PART. 5 - FIX THINGS
Mas Agung kembali untuk kalian. 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Dengan kepala yang terasa begitu berat, Adrian bangun dalam keadaan kurang tidur. Tidak bisa tidur, itulah yang terjadi padanya sejak obrolan tengah malam dengan Nadine. Wanita itu berubah, tidak sepolos atau selepas seperti dulu saat mengutarakan perasaannya. Juga, tampak begitu serius.
Perubahan itu membuat Adrian merasa terganggu. Nadine seperti bukan menjadi seseorang yang dikenalnya dulu. Seperti ada satu lembar yang terlewati olehnya, yaitu sesuatu yang tidak diketahui atau disembunyikan. Pernyataan perasaan itu terasa tidak benar, meski mungkin ada benarnya, tapi itu bukan terutama.
Menghela napas dengan berbagai macam pikiran yang memenuhi isi kepala, Adrian menendang selimut dan beranjak duduk sambil menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Matanya melebar kaget, dan langsung segera beranjak dari ranjang untuk segera membersihkan diri. Seharusnya, pukul delapan adalah waktu yang sudah ditetapkan Adrian untuk membawa teman-temannya berkeliling kota.
Setelah merapikan diri, Adrian segera keluar dari kamar, dan segera turun ke lantai bawah untuk menuju ke ruang makan dimana para teman-temannya berkumpul di sana untuk menikmati sarapan. Untung saja, para pelayan rumahnya sudah menyediakan makanan dan melayani mereka dengan baik.
"Sori, gue kesiangan," ucap Adrian sambil memperhatikan jumlah orang yang berada di sana, tapi tidak menemukan Nadine dan Joel.
"It's okay, kita tahu kalau lu capek dan butuh tidur lebih banyak," balas Wayne sambil memperhatikannya.
"Atau... masih kurang tidur?" celetuk Nathan dengan alis terangkat.
"Gue memang suka tidur tengah malam karena urus kerjaan, tapi itu nggak jadi soal," balas Adrian sambil duduk di kursi utama, yang sepertinya memang sengaja dibiarkan kosong untuknya. "Joel mana?"
"Lu cari Joel atau Nadine?" balas Christian sambil terkekeh.
Semua tatapan tertuju padanya, termasuk para istri yang memberi senyuman penuh arti. Menjadi pusat perhatian bukanlah hal yang menyenangkan baginya, terlebih lagi jika ada tiga temannya yang ikut andil.
"Lu sama Miranda ada di sini, tapi anak lu nggak ada. Hal yang wajar gue tanya, karena Nadine bisa jadi masih tidur," jawab Adrian datar, lalu mengucapkan terima kasih saat seorang pelayan menyajikan sarapan untuknya.
"Siapa yang masih tidur?" tanya Nadine ceria, yang datang memasuki ruang makan dengan ekspresi senang bersama Joel.
Tertegun, juga bingung. Nadine tampak berkeringat dan seperti habis berolahraga dalam balutan t-shirt dan harem training pants. Terlihat lelah tapi senang, sesekali menyeka keringat di kening, dan Nadine tampak berbicara dengan Joel dalam suara rendah, lalu keduanya terkekeh geli.
"How was it, Joel?" tanya Miranda sambil menyambut kedatanngan Joel yang menghampirinya dengan sebuah pelukan.
"She can run faster than me, Mom! We did a little competition and she won!" jawab Joel antusias.
"Told ya," seru Nadine sambil duduk di kursi kosong yang berada di samping Christian, lalu menoleh pada Adrian dengan ceria. "Pagi, Ian. Baru bangun, ya?"
"Kamu habis lari?" tanya Adrian kemudian.
"Iya dong," jawab Nadine bangga.
"Kok bisa?" tanya Adrian lagi.
"Kenapa nggak? Kita harus hidup sehat, biar nggak kena virus," jawab Nadine riang.
"Tunggu, deh. Kayaknya gue salah posisi. Nadine, pindah. Kamu duduk di sini aja, aku nggak enak kalau harus jadi penengah yang terkesan sebagai hambatan untuk kalian liat-liatan kayak gitu," sela Christian sambil beranjak dan mempersilakan Nadine untuk menempati kursinya yang berada tepat di sisi kanan Adrian.
Adrian berdecak pelan pada Christian yang sedang memamerkan cengiran lebarnya. Wayne dan Nathan menikmati sarapannya dalam diam, begitu juga dengan yang lainnya. Joel sudah menempati kursi Miranda dan menerima berbagai macam suruhan ibunya tentang menghabiskan semua makanan yang tersaji di piring dengan ekspresi bosan.
"You should try to have some morning run, Ian. It's refreshing!" cerita Nadine saat sudah pindah duduk dan tersenyum sambil membungkuk saat pelayan mengambilkan sarapan untuknya.
"Since when you became such a health observer?" tanya Adrian heran, lalu menyesap kopinya.
"Since I want you meet you so badly," jawab Nadine tanpa ragu.
Tersedak, lalu Adrian terbatuk saat mendengar jawaban Nadine yang membuatnya kaget. Nadine segera menepuk-nepuk punggungnya sambil menyerahkan selembar tisu. Yang lainnya hanya memperhatikan sambil mengulumkan senyum penuh arti dan tidak berkomentar.
"Aku nggak suka kalau kamu bercanda kayak gitu, Nadine," tegur Adrian setelah merasa lebih baik dan mengusap bibirnya dengan tisu pemberian Nadine.
Nadine menatap Adrian dalam diam, lalu menghela napas dan kembali ke kursi. "See? Aku serius pun, kamu anggap bercanda."
"Yah tapi nggak gitu caranya jawabin orang. Aku..."
"Alright, Guys. Ini masih pagi dan tolong jaga sikap karena ada anak kecil di sini," sela Miranda tajam, yang sukses membuat Adrian dan Nadine menoleh padanya.
Semua yang berada di situ terang-terangan melihat mereka dengan ekspresi menilai, juga sorot mata ingin tahu di sana. Tentu saja, hal itu akan menjadi pertanyaan besar bagi Adrian ketika melihat tatapan ketiga temannya yang membuatnya merasa jengkel.
"Mmm, omelette paprika-nya enak. Lebih enak lagi kalau dimakan sama nasi goreng semalam," komentar Nadine tiba-tiba, yang membuat semua orang menoleh padanya, termasuk Adrian.
"Nasi goreng?" Christian adalah orang pertama yang bertanya, dan Nadine langsung mengangguk.
"Iya, semalam Ian siapin nasi goreng buatku. Nasi goreng buatan Ian itu paling juara!" cerita Nadine sambil mengacungkan jempol ke arah mereka yang tampak tertegun mendengarnya.
"Ya, benar. Nasi goreng Ian memang paling enak. Semalam, kita juga makan," balas Nathan dengan ekspresi datar.
"Apalagi ditambah omelette yang lagi kamu makan," tambah Wayne kalem.
"Bener banget!" lanjut Christian. "Rasanya pas, kayak jodoh."
"Iya, kan?" balas Nadine setuju.
"Tapi pas dinner semalam, nggak ada menu nasi goreng," celetuk Lea dengan ekspresi kebingungan, dimana tiga temannya langsung tertawa terbahak-bahak.
Adrian kembali menghela napas dan menyesap kopinya dalam diam, lalu menikmati sarapannya saat mereka melanjutkan obrolan konyol perihal menu nasi goreng yang dilayani Nadine dengan ceria dan bangga di sana.
"Tapi beneran enak loh buatan Ian," tukas Nadine meyakinkan. "Aku sampai habis satu piring."
"Lain kali kalau dimasakin lagi, bagi-bagi yah, Nad. Gue juga kepengen cobain," balas Cassandra sambil terkekeh.
"Soalnya, Adrian nggak pernah buatin makanan buat kita, karena katanya nggak bisa," tambah Miranda sambil melirik Adrian yang masih bergeming.
Nadine menoleh padanya sambil tersenyum lebar, mengarahkan satu tangan untuk mengusap lembut lengannya. "Makasi, yah. Ternyata kamu baik, baik, baik banget sama aku karena mau repot-repot buatin nasi goreng."
Adrian memperhatikan ekspresi riang Nadine yang begitu familiar. Tatapan yang sama saat mereka masih remaja, dengan kesan ceria, bersemangat, dan antusias yang sama.
"Daripada kamu kelaparan, terus sakit? Aku nggak mau tambah kerjaan dengan harus urusin kamu, juga nggak mau sampai papa kamu marah-marah," ujar Adrian tanpa beban.
Senyuman Nadine melebar sambil menatapnya senang. Sorot mata penuh arti itu membuatnya terusik dengan perasaan yang membingungkan. Teman baik yang sudah dianggap seperti keluarga, juga sahabat. Untuk menganggapnya lebih dari itu, rasanya akan terasa... aneh.
"Papa nggak bakal marah, tenang aja. Aku bisa jaga diri sendiri, jadi kamu nggak usah kuatir," balas Nadine senang.
"Aku nggak kuatir. Sama sekali nggak," sahut Adrian.
"Iya, tahu. Aku cuma kasih tahu kamu, takutnya nanti berubah pikiran," tukas Nadine.
"Aku nggak akan berubah pikiran."
"Iya, paham. Lagian, siapa sih Nadine buat seorang Ian?"
Sorot mata Adrian menajam, seiring dengan rasa marah yang perlahan merambat naik. Dia tidak menyukai kalimat yang diucapkan dalam nada lelucon yang sama sekali tidak lucu seperti barusan.
"Jadi, alasan itukah yang bikin Adrian nggak mau terima Nadine kemarin?" tanya Christian ingin tahu.
"Alasan apa?" tanya Nadine bingung.
"Adrian nggak menganggap kamu. Apa kamu pernah ditolak?" tanya Christian balik.
"Nggak sih. Cuma aku yang minder terus insecure gitu," jawab Nadine santai.
"Eh, jangan menyerah! Harus berjuang karena usaha nggak akan mengkhianati hasil," seru Lea cepat sambil menatap Nadine serius.
"There you go," keluh Nathan jengah.
"Aku takut," balas Nadine.
"Nggak usah takut, contohnya aku. Cowok emang suka jual mahal, tapi kita harus gerak cepet. Kalau perlu gangguin aja terus biar terganggu, sampai akhirnya nyerah," ujar Lea sambil memeluk lengan Nathan dan mengikik geli.
"Oh, so sweet," ujar Nadine sambil menaruh dua tangan di dada dan menatap Lea dengan takjub.
"Kalau Nathan yang punya mental preman aja bisa luluh, maka Adrian yang baik hati pasti bisa rubuh. Jadi, semangat Nadine," tukas Cassandra senang.
Nadine melebarkan cengiran, lalu menoleh pada Adrian dengan sumringah. "Udah siap terima serangan?"
"Can you stop it, Nadine?" cetus Adrian dengan sinis.
"What?" tanya Nadine bingung.
"Stop being silly and like nothing shit happened," jawab Adrian sengit. "Kamu nggak bisa bersikap sesukanya, atau cari perhatian dengan pamerin hubungan dekat kita waktu dulu. Itu udah basi. Tiga tahun yang lalu kamu pergi tanpa kabar, itu berarti kamu mutusin hubungan baik kita. Jadi saat ini, kamu bukan siapa-siapa, selain anak dari temen baik papaku."
Hening. Tidak ada yang bersuara saat Adrian mengucapkan kalimat panjang itu. Nadine menatap Adrian dengan ekspresi tak terbaca, lalu tersenyum lirih saat Adrian masih menatapnya dengan hunusan tajam.
"Adrian," panggil Wayne yang langsung dibalas Adrian dengan satu tangan terangkat, tanda bahwa dirinya tidak membutuhkan interupsi.
Nadine menghela napas, lalu mengangguk pelan sambil mempertahankan senyuman. Kemudian, dia beranjak dan menatap Adrian dengan sorot mata hangat di sana.
"Sorry, Ian," ucapnya dan kemudian berlalu meninggalkan ruang makan itu.
Damn to myself, maki Adrian dalam hati. Perasaannya menjadi campur aduk antara marah, bersalah, tidak nyaman, dan semua bercampur menjadi satu. Tidak pernah merasakan emosi sebesar itu, juga tidak pernah meluapkan amarah seperti itu, Adrian merasa tidak senang dengan dirinya sendiri saat ini.
"Bukan kayak gitu caranya menyampaikan apa yang ingin lu sampaikan, Dri," ujar Wayne kemudian.
"Ditambah lagi, lu sama sekali nggak menjaga perasaannya dengan menegur Nadine di depan temen-temen lu," tambah Christian masam.
"This isn't you, Man," sahut Nathan dengan tatapan menilai.
Adrian masih terdiam dan tidak lagi tertarik untuk melanjutkan sarapannya. Ekspresi Nadine yang sedih membuatnya semakin merasa bersalah, terlebih lagi dengan ucapan teman-temannya.
"Perubahan nggak sepenuhnya buruk, Dri. Terkadang ada hal yang terjadi dan menuntut adanya perubahan," ujar Christian serius.
Adrian menatap Christian dengan penuh penilaian. "Apa yang lu mau sampaikan di sini?"
"Jangan jadi brengsek," jawab Christian sambil mengangkat alis tinggi-tinggi. "Jangan bikin kesalahan yang sama kayak gue. Wayne pernah bilang untuk cari alasan, bukan kesalahan. Jadi, tentuin sikap lu mulai dari sekarang."
"You heard him," timpal Wayne langsung.
"Fix things, Dri. She's smart and social. Bukan hal yang susah untuk dia dapetin cowok dalam versi apa pun. Jangan sampai salah langkah," ucap Nathan tegas.
Sebuah tepukan ringan mendarat di bahu, dan Adrian menoleh untuk mendapati Lea yang sudah menghampirinya dengan senyuman lebar di wajah.
"Apa dia sahabat yang pernah kamu ceritain waktu kita dinner bareng?" tanya Lea hangat.
Adrian tertegun saat mengetahui Lea masih mengingat apa yang pernah diucapkannya saat mereka menikmati makan malam bersama, atau saat Adrian berusaha memancing Lea untuk menyatakan perasaannya tentang Nathan saat itu.
"Good," balas Lea sambil mengangguk. "Ikutin saran temen-temen kamu. First thing first, fix things!"
Adrian mengangguk dan segera beranjak dari kursi untuk meninggalkan ruang makan dengan perasaan yang semakin tidak menentu. Nadine, nama itu terucap begitu saja dalam hati, seiring dengan kerinduan dan kemarahan yang berbaur menjadi satu.
Seperti yang Christian ucapkan padanya berdasarkan pesan Wayne yang selalu menjadi andalan, yaitu cari tahu alasannya, bukan kesalahannya. Sebab, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan, bukan kesalahan yang muncul setelahnya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Anak baik kayak kamu tuh nggak cocok jadi jahat, Ian.
Kalau Ian yang lain, emang pantes jadi impostor. 🙃🙃🙃
17.02.21 (08.45 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top