PART. 4 - THE MAIN REASON
Udah aku bilang kalau lagi semangat di lapak ini.
Kepengen coba bikin cerita uwu 😅
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Nadine menguap sambil merenggangkan otot dengan mengangkat kedua tangan ke atas, kemudian mengerang puas karena sudah mendapatkan tidur yang terasa cukup. Perut yang bergemuruh lapar membangunkannya, juga cahaya remang yang berada di sisi kanan yaitu sebuah lampu kecil yang ada di nakas. Tidak hanya lapar, tapi juga haus.
Nadine beranjak untuk duduk dan mengangkat tangan untuk melihat jam tangan. Sudah jam 12 malam waktu setempat, dan itu berarti dia sudah tidur selama delapan jam. Nadine spontan tersenyum karena merasa senang dengan jam istirahat yang didapatinya. Tidur adalah hal yang menyenangkan, sekaligus kesukaan baginya.
Tanpa ragu, Nadine segera menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Membuka pintu kamar dengan perlahan, berdiri di ambang pintu untuk memperhatikan sekitar yang sunyi, lalu melangkah keluar sambil berjinjit agar tidak mengganggu ketenangan oranglain. Dengan sangat hati-hati, Nadine menuruni tangga sambil memegang railing karena penerangan yang remang, dan...
"Ngapain sneak a peak malam-malam di rumah orang?"
Nadine memekik kaget, kehilangan keseimbangan, dan hampir saja terjatuh jika seseorang tidak segera menangkap tubuhnya ke dalam rengkuhan erat. Kedua tangan Nadine pun refleks merangkul bahu lebar itu sebagai pertahanan agar tidak jatuh.
"Clumsy, as always," gumam orang itu.
Nadine menjauh sedikit tanpa melepas rangkulannya, lalu terkekeh geli sambil menatap orang itu dalam keremangan. Meski tidak terlalu jelas, tapi Nadine sudah sangat mengenalnya. Terlebih lagi, rasa rindunya sudah meluap tidak karuan saat berdekatan dengannya seperti sekarang.
"You helped me, as always," balas Nadine ceria.
Mendengus pelan, Adrian melepaskan rangkulan dan membantu Nadine untuk menyeimbangkan posisi berdiri, lalu bergeser menjauh. Ekspresinya masih terlihat datar, namun sikapnya tidak sedingin saat Nadine tiba.
"Mau ngapain turun?" tanyanya pelan.
"Haus," jawab Nadine dengan nada merengek.
"Terus?" tanyanya lagi.
Nadine terkekeh pelan sambil menuruni satu anak tangga dan merangkul lengan Adrian untuk berjalan berdampingan. "Pengen cari susu, soalnya laper."
"Inget laper juga?" balas Adrian ketus.
Kekehan Nadine semakin terdengar, seiring dengan rangkulan yang mengerat. "Ya laper lah, kan aku belum makan."
"Siapa suruh tidur kayak kebo?"
"Capek."
Saat mereka sudah tiba di pantry, Adrian menyuruh Nadine untuk duduk di stool, sementara dirinya segera membuka kulkas, mengambil sekarton jus, dan menuangkannya ke dalam gelas, lalu menyodorkannya pada Nadine.
Setelah mengucapkan terima kasih, Nadine segera meneguk segelas jus jeruk hingga habis. Mendesah lega, Nadine tersenyum lebar saat melihat Adrian tengah menatapnya dengan ekspresi menilai.
"Aku haus banget," ujar Nadine menjelaskan.
Adrian mengangguk dan berbalik untuk menekan tombol microwave, lalu kembali menatap Nadine dari sebrang sana. Dua tangan bertumpu di sisi kabinet, dengan tatapan menghunus tajam pada Nadine yang masih duduk dan tersenyum lebar.
"Kenapa kamu bisa tiba-tiba datang ke sini?" tanya Adrian tanpa basa basi.
"Kan mau kasih surprise buat Ian," jawab Nadine ceria.
"Dengan penampilan kamu yang kayak gitu?" tanya Adrian sambil mengarahkan dagu padanya.
Kening Nadine berkerut, lalu menunduk untuk melihat pakaian yang dikenakan, dan mengangkat wajah untuk menatap Adrian. "Ada yang salah sama penampilan aku?"
Adrian terdiam selama beberapa saat, lalu menghela napas sambil menggeleng pelan. "Nggak ada yang salah."
Nadine kembali tersenyum sambil bertopang dagu. "Aku lagi coba-coba aja karena kata Liv, aku tuh kampungan banget."
"Liv?" tanya Adrian dengan satu alis terangkat.
"Roommate," jawab Nadine riang. "Dia jago dandan dan modis banget. Aku sering jadi korban prakteknya kalau dia punya ide baru untuk permainan warna atau gaya. Tadinya risih, tapi kalau dipikir lagi, rasanya nggak salah kalau coba ubah penampilan. Lagian, ini cuma potong poni sama pake softlens, terus baju-baju pilihan Liv nyaman dipake. Bagus, gak?"
Nadine menyeringai melihat Adrian yang masih mendengarkan dan terlihat seperti menilai. Hunusan tajamnya masih dilayangkan, tapi itu tidak membuat Nadine takut, melainkan senang. Dia sangat mengerti jika pria itu masih perlu waktu untuk menerima kehadirannya. Di samping itu, bisa melihat Adrian dari dekat saja, sudah membuat hatinya senang tidak karuan.
"Terus, aku juga ikut dance class, loh," lanjut Nadine sumringah.
Akhirnya, Adrian memberikan ekspresi selain datar, yaitu kaget. "Dance?"
Nadine mengangguk antusias. "Daripada nge-gym, aku prefer nge-dance. Sama aja kayak OR, keluar keringat, terus dapet serunya."
Ada banyak kesukaan yang digeluti Nadine. Selain fotografi dan tidur, Nadine menggeluti dance, dan hip-hop adalah andalannya. Bersama dengan teman kampusnya, Nadine mendaftarkan diri dalam kelas dance dari koreografer ternama Matt Steffanina. Berawal dari kurangnya minat karena tidak percaya diri, tapi berakhir dengan rasa antusias dan kesenangan yang tidak disangka Nadine setiap kali mengikuti kelas itu.
Teman baru, lingkungan baru, semangat baru, dan pengetahuan baru yang didapatinya dari mencoba berbagai hal adalah caranya untuk mengenal dunia, juga pengalihan yang berhasil mengalihkan pikiran atau beban hidupnya tentang sebuah kerinduan yang tak tersampaikan.
"I don't know you anymore," bisik Adrian pelan, tapi masih bisa didengar oleh Nadine.
"I'm still me, Nadine Natasha Wirawan, anaknya Papa Gordon, kesayangannya Ian," ucap Nadine sambil menaruh dua tangan di dada dan menatap Adrian penuh arti.
Ting! Suara dentingan microwave membuat keduanya menatap ke belakang dimana alat itu ditaruh. Adrian segera berbalik untuk membuka dan mengeluarkan sebuah kotak tahan panas dari sana. Aroma makanan menguar, membuat perut Nadine semakin bergemuruh.
"Whoooaaa, it smells so good," seru Nadine sambil turun dari stool, untuk memutari kabinet dan berdiri di samping Adrian yang sedang memindahkan makanan dari kotak ke piring.
Mata Nadine melebar senang saat bisa melihat ada nasi goreng kesukaannya. Dia memekik sambil melompat girang, lalu spontan berjinjit untuk mencium pipi Adrian dan mengucapkan terima kasih. Meski berdecak, tapi Adrian tidak menolak sikap Nadine yang sudah biasa dilakukan sejak dulu. Mencium pipi adalah cara Nadine untuk berterima kasih pada Adrian.
"Aku nggak yakin kalau nasi goreng masih jadi favorit atau nggak, jadi aku bikinin aja supaya kamu ada makanan," ujar Adrian sambil mengangkat piring yang sudah berisi nasi goreng itu, lalu mengarahkan jalan untuk menuju ke meja makan.
"Masih suka banget! Apalagi kalau pake bawang putih yang banyak," balas Nadine yang langsung mengambil duduk di kursi utama, lalu menunggu Adrian menyajikan makanan itu tepat di hadapannya.
"Bawang putih? Setahuku, kamu nggak pernah doyan bawang-bawangan, apalagi cabe-cabean," ujar Adrian bingung, sambil mengulurkan sendok garpu yang langsung diambil Nadine.
"Enak banget loh ternyata," sahut Nadine sambil menyendok, lalu menyuap dan memekik senang.
Adrian sudah duduk di kursi yang ada di sisi kanan meja, mengarahkan tubuh untuk mengamati Nadine yang begitu lahap dalam menikmati makan malamnya. Tatapannya kini sepenuhnya tertuju pada piring Nadine. Potongan daging asap, tomat, telur, dan udang disisihkan. Bisa dibilang, Nadine hanya menghabiskan nasi dengan beberapa potongan udang, serta sayuran.
"Kenapa smoked beef sama telurnya dipinggirin? Aku sengaja kasih banyak karena kamu doyan," tanya Adrian kemudian.
Nadine menggeleng sambil mengunyah. "Aku lagi diet, Ian. Udah tambah gendut, terus mesti hidup sehat. Seharusnya, aku nggak boleh makan gorengan kayak gini, tapi karena lapar dan jarang makan, sesekali cheating boleh lah."
Kening Adrian berkerut sambil menatapnya dengan penuh penilaian. "Gendut darimana? Nggak ada yang gendut, kecuali pipi!"
Satu tangan Adrian terangkat untuk mencubit pipi Nadine yang chubby, dan Nadine langsung merengut sambil menepis tangan Adrian. Mencubit pipi adalah hal yang sering dilakukan Adrian pada Nadine jika merasa gemas, kesal, atau senang.
"Sakit, tahu," sewot Nadine.
"Lagian, kenapa makan pake dipilih-pilih gitu? Buang makanan itu nggak boleh!" tegur Adrian.
"Aku udah kenyang," ujar Nadine dengan mulut penuh setelah memasukkan satu suapan terakhir, dimana piringnya hanya menyisakan makanan yang disisihkan.
Adrian masih terdiam memperhatikan, lalu mengambilkan sebotol air mineral pada Nadine. Minum yang banyak adalah kebutuhan yang harus dipenuhi segera setelah makan, dan Nadine menandaskan satu botol air itu dalam hitungan detik.
"Thanks, Ian, aku kenyang banget," ucap Nadine sambil menyeringai lebar.
"Jadi, karena kamu udah kenyang, sekarang saatnya cerita. Kenapa bisa tiba-tiba datang ke sini? Jangan jawab surprise, karena aku sama sekali nggak suka kejutan ini," tanya Adrian dengan nada dingin.
"Aku lagi tesis, juga mau jadi intern di kantor Papa. Selama kuliah, aku nggak pernah jalan-jalan dan fokus kuliah. Jadi, aku minta liburan sama Papa," jawab Nadine riang.
"Dan kenapa harus liburan ke sini?" tanya Adrian lagi.
"Karena aku kangen sama Ian," jawab Nadine mantap.
"Really? After three fucking years?" desis Adrian dengan nada tidak percaya.
Nadine mengangguk. "Aku..."
"Kenapa nggak ada kabar? Nomor telepon kamu nggak bisa dihubungi, email dari aku juga nggak pernah terkirim. Why? Kamu punya masalah sama aku?" sela Adrian tajam.
"N-Nggak. Aku nggak punya masalah. Kita sama-sama sibuk kuliah dan..."
"Bullshit macam apa barusan? Sama-sama sibuk? Kamunya aja kali, aku mah nggak," sela Adrian lagi.
Mata Nadine berbinar senang, lalu seringaiannya melebar. Tiba-tiba, dia mencondongkan tubuh untuk mendekatkan wajah keduanya, membuat Adrian tersentak dan spontan menjauh. "Ian kangen banget yah sama aku? Hayo ngaku!"
"Aku lagi nggak niat buat bercanda," ucap Adrian dengan nada peringatan.
Nadine mengerang kecewa dan kembali ke posisi duduk seperti semula. "Kamu tuh serius banget, sih? Apa sih masalahnya? Aku tuh cuma mau liburan sebelum jadi intern-nya Papa."
"Kita sama-sama tahu apa yang aku permasalahin di sini," desis Adrian.
Sedih, itulah yang tiba-tiba dirasakan oleh Nadine. Apa yang menjadi kekuatirannya terbukti bahwa Adrian berubah. Dia bukan lagi orang yang sama, yang akan memberi ketenangan dan perhatian yang dibutuhkan. Tapi tidak apa-apa, pikir Nadine menghibur diri.
People changed, life changed.
"Okay, aku minta maaf kalau aku datang nggak kasih kabar, juga pergi nggak bilang-bilang. Aku tahu aku salah banget. Sori juga kalau harus ganggu quality time kamu bareng temen-temen di sini. Besok pagi, aku akan keluar dan cari hotel supaya kamu nggak marah-marah terus," putus Nadine kemudian.
Adrian memutar bola mata dan terlihat jenuh. "Aku sama sekali nggak masalah kalau kamu mau tinggal di rumah ini selama liburan. Pada intinya, aku mau tanya kenapa tiga tahun ini nggak ada kabar? Itu aja! Dan kamu nggak usah buang-buang waktu buat bahasin hal yang nggak nyambung!"
Tidak ingin melanjutkan, Nadine mengangkat bahu dan beranjak sambil mengangkat piring dan gelas kosong ke sink, lalu mencucinya. Tidak ada pembicaraan lagi, keduanya hanya terdiam. Adrian yang masih duduk di kursi, dan Nadine yang sedang mencuci piring kotornya. Hingga akhirnya, Nadine selesai dan menghampiri Adrian dengan berdiri di samping kursi yang didudukinya.
"Aku senang bisa ke sini, sekaligus bukan hal yang mudah untuk aku bisa sampai ke sini, Ian. Ada banyak perubahan, juga alasan, dan aku nggak bisa kasih penjelasan dalam obrolan satu malam. Aku juga tahu kalau kamu nggak suka sama aku, atau mungkin udah benci aku."
Adrian langsung mendesis sambil mengangkat wajah untuk menatap Nadine tajam. "Aku nggak benci, juga bukannya nggak suka sama kamu."
Nadine terduduk di pangkuan Adrian saat pria itu menariknya tanpa mengalihkan tatapan tajamnya. Masih belum ada senyuman, atau setidaknya sikap hangat, tapi Nadine bisa merasakan perhatian yang ditunjukkan Adrian lewat sorot mata teguran darinya.
"Apa kamu tahu kalau aku kuatir dan nggak paham selama tiga tahun ini? Aku udah coba cariin kamu, tapi nggak bisa. Apa aku sehina itu sampai kamu harus..."
Tanpa ragu, Nadine mencium bibir Adrian begitu saja. Tidak mengerti dengan keberanian untuk mencium seorang pria, dan itu adalah pertama kali untuknya. Tapi, Nadine tidak menyesal karena Adrian adalah satu-satunya pria yang diizinkan oleh hatinya untuk merasakan semua perasaan yang ada, baik senang, sedih, kecewa, juga bahagia. Semuanya.
"N-Nadine," ucap Adrian dengan suara berbisik saat Nadine melepas ciuman itu.
"Kamu nggak hina, tapi aku," balas Nadine lirih.
"A-Apaan sih?"
"Aku udah suka sama kamu, dalam artian bukan sebagai sahabat lagi. Waktu aku bilang mau kamu jadi suami, itu serius. Tapi kamu selalu menganggap aku bercanda."
"Nadine."
"Itu adalah alasan utamanya!" lanjut Nadine serius. "Aku berusaha lupain kamu, minimal hilangin perasaan aku yang udah anggap kamu lebih dari itu. Dan barusan adalah hal yang pengen banget aku lakuin daritadi."
Di situ, Adrian hanya mampu tercengang dan tidak lagi membalas ucapan Nadine. Mungkin kaget, atau takut, lalu kemudian menjauh, entahlah. Nadine sudah menyampaikan jawaban yang diinginkan Adrian, dan sama sekali tidak membutuhkan balasan. Lagi pula, memiliki Adrian hanyalah sebuah harapan yang membawanya dalam kemustahilan.
Untuk tetap berada di dalam kenyataan, Nadine cukup merasa bahagia dengan hanya melihat keadaan Adrian yang begitu sempurna dan penuh dengan kebahagiaan. Hanya itu. Tidak lebih.
Sebab, dia tidak berani berharap lebih, walau memiliki keinginan yang begitu banyak.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Muehehehe, aku senanggg...
Apa yang dilakukan Nadine adalah apa yang ingin aku lakukan ke Mas Agung 🙈
Emang kebiasaan akut, nggak bisa liat visual yang lagi ditulisin, pasti langsung jadi bucin.
04.02.21 (17.10 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top