PART. 20 - THE PLACE OF MEMORIES
4.085 words untuk kalian.
Dan aku gak sempet edit lagi karena ngantuk banget.
Yang penting kamu mah ada bacaan. 🙃
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Kalau orang itu nggak macam-macam artinya bagus dong, kenapa lu jadi bingung?" celetuk Christian sambil menyandarkan tubuh di kursi dengan tatapan mengarah pada Adrian.
Sudah kembali sejak seminggu, Adrian terus memperhatikan gerak gerik Juno dan nihil. Baik Nadine dan Juno, keduanya berinteraksi begitu dekat saat jam kerja, lalu biasa saja selepas jam kerja. Nadine pun tidak bertanya atau membahas tentang Juno di depannya, demikian sebaliknya. Tentu saja, hal itu membuat Adrian merasa heran.
Menjalani ritual mingguan dengan bertemu tiga sahabatnya di hari yang sama, tempat yang sama, dan jam yang sama. Cheating off day dilakukan dalam formasi lengkap setelah Adrian vakum selama beberapa bulan karena kesibukannya di Korea.
"Nadine seems different. Terlalu tenang untuk menyembunyikan sesuatu," jawab Adrian kemudian.
"Lu itu asumsi atau halu sih? Sejak ketemu sama dia, mikirnya jelek mulu," sewot Nathan judes.
"Kalau cemburu ya bilang," celetuk Christian langsung.
Adrian berdecak sinis pada mereka berdua. "Lu berdua nggak paham apa yang gue rasakan sekarang."
"Udah, udah, jangan berantem," lerai Wayne menengahi. "Menurut gue, lu terlalu berlebihan dalam menuduh Nadine yang bukan-bukan. Soal Juno, bisa aja dia sinis sama lu karena nggak suka lu jadi cowoknya Nadine. Biasa lah, namanya juga cowok."
"Dan menurut lu, apa yang dia lakuin itu lumrah? Pergi bareng dan makan bareng kek orang pacaran tiap hari?" balas Adrian tidak suka.
"Mereka itu kerja, Adrian, bukan selingkuh. Kalau emang selingkuh, mana mungkin lu masih bisa duduk santuy sambil menggerutu pas liat hape detektif lu?" cetus Christian.
"Listen, Dri," tukas Wayne dengan sorot matanya yang teduh namun tajam. "Hasil investigasi orang kepercayaan lu itu jangan dijadikan patokan. They're just doing their job. Mereka melaporkan apa yang terlihat dan nggak tahu apa yang terjadi dari dalam. Lu sebagai orang yang sangat kenal Nadine harusnya bisa ambil penilaian, bukan berasumsi tanpa bukti."
"Justru itulah, gue belum dapet buktinya," timpal Adrian cepat.
"Itu berarti apa yang lu pikirkan belum tentu benar. Gue yakin kalau emang udah waktunya lu tahu sesuatu yang lu bilang disembunyikan Nadine, maka lu akan tahu itu," balas Wayne tegas.
"Menurut lu begitu?" tanya Adrian dengan masam.
"Yes, terbukti kalau dia balik sama lu," jawab Wayne.
"Dan soal Juno, meski dia sepupu Ethan, bukan berarti dia bahaya. Nggak usah jauh-jauh, adeknya si Edward aja beda banget sama kakaknya," sahut Christian.
"Ngomong-ngomong soal Edward, kemarin gue sempet ikutan ngobrol waktu dia telepon Lea," timpal Nathan.
"What? Seriusan lu ngobrol sama dia? Kok bisa? Hapenya Lea nggak hancur kan?" tanya Christian kaget dan Nathan langsung menggelepak kepala Christian dengan gemas.
"Kalau bukan karena temen gue lagi baper sama Juno, gue juga males ngomong sama tuh kampret," sewot Nathan.
"Dia lagi di UK buat ngeband disana, kan?" tanya Adrian dan Nathan mengangguk.
"Terus lu ada bahas Juno sama dia?" tanya Wayne kemudian.
Nathan kembali mengangguk. "Dia bilang kalau Juno memang sempet ikut sidang Ethan waktu itu, temenin dia."
"Gue udah yakin kalau gue nggak salah liat orang itu waktu pertama kali di sidang," gumam Adrian pelan. "Pas liat di Seoul, juga malam pas dia anter Nadine balik ke rumah, gue masih mikir kalau bisa jadi gue salah orang."
"Trus apa lagi?" tanya Wayne lagi.
"Nggak tanya banyak karena Edward juga nggak gitu deket sama Juno. Cuma bilang kalau orang itu memang pendiam dan suka moody. Pas temenin ke sidang, Juno berubah banyak, itu aja," jawab Nathan.
"Berubah kayak gimana maksudnya?" tanya Christian heran.
"Ya kayak dingin dan suka emosian aja," jawab Nathan lagi. "Gue nggak tanya banyak karena males ladenin Lea yang mulai bawel nanya ini itu. Disangkanya cari ribut padahal cuma niat baik bantuin temen."
Christian tertawa pelan. "Muka lu nggak bisa santai kali. Gue juga yakin kalau lu nggak bisa basa basi dan langsung main tembak soal Juno."
"Yang gue tahu, Juno ambil hukum karena dipaksa sama bokapnya. Temenin Edward sidang katanya baru lulus," ujar Adrian tanpa ekspresi.
"Dan pilih calon mertua lu buat jadi mentornya?" tanya Christian.
Mengangkat bahu, Adrian tampak malas menjawab pertanyaan yang belum ada jawabannya. Terlebih lagi, dia masih belum bisa menembus komunikasi dengan Gordon, yang katanya sedang mengurus kasus di luar kota.
"Lu mau kemana?" tanya Christian saat Adrian beranjak berdiri.
"Gue ada janji sama Nadine," jawab Adrian sambil membetulkan letak jasnya.
"Jadi supir pribadi maksud lu?" celetuk Nathan sambil terkekeh.
"Masih jam segini?" tanya Christian heran.
"Sudden visit biar ada yang bisa dilabrak," sahut Nathan.
"Nathan!" tegur Wayne cepat.
"Its okay, Wayne, gue udah biasa sama kelakuan ipar lu yang kampungan," sindir Adrian sambil melirik Nathan, lalu menatap ketiganya bergantian. "Gue duluan."
Tanpa menunggu balasan, Adrian segera berlalu untuk menuju ke lobby dimana supir pribadi sudah menunggu disana. Memiliki rencana untuk berakhir pekan bersama Nadine, juga sudah merencanakannya sejak kepulangannya kemarin, Adrian ingin mengajak Nadine ke sebuah tempat yang sudah lama ingin dikunjunginya bersama.
Sepanjang perjalanan menuju ke kantor Nadine, Adrian merenungi apa yang diucapkan Wayne dan merasa jika temannya yang satu itu benar adanya. Mungkin saja dirinya terlalu banyak berasumsi hingga tidak bisa melihat ketulusan Nadine dan benar-benar kembali untuk bersamanya.
Menghela napas, Adrian memantapkan diri untuk menikmati kebersamannya dengan Nadine saat ini dan tidak ingin berpikir terlalu banyak tentang apapun. Saat dirinya tiba, seperti biasanya Nadine sudah berada di lobby dengan Juno di sana.
Adrian mendengus pelan saat tatapannya bersirobok dengan Juno yang memberinya tatapan tidak suka. Meski tidak pernah mengobrol selain waktu itu, rasa tidak suka diantara mereka semakin menguat lewat tatapan dingin dari satu sama lain.
"Ian," panggil Nadine sambil melebarkan senyuman padanya.
"Udah kelar?" tanya Adrian hangat sambil menggenggam satu tangan Nadine, lalu melirik pada Juno yang sedang memutar bola matanya.
"Udah," jawab Nadine riang.
Dengan sengaja, Adrian melepas genggaman dan menarik Nadine untuk merangkul pinggangnya erat. Seperti tidak menyadari, Nadine tertawa pelan dan membalas untuk memeluk pinggang Adrian sambil berjinjit.
"Kita jadi jalan-jalan?" tanya Nadine dan Adrian mengangguk.
"Perlu banget pelukan disini sampai diliatin orang? Just go!" desis Juno datar.
Nadine spontan melepas sambil menatap Juno tidak enak hati, tapi Adrian justru tidak melepas melainkan mengetatkan rangkulan tanpa mengalihkan tatapannya pada Juno.
"Nggak ada yang ngeliat kami selain lu. Lagian siapa suruh lu masih disini kalau udah tahu gue sampe sekarang?" balas Adrian dengan satu alis terangkat.
Juno tersenyum setengah sambil bertolak pinggang dengan ekspresi tengil. "Karena itu lu sengaja buat scene yang lu pikir gue bakalan cemburu? Sorry not sorry, Man, I'm not that childish. Bukan level untuk bersaing sama lu karena gue jauh lebih baik daripada lu."
Menggertakkan gigi, Adrian hendak membalas tapi Nadine sudah menahannya untuk segera menyahuti Juno.
"Udah sana kamu balik ke atas untuk kelarin dokumen yang mau dibawa Senin. Aku udah selesai dan sekarang jalan dulu," ucap Nadine tegas lalu menarik Adrian untuk menjauh dari Juno agar segera keluar dari sana.
Adrian merasa tidak puas untuk membalas, tapi pasrah dengan Nadine yang sudah menariknya keluar dari lobby. Sebelum pintu kaca tertutup, Adrian sempat menoleh dan mendapati Juno tersenyum sinis sambil mengarahkan jempol terbalik padanya dengan tatapan meremehkan. Shit!
"Dia jelas-jelas cari masalah, ngapain kamu masih belain dia?" desis Adrian sambil melepas tangan Nadine saat mereka sudah tiba di sisi mobilnya.
Nadine menoleh dan menatapnya masam. "Dia nggak cari gara-gara, kamunya aja yang mulai duluan."
"Siapa yang mulai duluan?"
"Emangnya bener kamu kayak gitu supaya dia cemburu?"
"Buat apa? Aku emang udah biasa ngerangkul kamu."
"Tapi nggak gitu juga, kan? Kamu sengaja dan tadi bukan kamu banget. Kalau misalkan memang iya tujuan kamu cuma buat dia cemburu, aku rasa kamu keterlaluan."
"Kenapa jadi aku yang keterlaluan?"
"Karena kamu nggak tulus. Karena kamu merangkul cuma cari gara-gara."
"Really? Sekarang kamu nuduh aku dan lebih membela dia?"
Nadine menghela napas dan terlihat lelah. "Apa kita bakalan debat kayak gini terus? Apa kita jadi pergi ke tempat yang kamu mau ajak aku?"
"Aku sangsi kalau kamu mau ikut aku," balas Adrian ketus.
"Kok kamu gitu sih? Nyebelin banget," sahut Nadine kesal.
"Ya kamu yang nyebelin," sahut Adrian tidak mau kalah.
Nadine menatap Adrian dengan tatapan menilai dan sorot matanya terkesan kecewa, juga marah, entahlah. Adrian mengumpat dalam hati karena tidak bisa mengendalikan diri untuk hal kecil seperti tadi.
"Aku minta maaf kalau aku nyebelin dan cari gara-gara sampe kamu jadi marah kayak gini," ucap Nadine kemudian.
Menghela napas, Adrian mengangguk sambil membukakan pintu belakang untuk Nadine. "Aku juga minta maaf karena bikin emosi. Yuk, kita jalan."
Nadine mengangguk sebagai balasan dan segera masuk ke kursi belakang disusul olehnya. Keduanya duduk berdampingan dan terdiam satu sama lain di sepanjang perjalanan. Tidak ada pembicaraan yang berarti, hanya sesekali bertanya singkat, lalu panggilan mengenai pekerjaan mendominasi.
Hingga akhirnya, sejam kemudian, mobil memasuki sebuah pekarangan luas seiring dengan pekikan kaget dari Nadine. Mobil menyusuri ruas jalan yang hanya cukup untuk satu mobil dengan ladang buckwheat di kanan dan kiri jalan itu.
Adrian tersenyum melihat Nadine yang memperhatikan ladang buckwheat dengan sorot mata berbinar senang. Ladang itu adalah tempat bermain favorit mereka dan Nadine selalu berhasil bersembunyi di setiap kali bermain hide and seek bersamanya karena postur tubuh yang begitu kecil.
Tak lama kemudian, mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu bergaya modern, dan Nadine segera keluar dari mobil sambil berseru senang. setelah menyuruh supir pribadi untuk meninggalkan mereka, Adrian segera keluar dan menyusul Nadine yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu itu.
"I never thought that you will bring me here, Ian," ucap Nadine dengan suara berbisik.
"Its been a while, lets get inside," ajak Adrian sambil membuka pintu dan mempersilakan Nadine untuk masuk.
Nadine mengangguk sambil memeluk dirinya sendiri, sekilas Adrian sempat mendengar Nadine meringis pelan. Memperhatikannya sambil menutup pintu, sepertinya wanita itu kedinginan dan Adrian segera melepas jasnya untuk memakaikannya pada Nadine.
"Thanks," ucap Nadine sambil tersenyum padanya.
"Lupa ingetin kamu untuk pake baju lengan panjang," sahut Adrian sambil terkekeh.
Nadine menggelengkan kepala lalu menatap sekeliling dengan ekspresi senang. Tidak ada yang berubah dari rumah keluarga besarnya saat berkumpul di Jakarta. Berada di Sentul, yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan ibukota, rumah kayu itu menjadi favorit bagi keluarganya untuk melepas penat atau sekedar beristirahat. Tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk keluarga Nadine yang sudah pasti akan turut serta jika ayahnya datang berkunjung.
Nadine melepas heels-nya dan kembali meringis pelan saat menapaki lantai berkayu yang dingin. Suhu yang menurun menjelang malam itu membuat Nadine sedikit menggigil. Hal itu menarik perhatian Adrian dan membuatnya segera membawa Nadine ke ruang utama untuk duduk di sofa besar.
"Udah musim hujan terus jadi tambah dingin deh. Agak lucu yah kalau disini kita nyalain fireplace di Indo?" celetuk Adrian yang membuat Nadine tertawa pelan.
Memiliki perapian listrik yang hanya sekedar pelengkap interior, Adrian menyalakan hal itu karena suhu di sekitar memang cukup dingin. Rencana hari ini adalah menghabiskan waktu bersama Nadine di rumah itu, termasuk makan malam santai dan menonton film yang sudah disiapkan Adrian di ruang teater.
Menunggu Adrian yang masih berkutat untuk menyalakan perapian listrik, Nadine bersandar sambil memeluk kedua kaki yang sudah ditekuk ke atas sofa sambil menenggelamkan kepala diantara kedua lutut. Masih merasa dingin walau sudah ada jas Adrian yang melingkupi tubuhnya.
Sudah selesai menyalakan perapian itu, Adrian menoleh dan menatap cemas dengan Nadine yang tampak begitu kedinginan. Dengan segera, dia menghampiri dan duduk di samping Nadine.
"You okay?" tanya Adrian yang membuat Nadine langsung mendongak.
Nadine menggeleng. "Aku dingin."
"Sini," ucap Adrian sambil menarik Nadine untuk duduk diantara kedua kakinya yang terbuka, lalu memeluk tubuh Nadine dengan erat. "Skin to skin helps to generate heat, it says."
Nadine tersenyum. "Really?"
"Yes, I'm warm," balas Adrian sambil terkekeh.
"Yes, you're so warm," sahut Nadine sambil memeluk pinggang Adrian dan merebahkan kepala di bahunya, kemudian memejamkan mata untuk menikmati kedekatan yang memberi kehangatan yang mulai merambat.
"Jangan tidur, Nadine, kita belum makan," ucapan Adrian membuat Nadine segera membuka matanya yang memang terasa berat.
Adrian terkekeh dan membelai lembut sisi wajah Nadine. "Nyaman banget yah sampe kamu jadi kepengen tidur?"
Nadine mengangguk. "Udah lama nggak kayak gini sama kamu."
"Nanti kita lanjut, tapi sekarang makan dulu. Kata Mama kamu, kamu harus makan makanan rebus atau kukus, grilled boleh tapi harus matang sempurna, jadi aku udah suruh orang siapin salmon teriyaki dan mashed potato buat makan malam kita," ujar Adrian sambil mengangkat tubuh Nadine dalam gendongan untuk berjalan menuju ke ruang makan.
"Mama bilang begitu?" tanya Nadine heran.
Adrian mengangguk. "Memangnya kamu pikir aku nggak pake ijin dulu buat bawa anak orang kesini? Yang ada nanti papa kamu bisa bunuh aku kalau bawa anaknya diem-diem."
Nadine tertawa pelan saat Adrian mendudukkannya di kursi. Di meja makan, sudah tersedia makan malam yang sudah dihangatkan dan siap disantap. Menikmati makan malam bersama, juga mengobrol tentang apa saja dengan Nadine, membuat Adrian merasa nyaman dan menyukai kebersamaannya kali ini.
"Mau duduk kayak tadi?" tanya Adrian dan Nadine langsung mengangguk.
Tanpa menunggu Adrian, Nadine segera beranjak dan berjinjit untuk menuju ke ruang utama, dan duduk di lantai berkarpet dengan posisi agak mendekat ke perapian sambil mengarahkan kedua tangan seolah mencari kehangatan disana.
Melihat hal itu, Adrian berjalan menuju ke kamar pribadinya yang berada di lantai atas, lalu mengambil selimut besarnya, dan membawanya ke ruang utama. Nadine segera beranjak untuk membantu Adrian melebarkan selimut sebagai alas duduk mereka.
Setelah menyusun bantal duduk di kaki sofa, Adrian bersandar disana dan menarik Nadine ke dalam pelukannya. Nadine membetulkan posisi dengan memeluk pinggang Adrian, juga saling menautkan kedua kaki satu sama lain.
"Kamu lagi nggak enak badan?" tanya Adrian sambil membelai rambut Nadine dengan lembut.
Nadine menggeleng. "Aku cuma kedinginan."
"Padahal kamu tipikal orang yang nggak betah kalau tidur harus pake selimut, atau harus pake jaket tiap kali liburan kesini," ucap Adrian.
"Mungkin udah lama nggak dateng kesini, jadi cuacanya nggak familiar di aku," balas Nadine.
Adrian terdiam sambil mencerna ucapan Nadine selama beberapa saat, sampai Nadine mengangkat kepala untuk menatapnya dengan senyuman lebar di wajah. Sepertinya, wanita itu sudah merasa hangat karena wajahnya tidak sepucat sebelumnya.
"Jadi kamu bawa aku kesini untuk apa?" tanya Nadine riang.
Menatap Nadine dengan penuh penilaian, gadis kecil yang dikenalinya itu tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan begitu ceria. Senyumannya menular karena berhasil membuat Adrian ikut tersenyum sekarang.
"Pengen berduaan sama kamu," jawab Adrian jujur. "Sejak aku balik, kita nggak pernah berduaan kayak gini."
Nadine kembali tersenyum dan mengeratkan pelukannya sambil terus menatap Adrian dengan sorot mata yang hangat disana. Kedekatan seperti ini membuat Adrian tidak bisa mengalihkan tatapannya dari sepasang mata coklat yang sukses membuat debaran jantungnya menguat.
Keningnya berkerut saat melihat sepasang mata indah itu mulai berkaca-kaca meski Nadine masih tersenyum padanya saat ini.
"Hey, are you okay?" tanya Adrian sambil menangkup wajah Nadine dan menatapnya lembut. "Why are you crying?"
Bukannya menjawab pertanyaan, tapi Nadine justru menenggelamkan kepala di sisi leher Adrian dan terisak disana. Tentu saja, hal itu membuat Adrian panik, juga bingung. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain memeluk Nadine dan mengusap lembut punggungnya sambil membisikkan kata-kata yang menenangkan untuk dirinya.
"It's okay, Baby. It's okay," bisik Adrian sambil mengecup pucuk rambut Nadine dengan lembut.
"Aku bawa kamu kesini bukan untuk menuntut penjelasan atau apapun yang kamu pikirin. Aku bener-bener pengen ngabisin waktu berdua sama kamu," lanjut Adrian lirih.
Mendongakkan dagu Nadine dengan sangat pelan, Adrian mulai mengusap kedua pipi Nadine yang basah. Dia tidak menyukai ekspresi sedih yang ditampilkan Nadine. Ceria dan terus tersenyum adalah kesukaan Adrian dari seorang Nadine yang dikenalnya.
"Aku terharu," ucap Nadine serak. "Aku terlalu senang dan anggap ini kayak mimpi kalau kamu bisa ajak aku kesini."
"Iya, tapi nggak pake nangis, ya," ucap Adrian menangkup wajah Nadine, lalu mengecup ringan bibir wanita itu. "Aku nggak suka lihat kamu sedih kayak gini."
"Tapi aku sedih, soalnya aku kangen banget sama kamu. Cuma kamunya kayak yang judes banget sama aku, seolah aku udah kayak penjahat. Aku nggak pernah selingkuh, nggak pernah juga deket sama cowok selain urusan kerjaan, dan cuma kamu yang ada dalam hati aku," balas Nadine dengan berlinang airmata.
"Hey, jangan tambah nangis dong," tukas Adrian sambil kembali mengusap pipi Nadine.
"Aku cukup stress mikirin kamu yang kayak gini," sahut Nadine sedih. "Aku juga bingung harus gimana sama kamu padahal udah ngomong apa adanya."
Untuk pertama kalinya semenjak pertemuan pertama, Nadine menunjukkan dirinya sebagaimana yang Adrian kenal. Wanita itu berusaha menyampaikan perasaannya, juga terlihat lelah, dan membuatnya merasa bersalah.
"How about we play games?" tanya Adrian dan sukses membuat tangisan Nadine berhenti.
"What games?" tanya Nadine bingung.
"You decide," jawab Adrian sambil menarik tangan dari wajah Nadine dan kembali membelai kepalanya, lalu memainkan ujung rambut panjangnya.
Nadine terdiam sejenak sambil mengerutkan kening, tampak ragu, sesekali melirik Adrian, lalu menganggukkan kepala.
"I did some research," ucap Nadine kemudian.
"About?" balas Adrian dengan dua alis terangkat.
"About Adrian Raymond for the last two years," sahut Nadine serak, lalu berdeham pelan.
Mata Adrian melebar kaget, tampak terkejut, lalu tersenyum dan bersikap santai tanpa mengalihkan tatapan. "What did you find?"
"Let's play," ucap Nadine gugup saat tangan Adrian yang memainkan ujung rambutnya berpindah untuk membelai lembut daun telinganya, kemudian mendekat untuk memberi kecupan ringan di sana.
"With one condition," bisik Adrian lembut. "No hide and seek game."
Nadine mengangguk dan berusaha menarik diri agar menjauh sedikit dari Adrian, dan itu dibiarkan olehnya. Tampak menikmati kegugupan yang ditampilkan Nadine saat ini, Adrian menambah jumlah kegugupannya dengan memberi tatapan intens dan berkilat senang.
"Truth game," jawab Nadine. "Satu pertanyaan untuk satu orang, jika jawabannya salah, maka kena hukuman."
Satu alis Adrian terangkat, lalu menyeringai senang. "Aku yang tentuin hukumannya."
"Nggak, kan kamu suruh aku yang putusin," seru Nadine cepat.
"Kamu yang tentuin games, aku yang tentuin hukumannya. Fair enough," tukas Adrian.
Nadine menghela napas dan menganggukkan kepala dengan ekspresi setengah hati. Adrian tertawa dan mengacak rambut Nadine dengan gemas. Baru kali ini, dia merasakan kesenangan yang menyenangkan bersama Nadine, seperti waktu lalu.
"Satu pertanyaan untuk satu kancing. Yang salah, satu kancing bajunya dibuka," ucap Adrian sambil menurunkan tatapannya pada kancing mutiara yang cantik dari kemeja yang dipakai Nadine.
Ucapan Adrian spontan membuat Nadine menaruh kedua tangan di dada, seolah menutupi pandangan Adrian dari kemeja yang membalut pas di tubuhnya.
"Kenapa? Takut?" ejek Adrian dengan tatapan meremehkan.
Meski masih terlihat gugup, tapi Nadine menggelengkan kepala. Persis seperti Nadine kecil yang tidak akan menerima kekalahan dan akan berjuang sampai pada batasnya. Sikap pantang menyerah Nadine dan tidak suka diremehkan itu ternyata masih ada dalam diri wanita itu.
"Kalau gitu, tiga pertanyaan," ujar Nadine.
"Deal," balas Adrian santai.
"Berapa jumlah cewek yang kamu gandeng selama dua tahun terakhir?" tanya Nadine.
Adrian langsung memutar bola mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak diperlukan. Untuk apa dirinya mengingat jumlah wanita yang dikencaninya, jika dirinya saja sudah lupa dengan para wanita itu?
"Nggak ada pertanyaan yang lebih berbobot, Sayang? Cuma tiga loh pertanyaannya," sewot Adrian.
"Kenapa? Takut?" balas Nadine ketus.
Terdiam sebentar, Adrian mencoba berpikir dan berakhir dengan menebak angka yang diragukan dirinya. "Lima?"
"Salah! Yang bener ada sembilan! Itu belum termasuk dua cewek yang kamu gandeng di London, dan satu cewek yang kamu gandeng di Singapore sekitar tiga bulan yang lalu," balas Nadine dengan nada tinggi.
Merasa heran dengan Nadine yang begitu fasih dalam menyebutkan jawabannya, Adrian hanya bisa menggelengkan kepala. "Ini yang kamu dapet dari hasil mentoring Juno itu? Rapalin dosa pacar yang..."
"Just admit it and get your punishment!" sela Nadine tegas.
Kembali memutar bola mata, Adrian mendekatkan diri agar Nadine bisa membuka satu kancing kemejanya. Meski demikian, Nadine tampak begitu gugup saat membuka satu kancingnya, lalu segera menarik tangannya setelah selesai membukanya. Sangat manis sekali, pikir Adrian senang.
"My turn!" tukas Adrian cepat. "Kapan kamu bikin aku marah pertama kali?"
Tanpa berpikir, Nadine langsung menjawab dengan lugas. "Waktu kamu buka pagar rumah dan aku yang datang di Seoul. Kamu kaget, trus kamu kayak yang kesel sampe suruh aku tidur di hotel."
"Salah! Yang bener adalah kamu main buang kotak yang aku kasih pas kamu lulus SMA!"
"What? Itu kamu nggak marah tapi isengin aku. Siapa juga yang mau dikasih kotak yang isinya tarantula gitu? Yang bener itu aku yang marah," protes Nadine.
"Aku susah banget dapetin tarantula, tapi kamu main buang aja sampai tarantulanya kabur. Nggak usah berlagak lupa kalau aku sampe mogok ngomong sama kamu seharian!" sahut Adrian tegas.
"Tapi..."
"Just admit it and get your punishment!" sela Adrian sambil tersenyum licik melihat Nadine yang mengerang kesal disana.
Nadine mendekatkan diri dan menatap Adrian dengan tatapan tidak terima. Dia menahan napas saat jari-jari Adrian sudah bekerja untuk melepas satu kancingnya. Tatapan Adrian langsung menyoroti bra berwarna nude yang dikenakan Nadine, yang juga memperlihatkan belahan dadanya yang membulat sempurna. Shit.
"Sekarang giliran aku," ucap Nadine sambil menjauh dan berusaha merapatkan dua sisi kemeja yang terbuka dan tampak semakin gugup. "Apa yang jadi mimpi aku sejak kecil?"
"Salah satu atau semua?" tanya Adrian.
"Terserah. Kalau sebut semua, misalkan ada yang salah, ya kamu kalah," jawab Nadine.
"Jadi pengacara hebat kayak papa kamu," jawab Adrian sambil mengarahkan telunjuk, lalu diikuti jari berikutnya saat dia menyebutkan jawaban yang lain. "Buka perpustakaan dengan koleksi buku teori kuantum terbanyak di dunia, mau jadi baker yang jago bikin dessert karena kamu merasa harga dessert nggak masuk akal, buka panti asuhan dan panti jompo buat orang-orang terlantar, dan yang terakhir adalah jadi istri aku."
"Kurang satu!" celetuk Nadine yang membuat Adrian mendengus.
"Apa?"
"Mimpi aku yang satu lagi adalah kamu berhasil dan selalu sehat selama aku nggak ada," ucap Nadine sambil mengangkat dua alisnya tinggi-tinggi.
Adrian terdiam dan menatap Nadine dengan ekspresi tak terbaca. Keduanya saling bertatapan dalam diam tanpa ada yang membuka suara selama beberapa detik.
"Salah!" ucap Adrian akhirnya, lalu segera mendekat tanpa peringatan hingga membuat Nadine tersentak dan hampir terjungkal ke belakang tapi Adrian sudah lebih dulu menyelipkan tangan ke belakang tubuh Nadine sebagai penopang.
Dengan satu tangannya yang bebas, Adrian membuka satu kancing kemeja Nadine tanpa hambatan, sebelum Nadine menahannya.
"Kamu..."
Ucapan Nadine tenggelam dalam ciuman yang sudah dilakukan Adrian dengan dalam. Tidak bisa berkutik, juga tidak menolak, Nadine berusaha mengikuti ritme ciuman yang dimainkan Adrian selama beberapa saat, kemudian dihentikan dengan menarik diri dan menatapnya tajam.
"Barusan nggak termasuk hitungan karena kamu yang pergi dan aku nggak pernah dengar soal itu. Jadi, kamu yang salah, dan sekarang giliran aku!" desis Adrian parau.
Nadine menahan napas saat tatapan Adrian turun pada kemejanya yang sudah terbuka dua kancing, dimana hal itu sudah menampilkan sepasang payudara yang terbungkus indah dari balik bra-nya. Tentu saja, Adrian sudah menegang, bahkan berkedut nyeri dibawah sana untuk keinginan menyentuh Nadine saat ini.
"Apa yang bikin aku bosan sampai jadi orang yang nggak sabaran?" tanya Adrian sambil menatap Nadine dengan tajam.
"Saat kamu lapar dan makanan lama keluarnya. Juga kalau orang telat dan kamu harus nunggu kelamaan," jawab Nadine cepat.
Itu memang benar adanya tapi tidak untuk sekarang.
"Salah," balas Adrian sambil memberi senyum setengah.
"What? Aku nggak mungkin salah," seru Nadine tidak terima dan berusaha mendorong bahu Adrian untuk menjauh tapi tidak bisa karena tubuh Adrian sudah mengunci tubuh mungilnya.
"Yang benar adalah aku udah mulai bosen buat main ginian, dan nggak sabar untuk lanjutin ciuman kita barusan," tukas Adrian yang dengan cepat mengubah posisi untuk merebahkan Nadine dan menindihnya sambil menahan kedua tangan Nadine diatas kepala dengan satu tangan.
"I-Ian," panggil Nadine gemetar saat satu tangan Adrian yang lainnya sudah membuka sisa dua kancing kemejanya.
Mata Adrian terpejam dengan sensasi panas yang menguar di punggung saat sudah membungkuk untuk mencium belahan payudara Nadine yang membusung indah. Deru napas Nadine menguntungkan Adrian dengan merasakan ayunan lembut dadanya sehingga membuat Adrian tidak kuasa menahan diri lebih lama lagi.
"I want you, Nadine," bisik Adrian sambil terus mencium sekitaran dada Nadine dengan bibir dan lidahnya yang terlatih.
Sudah lama tidak menyentuh wanita, juga tidak pernah merasakan hasrat yang demikian besar, Adrian menjadi tidak sabar dan membuka kaitan bra Nadine dengan mudah demi melihat sepasang payudara yang terindah yang pernah dilihatnya. Bulat, padat, kencang. Sangat cantik, pikirnya.
"I-Ian," panggil Nadine lirih dan Adrian segera mendongak untuk membalas tatapan Nadine yang penuh arti disana.
"Ya?"
"Aku masih punya satu pertanyaan," ucap Nadine.
"Really?" desah Adrian masam.
"Please," balas Nadine dengan nada memohon.
Berusaha mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan, Adrian hanya menganggukkan kepala sebagai respon untuk permohonan Nadine.
"Apa aku akan jadi cewek terakhir yang kamu tidurin? Ini bukan soal benar atau salah, tapi aku mau tahu jawaban kamu," tanya Nadine dengan suara yang nyaris berbisik.
Adrian menatap Nadine dengan seksama, memberi senyuman hangat sambil membuka kemejanya sendiri, lalu membungkuk untuk membelai sisi wajah Nadine dengan lembut. "Satu-satunya cewek yang dekat sama aku sejak kecil, dan yang sanggup bikin aku kesal setengah mati, udah jelas cuma kamu orangnya."
"Jadi..."
"Jadi nggak perlu aku jawab, kamu udah tahu jawabannya."
Dan setelah itu, Adrian membungkam mulut Nadine dengan permainan lidah yang memabukkan, diiringi dengan sentuhan liar yang panas dan memuaskan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Untuk next part, aku hormat dulu sama suhu CH-Zone buat lanjut. 😌
Jangan buru2, selow aja, apa sih yang perlu dikejar kalau semua ada waktu dan takarannya masing2?
Yang penting, inget untuk beri jeda pada diri sendiri. Itu aja.
I purple you 💜
20.02.22 (00.40 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top