu dapetin dari kantor? Sini kasih aku tahu, biar aku bayar 10 kali lipat supaya kamu nggak usah kerja sampe segitu susahnya," desis Christian sambil melangkah untuk menghampirinya dan menarik satu tangan untuk digenggamnya.

"Eh, ini mau kemana?" tanya Miranda kaget ketika Christian sudah menariknya keluar dari lobby.

"Mobil," jawab Christian sinis.

"Aku baru aja pulang kerja dan ini udah jam 10 malam. Aku nggak bisa..."

"Masuk!" perintah Christian yang sudah membukakan pintu belakang mobil yang terparkir di basement.

Tidak ingin membuang waktu, Miranda segera masuk dan tercengang saat melihat ada sebuket bunga mawar yang begitu besar di sana. Dia meraih buket itu agar bisa duduk dan menghirup aroma bunga ketika Christian sudah ikut masuk untuk duduk di sampingnya.

Dua tangan besar Christian sudah memeluk pinggangnya dari belakang, bersamaan dengan hangatnya kecupan yang mendarat di tengkuknya. Miranda segera menoleh dan menatap Christian dengan sorot mata penuh arti. Keduanya saling bertatapan dalam ekspresi kerinduan yang sama.

"Ini buat aku?" tanya Miranda dengan suara gemetar.

Christian mengangguk dan memiringkan wajah untuk mencium bibirnya. Ciuman itu begitu lembut, menenangkan, juga menyesakkan. Perlahan namun pasti, ciuman yang pelan berubah menjadi tergesa. Hisapan keras dilakukan, juga sentuhan yang dilancarkan Christian untuk menambah sensasi kenikmatan yang dirasakan Miranda saat ini.

Miranda mengerang ketika satu tangan Christian menyusuri tubuh bawahnya, menaikkan terusannya hingga batas pinggang, melancarkan aksinya lewat jari-jari yang sudah bekerja untuk memainkan reaksi tubuh, sehingga perasaan Miranda melambung tidak karuan. Buket bunga yang dipeluknya tadi sudah disingkirkan ke samping, dimana dirinya bersandar pasrah untuk menerima sentuhan Christian yang tidak mampu dibendungnya.

"Kamu tahu hari ini hari apa?" bisik Christian dengan suara mengetat.

Miranda mengangguk sambil menahan erangan ketika dua jari Christian sudah masuk ke inti tubuhnya, memompanya dengan gerakan teratur, seiring dengan ibu jari Christian yang bergerak memutar di klitorisnya. Tanpa perlu melakukan apa pun, tubuh Miranda sudah begitu basah jika itu berhubungan dengan Christian.

"Today. Seven fucking years ago. You left me, Miranda," lanjut Christian dalam bisikan parau dan mempercepat gerakannya yang membuat Miranda mengerang berat. "You let me fuck you, and gone."

Ketika Christian memperdalam dua jarinya ke dalam tubuh Miranda sambil menekan klitorisnya, jeritan klimaks Miranda teredam dalam tangan Christian yang langsung membungkam mulutnya. Keduanya saling bertatapan dan bernapas dalam buruan kasar selama beberapa saat.

Christian mengadukan kening mereka sambil menarik jari-jarinya dari tubuh Miranda, kemudian mengisap dua jarinya yang basah oleh cairan gairah Miranda di sana. "Your lips tastes sweet, but your pussy tastes even better. I want it to be my dick inside you next time."

Yes, please.

Miranda menelan ludah dengan susah payah untuk menyadarkan dirinya dari ketidakberdayaan dalam orgasme singkatnya yang menyenangkan. Christian menurunkan terusannya untuk kembali seperti semula dan terkekeh geli melihatnya sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

"Kalo kangen, bilang aja. Jangan sok nggak butuh dan nggak cariin aku," ujar Christian santai.

"Ini tujuan kamu untuk datang ke sini?" tanya Miranda setelah sudah menenangkan diri.

Christian hanya mengangkat bahu dan kembali tersenyum. "Niatnya cuma pengen liat kamu dan kasih bunga. Tapi begitu liat muka mumetnya kamu, kayaknya perlu banget dikasih enak supaya beban lebih ringan."

Miranda memukul bahu Christian dengan kesal sambil merengut cemberut. Pria itu hanya tertawa hambar dan menatapnya dengan seksama. Seperti biasa, Christian sudah kembali ceria, sehat, dan segar.

"Aku udah sembuh dari hari Minggu. Berkat obat dan makanan yang kamu kasih. Sorry kalo nggak ada kabar sampai hari ini karena ada urusan. Kamu sendiri gimana?" tanya Christian sambil memainkan ujung rambut Miranda tanpa mengalihkan tatapan.

"Cukup sibuk untuk deadline kerjaan," jawab Miranda pelan.

Christian mengangguk sambil tersenyum hangat padanya. "Soal kemarin yang belum sempet kamu omongin...,"

"Ah, itu...,"

"Aku rasa nggak perlu dibahas lagi," sela Christian dengan santai.

"A-Apa?"

"Itu masa lalu dan aku putusin untuk nggak perlu tahu dari kamu," jawab Christian lagi. "Jadi, kamu nggak usah terbeban untuk jelasin lagi."

Miranda menatap Christian tidak mengerti dan merasakan denyutan nyeri dalam hatinya saat ini. Dirinya yang selalu merasa belum siap dalam menjelaskan dan membuang waktu dengan percuma, sudah merasakan balasan yang setimpal untuk menjadi orang yang tidak mampu mengutarakan sesuatu dan selalu mengorbankan diri untuk disakiti.

"Good, memang itu yang harus kamu lakuin karena masa lalu nggak ada gunanya untuk dibahas," ucap Miranda lirih.

"Sebagai gantinya, aku nggak akan biarin kamu gitu aja," balas Christian dengan satu alis terangkat.

"Maksudnya?"

"Aku mau kamu tetap di sini."

"Nggak bisa. Aku cuma mutasi aja di sini dan...,"

"John Bufort, itu nama bos kamu, bukan?" sela Christian kalem.

"Darimana kamu tahu soal dia?" tanya Miranda kaget.

"Kenapa nggak? Kita udah jadi kolega," jawabnya begitu santai.

"Kolega? Nggak mungkin! Kamu itu main di showbiz dan...,"

"Selama punya duit, mau main di usaha apa aja itu bisa, Sayang. Dan kamu tahu kenapa aku tadi bahas soal upah jam lembur dan akan kasih 10 kali lipat supaya kamu nggak perlu lembur?"

What the...! Miranda tidak mampu bersuara dan hanya bisa termangu menatap Christian yang sudah menyeringai puas melihat ekspresi kagetnya.

"Saham kepemilikan untuk BusinessMagz cabang Jakarta udah diakuisisi oleh CH-Entertainment, yang artinya adalah aku yang jadi bos kamu sekarang. Jadi, nggak ada alasan sibuk kerja karena kamu punya kerjaan yang jauh lebih penting dari Chief Editor," ujar Christian tanpa beban.

"Kerjaan apa?"

"Jadi tukang masak di rumah aku, sekalian urusin yang punya rumah."

Godamnit.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Ups! Kelupaan kasih warning di atas 🤣
Pusing kan lu kalo jadi tambah bucin sama Christian?

SAMA!

2994 words untuk kalian!
Have a good day 💜


21.04.2020 (21.34 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top