Part. 17 - Saturday night
Ciyee, yang lagi nungguin update 😛
Christian menyilangkan tangan sambil menunggu dengan ekspresi dingin di sebuah lobby apartemen yang cukup lengang di sore hari. Sudah 10 menit berlalu, dan dengusan napas kasar dilakukannya karena merasa sudah menunggu terlalu lama. Merasa tidak senang, itu sudah pasti, karena tidak ada cerita tentang seorang Christian Haydenchandra harus menunggu lebih dari 5 menit.
Dalam hatinya sudah menyesali untuk mendengarkan ucapan Wayne tentang memahami alasan tanpa mencari kesalahan dengan mengajak Miranda untuk makan malam bersama. Dia yakin jika dia sudah mengatakan akan menjemputnya pukul 5 sore, tapi sudah lewat dari 10 menit, ralat! Sudah 11 menit berlalu tapi Miranda masih belum datang.
Beberapa orang berlalu lalang dan kebanyakan adalah wanita, yang langsung melirik Christian dengan tatapan penuh minat. Biasanya, Christian akan memberi senyuman atau anggukan kepala, tapi kali ini tidak, sebab dirinya sudah mulai geram. Dengan ekspresi semakin busuk, dia mengabaikan sekitarnya dan membuang muka ke arah lift yang tak kunjung terbuka.
Rahangnya mulai mengetat dengan keinginan untuk segera membuat kegaduhan jika sebentar lagi wanita sialan itu belum mumcul. Rencana itu baru terbersit di pikiran ketika suara lift berbunyi dan sosok yang sedang ditunggunya keluar dari sana.
Shit! Christian terpaku saat menatap Miranda yang begitu... mempesona. Wanita itu benar-benar tahu bagaimana caranya untuk menggoda lewat backless mini dress berwarna hitam, dipadukan dengan stiletto warna senada, dan rambut panjangnya yang bergelombang terurai dengan satu penjepit kecil yang mengait seluruh ponny-nya ke atas.
Pikiran kotornya menguar dengan keinginan untuk melepas penjepit sialan itu dan membuat rambutnya berantakan, juga mengangkat satu kakinya ke pinggang untuk menarik celana dalam yang diperkirakan Christian bahwa Miranda memakai g-string di dalamnya. 12 menit menunggu terlupakan begitu sosok wanita penggoda itu tiba di hadapannya.
"Nggak usah pelototin orang kayak gitu, aku cuma telat sedikit karena ada telepon dari pusat," ucap Miranda dengan ketus dan ekspresi tidak senang.
Bukannya meminta maaf, tapi justru bersikap seolah kedatangannya sudah mengganggu, hal itu cukup membuat Christian mendengus kasar sambil menatapnya tajam.
"Dan kamu merasa perlu kasih shitty manner kayak gini?" tanya Christian dengan alis terangkat tinggi-tinggi.
Miranda hanya memutar bola matanya dan meraih siku Christian untuk berjalan berdampingan keluar dari lobby. "Aku bukan cewek single yang punya banyak waktu untuk prepare dengan urusan makan malam kayak gini. Ada kerjaan, juga ada anak yang harus kuurus."
Langkah Christian terhenti dan menoleh pada Miranda dengan ekspresi kaget. "W-What? Anak?"
Miranda mengangguk tanpa ekspresi. "Hari ini lagi kurang sehat, dia ngeluh sakit perut dari semalam. Jadi, aku...,"
"Tunggu! Ini anak beneran? Anak yang manggil kamu Mama, gitu?" sela Christian dengan tatapan tidak percaya.
Miranda kembali mengangguk. "Yeah, why? Ada yang aneh kalo aku punya anak?"
"Nggak sih, cuma kaget aja kalo ada anak yang mau punya Mama kayak kamu."
Pletak! Miranda memukul kepala Christian dengan keras hingga dia mengadu kesakitan. Sambil mendengus kasar, Miranda berjalan mendahuluinya dengan hentakan kasar dan Christian mengikutinya.
"Hey, kenapa marah? Aku cuma bercanda."
"Bercanda juga ada batasnya. Memangnya kamu pikir jadi orangtua itu gampang? Aku tuh nggak cuma hamil dan melahirkan aja, Christian! Ada tanggung jawab yang harus aku lakuin, selain kasih makan dan didik dengan benar," balas Miranda dengan penuh penekanan tanpa berhenti dan tidak menoleh ke arahnya.
"Hey," panggil Christian dengan nada melembut dan mencengkeram lengan Miranda untuk menghentikan langkahnya.
Matanya melebar ketika melihat Miranda yang terlihat ingin menangis di sana, tampak terluka dan lelah. Hal itu membuat satu sensasi asing yang menyeruak dalam dada, yaitu rasa sesak yang terasa nyata dan tidak menyenangkan jika melihat wajah itu bersedih.
"Aku nggak...,"
"Sorry," sela Christian cepat dan terlihat bersungguh-sungguh. "Aku nggak maksud untuk nyakitin hati kamu. Jangan sedih dan nangis gitu, aku nggak suka liatnya. Please."
Miranda menatapnya diam dan tidak membalas. Ekspresinya tampak begitu lelah dan seperti memiliki banyak masalah. Entahlah. Christian tidak menyukai ekspresi seperti itu. Dia lebih memilih wanita itu bersikap sialan seperti biasanya.
"Kita naik mobil, yah," ajak Christian sambil merangkul pinggangnya.
Miranda tidak membalas dan hanya mengikutinya berjalan menuju mobil yang terparkir di pelataran parkir tepat di depan gedung apartemen itu. Sebelum menjalankan kemudi, Christian menoleh pada Miranda yang sudah duduk dengan santai sambil menyilangkan kaki.
"Cantik banget sih hari ini? Dressing to impress me, huh?" tanya Christian iseng, sambil menyalakan mesin dan melajukan kemudi.
Miranda mendelik sinis. "Nggak usah ge-er. Aku sama sekali nggak ada niat buat...,"
"Easy, Sayang," sela Christian sambil meraih satu tangan Miranda dan meremasnya pelan. "Cuma bercanda, okay? Aku juga tahu kalo sampe kiamat pun, kamu nggak bakalan ngelakuin hal yang kayak gitu lagi. Intinya, jangan ngambek. Kan tadi udah minta maaf."
Miranda mengerjap tidak nyaman dan menatap Christian dengan tatapan menerawang. Dia seperti bergumam sambil menarik tangannya dari genggaman Christian dan mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Sorry, aku lagi bete banget," ucap Miranda akhirnya.
"Atau kamu mau balik aja? Makan malam bisa kapan-kapan kalo kamu lagi nggak mood," tawar Christian kemudian. "Mumpung masih belum jauh."
"No. it's okay. I'll be fine as long as you shut your mouth. Kasih aku waktu untuk tenang dulu, bisa?" balas Miranda sambil menoleh padanya.
Christian mengangguk sebagai jawaban dan tidak lagi berbicara. Membuat wanita marah sudah menjadi keahliannya, dan biasanya dilakukan dengan sengaja agar wanita tidak merecokinya. Tapi sekarang? Dengan berbesar hati, dia melakukan hal itu tanpa bantahan, mengingat niat baiknya untuk memperbaiki hubungan. Setidaknya, tidak menjadi brengsek untuk kesan terakhir yang akan diberikan.
Bukan tanpa alasan, dirinya memutuskan untuk menyudahi konflik sepihaknya dengan Miranda. Masa lalu adalah masa yang tidak bisa terulang dan Christian tidak bisa memaksa kehendaknya untuk terus menekan Miranda. Karena mungkin saja, wanita itu memang tidak tahu apa-apa.
"Mau makan dimana? Aku nggak mood kalo harus ke mall karena udah pasti rame dan sumpek sama abegeh-abegeh yang ribet mau malam mingguan," celetuk Miranda tanpa mengalihkan tatapannya.
Christian terkekeh sambil melirik singkat. "Ternyata, persamaan kita soal nggak suka ke mall saat weekend masih sama, yah? Kalo gitu, mau makan di resto atau masak di rumah? Aku sih nggak keberatan kalo kamu mau repot-repot untuk masak."
"Emangnya nggak apa-apa kalo makan masakan aku buat menu dinner kita malam ini? Selera kamu itu terlalu tinggi, takutnya ekspektasi untuk caperin aku bikin ego kamu tersinggung," tanya Miranda sambil menoleh ke arahnya.
"Maksudnya?"
"Kali aja, kamu tersinggung karena disangka nggak sanggup bayarin aku makan makanan yang mahal. Cowok kan gitu," jawab Miranda dengan nada sindiran.
"Gitu, kan? Jadi cewek tuh selalu egois. Kalo disenggol dikit kayak tadi, bawaannya sensi. Giliran orang udah kalem, malah ngajak ribut. Terserah kamu aja maunya kayak gimana. Aku lagi nggak mood buat nyolot hari ini," celetuk Christian dengan nada ketus sambil mendengus tidak suka.
Miranda hanya terkekeh pelan. "Jadi, nggak apa-apa kalo aku yang mutusin?"
"Nggak apa-apa, I'm all yours today," balas Christian tanpa ragu.
"Okay, kalo gitu, aku akan masak makan malam di rumah kamu, setelah itu kita bisa wawancara. Deal?"
"Tapi nggak ada bahan masakan lho."
"Waktu minggu lalu, bahan masakan kamu ada banyak di kulkas."
"Udah kosong karena aku suruh cleaning service yang datang bersihin rumah untuk ambil semuanya karena udah lewat satu minggu."
"What? Sayuran dan daging itu masih fresh!"
Christiang mengangkat bahu. "Justru karena masih fresh, aku kasih ke mereka biar bisa digunakan dan kasih makan keluarganya. Kamu temenin aku belanja hari ini, okay?"
"Kamu suka belanja bulanan kayak gini?"
"Seminggu sekali ke grocery cuma buat keliatan membumi, nggak ada salahnya, kan?"
Christian terkekeh geli melihat respon Miranda yang langsung meringis jijik mendengarnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain berusaha melakukan kegiatannya sendiri. Bahan makanan yang ada di dalam kulkasnya adalah alasan untuknya menambah kegiatan di rumah. Di samping itu, dia bisa melihat bagaimana petugas kebersihan yang datang setiap pagi ke rumah untuk tersenyum lebar ketika mendapatkan sedikit makanan dari kulkas untuk dibawa pulang.
Mereka tiba di sebuah swalayan yang tidak jauh dari rumahnya, lalu berjalan berdampingan untuk berbelanja. Tentu saja, mereka sukses menjadi pusat perhatian tapi mengabaikan sekelilingnya dengan fokus berbelanja. Christian mendorong troli, Miranda memilih berbagai macam bahan, lalu berdiskusi untuk menentukan menu makan malam.
Tanpa sadar, gestur tubuh mereka menunjukkan kedekatan yang tak biasa yang terkesan alami. Seperti Miranda yang sedang membaca sisi belakang produk dan Christian menumpukan dagu di atas kepala Miranda untuk mengerjainya, atau Christian yang hendak menaruh sekantung buah yang sudah ditimbang tapi Miranda menarik troli itu menjauh sambil terkekeh geli melihat ekspresi tidak senang dari pria itu.
Christian menyukai kebersamaan yang terjadi di hari ini, sesuai dengan keinginannya dan sudah menjadi momen yang indah untuk dikenang. Semakin nyaman, justru membuatnya teringat dengan masa lalu yang tidak menyenangkan. Bahwa dirinya terlalu kejam karena sudah memanfaatkan kebaikan Miranda untuk melakukan pembalasan terhadap sesuatu yang tidak pantas didapatinya.
Sosok Miranda saat ini adalah sosok yang dirindukannya. Sorot mata berkilat senang saat menyampaikan sesuatu, senyum lebarnya yang tampak begitu manis, dan usapan ringan yang selalu dilakukan ketika Christian tampak kebingungan. Mereka seperti kawan lama yang sudah tidak lama bertemu dan tampak menikmati kegiatan belanja kali ini.
Kegiatan belanja sudah selesai dilakukan dan mereka sudah tiba di rumah. Miranda langsung menuju ke dapur dengan Christian yang membawa kantung belanjaan.
"Yakin mau masak pake baju kayak gitu?" tanya Christian dengan alis terangkat setengah, saat Miranda sudah mengeluarkan semua isi belanja di atas meja pantry.
Miranda menoleh dan menatapnya penuh dengan ancaman. "No sex, Christian."
Christian tertawa pelan. "Aku cuma tanya, tapi kenapa mikirnya udah jorok gitu, sih? Atau jangan-jangan, kamu memang lagi pengen? Aku sih nggak masalah, toh juga suami kamu nggak di sini, kan?"
Miranda menghela napas dan menumpukan dua tangan di atas meja sambil menatapnya tajam. "Apa memang seperti ini kelakukan kamu sekarang? Kamu hook-up sama istri orang dan nggak merasa bersalah karena udah jadi pihak ketiga dalam rumah tangga orang lain?"
Christian menarik kursi dan duduk untuk menatap Miranda dengan senang karena topik ini sangat menarik untuk dibahas olehnya. "Why? Kamu cuma kepengen tahu atau merasa cemburu?"
"Cemburu?" tanya Miranda dengan alis berkerut. "Jangan ge-er."
Christian terkekeh sambil melipat tangan di meja dan menatap Miranda penuh arti. "Aku nggak pernah ge-er, karena feeling aku selalu bener. Lagian, kamu terlalu banyak asumsi sebelum tahu kebenarannya dan alasan kenapa aku kayak gitu."
"Jadi orang ketiga dalam hubungan orang, itu sama sekali bukan hal yang membanggakan," tegas Miranda.
"Why not? Semua orang pernah ngelakuin hal itu dan nggak menyesal karena itu. Toh orang yang sedang dalam hubungan itu, kasih kesempatan dan celah untuk perselingkuhan."
"Jadi, kamu memang sering kayak gitu? Jadi orang ketiga dalam hubungan orang lain?"
"Sama kayak Om kamu, kan? Dia bisa, kenapa aku nggak? Juga, kamu yang nggak masalah untuk ML sama aku, saat kamu udah punya suami dan anak. See? Kalo kayak gini, kenapa harus aku yang disalahin?"
Ucapan itu meluncur begitu saja tanpa disadarinya. Tentunya, itu sudah menjadi boomerang bagi mereka berdua dalam melempar topik yang tidak diinginkan. Bukan Christian yang memulai lebih dulu, tapi Miranda. Sedangkan, wanita itu tampak tertegun dan menatapnya dengan tatapan kosong selama beberapa saat, seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku berusaha jadi bener, Miranda. Tapi ternyata, banyak kesempatan yang bisa aku ambil untuk dapetin keuntungan secara pribadi. Well, katakanlah ada kepuasan tersendiri kalo bisa ngeliat orang lain kena karmanya," tambah Christian dengan ekspresi biasa saja.
"Jadi, itu alasan kamu untuk maksain kehendak dengan tidurin aku?" tanya Miranda dingin.
Christian mengangkat bahu dan menggeleng pelan. "Aku nggak nyangka kalo ternyata kamu udah bersuami. Apalagi sampe punya anak. Heck. It's unbelievable and...,"
"Alright, Asshole," sela Miranda tajam, dan kembali melanjutkan aktifitasnya untuk mengambil beberapa sayuran dari kantung belanjaannya. "Nggak usah dibahas lagi, karena kamu nggak salah. Aku yang terlalu gampangan untuk ditidurin sama kamu, padahal punya suami dan anak. You were right. Banyak orang yang membuka celah dan kesempatan untuk berselingkuh, I need to agree about that. Thanks for remind me."
"Miranda,..."
"Aku nggak masalah jika harus masak dengan baju kayak gini. Thanks udah tanyain. Kamu bisa santai atau tiduran dulu kalo mau, nanti aku kabarin kalo udah kelar," sela Miranda sambil mengabaikannya dengan membelakangi Christian dan melakukan apa pun di sana.
Christian tidak langsung menyingkir tapi justru memperhatikan Miranda selama beberapa saat. Umumnya, orang yang melakukan kesalahan akan tersinggung dan berusaha untuk membela diri. Tapi Miranda? Tanpa melakukan perlawanan atau perdebatan, dia menerima ucapan Christian begitu saja. Seperti enggan untuk membahas lebih lanjut, atau terlalu cerdas untuk mengetahui niatnya dalam menjebak dengan pertanyaan yang menyudutkan. Shit!
"Btw, suami kamu kerja apa?" tanya Christian sambil beranjak dari kursi.
"Aku nggak mau jawab," balas Miranda tanpa berbalik untuk menatapnya dan masih sibuk membersihkan sayuran.
"Atau, kamu nggak punya suami?" tanya Christian yang sudah berada tepat di belakangnya, menaruh satu tangan besarnya di perut Miranda dan menarik mundur agar membentur dirinya, lalu berbisik, "Karena kamu masih terlalu sempit untuk cewek yang udah bersuami dan punya anak."
Miranda menoleh dan menatapnya tanpa ekspresi. "Atau kamu yang nggak pernah dapetin barang bagus kayak aku?"
Christian menyeringai sinis. "Jangan remehin kemampuan aku dalam ngerasain sesuatu, Miranda."
"Oh, yah? Seperti apa misalnya? Apa kamu juga bisa ngerasain sesuatu seperti kesakitan yang udah pernah kamu buat tanpa sadar? Misalkan ada yang sakit hati karena sikap kamu yang nggak pernah kasih perhatian sama orang yang mengharapkan hal itu dari kamu?" balas Miranda dengan alis terangkat menantang.
"Apa kita lagi bahas masa lalu?" tanya Christian sambil memutar tubuh Miranda untuk menghadapnya.
"Apa aku ada bahas masa lalu?" balas Miranda datar.
Christian hanya tersenyum hambar dan menarik Miranda untuk masuk dalam dekapannya. "Apa kamu harus sebebal ini jadi orang? Aku cuma tanya, suami kamu kerja apa?"
"Dan kenapa kamu harus tanya hal itu?"
"Karena sebagai suami, harusnya dia nggak ngebiarin istri stunning kayak kamu, untuk kerja keras sampe harus mutasi ke tempat yang jauh tanpa pengawasan. Itu bahaya," jawab Christian sambil menunduk untuk menatap Miranda dengan dalam.
"Yang kamu maksud bahaya itu kayak gini?" tanya Miranda sambil mendongak untuk menatapnya dengan lantang.
"Salah satunya," jawab Christian dengan nada menggoda. "Karena nggak akan ada satu orang pun yang bisa menolak kamu, dan status bukan hambatan."
Miranda mengangkat bahu setengah dan menyeringai sinis. "Fyi, aku sama sekali nggak takut bahaya."
"Mmm, aku tahu dan udah yakin soal itu."
Selanjutnya, Christian melakukan sesuatu yang sedaritadi ingin dilakukannya. Menarik jepitan kecil dari rambut Miranda dan membuatnya berantakan, menyentuh kulit punggung yang terbuka dari backless dress-nya, lalu mengangkat satu kaki Miranda ke pinggang untuk memasukinya. Persis seperti apa yang dikehendaki, namun kali ini terasa lebih berbeda dalam penyatuan yang dilakukan dengan penuh perasaan, tidak tergesa, dan saling menatap dengan sorot mata penuh arti di sana.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
WFH itu Work From Home,
Artinya tetap bekerja meski di rumah.
Nah, penulis itu kerjanya juga gak cuma halu aja, sebab ada kenyataan yang harus dijalani. Bukannya mager ato cuma rebahan gak ngapa2in.
Contoh :
1. Ngerjain kerjaan dari kantor
2. Home learning anak (buat yang udah merit dan punya anak kek aku)
3. Belajar (buat pelajar/mahasiswa)
4. Masak ; supaya gak kelaperan.
5. Beresin rumah (klo gak ada Maid)
6. Temenin anak main (klo punya anak)
And the list goes...
There's a lot of things to do, not only reading through Wattpad.
Stop asking for update frequently.
Bisa baca buku apa aja, nonton drama, atau mandi secara teratur, itu juga uda kegiatan.
One thing for sure :
"This is not holiday, but this is war."
Sekian aja dari aku, terima kasih.
Stay safe, Genks 💜
24.03.2020 (19.12 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top