Part. 2 - Bad memory

Kalo kemarin anaknya, sekarang lapak bapaknya.
Aku mah gitu, kudu adil 😛


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Miranda meletakkan satu tangan di tembok koridor bandara, untuk sekedar menarik napas dan menenangkan degup jantung yang bergemuruh semakin cepat. Satu tangannya yang lain, sudah menangkup dada yang mendadak terasa sesak. Penerbangan panjang, sudah biasa dilakukan, dan jet lag bukan masalah besar untuk dirinya. Tapi yang dirasakannya saat ini, berbeda dari biasanya.

Tidak bisa memejamkan mata selama penerbangan belasan jam, tidak juga merasa tenang dengan berbagai pikiran yang memenuhi isi kepala, Miranda tidak mendapatkan jam tidur yang cukup. Selain kepalanya yang mulai terasa pening, ada rasa mual yang bergejolak ketika stress melanda. Yeah, dia stress. Juga panik.

Miranda memekik kaget, ketika ada usapan ringan yang mendarat di bahu. Berbalik dan menatap seorang pria bule yang satu pesawat dengannya, terlihat cemas dan juga tidak enak hati di sana.

"Sorry, are you okay?" tanya orang itu, yang diketahui Miranda bernama Flynn.

"I'm okay, Flynn," jawab Miranda sambil memaksakan sebuah senyuman.

Flynn tampak memperhatikannya sejenak, lalu mengembangkan senyuman ramah. "The flight was so fucked up, yeah? Do you have any relatives to pick you? Or do...,"

"Yes! Thanks," sela Miranda cepat, sebelum Flynn sempat melanjutkan ucapan yang sudah bisa diterkanya. "I'm okay, thanks for asking."

Flynn masih memperhatikan senyumannya. "Okay then, good luck for you. It was nice to meet you, Miranda."

Miranda hanya mengangguk sebagai jawaban, dan membiarkan Flynn berlalu. Pria itu berjalan sebanyak beberapa langkah, lalu menoleh kembali padanya untuk memastikan kembali. Miranda memaksakan sebuah senyuman, dan Flynn pun mengangguk, lalu kembali berjalan menuju ke imigrasi.

Setelah dirinya sudah cukup tenang, Miranda mulai berjalan untuk menuju ke bagian imigrasi, sambil melihat ke sekeliling. Tidak banyak berubah, juga tidak ada yang perlu diperhatikan lebih lanjut, selain terus berjalan dan mengantri untuk menyerahkan passport kewarganegaraan yang sudah berubah.

That's right, batin Miranda pelan. Dirinya adalah pendatang, dan bukan warga negara di negara itu. Untuk datang ke negara itu pun, Miranda perlu mengajukan KITAS untuk menetap selama 6 bulan, atau sampai urusannya selesai. Teringat akan hal itu, sukses membuat dirinya menjadi lebih bersemangat dalam menaikkan dagu untuk mantap dalam melangkah, ketika sudah tiba gilirannya. Passport sudah mendapat stempel, dan Miranda segera berjalan untuk mengambil bagasi.

Sambil menunggu, Miranda menyalakan ponsel untuk mengecek pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Cukup banyak, sampai Miranda enggan untuk melihatnya. Hanya beberapa yang dianggap penting saja. Selama beberapa saat menunggu, Miranda mendapatkan kopernya, dan segera beranjak dari situ.

Ketika sudah tiba di pintu kedatangan, tampak seorang wanita muda sambil membawa papan namanya terlihat. Tanpa ragu, Miranda segera mendekatinya dan wanita itu mengembangkan senyuman ramah.

"Ms. Stella?" tanyanya sumringah.

"Nama saya Miranda," balas Miranda sambil menyambut uluran tangan wanita itu.

"Oh, Ibu bisa Bahasa Indonesia? Kenalin, Bu, saya Winda. Asisten Ibu selama di sini," sahutnya dengan ramah.

"Terima kasih sudah menjemput," ucap Miranda dengan sopan.

"Nggak usah sungkan, Bu. Ini udah tugas," balas Winda sambil mengambil alih kopernya, lalu menyerukan seseorang dengan pakaian seragam berwarna abu gelap, untuk membawakan koper.

Bersama dengan Winda, dan pria yang sepertinya adalah supir, Miranda berjalan menuju ke sebuah mobil yang sudah terparkir tepat di depan lobby.

"Untuk kebutuhan yang Ibu minta via email, udah Winda siapin di apartemen yang akan Ibu tempatin selama di sini, Bu. Nanti kalau ada butuh apa-apa, kasih tahu aja, yah," tukas Winda dengan nada ceria.

"Dokumen yang saya minta, apa sudah disiapkan juga?" tanya Miranda kemudian.

"Udah, Bu. Besok, Ibu bisa...,"

"Nggak! Tembuskan dokumen itu ke email saya, akan saya pelajari hari ini, sebelum saya ketemu kalian besok," sela Miranda tegas.

"Mmmm, tapi Ibu baru mendarat dan...,"

"Nggak apa-apa, saya udah biasa kerja. Jadi setelah kamu antar saya ke apartemen, tolong segera kirimkan data yang saya mau," sela Miranda lagi, mengabaikan ekspresi tertegun dari Winda.

Tidak ingin membuang waktu, itulah yang dilakukan Miranda saat ini. Secepatnya, dia akan segera menyelesaikan pekerjaannya di Jakarta, lalu setelah itu kembali pulang ke rumah. Sebab, setiap kali menjauh dari rumah, perasaannya menjadi tidak tenang.

Ponselnya berbunyi, dan sukses membuyarkan lamunannya. Nada dering yang diatur khusus itu, membuat Miranda segera mengambil ponsel dari tas, dan mengangkatnya cepat. Ada rasa antusias dan lega ketika bisa mendengar suaranya.

"Baby," ucap Miranda dengan suara yang nyaris berbisik, dan mengembangkan senyuman sambil menatap ke luar jendela.

"Where have you been? Why don't you call me, M?"

Suara dengan nada tidak senang di sebrang sana, sukses membuat senyuman Miranda semakin melebar. "Just landed, Baby. Sorry, have you eaten?"

"I don't want to eat. I just want you."

Seperti gadis remaja yang kesenangan mendapat ucapan romantis seperti itu, Miranda melumat bibir untuk menahan pekikan senang, yang hampir saja keluar dari mulutnya. Dalam hati, dia senang minta ampun.

"Aku tahu. Tapi bisakah kau menunggu sebentar saja? Aku perlu menyiapkan segala sesuatunya dengan baik di sini," tukas Miranda kemudian.

"Kenapa harus memakai persiapan? Aku bisa mendampingimu tanpa harus menunggu. Di samping itu, aku tidak suka jika ada pria yang mendekatimu. Aku akan membunuhnya jika itu terjadi!"

"Jaga ucapanmu, aku tidak suka jika kau seperti itu. Intinya, aku ingin kau bersabar," balas Miranda dengan lembut.

"It sucks when you're not here," keluhnya lagi.

"I know," balas Miranda.

"But for you, I don't mind to wait a little bit longer. I miss you, btw."

"Me too. I'll call you back, Baby."

"Don't forget, or I'll be very angry."

Miranda hanya tertawa pelan dan menyudahi telepon itu. Seketika, perasaannya membaik dan seperti memiliki semangat baru yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan yang akan dihadapinya.

Satu jam kemudian, Miranda tiba di sebuah gedung apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya selama berada di Jakarta. Menempati sebuah unit yang memiliki 3 kamar, juga sudah dipenuhi berbagai perlengkapan yang mengisi unit itu. Winda menjelaskan berbagai hal dan hanya memberi anggukan sebagai jawaban.

Kemudian, Winda undur diri dan Miranda segera membuka koper di kamar pribadinya, menyalakan laptop, dan bersiap untuk bekerja. Mendesis pelan, Miranda mengambil ponsel di dalam tas, dan mendapati teman baik yang masih berkomunikasi dengannya, menelepon.

"Halo," ucapnya.

"Lu tahu nggak, apa gunanya handphone diciptain?" tanya suara di sebrang sana, dengan nada sinis.

"Buat telepon lha," jawab Miranda ketus.

"Udah tahu kayak gitu, kenapa nggak bisa lu pake dengan bener?"

"Gue baru landing, Audrey. Nggak bisa tenang dikit, yah? Gue juga banyak yang harus diurus dulu, nggak bisa main santai kayak lu," balas Miranda.

"Lu yang terlalu serius jadi orang. Senggaknya, kasih tahu gue kalo lu udah landing. Jangan bikin gue waswas, terus mikir yang nggak-nggak," sahut Audrey.

"Ya udah, sorry. Gue udah landing dan udah sampe di apartemen. Nanti gue kirim alamatnya. Sekarang, gue mau kerja dulu dan...,"

"What? Lu mau kerja? Hello, Ibu Mirandaaa! Udah jam berapa ini? Emangnya tuh kepala nggak overload, abis terbang belasan jam? Atau lu emang udah nggak punya otak?" sembur Audrey kaget.

"Audrey, udah deh, jangan rese. Gue butuh kerja sebentar, supaya bisa mikir lagi."

"Tapi...,"

"Besok gue telepon, okay? Sebentar lagi, gue bakalan istirahat. Cuma cek dokumen aja," sela Miranda lagi.

Audrey tidak langsung membalas, dan Miranda tahu jika temannya sedang memikirkan hal yang tidak diperlukan. Berteman sejak SMP, membuat mereka sudah mengenal satu sama lain dengan baik, bahkan sudah seperti saudara.

"Okay, pokoknya lu harus cukup tidur dan nggak pake begadang. Ngerti?" ucap Audrey akhirnya.

"Siap, Bos!"

Telepon dimatikan. Miranda menghela napas, sambil menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Mungkin Audrey benar, jika dirinya harus beristirahat dan tidak perlu bekerja. Kemudian, Miranda segera meninggalkan laptopnya, lalu merangkak naik ke ranjang untuk mencoba mendapatkan tidur yang tertunda.


🌷🌷🌷🌷🌷

7 years earlier,

"Iya, Om! Ini aku sebentar lagi mau sampe! Sabar, yah!" ucapku sambil berlari kecil, untuk segera mencapai tempat janji temu dengan Om Josh, adiknya Mama.

"Sejam lagi acara dimulai. Kamu tuh lelet banget, sih?" keluh Om Jose di ponselku.

"Iya, ini juga udah mau sampe. Pokoknya, Om Jose nggak usah kuatir. Lima menit lagi!" balasku mantap.

Setelah mendapat respon oke dari Om Jose, aku segera mematikan ponsel dan menaruhnya di saku blazer seragam. Berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu kembali melangkah menuju ke restoran yang tidak jauh dari sekolahku.

Saat aku hendak menyebrang, tatapanku menangkap sosok familiar yang sedang duduk di depan sebuah kafe, menatap ke sebrang jalan. Senyumku spontan mengembang, seiring dengan degup jantung yang berdegup lebih cepat. Dia adalah kakak senior yang kukagumi sejak SMP.

"Halo, apa kabar? Kok bisa duduk di sini?" tanyaku ramah, sambil duduk di kursi kosong yang ada di sebrangnya.

Seperti biasa, dia akan melirik sinis dan alisnya berkerut tidak senang, setiap kali aku menyapa. Karena katanya, aku adalah pengganggu, dan dia memang tidak suka diusik. Herannya, aku tidak masalah. Bagiku, dia seperti membutuhkan teman, karena terlalu sering menyendiri. Entahlah. Yang jelas, saat dia masih SMU dan aku yang masih SMP, dia sering terlihat di halaman belakang sekolah dan duduk sendirian. Seperti sekarang.

"Pergi!" usirnya dengan ekspresi dingin.

Aku justru semakin tersenyum melihat sikapnya. Aku merindukannya, dan merasa senang dengan kebetulan seperti ini. Setelah dirinya lulus SMU dan melanjutkan kuliah di luar negeri, aku sudah sangat jarang melihatnya. Pernah beberapa kali, dia datang ke sekolah, hanya untuk berpartisipasi dalam lomba basket nasional yang diikuti pihak sekolah. Sayangnya, aku tidak bisa mendekatinya untuk sekedar menyapa.

"Kakak masih belum berubah, yah? Judesnya diilangin dikit, dong. Belajar senyum nggak ada salahnya, justru makin ganteng, hehehe," balasku sumringah.

Dia tidak membalas, dan membuang muka ke arah sebrang. Aku menopang dagu sambil menatapnya dengan seksama, lalu mengikuti arah pandangnya. Alisku berkerut ketika melihat sosok Om Jose yang dilihatnya.

"Kamu kok liatin Om Jose terus? Emangnya kamu kenal?" tanyaku heran.

Dia langsung menoleh padaku dan tampak bingung setelahnya. "Siapa?"

"Om Jose," ulangku. "Kamu lagi liatin Om-Om yang lagi pake setelan navy di sebrang, kan? Itu Om aku, namanya Jose. Kamu kenal?"

Dia menggeleng cepat, lalu untuk pertama kalinya selama aku mengenalnya, dia tersenyum. Ya Lord, cowok itu dua kali lipat lebih tampan dari sebelumnya.

"Kamu baru pulang sekolah?" tanyanya hangat.

Mengerjap kaget sambil memperhatikan, aku tidak percaya dengan perubahan sikapnya yang begitu cepat. Tapi aku tidak peduli, sebab dia jauh lebih baik tersenyum seperti itu.

"Iya," jawabku malu-malu, sambil menunduk untuk menyembunyikan rasa senangku.

"Mau dianter pulang?" tawarnya kemudian.

Aku langsung mendongak dan menatapnya tidak percaya. Apa katanya barusan? Mau anter pulang? Oh dear, bagaimana mungkin hal langka itu terjadi saat aku sudah memiliki janji? Jika bukan karena ada acara ulang tahun Oma, sudah pasti aku akan memberi 1001 alasan untuk mangkir dari acara itu.

Drrrttt! Ponselku berbunyi dan aku mengerang kecewa. Tanpa perlu kulihat, sudah pasti itu adalah Om Jose yang tidak sabaran. Mendesis pelan ke arah sebrang, aku bisa melihat Om Jose sedang menelepon. Dengan enggan, aku mengangkat teleponnya.

"Kamu ada dimana, sih? Katanya 5 menit! Ini udah 7 menit!" sembur Om Jose di ponsel.

"Iya, iya, ini aku jalan," balasku sambil beranjak, lalu menutup telepon.

Tidak disangka, dia juga ikut beranjak dan berdiri berhadapan denganku. Sosoknya yang tinggi, membuatku harus mendongak untuk menatapnya. Sangat rupawan.

"Udah ada janji, yah? Mau pergi?" tanyanya lagi.

"Iya. Maaf," jawabku pelan.

Dia menggelengkan kepala. "Nggak usah minta maaf, kamu nggak salah. Mungkin lain kali, aku bisa anter kamu pulang."

Tertegun. Aku yakin sudah seperti orang tolol saat ini, apalagi saat dia mengeluarkan ponsel, dan mengulurkannya padaku.

"Bisa minta nomor handphone kamu? Next time, janjinya sama aku aja, jangan sama orang lain," ujarnya dengan senyuman yang semakin melebar.

Tanpa ragu, aku mengambil ponselnya, mengetikkan nomorku di sana, dan melakukan panggilan tak terjawab pada ponselku. Setidaknya, jika dia tidak menelepon, aku masih memiliki nomornya untuk menelepon lebih dulu. Setelah selesai, aku mengembalikan ponselnya.

"Terima kasih," ucapnya tulus.

"Mmmm, kalau gitu, aku jalan dulu yah," balasku.

"Tunggu! Kita belum kenalan," serunya sambil menahan langkahku, dengan mencengkeram erat pergelangan tanganku. Deg!

Aku menoleh dengan cemas, mengerjap lirih ketika dia masih belum melepaskan cengkeramannya. "Nama kamu siapa?"

"M-Miranda," jawabku gugup.

Dia tersenyum hangat, dan meremas lembut pergelangan tanganku. "Nama yang cantik, persis orangnya."

Wajahku terasa memanas, dan tidak mampu menahan senyuman sekarang. Dia begitu mempesona dan sulit untuk diabaikan. Sejak lama. Sejak aku melihatnya muncul dalam balutan seragam SMU ke kelasku, untuk melakukan presentasi singkat tentang pengenalan tingkat SMU kala itu.

Tidak mendapat respon dariku, dia kembali melanjutkan. "Kalau namaku, Christian."

Dengan senyuman yang semakin lebar, aku menatapnya dengan penuh arti dan degup jantung yang berpacu lebih kencang. "Aku tahu. Salam kenal."



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Yang udah kenalan sama Christian, yakin udah mengenalnya lebih jauh? 😅

Semoga harimu menyenangkan.
Jaga badan, yah. Cuaca gak menentu.
Aku lagi flu 😖


15.01.2020 (19.55 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top