Part. 13 - The chosen one
Aku ramal kalau kalian kepo banget sama Daddy Tian.
Selamat!
Karena aku memang bersemangat untuk mengulas kisah balik seorang Tian di versi terbaru kali ini.
Gimana, yah?
Jika Nathan, Juno, Liam adalah favorit,
Maka Christian adalah spesial.
Terbukti jika generasinya itu lebih ngegigit (menurutku) 😅
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
7 years earlier,
Banyak yang bilang jika waktu satu bulan itu adalah cukup untuk mengenal seseorang yang mampu menarik perhatian kita begitu besar. Aku harus menyetujui satu hal itu. Sejak hari pertama hingga detik ini, aku tidak pernah mampu menahan senyuman setiap kali teringat dengan momen kebersamaanku dengannya.
Aneh, tapi nyata. Saat aku masih SMP dan dia sudah di tahun terakhir SMU-nya, itu adalah saat dimana aku merasa tertarik pada Kakak Senior yang sering menyendiri di halaman belakang sekolah, duduk tepat di bawah pohon, sambil membaca buku di sana. Tidak ramah, ketus, dan dingin, itulah sosok yang menggambarkan dirinya di masa itu.
Aku tidak tahu kenapa aku bisa menaruh perhatian padanya. Yang aku tahu adalah dia sangat menarik di mataku. Ada satu kesan yang begitu kuat darinya, seakan menarikku untuk mendekat dan mengajaknya berbicara. Dia membutuhkan teman. Tapi, setiap kali aku berusaha untuk mendekat, setiap kali itulah dia mengusirku. Bahkan, meneriakiku dengan sebutan 'bodoh'
Lucunya, aku tidak marah atau merasa sakit hati. Kurasa, dengan cara seperti itulah dia berusaha melindungi dirinya sendiri dari lingkungan yang seakan menjadi ancaman untuk dirinya. Semakin penasaran, tentu saja. Berusaha mendekat, tapi terus ditolak dan diusir. Sampai akhirnya, aku melihatnya dari kejauhan dengan senyuman yang begitu lebar ketika melihat alisnya berkerut, tampak begitu serius dengan apa saja yang dibacanya.
Ketika dia lulus SMU, aku merasa kehilangan. Meski dia tidak ada, aku terus berkunjung ke halaman belakang sekolah untuk melihat pohon rindang yang ada di sana, dengan harapan jika dia duduk di sana. Nyatanya? Nihil. Dia tidak pernah muncul setelah lulus dari sekolah kami. Karena katanya, dia sudah melanjutkan kuliah di tempat yang jauh.
Setahun berlalu, dan aku sudah duduk di tahun pertama SMU-ku. Dengan adanya pertandingan basket antar sekolah, dia mendadak muncul. Meski hanya sebentar untuk mengikuti pertandingan, tapi aku tidak mampu mengalihkan pandanganku saat dia bertanding. Setiap kali ada pertandingan, setiap kali itulah aku hadir sebagai penonton pertama yang hadir. Tidak ada tegur sapa, hanya melemparkan senyum dan lambaian tangan, yang sudah pasti tidak pernah digubris olehnya.
Hingga akhirnya, kami dipertemukan kembali secara kebetulan, di waktu yang tidak disengaja atau terpikirkan oleh kami. Dia berubah. Sangat. Mungkin saja, bertambahnya usia dan naiknya jenjang pendidikan, mengubah karakter dan pemikiran seseorang. Itu hanya satu dari sekian banyak yang sempat menjadi kemungkinan yang kupikirkan tentang dia.
"Lihat, aku membuat Bakmi Ayam. Untukmu," seruku senang, sambil menyodorkan sebuah kotak makan padanya dengan bangga.
Dia melirik singkat, lalu memutar bola matanya. Tampak tidak terlalu berminat pada apa yang kubawakan untuknya. Well, itu sudah biasa. "Tidak usah repot-repot. Aku tidak suka makan bakmi."
"Bukankah kau pernah bilang jika menyukai makanan buatan sendiri? Aku membuatnya khusus untukmu. Kau tidak usah kuatir, sebab aku cukup piawai dalam menggunakan alat masak. Ibuku mengajariku banyak hal, salah satunya supaya aku bisa mandiri karena sebentar lagi, aku akan lulus SMU," ujarku menjelaskan.
Lagi. Dia tampak tidak tertarik mendengarkan penjelasanku dan kembali asik dengan kegiatannya saat ini. Headphone terpasang di telinga sambil menganggukkan kepala seolah mengikuti alunan lagu apa pun yang didengarnya di sana. Sama sekali tidak menganggapku ada di sana.
Menghela napas, aku hanya bisa kembali terdiam sambil tetap duduk di sampingnya. Meski tampaknya dia tidak peduli, tapi sebenarnya menyadari kehadiranku. Jika dia tidak peduli dengan apa yang kulakukan, justru aku berpikir sebaliknya. Dengan adanya aku yang tetap di sampingnya, meski hanya duduk tanpa adanya obrolan, kehadiranku cukup membawa pengaruh untuknya. Sekali lagi. Dia membutuhkan teman.
"Apa kau menyukai apa yang kau jalani saat ini, Miranda?" tanyanya di suatu hari.
Aku tidak perlu berpikir untuk memberi jawaban, karena langsung menganggukkan kepala sebagai jawaban untuknya.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Setiap kali hidupku terasa tidak menyenangkan, aku hanya perlu bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bernapas tanpa kekurangan satu apa pun. Aku tidak boleh mengeluh," jawabku.
Dia tersenyum kecut. "Kau sangat bodoh."
"Menurutmu begitu?" tanyaku.
Dia mengangguk tanpa ragu. Menatapku tajam seolah itu adalah peringatan. "Terlalu bersyukur, justru membuatmu lengah. Merasa tenang, justru kau tidak menyadari akan ada bahaya yang datang padamu. Kau tahu itu apa? Artinya, kau terlalu lemah."
Aku tidak membalasnya karena tidak tahu apa artinya. Jika bertanya, maka dia akan memberiku tatapan yang merendahkan, dan itu membuatnya semakin terlihat jahat, padahal dia adalah pribadi yang baik. Bukan karena takut dihina atau diremehkan olehnya, melainkan aku mencegahnya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Kembali lagi pada masa satu bulan. Yeah. Cukup untukku melihat adanya kejanggalan. Juga pengkhianatan, dibalik niat terselubung yang berlandaskan dendam. Kini, aku tahu apa arti semua perkataannya tentang kehidupan, tentang jawaban yang ditafsirkan olehnya, tentang semuanya.
Hingga aku berada pada satu titik terendah dalam hidupku dan bertanya : salahkah aku yang berusaha untuk berbuat baik pada semua orang yang kukasihi? Dosakah aku yang begitu mencintainya, sampai tidak layak mendapatkan balasan darinya? Apakah dari semua yang kulakukan adalah kebodohan seperti yang dia katakan padaku?
Peringatan datang dari orang lain yang juga kukasihi. Orang yang tidak akan pernah berteriak atau menindak tegas padaku, justru menjadi lawan yang tangguh untuk memperjuangkan orang yang katanya adalah orang yang salah.
"Kau tidak bisa bersamanya! Kau harus meninggalkannya. Dia tidak mencintaimu! Dia hanya ingin menyakitimu, karena dia dendam padaku!" ucap pamanku, adik Mama yang menjadi paman kesayanganku.
"A-Apa maksudmu, Uncle? Kau tidak mengenalnya, dan dia juga tidak mengenalmu. Bagaimana mungkin kalau dia dendam padamu?" balasku dengan lirih kala itu.
Dia menatapku iba saat aku mulai menangis. Meski ekspresinya sedih, tapi aku tahu ada sirat kekecewaan dan kemarahan dalam sorot matanya. "Kau tidak bisa bersamanya."
"Dia membutuhkanku."
"Tidak! Dia tidak membutuhkanmu! Dia hanya memanfaatkanmu untuk membalas dendam padaku dengan menyakitimu, Miranda! Jika kau masih bersikeras, aku bersumpah akan mengirimmu ke tempat yang jauh!"
"Aku tidak akan mendengarkanmu, Uncle. Kau tidak berhak mengatur hidupku dan mengancamku seperti itu. Tidak ada alasan apapun yang bisa menghalangiku untuk...,"
"Aku mencintai ibunya!" selanya dengan penuh penekanan. "Karena itulah, kau tidak bisa bersamanya dan dia sedang berusaha untuk menghancurkanku lewat dirimu."
Jika dia tidak pernah mencintaiku, aku maklum karena sedari awal memang seperti itu. Tapi mendengar sesuatu yang tidak pernah kusangka dari paman kesayanganku, justru membuatku terjatuh dalam lubang kehidupan yang begitu gelap dan pekat. Membawaku pada awal penderitaan yang menjadi buah dari semua rasa syukurku.
Sedih pun aku tidak mampu. Sesak pun tidak bisa kuteliti lagi bagaimana rasanya. Karena aku sudah tidak punya hati, sebab sudah hancur berkeping-keping seperti gelas kaca yang jatuh dan pecahan itu diinjak-injak dengan keras. Selama ini, aku berpikir jika dia membutuhkan teman. Tapi ternyata, justru aku yang demikian. Tidak ada teman. Tidak ada saudara. Tidak ada pengharapan. Hanya diriku sendiri. Kosong dan kesepian. Sedih dan hancur. Sekarat dan membutuhkan pertolongan.
Ketika hidup memberiku dua pilihan yang tersulit, aku melakukannya dengan caraku sendiri. Aku mencintai keduanya. Aku tidak bisa melukai hati dari seorang paman yang sudah mengasihiku sejak kecil, dan aku pun tidak sanggup kehilangan seseorang yang sudah menjadi cinta pertamaku.
Sampai akhirnya, aku memilih keduanya. Yaitu mengikuti apa yang pamanku inginkan dengan membawa turut serta momen kebersamaan darinya. Meninggalkan masa lalu yang begitu pahit, dengan harapan untuk tetap bersyukur dalam menjalani kehidupan yang baru. Hanya itu yang mampu kulakukan. Sampai detik ini.
🌷🌷🌷🌷🌷
Christian melebarkan matanya ketika sudah mengigit dan merasakan Quesadilla buatan Cassandra, istri dari sahabatnya, Wayne. Tidak pernah merasakan makanan seenak itu, sampai dirinya tidak sadar sudah menghabiskan satu buah Quesadilla, dan mulai mengambil yang kedua.
"Laper atau doyan lu?" komentar Wayne dengan alis berkerut heran.
Christian masih asik mengunyah sambil menatap Wayne tanpa ekspresi. Cassandra datang dan menaruh satu piring makanan berisi makanan ala Meksiko lainnya, yaitu burrito. Melihat sosok wanita cantik yang sedang menjalani masa kehamilan di bulan kelima, Christian merasa bahwa kehidupan teman brengseknya sungguh menyenangkan.
Cassandra masih begitu cantik, dan tampak langsing. Hanya perutnya saja yang membuncit, itupun tidak terlalu terlihat jika mengenakan baju kebesaran seperti oversized t-shirt yang dikenakannya sekarang.
"Itu mata kayaknya perlu banget gue colok, yah!" desis Wayne tajam, sambil menatap Christian dengan sinis.
Christian hanya terkekeh, sementara Cassandra sudah duduk di samping Wayne. Saat ini, Christian sudah berada di kediaman Wayne, karena sahabatnya itu memintanya untuk datang ke rumahnya.
"Kenapa sih lu mikir jelek terus sama gue?" tanya Christian santai, lalu mengambil burrito dari piring dan menggigitnya. Lagi, matanya melebar sambil memekik senang karena makanan itu tidak kalah enaknya dengan Quesadillas tadi.
"Terbuat dari apa sih lu, Cassandra? Selain lu cantik, lu jago masak. Kalo kayak gini, gue juga rela jadi simpenan," celetuk Christian dengan mulut penuh, lalu mengadu kesakitan karena Wayne sudah memukul kepalanya. "Aduh, lu kenapa sih Wayne?"
"Buat lu, gue nggak bisa santai! Bini orang bisa lu mainin, tapi nggak bini gue!" kembali Wayne mendesis tajam.
Cassandra yang sedang meneguk juice, tiba-tiba tersedak setelah Wayne mengatakan hal seperti itu. Dengan cepat, Wayne segera membantu istrinya untuk menepuk lembut punggungnya, dan menyodorkan serbet padanya. Ckckck, perlu banget kayak gitu kalo udah merit, cibir Christian dalam hati.
"Minumnya pelan-pelan dong, Sayang. Nggak harus buru-buru, kan?" tegur Wayne dalam nada suara yang begitu pelan.
"Aku kaget, Wayne," jawab Cassandra dengan suara tercekat, lalu menatap Christian dengan alis berkerut. "Emangnya bener kalo si Christian sampe bisa main sama bini orang?"
"Jangan dengerin Wayne, itu hoax," jawab Christian enteng.
"Pokoknya dengerin aku, yah. Kamu nggak usah deket-deket dia kalo aku nggak ada. Terus, nggak usah terima dia di sini, kalo tiba-tiba datang ke rumah. Paham?" ujar Wayne dengan serius.
Cassandra langsung mengangguk sambil mengusap-usap perutnya. "Mudah-mudahan, anak kita nggak kayak gitu modelannya."
"Lu berdua pengen banget gue sirem, yah? Julid banget sama temen sendiri? Segila-gilanya gue, mana mungkin makan bini temen? Justru lu harus makasi sama gue untuk pengetahuan soal main sama cewek hamil yang udah gue ajarin. Air susu lu bales pake air comberan, Kampret!" sewot Christian dengan judes.
Ucapan Christian sukses membuat Cassandra memucat. Wanita itu sampai mengusap wajah sambil bergumam tidak jelas, sementara Wayne tampak berusaha untuk menenangkannya. Lebay, omel Christian dalam hati. Seharusnya, dia tidak perlu mampir dan harus menyaksikan adegan suami istri norak yang terus memamerkan kemesraan.
"Ada apa sih rame-rame?"
Kepala Christian spontan menoleh, lalu senyumannya melebar begitu saja ketika bisa melihat sosok wanita lucu dan menggemaskan seperti Lea, adik Wayne yang adalah tunangan sahabatnya, Nathan.
"Eh, ada Lea di sini. Kok nggak ngekorin Nathan dinas ke Taiwan? Nanti pacarnya sama cewek lain lho," celetuk Christian asal, sambil menatap Lea yang sudah duduk di kursi sampingnya.
Lea hanya melirik singkat padanya lalu mengangkat bahu. "Ngekorin isn't my thing to do. Lagian, udah nggak zaman main cemburuan. Zamannya nikah muda sekarang."
Orang norak bertambah satu, batin Christian dalam hati. Tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang sedang kasmaran.
"Tumben banget ada di sini? Nginep?" tanya Christian, masih berusaha untuk memulai pembicaraan, karena dua insan yang sedang dimabuk asmara yang duduk di sebrangnya, sedang tidak tahu diri dengan adegan suap menyuap yang tidak diperlukan.
"Iya, soalnya Dad dan Mom lagi ada urusan di LN. Terus, aku memang udah tinggal sementara di sini sambil temenin Cassandra," jawab Lea sambil menggigit burrito. "Hmmm, ini enak banget."
"Pake sausnya deh, lebih enak lagi," usul Christian sambil menyodorkan mangkuk berisi saus yang dimaksud, dan Lea menurutinya.
Dia terkekeh saat Lea memekik girang dan menganggukkan kepala, sambil asik mengunyah.
"Terus, mau kemana? Cantik amat kalo cuma buat turun makan doang?" tanya Christian lagi.
Lea mengusap bibirnya dengan serbet, dan kembali menggigit makananya. "Aku mau pergi sama mamanya Nathan untuk test food di Mulia."
Alis Christian terangkat. "Mau dianterin sama aku? Itung-itung irit bensin. Kapan lagi bisa jalan bareng sama aku, ya gak?"
Lea menoleh padanya dan menggelengkan kepala. "Aku nggak cocok jalan sama kamu."
"Emangnya kenapa?"
"Cewek kamu itu banyak, dan aku nggak mau ketemu sama salah satu dari mereka, terus ada adegan kayak aku diteriakin pelakor. No no, nggak gitu. Lagian, kamu bukan tipeku. Aku sukanya sama yang kayak preman tanah abang, bukan yang metroseksual kayak kamu."
Christian hanya mendengus sambil menatap Lea sebal, sementara Wayne dan Cassandra tertawa geli mendengarnya. "Nyebelin banget sih sekarang. Udah bener-bener dibikin rusak sama pacar kamu yang norak itu."
"Dia bukan pacar, tapi calon suami. Dibedain, dong."
"Terserah!"
"Ih, kok ngambek?"
Wayne kembali tertawa, kali ini lebih keras. "Itu artinya Lea nggak mau dianterin sama lu, Bangke!"
Christian kembali mendengus dan menopang dagu dengan ekspresi jenuh. "Jadi, apa tujuan lu suruh gue mampir ke sini? Mau ngejulidin gue? Plus pamer kemesraan di depan gue?"
"Sejak kapan lu jadi sensi?" balas Wayne geli, lalu mengarahkan dagu ke arah Cassandra. "Cassie mau minta tolong sama lu."
"Minta tolong apa? Pacarin temen lu? Siap aja gue, mah," tanya Christian dengan alis terangkat.
Cassandra menatapnya dengan ekspresi tertegun, sementara Lea hanya meringis pelan dan menggelengkan kepala. Tanda bahwa dua wanita itu tidak menyukai caranya menyampaikan lelucon, sementara Wayne masih terkekeh pelan.
"Jangan sembarangan ngomong, Tian. Mereka itu bukan Nathan atau Adrian," ujar Wayne mengingatkan, dan mulai menikmati makanannya.
"Fine, gue serius sekarang. Mau minta tolong apa?" tanya Christian kemudian.
"Mau minta tolong untuk jadi guru eskul basket di sekolah kakak gue," jawab Cassandra dengan lugas.
"Guru eskul?" tanya Christian dengan alis berkerut, lalu menoleh pada Wayne untuk menuntut penjelasan.
"Kakaknya Cassie, si Ally, ada buka sekolah nursery di daerah Selatan. Tahun ini, sekolahnya udah buka kelas buat primary atau SD. Mereka ada buka kegiatan eskul juga, sementara baru dua, yaitu Musik dan Basket. Biasa lha, kegiatan standart buat anak cewek dan anak cowok," terang Wayne.
"Terus, kenapa bisa gue yang terpilih?" tanya Christian heran.
"Katanya lu jago basket," jawab Cassandra langsung.
"Yang bisa main basket nggak cuma gue. Yang lainnya juga bisa," balas Christian.
"Ini cuma sementara aja, Tian. Diantara kita, cuma lu yang paling available. Karena jadwalnya cuma seminggu sekali, di hari Jumat. Jadi, abis lu ngajar, lu tinggal jalan ke kafe buat cheating off day," sahut Wayne.
"Nanti kalau guru eskulnya udah dapet, lu udah nggak perlu incharge," tambah Cassandra.
"Kakak iparnya Cassie, si Brandon, juga jago basket. Skill-nya udah setara atlet nasional, tapi dia lagi sibuk dan..,"
"Emang lu kira skill gue nggak setara atlet nasional? Biar begini, gue juga udah ngeharumin nama bau sekolah zaman SMU!" sela Christian nyolot. "Lagian, eskul basket buat anak SD, nggak usah cari yang bener-bener pro. Ajarannya cuma sekedar nge-drible sama masukkin bola kok."
"Jadi sebenarnya, kamu mau atau nggak, sih? Ini daritadi kok ngegas mulu?" tanya Lea sambil berkerut heran dan menatap Christian bingung.
"Lagi pusing karena belum dapet jatah atau gimana? Lu kayak lagi uring-uringan," komentar Cassandra kemudian. "Misalkan lu nggak mau, ya udah. Ini kan cuma tanyain kesediaannya. Kalau nggak mau, juga nggak apa-apa."
Wayne tampak memperhatikan Christian dengan seksama, kembali dengan sorot matanya yang penuh penilaian dan seperti memikirkan sesuatu. Ck! Christian berdecak pelan jika Wayne sudah melakukan hal itu.
"Ya udah, gue coba dulu. Misalkan gue nggak suka, gue bisa mundur kapan aja, yah?" putus Christian akhirnya.
Cassandra mendesah lega dan menatap Christian dengan haru. "Makasih banyak, yah. Nanti kamu yang incharge di eskul basket, dan Lea di eskul musik. Kita akan usahakan untuk secepatnya dapetin guru eskulnya."
Mengabaikan tatapan Wayne yang terus tertuju padanya seolah sedang membaca ekspresinya, Christian menoleh pada Lea yang masih asik menikmati makannya. Naluri isengnya muncul, seiring dengan cengiran yang sudah melebar di wajahnya.
"Jadi, nanti kalo sama-sama udah ngajar, aku bisa jemput kamu," ucap Christian riang.
Lea menoleh dan menatapnya dengan alis terangkat setengah. "Makasi, tapi nggak perlu repot-repot."
"Nggak bakal ada cewek yang tuduh kamu sebagai pelakor. Aku janji. Kalo ada yang sembarangan kayak gitu, aku hajar," tawar Christian lagi.
"Justru aku takutnya kamu yang dihajar," balas Lea kalem. "Besok, Nathan udah balik. Sama kayak Wayne, dia juga udah wanti-wanti sama aku untuk jangan deket-deket sama kamu."
Christian berdecak pelan, sambil melirik Wayne dengan sinis. "Lu berdua emang temen yang paling hina. Terus aja suudzonin gue, nanti kualat lu!"
"Gue sama Nathan cuma jaga-jaga. Biasanya, mulut sama otak itu nggak nyambung kalo lagi nanggung. Bisa jadi, bini temen atau tunangan temen sendiri, bisa lu embat. Iya, kan?" ejek Wayne tanpa beban.
Seharusnya, Christian tidak perlu mengindahkan ucapan Wayne yang sudah pasti adalah ejekan berbau lelucon, seperti yang sering dilakukan satu sama lain. Tapi sekarang? Ada pemikiran baru yang muncul dalam pikirannya, dan membuat ekspresinya berubah menjadi datar. Bahkan, itu sudah menyita perhatiannya dan tidak bisa mengikuti obrolan yang terjadi di sana.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Jangan terlalu penasaran, nanti kamu makin gemas 😅
2763 words ini. Masa masih kurang?
Brb eksekusi lagi.
I purple you 💜
09.03.2020 (18.51 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top