Part. 12 - White house down
WARNING : MATURE CONTENT (21+)
Written by. Sheliu
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Sejauh pengenalannya akan diri sendiri, Miranda termasuk orang yang mampu mengendalikan dirinya, juga menahan emosi lewat sikap datar dan dinginnya. Hal itu jugalah yang menjadi kekuatan untuk melindungi diri dari berbagai pencobaan dunia yang sering menghampiri, terutama para bajingan yang hendak mendekati.
Tapi kali ini, Miranda harus dikhianati oleh tubuhnya sendiri. Bukannya menolak, justru tubuhnya memberikan reaksi yang tidak seturut akal sehatnya, saat Christian kembali menyentuhnya. Denyutan nyeri itu terasa menyesakkan dan membuat napasnya tertahan, begitu pening oleh desakan gairah yang membutuhkan sentuhan liar itu.
Meski dilakukan dengan kasar, tapi Miranda justru menyukainya. Umpatan dan desisan tajam yang keluar dari mulut laknat itu, membuat hasrat Miranda merambat naik sampai ke ujung kepala. Sentuhan kurang ajar, remasan kasar, desakan yang kuat, dan cumbuan yang liar, sudah merajalela di tubuhnya yang bergairah. Nyaris membuatnya kewalahan dengan serangan kenikmatan yang bertubi-tubi.
Seperti biasa, Christian akan melakukannya dengan apik dan berkesan. Bahwa bajingan itu akan membawanya sampai ke puncak klimaksnya lebih dulu. Ralat. Hampir mencapai klimaks-nya, lalu dia dengan sengaja berhenti selama beberapa saat sambil menatapnya dengan tatapan mengejek, dan kembali melanjutkan untuk memainkan reaksi tubuhnya.
Entah bagaimana ceritanya, Miranda sudah berada di bawah tindihan pria itu. Nyaris telanjang. Kemeja yang sudah tidak pada tempatnya, bra yang menggantung asal di dada, rok yang sudah dinaikkan sampai batas pinggang, dan celana dalam yang terkait di salah satu pergelangan kakinya. Oh, heels-nya pun masih dikenakan di kedua kakinya.
Saling bergelut di sofa yang sepertinya ada di ruang utama, di sebuah rumah besar yang tidak ada siapapun di dalamnya. Dengan interior serba putih dan tak bercela, begitu apik untuk dihuni oleh seorang bajingan yang sedang mendesis penuh nikmat ketika sudah memasukinya.
Bagaimana bisa dirinya terjebak dalam situasi yang sama sekali tidak terduga di sini? Tujuan awalnya adalah datang ke NataExim untuk membuat perhitungan pada Brian Haydenchandra yang sudah berani mengancamnya, tapi justru Christian yang bisa tiba-tiba menariknya keluar dari gedung itu, sebelum sempat menemui sepupu bajingannya.
Deruan napas kasar terdengar dari keduanya, saling meraup gairah kenikmatan yang diinginkan, meski erangan mereka lebih terdengar seperti amarah yang meluap tapi dengan caranya yang berbeda. Keduanya saling menatap, tapi dalam sorot mata yang begitu tajam, seolah berlomba untuk menjatuhkan satu sama lain.
Christian menaikkan ritme hentakan menjadi lebih keras dan semakin keras di setiap dorongannya, membuat Miranda memekik keras, antara nikmat dan sesak yang berbaur menjadi satu saat merasakan nyeri yang begitu menyenangkan. Satu dorongan terakhir membawa mereka mencapai puncak secara bersamaan, begitu nikmat hingga sanggup mendengar dentuman keras dari degup jantung masing-masing.
Selama beberapa saat, mereka saling berangkulan untuk menenangkan diri dalam sisa kenikmatan yang berangsur menurun. Kemudian, Christian menarik diri untuk memperhatikan Miranda dengan tatapan menilai, lalu memiringkan wajah untuk memberi kecupan di pipinya.
"Apa aku bilang kalau kamu lebih pinter teriakin nama aku, ketimbang diajak ngomong baik-baik?" ejeknya.
Miranda memutar bola mata sambil menatap Christian jenuh. "Agak susah kalo ngomong sama orang yang kayak kucing lagi musim kawin. Kalau belum dapet jatah, pasti bawaannya marah-marah."
Christian terkekeh, lalu menarik diri dan mendesah pelan ketika melepaskan penyatuah mereka. "Kita sama-sama butuh. Kamu yang lagi jauh sama suami, dan aku yang kebetulan lagi nggak ada jadwal dengan siapa pun hari ini."
Miranda tersenyum dalam hati ketika mendengar ucapan Christian barusan. "Jadi, udah biasa selingkuh sama bini orang?"
Pria itu hanya mengangkat bahu, lalu mengumpat pelan karena melupakan satu hal. "Shit! I'm not playing safe, damnit!"
"Glad to know that I made you lost, Dummy. I'm on a pill, thanks for asking," celetuk Miranda sambil menegakkan tubuh dan mulai untuk merapikan pakaian.
Dia bisa mendengar kekehan geli dari Christian dan mengabaikannya dengan memakai pakaiannya satu persatu. Ada penyesalan yang terjadi saat kenikmatan semu itu memudar. Kembali kata-kata 'seharusnya' memenuhi pikirannya saat ini. Seharusnya dia bisa menolak. Seharusnya dia bisa memberontak. Dan seharusnya dia tidak menjadi murahan dengan menyerahkan tubuhnya begitu saja. Ironis, pikirnya miris. Bahwa ternyata dirinya tidak cukup kuat dan masih begitu lemah dalam menghadapi Christian, meski sudah lama tidak bertemu dengannya.
"Mau ngapain pake baju?" tanya Christian sambil mencekal pergelangan tangannya dan menatapnya tidak suka.
Miranda berdecak kesal. "Terus mau ngapain lagi di sini? Urusan udah kelar, kan?"
"Urusan kita nggak bakalan kelar kalo kamu masih ngotot kayak gini. Kamu nggak boleh pergi. Di sini aja sampe sore, dan nggak usah buru-buru," balas Christian dengan nada tidak mau tahu.
"Kamu nggak punya hak untuk ngatur-ngatur aku!" desis Miranda tajam.
Seperti biasa, Christian adalah orang yang begitu pandai dalam mengabaikan ucapan oranglain. Karena saat ini, dia segera mengangkat tubuh Miranda di salah satu bahunya secara tiba-tiba, dan berjalan menyusuri ruangan lain meski Miranda sudah meronta-ronta untuk diturunkan.
"Turunin, gak? Turunin!" seru Miranda sambil memukul-mukul punggung Christian dengan bertubi-tubi.
Christian seperti tuli karena terus berjalan dan menaiki tangga utama dengan langkah-langkahnya yang besar. "Jangan gitu. Abis dapet bayaran, harus ada after sales-nya biar customer nggak kecewa."
Amarah Miranda semakin meledak dengan terus memberontak dan memukul Christian dengan brutal, tidak hanya di punggung tapi juga di kepala. Hal itu cukup membuat langkahnya terhenti dan meringis sesaat, tapi pria itu kembali melanjutkan sambil menggeram kesal.
Christian membawanya ke dalam satu kamar yang begitu luas. Sama seperti ruangan yang lain, bahwa kamar itu juga bernuansa putih, dengan perabot serba putih di dalamnya. Tidak ada hiasan atau pigura yang terpasang, bahkan bisa dibilang rumah tak berpenghuni, dan tampak seperti rumah contoh.
Miranda dihempaskan di atas ranjang dengan kasar dan Christian kembali menindihnya. Ekspresi murka menghias wajahnya, menghunusnya dengan tatapan yang menyakitkan. "Kalo kamu masih nggak bisa diem, aku akan bener-bener ngelakuin cara paling kasar untuk supaya kamu bisa nurut!"
"Dan aku akan balas dua kali lipat lebih kasar dari yang kamu lakuin!" balas Miranda tidak mau kalah.
"Good! Itu yang aku harapkan," sahut Christian sambil mengangguk. "Sekarang, sana pergi mandi. Ganti baju! Istirahat dulu sampe sore, nggak usah kemana-mana, apalagi sampe balik ke tempat itu!"
Miranda menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi!"
"Nggak!" bentak Christian sambil melotot galak.
"Aku...,"
"Kalo cuma karena wawancara, fine! Aku akan kasih kamu kesempatan untuk wawancara tanpa syarat, puas?!" sela Christian berang.
Miranda langsung terdiam, menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Jangan bohong."
Christian mendengus kasar. "Selama kamu mau nurutin aku untuk stay di sini, aku akan lakuin! Nggak usah balik ke sana, cuma gara-gara nggak sanggup dapetin profil pengganti! Kamu boleh tanya apa aja dan aku akan jawab!"
Miranda mengerjap bingung. Dalam pikirannya sedang mencerna bahwa sepertinya Christian termakan kebohongan Brian soal pertemuan tentang dirinya. Bajingan licik yang benar-benar harus ditindak secepatnya, batin Miranda geram.
"Selama kamu nggak bohong, aku akan nurut," ucap Miranda akhirnya.
Christian berdecak pelan, lalu bergeser untuk melepas Miranda. Dia berjalan menuju ke lemari pakaian dan mengeluarkan satu pakaian yang menggantung di dalam sana, lalu menyodorkannya pada Miranda. "Aku nggak punya baju cewek di sini, pake ini aja."
Miranda menerima sodoran Christian berupa sebuah kemeja putih, dan mengangkat alisnya dengan tatapan heran. "Denger-denger, kamu itu buaya dan sering gandeng cewek mana aja buat hepi-hepi. Tapi, masa iya nggak ada persiapan buat mereka dengan stokin baju cewek di rumah?"
Alis Christian terangkat setengah dan memberikan ekspresi tengil sambil bertolak pinggang. "Kalo itu termasuk pertanyaan kamu buat majalah, jawaban aku cuma satu. Nggak usah kaypoh!"
Miranda terkekeh pelan. "Bukan kepo, tapi cuma kepengen nyinyir aja. Malu sama predikat womanizer-nya kalo..."
"Nggak ada satu cewek pun yang pernah kemari! Puas?" sela Christian galak. "Mau ke kamar mandi sekarang, gak? Atau kamu kepengen aku mandiin?"
Miranda langsung beringsut maju dan berjalan melewati Christian tanpa ingin membuatnya kembali naik pitam. Entah kenapa, senyumnya mengembang begitu saja ketika mendengar ucapan terakhir Christian. Tanpa ingin berpikir apa pun, Miranda membersihkan diri dan berusaha untuk menetralkan degup jantung yang tiba-tiba bergemuruh kencang. Seperti ada sensasi familiar yang sudah lama tidak dia rasakan.
Sesudah membersihkan diri dan mengenakan kemeja yang kebesaran, Miranda keluar dari kamar mandi, dimana sudah tidak ada Christian di situ. Kesempatan itu diambil Miranda untuk melihat-lihat isi kamar yang tidak seberapa. Kamar yang luas, namun hanya terisi perabot yang dibutuhkan saja. Sebuah ranjang dengan dua nakas, sebuah TV flat dengan player yang terpasang di bawahnya, dan sebuah lemari panjang yang besarnya memenuhi sepanjang sisi kanan tembok. Hanya itu. Bisa dibilang, kamar itu terasa kosong dan hampa, tidak ada yang menarik, dan kaku.
Miranda menekuk bibirnya cemberut ketika membayangkan betapa sepinya berada sendirian di kamar besar itu. Enggan untuk tenggelam dalam pikiran yang semakin konyol, Miranda segera keluar dari kamar itu dan mendapati koridor panjang yang tidak kalah hampanya. Berjalan dengan telanjang kaki, Miranda menyusuri rumah besar itu, melihat-lihat, dan menilainya. Sekali lagi. Tidak ada yang menarik meski semuanya terlihat mahal dan mewah.
Dia menuruni anak tangga dan menyusuri lantai bawah dengan rasa bosan. Hanya ada dapur, ruang makan, ruang tamu, dan ruang utama yang begitu besar dan bisa dibilang sebagai playroom dengan adanya berbagai alat permainan di sana. Bagian belakang rumah itu adalah kolam renang dan lapangan basket. Itu saja.
Teringat bahwa tas tangannya ada di ruang tamu, Miranda segear bergegas untuk mengambilnya dan menelepon Joel. Dia hampir melupakan putra kesayangannya dan itu semua karena Christian.
"Can you please not busy like crazy, M? For Godsake, I'm waiting for your call since an hour ago!" keluh Joel di sebrang sana, ketika panggilan itu langsung tersambung.
"Sorry, I have something urgent. Have you eaten?" tanya Miranda dengan nada bersalah.
Terdengar suara dengusan napas kasar di sana, menandakan bahwa Joel sedang tidak senang. "Of course, yes! Aku masih ingin hidup karena tidak ingin kau membunuhku. Di samping itu, aku juga lapar."
"Lalu apa yang membuatmu tidak senang? Aku hanya terlambat 15 menit untuk meneleponmu dan tidak seharusnya kau bersikap seperti itu," balas Miranda dengan tenang.
Joel berdecak pelan. "Aku menginginkan pizza, tapi Rosie tidak mengizinkanku untuk membelinya."
"Dimana kau melihat pizza?" tanya Miranda heran.
"Dari TV sialan yang terus menayangkan iklan tentang pizza dengan lelehan keju yang berlimpah!" jawab Joel sewot.
Miranda menahan napas, memejamkan mata untuk menghitung dalam hati, demi menjaga nada suaranya agar tidak meledak. Seringkali, dia mengalami kesusahan dalam mengatur anak laki-laki yang semakin tidak sabaran dan berkata semaunya. "Mind your words, Son. I don't want any bad words came out through your mouth. You are a good kid, remember?"
"But I still can't get pizza, even though I'm a good kid for the rest of my life," keluh Joel cepat, lalu bergumam pelan. "Sorry, M. I don't know why I'm so mad."
Menghela napas pelan, Miranda mencoba untuk mencairkan suasana. "Aku akan pulang cepat dan membawa pizza untukmu. Apa menurutmu itu ide yang bagus?"
Tidak perlu mendapat jawaban, karena seruan kegirangan dari Joel sudah menjadi jawaban, hingga membuat Miranda terkekeh pelan.
"That's freaking awesome! I love you, M! Aku akan menyombongkan diri pada Rosie sekarang karena sudah membuatku kesal. Sampai jumpat nanti malam," ucap Joel antusias, lalu telepon dimatikan.
Miranda terdiam selama beberapa saat, sambil menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Cukup lama dia berdiam diri, sampai tidak sadar jika Christian sudah berdiri di anak tangga terakhir, memperhatikannya sambil memasukkan dua tangan ke dalam saku celana jogger-nya.
"Ciyeee, ada yang kangen sama suami, sampe mau telepon aja pake mikir keras kayak gitu."
Ejekan Christian langsung membuat Miranda menoleh, dan mendapati pria itu sedang menatapnya dingin. "Nggak usah cemburu."
Christian tertawa pelan. "Terkadang, terlalu percaya diri dengan nggak tahu malu itu, beda tipis, yah?"
"Terkadang juga, orang yang kepo dengan orang yang nggak mau ngaku, itu nggak ada bedanya," balas Miranda santai, sambil memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya.
Christian mendesis dan berjalan menghampirinya, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Aku lapar."
Alis Miranda berkerut. "Terus?"
"Yah bikinin makanan, lha. Emangnya kamu pikir, bikin kamu enak kayak tadi itu nggak capek dan nggak jadi lapar?"
"What?"
Christian memamerkan cengiran lebarnya yang tampak begitu menjengkelkan. "Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua. Judes banget sih sekarang? Waktu dulu, kalem-kalem aja."
"Dengan jadi cewek kalem, sama sekali nggak ada gunanya!" desis Miranda cepat.
"Bener banget! Aku setuju soal itu. Packaging kamu yang sekarang jauh lebih mantep, aku suka. Jadi semangat buat cari gara-gara, apalagi kalo kayak tadi."
"Ah, barusan ada yang ngakuin sendiri kalo aku emang sebagus itu, yah? Makasi banyak, yah. Tenang aja, nggak usah ngomong kembali. Aku nggak butuh duit receh," balas Miranda, yang sukses membuat cengiran Christian lenyap begitu saja.
"Intinya, aku lapar. Sana, bikinin makanan!" perintah Christian.
"Eh, yang sopan yah kalo ngomong sama orang! Aku tuh tamu di sini, bukan pembantu!" tukas Miranda sewot.
"Tadi kan kamu layanin aku. Kalo mau bikin puas, jangan setengah-setengah. Batin udah kenyang, sekarang tinggal... OUCH! Kamu itu apa-apaan, sih?"
Miranda menginjak kaki Christian dengan keras, sehingga membuat pria itu meringis sambil menangkup kakinya dan melompat-lompat di sana. Dia sudah gerah dengan tindakannya yang terus menyulut emosi.
"Kalo kamu nyebelin, aku akan pergi sekarang juga!" ancam Miranda kesal.
Christian mendesis. "Okay, fine! Aku janji nggak nyebelin, tapi soal aku lapar itu beneran."
"Pesen aja delivery! Siapa suruh rumah segede ini, nggak pake pembantu? Kayak bisa bersihin rumah sendiri aja!" sewot Miranda.
"Bosen makan makanan restoran mulu. Lagian, aku nggak punya siapa-siapa untuk masakin makanan," gerutu Christian sebal, lalu mulai berjalan sambil tertatih-tatih menuju ke dapur. "Udah sana, duduk. Aku masak indomie aja. Kalo kamu mau, masak sendiri."
Perutnya terasa melilit mendengar ucapan Christian barusan, dengan rasa nyeri yang menghimpit dalam dadanya. Miranda menatap punggung besar Christian dengan mata berkaca-kaca, lalu mengerjap cepat untuk mengusir rasa sedih yang kembali mendera. Hidup sendiri di dalam rumah besar, tanpa ada pelayan atau siapapun. Tadinya, Miranda mengira jika hidup Christian jauh lebih baik dibandingkan dirinya. Ternyata, perkiraannya salah. Bahwa dirinya masih lebih baik karena memiliki seorang Joel dalam hidupnya.
"Kamu mau ngapain?" tanya Christian sambil berdecak kesal, ketika Miranda mengambil alih sebuah panci yang sudah dipegangnya.
Miranda mengabaikannya dengan membuka kulkas yang ada di belakang mereka. Meski hidup sendirian, tapi isi kulkas tertata rapi dan penuh dengan varian bahan makanan yang bisa diolah.
"Kamu nyetok bahan makanan ini buat apa? Pajangan?" tanya Miranda heran.
"Sesekali suka masak sendiri. Kadang, temen-temenku dateng main basket," jawab Christian ketus. "Jadi, gimana? Kamu mau masak? Kalau nggak mau, nggak usah tanya-tanya."
Miranda menghela napas dan mulai mengambil sekotak daging dari kulkas. "Iya, aku masak. Habis makan, langsung wawancara, yah. Aku males lama-lama di sini. Entar jangan-jangan, malah suruh nyapu ngepel lagi!"
Dia tersentak ketika Christian sudah memeluknya dari belakang, begitu erat dan mantap. Pria itu menaruh dagu di bahunya, dan memberi seringaian geli yang begitu familiar di sana. "Justru aku malah takut, kalo nantinya aku yang nggak rela kasih kamu pulang."
"Kenapa?"
"Kapan lagi punya Mbak tukang masak yang seksi kayak gini? Bawaannya malah pengen ngerjain kamu lagi di sini."
"CHRISTIAN!!!"
Miranda memaki ketika pria itu dengan sengaja meremas kedua payudaranya, lalu segera berlari saat Miranda melempar sekotak daging beku ke arahnya. Sial! Lemparannya tidak kena dan Christian tergelak sambil menangkup perutnya karena geli.
"Nggak kena, Sayang! Coba benerin lagi arahnya kalo mau ngelempar orang! Oh shit! What the fuck are you doing, Woman?!"
Miranda tahu-tahu sudah membawa pisau sambil berjalan menghampiri Christian, dimana pria itu langsung menghindar dan segera menangkap pergelangan tangan Miranda yang sedang menggenggam pisau itu dengan erat.
"I will kill you!" desis Miranda sambil terus berusaha memberontak dari cengkeraman Christian.
Ekspresi Christian berubah. Tidak ada kesan mengejek, geli, atau dingin di sana. Justru dia tampak datar, nyaris tidak terbaca, dan menatapnya dengan sorot mata yang menyimpan luka di sana.
"You killed me once, Miranda. A long time ago. Are you come back here to kill me again? If yes, do it slowly, because I'll drag you to join me to enjoy the hell."
Genggaman Miranda merenggang, seiring dengan pisau yang sudah terjatuh begitu saja ke lantai. Tatapan Christian semakin menyesakkan hatinya, dan tampak begitu menyakitkan.
"And I'm just nobody with no soul, after you brutally tortured me, Christian."
Ada beberapa tahap kehidupan, salah satunya adalah rasa takut yang lebih besar daripada cinta itu sendiri. Miranda sudah merasakannya dan tidak ingin mengulang hal yang sama. Yaitu ketakutan untuk kembali mempercayai seseorang yang sudah menjatuhkannya ke dalam jurang kekecewaan dan pengkhianatan yang begitu dalam.
Dan ketakutannya semakin menjadi, ketika balasan datang dari Christian, dalam suara yang begitu tenang, namun terdengar menyakitkan. "Because I don't want to fall in love again, Woman. I did once, and it took away all of me."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Jangan berharap lebih untuk part nganu ala Sheliu yang bikin sakit kepala 😏
Actually, untuk versi terbaru ini, cukup bikin aku merasa sesak dan bisa nyatu ke dalam sakit hati yang dialami mereka.
I mean, like this!
Terkadang, nggak semua hal bisa kita ungkapkan dengan kata-kata,
Nggak juga segala sesuatu bisa diselesaikan dengan penjelasan.
Karena, feedback dari orang itu berbeda.
Kita bicara soal perspektif.
Kita menyampaikan sesuatu dengan tujuan untuk membuat orang itu mengerti.
Lalu, bagaimana jika orang itu tidak mengerti dan tidak mau mengerti?
Bukankah itu akan menimbulkan satu masalah baru yang lebih rumit?
Jawabannya :
Menunggu saat yang tepat, atau ketika hatimu sudah siap, baik untuk menyampaikan ataupun mendengarkan.
Brb anter anakku ke dokter gigi dulu.
I purple you 💜
05.03.2020 (19.58 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top