Part 21 - Unspoken Truth

Daddy Tian untuk kalian 💜
Happy reading.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Christian membuka mata dan menatap langit-langit kamarnya dengan mata yang masih begitu berat. Shit! Dia benci harus menjadi lemah seperti ini. Sejak pagi, dia sudah merasakan mual yang tak tertahankan, hingga harus mengeluarkan isi perutnya sampai tubuhnya terasa lemas. Semua karena dirinya yang ikut menikmati seafood pasta yang diinginkan anak tengil itu kemarin.

Dia adalah salah satu orang yang tidak bisa menikmati hindangan laut dalam jenis apapun. Alergi seafood, yang sudah menjadi bawaan sejak lahir. Mengingat hal itu, membuatnya mendengus kesal dan segera beranjak dari rebahannya. Tangannya menangkap handuk kompres yang sudah kering dari keningnya. Mengedarkan tatapan ke sekeliling bahwa tidak ada Miranda yang tadi mengantarnya ke sini, namun masih ada tas bawaan wanita itu yang sukses membuat senyumnya mengembang bahwa wanita itu masih berada di rumahnya.

Dia tahu jika Miranda yang membawanya pulang, memberinya obat, dan merawatnya dengan telaten. Perhatian yang diberikannya membuat perasaan Christian menghangat, hingga rasa sayang yang tidak diinginkan itu timbul begitu saja. Untuk semua hal yang bisa mendeskripsikan seorang Miranda adalah kelembutannya.

Menyibakkan selimut, Christian segera beranjak dan turun dari ranjang, dan berniat untuk mencari keberadaan Miranda. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat tas Miranda yang terbuka dengan sebuah kartu nama yang terlihat dari sana. Merasa tertarik, Christian bergerak untuk mencapai tas dan menarik kartu nama itu.

Dahinya berkerut ketika melihat nama familiar yang terpampang di situ. Sebuah nama yang dikenali Christian sebagai seorang pengacara senior, yang adalah kuasa hukum untuknya dan teman-temannya saat menjalani kasus penculikan Lea di pengadilan. Apa yang sudah dilakukan wanita itu sampai harus berhubungan dengan seorang pengacara? Pikirnya dalam hati.

Dengan berbagai pikiran yang sudah menerawang, Christian menaruh kembali kartu nama itu ke dalam tas, dan kembali pada niatnya semula, yaitu mencari Miranda. Saat menuruni anak tangga, dia sudah bisa mendengar suara Miranda yang sepertinya sedang menelepon. Begitu dia tiba di lantai bawah, dia melihat Miranda sedang berdiri di pantry dalam posisi memunggunginya.

"No, I'm fine. You don't need to worry about me, Honey," ucap Miranda lembut.

Tanpa sadar, Christian mendengus tidak suka dan berjalan tanpa ragu ke arah Miranda, lalu memeluknya begitu saja dari belakang, membuat Miranda tersentak kaget dan menoleh padanya dengan mata melotot tajam.

"Yes, of course. I'll call you later. Bye," ucap Miranda dan langsung mematikan ponsel tanpa mengalihkan pelototannya pada Christian yang masih memeluknya erat dan menaruh dagu di bahunya dengan sengaja.

"Teleponan sama siapa? Mesra amat," celetuk Christian ketus.

"Bukan urusan kamu," balas Miranda sambil berusaha melepaskan dua tangan Christian yang masih membelit pinggangnya.

Sama sekali tidak bergerak, Christian justru mengeratkan pelukan. "Siapa? Suami? Kalo lagi di sini, nggak boleh teleponan sama siapa pun!"

"Kenapa sih jadi rese gini? Aku lagi teleponan sama anakku, puas?" sewot Miranda sambil memukul tangan Christian dengan kesal.

"Oh," ujar Christian sambil melepas pelukan dan berjalan melewati Miranda untuk mengambil minum. "Kalo kayak gitu, pulang aja. Nanti dia sedih kalo harus nungguin mamanya."

"It's okay, dia tahu kalo mamanya lagi urus orang sakit," balas Miranda sambil merebut botol air yang baru saja diambil Christian dari kulkas.

"Hey! Aku mau minum, ngapain diambil?" seru Christian judes.

"Lagi sakit, nggak boleh minum air dingin. Nih, minum ini aja," tukas Miranda sambil menyodorkan secangkir minuman berwarna pekat dan langsung membuat Christian meringis jijik.

"Itu apaan? Nggak mau, ah," tolak Christian mentah-mentah.

"Emangnya kamu pikir sakit itu enak? Asal kamu tahu kalo kamu udah nyusahin aku, jadi nggak usah banyak gaya! Minum!" desis Miranda dengan alis terangkat tinggi-tinggi sambil bertolak pinggang.

Christian mengerjap heran dan menggelengkan kepala. Nyebelin banget sih jadi cewek, harus banget kayak emak kepo yang lagi ocehin anaknya apa? Keluh Christian dalam hati. Enggan untuk berdebat, dia meraih cangkir itu dan meneguknya sampai habis. Tidak terlalu enak, tapi juga tidak terlalu buruk, karena dia sudah cukup merasa haus dan membutuhkan minuman.

"Puas?" desis Christian sambil memperlihatkan cangkir kosongnya.

"Kenapa harus aku yang puas, kalo itu untuk kebaikan diri kamu sendiri?" cetus Miranda sambil mendongakkan dagu, terkesan tidak peduli dengan sikap Christian yang mengalah padanya.

Miranda meraih cangkir kosong itu dan segera membawanya ke sink untuk dicuci. Melihatnya yang begitu ringan tangan dalam melakukan sesuatu, spontan naluri isengnya kembali muncul.

"You know what? Aku tuh merasa kayak lagi main drama berbumbu rumah tangga gitu deh. Aku jadi suami yang lagi sakit dan kamu jadi istrinya yang nyebelin dengan perintah ini itu," ujar Christian tanpa ekspresi.

"Mentang-mentang punya PH, jadi dikit-dikit bawa drama ke kenyataan? Udah nggak zaman ngehalu terus," balas Miranda telak.

Christian berdecak kesal dan Miranda hanya menyeringai geli. Dia mengambil sebuah mangkuk dan menghampiri satu panci yang sudah terisi penuh dengan apa yang ada di dalamnya. Aromanya sudah menggugah selera, membuat Christian mengintip apa yang ada di dalam dan matanya langsung melebar senang.

"Sup krim ayam jamur? My favorite!" seru Christian senang layaknya anak kecil yang kegirangan mendapatkan makanan kesukaan.

Di samping itu, dia juga tidak menyangka jika Miranda masih mengingat sup kesukaannya setiap kali merasa tidak senang atau kurang sehat. Meski kedekatan mereka hanya terjalin tidak lebih dari satu bulan, juga itu sudah bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi, kehadiran Miranda yang singkat dalam hidupnya memberi kesan yang sulit untuk dilupakan.

Seperti orang tolol, Christian mengekori Miranda yang sudah membawa mangkuk berisi sup itu ke meja makan, lalu duduk dengan patuh ketika mangkuk itu disajikan di meja. Tanpa berkata apa-apa, dia meraih sendok yang diberikan Miranda dan melahap sup itu dengan tekun.

"Makannya pelan-pelan aja, sup masih agak panas," ucap Miranda sambil mengusap kepalanya dengan ringan, dan Christian mengangguk sebagai jawaban.

Apa yang dibilang soal sup itu masih agak panas? Justru, sup itu lebih enak jika dinikmati selagi panas. Christian bahkan segera beranjak setelah menghabiskan satu mangkoknya dan bergerak menuju panci itu untuk mengisi kembali mangkuknya. Miranda yang sedang mengeluarkan makanan dari satu panci yang lain hanya mengulum senyum geli.

"Lapar?"

"Heaven is in my mouth, thanks," jawab Christian yang tampak antusias dalam mengisi sup ke dalam mangkuknya.

Meski sedikit berantakan, tapi dia tidak peduli karena wanita itu akan segera membersihkan. Urusan mengisi mangkuk sudah selesai, dia pun kembali ke kursi untuk menikmati sup itu. Tersentak ketika satu tangan Miranda sudah mendarat di kening, lalu menoleh untuk melihat wanita itu tampak mengerutkan alis seolah berpikir.

"Good boy, panasnya udah turun," gumamnya seorang diri, dan menaruh sepiring makanan di hadapannya. "Ini nasi tim ayam cincang, cukup ringan untuk perut kamu yang lagi bermasalah."

"Darimana kamu tahu kalo perut aku lagi nggak bener?" tanya Christian dengan alis berkerut.

"Nggak ada yang aneh soal itu. Kamu bakalan drop kalo salah makan. Jadi, gara-gara makan apa sampe begini? Gorengan?" tanya Miranda sambil duduk di kursi kosong yang ada di sampingnya.

"Seafood," jawab Christian sambil mengangkat bahu setengah, dan mengambil sepiring nasi tim setelah menghabiskan supnya. "Kemarin abis temenin orang buat makan bareng dan dia pesennya seafood."

Miranda mendengus pelan. "Kecentilah sih jadi cowok, sok temenin orang makan dan pesen makanan yang nggak bisa dimakan. Sakitnya malah ngerepotin aku, bukan dia."

Christian langsung mendongak dan melebarkan cengiran melihat ekspresi Miranda yang terlihat cemberut. "Jealous?"

Miranda langsung mendesis sinis padanya. "Nggak usah kege-eran! Aku cuma heran kenapa kamu nggak pernah jaga badan dengan bener. Pergi makan yah silakan, mau ngapain juga bukan urusan aku, tapi kalo kamu kayak gini tuh nyusahin aku namanya."

Senyuman tulus Christian mengembang dan menatap Miranda dengan penuh arti. "Sorry, aku sama sekali nggak ada niat buat ngerepotin kamu. Niatnya aku cuma berbuat baik sama orang lain dengan kasih apa yang dia mau, nggak lebih. Dan kamu tenang aja, aku pergi makannya sama cowok, bukan cewek."

"Aku nggak peduli!" balas Miranda ketus.

"Aku peduli, supaya kamu nggak perlu mikir jelek sama aku. Lagian, udah nggak zaman cemburuan kayak gini, kan? Aku udah pernah bilang kalo semenjak sama kamu, aku nggak pernah lagi ketemu sama cewek lain."

Meski Miranda langsung beranjak berdiri untuk menyingkir dari ruang makan, tapi Christian berani bersumpah jika melihat rona merah di wajah Miranda dan senyum tipis yang menghias di sana. Ckck, dasar cewek, emang bener cemburu tapi nggak mau ngaku, batin Christian sambil menggelengkan kepala.

Miranda kembali dengan tas tangannya ketika Christian sudah menuntaskan makanan yang ada di piring. Wanita itu mengeluarkan sebuah pouch yang berisi apa saja dan merasa heran dengan semua barang-barang tidak penting yang dibawa kemana-mana.

"Komplit amat, Bu?" komentar Christian tanpa bermaksud untuk menyindir.

"Namanya juga cewek, harus detail kayak gini," balas Miranda tanpa menoleh ke arahnya.

"Nggak heran kalo cewek itu ribet yah, segala macam sampah dibawa kemana-mana," sahut Christian tanpa beban.

Miranda menoleh dan menatapnya dengan tajam. "Biar ribet, tapi cowok butuh."

"Oh, yeah? Butuh yang kayak gimana maksudnya?" balas Christian dengan alis terangkat setengah.

Miranda hanya mendengus dan mengambil satu strip obat dari situ, kemudian menyodorkan dua butir obat dan segelas minum pada Christian. "Minum obat ini, biar kamu bisa istirahat dan badan jadi lebih enak."

Christian menuruti dengan meminum apa saja yang diberikan wanita itu tanpa membantah. "Habis ini, kamu pulang aja. Aku bisa urus diri sendiri dari sini."

"Ya iya lha, kamu tinggal tidur doang kok. Nasi tim dan sup masih ada di panci, kalo mau makan tinggal panasin aja," balas Miranda sambil membereskan barangnya kembali ke dalam tas.

Ada rasa tidak rela jika wanita itu akan meninggalkannya sendiri di rumah dalam keadaan seperti ini. Christian memang jarang sakit, tapi jika sudah demikian, maka dia hanya mengurung diri di kamar untuk hanya tidur saja dan membiarkan rasa lapar membangunkannya. Tidak ada yang berarti saat dia sendiri, sama sekali tidak sebanding dengan adanya Miranda saat ini.

Natural healing adalah caranya untuk sembuh. Tapi Miranda? Wanita itu merawatnya, memperhatikan kondisi tubuhnya, membuat masakan untuknya, dan memastikan agar kebutuhannya tercukupi. Shit! Christian tidak ingin kembali merasa kehilangan lagi.

"Beneran mau pulang sekarang?" tanya Christian ketika melihat Miranda sudah selesai mengemasi barangnya.

Wanita itu menoleh dan mengerutkan alis dengan tatapan penuh penilaian. "Kamu udah dua kali suruh aku pulang. Lagian, sekarang udah jam enam sore. Aku mau quality time sama..."

Christian tidak ingin mendengar penjelasan Miranda dan menariknya untuk mendekat dengan tiba-tiba. Kepalanya sudah bersandar di perut rata wanita itu sambil memeluk pinggang rampingnya, mengharapkan usapan lembut di kepala untuk sekedar merasakan kasih sayang yang dirindukannya.

"Aku masih sakit," ucap Christian dengan nada tidak mau tahu. "Jangan pulang dulu."

"Tapi...,"

"Kalo lagi sama aku, lupain keluarga kamu. Mereka selalu bareng sama kamu, sedangkan aku nggak. Jadi, jangan pulang. Temenin aku di sini."

Mungkin saja itu terdengar egois tapi Christian tidak peduli. Selagi ada Miranda bersamanya, dia tidak mempedulikan apapun. Dia memejamkan mata saat usapan ringan yang diinginkan itu dilakukan oleh Miranda padanya, lalu kecupan mendarat di pucuk kepalanya. Kelembutan seorang Miranda membuatnya perasaannya menghangat.

"Aku minta maaf, Miranda," ucap Christian dalam nada yang sangat pelan, lalu mendongak untuk menatapnya dalam. "Untuk semuanya. Untuk apa yang udah pernah aku lakuin dan juga udah sia-siain kamu."

Ekspresi wajah Miranda bisa dibilang kaget, juga tidak menyangka jika akan mendengar ucapan Christian seperti tadi. Jujur saja, dirinya pun tidak tahu kenapa bisa mengeluarkan ucapan yang tulus seperti itu, tapi mengingat apa yang sudah dia lakukan pada Miranda, membuatnya merasa bersalah dan tidak layak untuk mendapat perhatian lebih darinya. Sedikit pun tidak, tapi wanita itu masih bersedia memberikan perhatian yang lebih dari seharusnya.

"K-Kenapa kamu bisa tiba-tiba kayak gini?" tanya Miranda dengan suara tercekat.

"Aku juga nggak tahu," jawab Christian langsung. "Yang pasti, aku nggak bisa kayak gini terus. Udah terlalu banyak buang waktu untuk urusan yang itu-itu aja dan nggak kepengen liat kamu sedih kayak gini."

Isakan Miranda mulai terdengar, seiring dengan rasa sayang yang timbul dalam hati Christian untuk segera menariknya duduk di pangkuan dan memeluknya dengan erat, membiarkan wanita itu melepaskan seluruh kesedihannya dalam tangisan yang terdengar begitu pilu.

"Kita udah sama-sama dewasa saat ini, Miranda. Kamu bukan lagi anak SMU, dan aku juga bukan mahasiswa yang masih labil dalam hadepin masalah hidup. Jadi, bisa kasih tahu apa yang kamu tahu sebenarnya?" tanya Christian dengan lembut.

Bibir Miranda bergetar, tampak mulai melunak dengan isakan yang mulai mereda. Dengan lembut, Christian mengusap pipinya yang basah dan mengecupnya singkat. Berusaha untuk menenangkan sambil mengawasi ekspresi Miranda.

"Aku takut, Christian," ucap Miranda dengan suara yang terdengar seperti apa yang dikatakannya.

"Takut kenapa? Siapa yang bikin kamu takut? Aku?" tanya Christian cemas.

Miranda buru-buru menggeleng sambil mengusap pipinya. "A-Aku nggak tahu harus ngomong apa dan mulai darimana. Tapi, ada yang jauh lebih penting yang perlu kamu tahu, karena aku butuh bantuan kamu. I couldn't handle it anymore."

Christian tertegun melihat Miranda yang semakin terisak saat mengucapkan kata terakhirnya, seperti sudah lelah untuk menahan beban, dan tidak mampu untuk bertahan lagi. Ada rasa marah yang bergejolak karena tidak terima melihat kesedihan itu, yang spontan membuatnya memeluk Miranda lebih erat dengan keinginan untuk melindunginya.

"Kasih tahu aku, maka aku akan bantu. No. Aku akan lindungi kamu, apa pun itu," ucap Christian dengan penuh penekanan.

Miranda merangkul bahu Christian seolah itu adalah bentuk pertahanan terakhirnya, sambil terus terisak di sana. Tubuhnya bergetar dan begitu rapuh dalam pelukan Christian.

"It's okay, Baby. It's okay. You're safe with me," bisik Christian lembut sambil mengecup-ngecup wajah Miranda dengan penuh perasaan. "Kamu bisa cerita kapan aja selama kamu udah siap. Nggak usah sekarang."

Miranda segera menarik diri dan menatap Christian lekat. "Harus sekarang, nggak bisa nanti."

Dahi Christian berkerut bingung, lalu mengangguk sambil menegakkan tubuh untuk bisa menatap Miranda lebih seksama. "Okay, apa yang perlu aku tahu?"

Miranda menarik napas dalam-dalam, seolah itu adalah hal yang amat berat padanya. Bahkan, degup jantung Christian mulai bergemuruh kencang saat menanti ucapan Miranda. Namun, sebelum sempat mendengar ucapannya, atau tepat ketika Miranda hendak membuka suara, di situ semuanya terjadi.

"Hey, Man! Lu nggak akan nyangka kalo kita bakalan datang buat malam mingguan di sini karena... wait! Kok ada Miranda di sini? Eh, kok nangis?" Adrian berseru dalam suara yang begitu nyaring hingga seisi rumah bisa mendengar suaranya.

"Siapa yang nangis?" pertanyaan Wayne menyambut kemudian.

"APA? Miranda nangis?" bentakan Nathan menyusul.

Baik Christian dan Miranda sama-sama menoleh untuk melihat kedatangan tiga teman sialannya yang tidak tahu diri dan tidak tahu aturan. Sudah tidak perlu bertanya bagaimana mereka bisa masuk karena keempatnya saling memberi akses untuk tempat tinggal pribadi masing-masing, jika sewaktu-waktu pertemuan mereka dialokasikan ke salah satu tempat mereka.

"Mau ngapain kalian ke sini?" bentak Christian langsung, yang membuat Miranda tersentak dan segera beranjak dari pangkuannya, tampak malu karena sudah diperhatikan ketiga temannya dengan ekspresi beragam.

Adrian dan Wayne tampak tidak percaya dan kaget, sementara Nathan menatapnya dengan bengis, seolah ingin memakannya hidup-hidup.

"Dari semua cewek yang lu kenal, kenapa harus Miranda, Bangke?" sembur Nathan emosi.

"Kenapa nggak? Emangnya apa urusan lu sampe perlu songong kayak gitu? Pergi!" usir Christian yang langsung beranjak berdiri ketika melihat Nathan sudah menghampiri mereka.

Belum sempat menahan, tapi Nathan sudah lebih dulu menarik Miranda menjauh dari Christian untuk berhadapan dengannnya. Adrian dan Wayne mencoba menengahi, sementara Miranda tampak kebingungan.

"Dia temennya Audrey! Yang udah pasti temen gue juga! Gue nggak akan kepo, kalo misalkan lu terpergok sama cewek lain. Tapi dia? Jelas beda, karena dia bukan jangkauan lu!" desis Nathan geram, lalu menoleh pada Miranda. "Sini gue anter pulang! Gua yakin kalo lu nggak bego dalam urusan pilih pasangan. Buat gue, Flynn jauh lebih oke daripada Tian."

"Wait, siapa Flynn?" tanya Christian sambil menatap Nathan dan Miranda secara bergantian. Mendadak tidak suka dengan adanya sebuah nama asing yang terdengar seperti ancaman untuk dirinya.

Miranda masih kebingungan sambil menerima uluran tas tangannya dari Wayne, dimana Nathan masih mencengkeram pergelangan tangannya. "In case kalo lu nggak tahu, dia itu lakinya Miranda. Fyi, dia udah punya anak. Jadi, Miranda bener-bener bukan jangkauan lu!"

"What?" tidak hanya Christian, tapi Wayne dan Adrian juga memberikan reaksi kaget yang sama.

"B-Bukan kayak gitu, Nathan. Itu...," Miranda yang hendak memberi penjelasan langsung terdiam ketika Nathan melotot galak padanya.

Tanpa berkata-kata, Nathan segera menarik Miranda untuk menyingkir dari sana, dan Christian sama sekali tidak memberikan reaksi, selain menatap kepergian Miranda dengan sorot matanya yang tajam. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan, baik Wayne ataupun Adrian masih berdiri di posisinya dan tampak melihat satu sama lain untuk menunggu Christian bereaksi.

Ketika Christian teringat sesuatu, tatapannya beralih pada Adrian yang sedang menatapnya dengan tatapan bertanya.

"What?" tanya Adrian heran.

"Kuasa hukum kita, waktu urus kasusnya Ethan," jawab Christian dengan ekspresi menerawang. "Dia... masih ada hubungan family sama lu?"

Adrian langsung menggeleng. "Nggak. Dia temen baiknya bokap gue. Why?"

"Lu deket sama dia?" tanya Christian lagi.

Adrian mengangguk. "Udah kayak bokap sendiri karena dia sering..,"

"Okay, good! Kalo gitu, udah saatnya lu jadi temen yang berguna!" sela Christian kemudian.

"Apa maksudnya, Tian? Ada masalah apa lu dengan Miranda dan...," pertanyaan Wayne belum selesai dan langsung dihentikan oleh Christian lewat tangan yang terangkat.

"Kalian udah gerah liat hidup gua yang kayak gini terus, kan?" tanya Christian dengan alis terangkat menantang dan bertolak pinggang sambil menatap keduanya secara bergantian.

Keduanya mengangguk dan Christian hanya ber-ckck ria. "Karena itulah, gue butuh bantuan kalian. Terutama lu, Dri."

"Bantuan apa?" tanya Adrian lagi.

"Minta ketemuan sama Gordon Wirawan," jawabnya sambil lalu, dan menaiki anak tangga tanpa menoleh ke belakang.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


2854 words, Genks.

Part ini didedikasikan untuk visual Daddy yang kemarin berulang tahun 💜

Aku baper banget sama beliau tiap kali update IG 😭
Ngegas mulu udah.
Kapan hati bisa tenang, kalo dikasih serangan terus? 😢

15.04.2020 (09.27 AM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top