Part. 15 - The waffle deal

TGIF, Everyone.
Update pagi untuk kalian.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Setelah memarkirkan mobilnya, Christian segera keluar dan memandang sekeliling dari balik kacamata hitamnya. Hari Jumat yang seharusnya menjadi hari santainya karena tidak ada kegiatan yang berarti, harus membuatnya bangun pagi sekitar jam 9 untuk datang ke sekolah yang lumayan jauh dari rumahnya.

Dirinya sudah merasa cukup konyol dengan kesediaan untuk mengisi posisi guru eskul sementara di sekolah dari kakak ipar Wayne. Jika bukan karena Wayne, tentu saja Christian akan menolak mentah-mentah untuk urusan yang merepotkannya. Bangun pagi saja sudah menjadi masalah, apalagi harus bersusah payah untuk mengajar anak-anak kerdil yang sedang bermain-main di lapangan.

"Dengan Christian?" sapa seorang wanita cantik yang Christian tebak adalah kakak dari Cassandra, karena dialah yang menghubunginya sejak kemarin sebagai pengingat.

"Allyssandra?" tanya Christian sambil melepas kacamata hitamnya dan memberi senyum andalan yang sukses membuat semua wanita merona, termasuk wanita itu.

Sesuai dugaan, jika paras wanita itu sudah pasti akan menarik namun dalam kesan yang berbeda dibanding Cassandra. Allyssandra lebih ke asian look mewarisi wajah ayah mereka, sementara Cassandra lebih ke western look dari ibu mereka. Unik, pikir Christian senang. Dan kembali merasa Wayne adalah bajingan paling beruntung yang mendapatkan wanita dengan kecantikan yang unik seperti itu.

"Yes, makasi banget kalau kamu bersedia untuk incharge di sini. Mudah-mudahan guru tetap akan cepat kami dapatkan dan...,"

"It's okay, not a big deal. Basket adalah urusan kedua saya dalam hidup setelah bernafas. Jadi, nggak usah buru-buru karena nggak enak sama saya," sela Christian kalem.

See? Dengan hanya berhadapan di depan wanita cantik, ucapan Christian langsung berubah total dari apa yang dipikirkannya tadi. Spontan, hal itu membuatnya berubah pikiran bahwa ternyata menolong teman adalah hal yang menyenangkan, dan bukan merepotkan. Mengingat hal itu, membuatnya terkekeh dalam hati.

"Alright, Christian. Di Sunrise ini baru membuka kelas primary yang artinya jumlah murid masih belum seberapa, jadi harusnya nggak terlalu susah untuk ajarin anaknya. Saya rasa eskul ini akan jadi ajang senang-senang buat anak-anak, karena cowok udah pasti suka basket, yah?" ujar Allyssandra sambil mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi sekolah.

Christian hanya tersenyum ramah sambil menganggukkan kepala pada setiap orang yang melempar sapaan lewat sorot mata penuh minat dan ekspresi yang menggiurkan padanya. Ada guru, atau asisten, juga para orang tua murid yang ada di sana. Entahlah. Christian hanya perlu bersikap sopan dan tidak mempermalukan sahabatnya. Sebab baginya, menjaga sikap dengan tebar pesona itu sangat jauh berbeda.

"Untuk jam eskulnya berapa lama?" tanya Christian sambil menoleh ke arah lapangan basket yang bisa dibilang bukan lapangan, melainkan taman bermain anak-anak dengan adanya ring yang tingginya tidak seberapa.

"Satu jam atau lebih, kamu bisa sesuaikan sendiri. Karena eskul ini adalah jam bebas yang bisa diikuti oleh semua murid," jawab Allyssandra kemudian.

Christian mengangguk. "Okay."

Allyssandra tersenyum. "Kapan pun kamu siap, silakan menyapa mereka."

"Jam sekolahnya udah kelar?" tanya Christian kaget.

"Iya, udah setengah jam yang lalu. Dan kamu terlambat," jawab Allyssandra kalem. "Nggak masalah, ini masih hari pertama. Tapi minggu depan, tolong datang tepat waktu."

Christian hanya memberi cengiran lebar tanpa beban. "Maklumin, yah. Jakarta itu sering macet, jadinya yah gitu."

"Gimana kalau next week, kamu jalan pagian aja? Untuk menghindari macet," usul Allyssandra dengan nada sindiran terselubung, lalu menepuk bahu Christian dengan ringan. "Thanks for coming. Selamat mengajar."

Christian hanya tersenyum dan merasa lega karena sudah bisa membuat satu masalah untuk Allyssandra memikirkan kembali soal dirinya yang mengisi posisi guru eskul. Dengan santai, dia berjalan setelah Allyssandra berlalu, menuju ke lapangan dan memperhatikan anak-anak yang sudah menatapnya dengan sorot mata ingin tahu.

Sok banget pada pake headband, kayak udah bisa keringatan aja, ejek Christian dalam hati sambil terkekeh melihat adanya beberapa anak yang memakai seragam basket, lengkap dengan asesoris seperti headband. Jumlah murid tidak banyak. Hanya sekitar 10 orang dengan tinggi badan yang hanya sampai sebatas pinggangnya. Benar-benar kerdil, pikirnya.

"Alright, Kiddos. Get in line," seru Christian riang, sambil mengatur mereka agar berbaris rapi tepat di depannya.

Christian mengenalkan diri dan memberitahu hal dasar tentang bola basket seperlunya. Tidak banyak berbicara karena sepertinya anak-anak itu juga tidak terlalu memahami apa yang diucapkannya.

"Jadi, pegang bola masing-masing dan belajar untuk drible seperti ini," ujar Christian sambil memperagakannya dengan mudah. "Belajar sampai kalian bisa mengendalikan bolanya. Paham?"

"Yes, Sir," jawab mereka serempak, lalu mulai sibuk sendiri dengan urusan bola mereka.

Christian terkekeh geli sambil bertolak pinggang melihat keseruan mereka yang berujung pada kehebohan yang begitu seru. Ada yang menjerit ketika bolanya terpantul begitu jauh, ada juga yang ketakutan saat bola itu justru memantul ke arahnya sendiri, dan... wait!

Alis Christian berkerut ketika melihat ada satu anak yang sedang duduk di bawah pohon, yang berada tidak jauh dari lapangan ini. Terlihat sibuk sendiri dan tidak mempedulikan keadaan sekitar. Dia menoleh pada anak-anak yang masih sibuk belajar mendrible bola, lalu kembali pada anak yang sendirian di sana.

Kakinya spontan melangkah untuk menghampiri anak itu. Dilihat dari dekat, anak itu sedang sibuk menggambar dengan kedua kaki yang ditekuk sebagai penopang buku gambarnya. Tanpa ragu, Christian berjongkok tepat di depannya dan memiringkan kepala untuk bisa melihat wajah anak itu.

Merasa didekati orang asing, anak itu mendelik sinis dan berdecak padanya. "What's wrong with you?"

Anjir! Pekik Christian dalam hati. Dia tidak menyangka jika ada anak yang bisa bersikap sinis seperti itu.

"Why aren't you join in the class?" tanya Christian santai, masih terlihat biasa saja dan tidak terpengaruh dengan kesinisan anak sialan itu.

"The class is over, Sir. I'm here waiting for my maid to pick me up. Is that problem?" balasnya dengan ketus.

What the fuck! Hari pertama gue jadi guru, udah langsung dibikin nyolot sama anak tengil ini, maki Christian dalam hati.

"Di sana masih ada kegiatan basket, oleh karena itulah, jemputanmu belum tiba," jawab Christian datar.

"Aku tidak ingin mengikutinya. Tidak keren. Mereka seperti maskot berjalan dan aku merasa malu berada di sana. Jadi, jangan mengajakku lagi. Aku tidak mau!" tolaknya tanpa ragu.

Seperti tidak mendengar penolakannya, Christian duduk di samping anak itu dan melirik pada buku gambar yang dipegangnya. "Sedang menggambar?"

"Kau bisa lihat apa yang kulakukan tanpa perlu bertanya, Sir," ucapnya sinis.

Alis Christian terangkat setengah. "Inikah caramu berbicara kepada seseorang?"

"Ibuku menyuruh untuk tidak memberi celah pada orang asing yang sok akrab denganku. Karena katanya, itu adalah penculik," jawabnya sambil mengangkat bahu.

Kembali Christian memaki dalam hati sambil terus menahan ekspresi wajahnya agar tidak berubah hanya karena seorang anak tengil yang sudah membuatnya naik pitam.

"Aku adalah gurumu, dan bukan orang lain," tegas Christian kemudian.

Tanpa menyesal, anak itu hanya mengangguk maklum dan kembali melanjutkan aktifitas menggambarnya. "I'm staying, Sir. Sorry."

Christian kembali melirik pada gambar yang dikerjakan oleh anak itu. Sebuah sketsa yang baru dimulai, dan belum terlihat apa yang hendak dibuat anak itu.

"Sketsa?" tanya Christian yang langsung membuat anak itu kembali terusik dengan mendesis pelan.

"Aku sedang fokus," celetuk anak itu tidak senang.

Christian hanya tertawa sinis sambil mengambil alih pensil yang dipegang anak itu tanpa permisi. Tentu saja, anak itu berseru kencang dan hendak merebut, tapi justru Christian menarik buku gambar dari pangkuan kecilnya, dan mulai menunjukkan hobi lamanya dalam menggambar.

"Jika kau ingin membuat sketsa wajah, tidak dimulai dari rambut. Buat garis tepi wajah, tapi jangan berbentuk lingkaran, karena bentuk kepala adalah lonjong. Seperti ini," ujar Christian sambil memperagakannya dan anak itu tampak menyimak.

"Wow, you're good," gumamnya pelan.

"I am," balas Christian sombong.

Anak itu berdecak pelan. "But I am greater."

"We'll see. Jadi, apa yang ingin kau buat?" tanya Christian sambil terus melanjutkan untuk membuat pola wajah agar memudahkan anak itu melanjutkan gambarnya.

"Sketsa ibuku," jawab anak itu dengan mantap.

Gerakan tangan Christian terhenti ketika mendengar jawabannya. Kata 'Ibu' selalu menjadi hal yang sensitif untuknya dan sukses membuatnya mendengus tidak suka. Melihat Christian yang berhenti, anak itu menoleh padanya dengan bingung.

"Kenapa berhenti? Kau tidak bisa melanjutkannya dan mengakui jika kau berusaha menarik perhatian anak kecil? Jika kau berharap untuk mendapat pujian keren dariku, lupakan saja. Aku tidak akan memujimu!" cetus anak itu sambil merebut buku dan pensilnya dari Christian.

"Tengil banget sih lu jadi anak," omel Christian judes, lalu beranjak berdiri sambil menunduk untuk menatapnya dengan tatapan remeh.

"Apa yang kau katakan tadi? Aku tidak mengerti," tanyanya dengan alis berkerut.

"Sebenarnya kau tidak bisa bermain bola, bukan? Kau begitu angkuh dan menyingkir ke sini untuk menyembunyikan ketidakmampuanmu," ejek Christian sambil menyeringai.

Merasa tersinggung, anak itu mengerutkan alis dan terlihat tidak senang. "I don't want to play doesn't mean I can't play!"

"Oh, really?"

"Yeah, really!"

"Then prove it! Hanya berbicara itu lebih mudah daripada membuktikannya, bukan?"

Dia merengut cemberut. "Aku tidak mau karena tidak ada untungnya bagiku."

"Siapa bilang tidak ada untungnya? Kita bertaruh! Jika kau bisa memasukkan bola sebanyak tiga kali ke dalam ring, maka aku akan mengabulkan tiga permintaanmu!"

Anak itu terdiam, tidak langsung menjawab dan sepertinya tertarik dengan tawaran Christian. Jika dia tidak salah dalam menilai, anak itu menyukai tantangan dan akan merasa puas jika menang. Tapi, kesombongan Christian kali ini mengatakan bahwa anak itu hanya memiliki mulut besar yang tidak bisa dibuktikan.

"Jika tidak bisa?" tanya anak itu, berusaha bernegosiasi.

"Kau harus ikut kegiatan eskul dan tidak berada di sini selama kegiatan berlangsung," jawab Christian tegas.

Alisnya terangkat setengah, tampak menilai Christian dengan ekspresi penuh minat. Sorot mata tajamnya tidak teralihkan, dengan bibir yang terkatup rapat dan alis berkerut, semuanya sudah menjadi jawaban untuk Christian bahwa anak itu bersedia.

"Alright, if you insist, I'll do it!" ujar anak itu.

Christian hanya memutar bola matanya dan menunduk untuk melihat anak itu sudah memasukkan buku dan pensil ke dalam ransel, lalu berdiri. Jika sekelompok anak-anak tadi hanya sebatas pinggangnya, maka anak itu sudah sampai batas perutnya, yang berarti anak itu memiliki postur yang lebih tinggi dari teman-temannya yang lain.

"Apa kau lahir di sini?" tanya Christian sambil mulai melangkah, diikuti anak itu.

"Tidak. Untung saja tidak. Karena aku tidak menyukai negara polusi dan macet seperti ini. Cih! Messy and suck. So boring!" jawabnya dengan ketus.

Astaga! Christian sampai memijat keningnya karena sudah terlalu gerah untuk menahan emosi dalam menghadapi seorang anak kecil yang keras kepala dan tidak tahu etika. Siapapun yang menjadi orangtuanya, sudah pasti memiliki masalah besar karena menghasilkan anak tengil seperti ini.

Begitu mereka tiba di lapangan, Christian menyerukan kepada anak-anak lain untuk berhenti dan berdiri di sisi lapangan, memberikan ruang pada anak tengil di tengah lapangan. Setelah menaruh ransel di pinggir lapangan, dia berdiri di tengah untuk menghadap Christian dengan ekspresi tidak suka, seperti tidak nyaman menjadi pusat perhatian.

"What's your name, Kid?" tanya Christian sambil menyodorkan sebuah bola padanya.

"You can call me, JC," jawabnya enggan sambil menerima bola dari Christian.

"Okay, JC. No rules for this game. You can do whatever you want as long as the ball goes to the ring. Remember? Three shots!" ucap Christian lugas, dan anak yang bernama JC menganggukkan kepala.

Christian mengawasinya dari sisi lapangan sambil menyilangkan tangan. Sorot matanya menangkap JC mulai mendrible bolanya dengan begitu terlatih. Tampak seperti sudah terbiasa bermain bola di manapun dirinya berada, sama sekali tidak memberikan aksi norak seperti anak-anak yang lain. Bola itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, terus mendrible hingga mulai berjalan menyusuri lapangan menuju ke arah tiang, mendongak untuk melihat tiang dengan mata menyipiti tajam, lalu melompat sambil melempar bola itu ke atas, dan blug! Bola itu masuk ke dalam ring tanpa cela.

Mata Christian melebar kaget, dimana para anak-anak yang lain berseru dan bertepuk tangan. JC menoleh ke arahnya dengan seringaian penuh kemenangan di sana, sambil mengangkat satu telunjuknya dan berseru kencang, "One!"

Kini, JC mengambil bola dan mendriblenya kembali sambil beringsut cepat ke arah tiang. Dia mengambil posisi tepat di garis angka tiga poin, sambil menatap tajam pada tiang, dan melompat tinggi sambil melempar bola. Blug! Bola itu kembali masuk ke dalam ring tanpa cela.

Wow, gumam Christian pelan. Pantas saja berani menyombongkan diri, karena anak itu memang memiliki bakat dalam bermain bola. Juga tinggi badannya yang mendukung untuk membuat lompatannya lebih tinggi dari anak seusianya.

JC kembali menoleh padanya. Kali ini sambil mengangkat bahu dengan memberikan ekspresi tengilnya yang menyebalkan. Sambil mengarahkan dua jari padanya dan berseru lebih kencang dari sebelumnya. "Two!"

Kemudian, JC kembali mengambil bola dan mendriblenya. Akan tetapi tidak seperti dua aksi sebelumnya, sebab kali ini terlihat malas-malasan. Seperti sengaja dan agak tergesa, JC melempar bola dan melayang entah kemana, bahkan keluar dari lapangan. Satu tembakan terakhirnya meleset dan semua anak-anak yang berada di sana berseru kecewa.

Dengan santai, JC berjalan menyusuri lapangan dan menuju ke pinggir untuk mengambil ranselnya kembali. Tampak biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa dan itu membuat Christian menjadi dongkol. Anak itu benar-benar sudah memancing emosi.

"What was that?" tanya Christian ketika sudah mencapainya.

"I lost my last shot," jawabnya enteng.

"You did it on a purpose," tukas Christian tanpa ekspresi.

"Then what? Jika kau sudah mengetahuinya, untuk apa mempermasalahkannya?"

"What the..." Christian harus menelan kembali umpatan yang hampir dikeluarkannya karena baru sadar sedang menghadapi anak kecil, lalu mendengus saja. "It's gentleman agreement. You have 3 requests in a row."

JC menatapnya tajam dan terlihat kesal sekarang. "Fine! First request, stay away from me!"

"Where the hell are your parent? Didn't they teach you how to be a good kid? How can you be so cruel?" sembur Christian dengan mata melotot tajam.

JC terdiam. Ekspresinya berubah dan spontan mundur selangkah untuk menjauhi Christian. Tampak cemas dan membuang muka ke arah lain dengan tatapan tidak terbaca.

"You don't know me, so I don't have any reason to be nice with you," ucapnya dengan suara mencicit.

Tiba-tiba, rasa bersalah menyergap Christian dan membuatnya bingung selama beberapa saat. Entah karena banyaknya pikiran yang membuatnya pening, atau sesuatu yang membuatnya tidak nyaman saat ini, sebab dia merasa konyol karena harus berdebat dan berteriak pada seorang anak kecil.

Menumpukan satu lutut di aspal, dan menatap JC dengan ekspresi bersalah, Christian mencoba memberikan senyum hangat padanya. "Aku minta maaf untuk sikapku barusan."

JC mengangguk sambil melirik takut padanya. "Dimaafkan, meski tidak seharusnya kau bersikap seperti anak kecil. Kau harus malu karena sudah terlalu tua untuk bertengkar denganku, Sir."

Meski terlihat mulai takut, tapi mulut sialan itu tidak akan berhenti untuk mengeluarkan ucapan yang tidak sepantasnya. Tapi, ada kesan lucu yang membuat Christian harus terkekeh geli, lalu tertawa pelan melihat bagaimana anak itu mengekspresikan pendapatnya.

"You are so weird," cibir JC dengan ekspresi jengkel padanya.

Christian hanya menggelengkan kepala sambil berusaha menepis rasa gelinya. Kini, dia menangkup dua bahu JC dan menatapnya hangat. "Let's be friend, JC."

"Why should I?"

"To know me better, so you have the reason to be nice with me," jawab Christian mantap.

"Just go, your mascots are waiting," celetuk JC sambil menunjuk para anak-anak yang masih asik mendrible bola.

Christian hampir melupakan mereka dan menyuruh JC untuk menunggu, lalu bergerak menghampiri anak-anak itu dan memberitahukan bahwa eskul sudah usai. Setelah membubarkan mereka, Christian kembali menghampiri JC dan mengacak rambutnya dengan asal.

"What's wrong with you?" tanya JC ketus, sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena ulah Christian.

"Jam berapa pengasuhmu akan menjemput?" tanya Christian kemudian.

"Masih lama," jawabnya.

Christian tersenyum sambil memakaikan hoodie anak itu untuk menutupi kepalanya karena sinar matahari yang begitu terik. "Sambil menunggu, bagaimana jika kita makan waffle yang ada di sebrang sana? Sepertinya enak."

Mata JC langsung melebar senang, lalu meredup sedetik kemudian. "Aku tidak membawa uang."

"Don't worry, it's my treat," balas Christian senang.

"But, my mom won't let me take those sweets," sahut JC masam.

"So, you don't like anything sweet and...,"

"I love it like crazy, Dude!" sela JC cepat, dan terdengar seperti protes. "Waffle, pancake, pizza are heaven to me! I desperately need them."

Christian mengerutkan alis dengan ekspresi bingung, berusaha mencerna bahwa mungkin saja anak itu sering mendapat larangan dari ibunya tentang makanan manis. Ciri khas ibu zaman sekarang adalah selalu melarang ini itu soal makanan, padahal jika dinikmati sedikit saja tidak akan mati, tapi justru menambah kebahagiaan seorang anak.

"How about we're doing some secret thing? I won't tell anybody about today, including your Mom. So, we can have waffle together," usul Christian dengan suara berbisik, seolah tidak ingin ada yang mendengar ucapannya, dan sukses menarik perhatian dari JC yang polos itu. "If you think waffle is heaven. For me, waffle is my life."

Mata JC melebar senang dan tampak begitu berminat. "That's freaking awesome, Sir."

"What are you waiting for? Let's go!"

JC langsung menerima uluran tangan Christian untuk menggandeng tangannya dan berjalan bersama menuju ke sebrang sekolah, dimana ada sebuah restoran yang menyajikan makanan yang diinginkan mereka.

Tidak pernah rasanya Christian merasa tertarik pada anak-anak, karena menurutnya mahkluk kerdil itu sangat menyusahkan. Tapi, ada sesuatu yang menarik perhatiannya untuk bisa merasakan kenyamanan bersama dengan anak itu. Setidaknya, Christian bisa melupakan kepenatannya sejenak, dengan berbagi seporsi besar waffle bersama anak tengil yang begitu rakus dan enggan untuk berbagi es krim dengannya.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Joel kecil ganteng banget 🙈
Mudah2an berjodoh sama aku sebagai mantu nantinya 🤣
And yes, nama anakku JC 😛

Fyi, jika dialognya berubah menjadi baku, itu berarti mereka berbicara dalam bahasa asing, yes?
Udah paham lha yah kalian kalo dialognya berubah jadi EYD ala2 saat Joel muncul 😅

Coba compare, tengilan mana? 💜🙈

13.03.2020 (09.52 AM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top