PART. 2 - IT'S GOOD TO SEE YOU AGAIN

Menarik koper berwarna shocking pink-nya dengan antusias, Nadine hampir berlari saat menyusuri koridor kedatangan dengan tergesa-gesa. Sudah tidak sabar, tentu saja. Hari ini adalah hari yang dinantikan olehnya setelah sekian lama. Seoul, ibukota Korea Selatan yang sangat ingin dikunjunginya.

Sebelum menjalani intern kerja, Nadine membutuhkan liburan untuk mencari penyegaran. Mendapatkan beasiswa di Yale, juga sedang dalam proses thesis, Nadine sudah menjalani sekolah hukumnya dengan baik selama ini. Hal itulah yang membuat ayahnya memberi izin bagi Nadine untuk melepas kepenatan sejenak.

Napas Nadine mulai memburu karena terlalu bersemangat saat sudah keluar dari pintu kedatangan. Dia menghampiri seorang lokal bersetelan resmi yang sedang memegang kertas bertuliskan namanya, lalu memperkenalkan diri. Han Ahjussi, itu namanya. Dia datang untuk menjemput Nadine dan membawanya ke tempat tujuan.

Senyum di wajah terus mengembang, Nadine bahkan memekik girang saat sudah duduk di kursi belakang, dan membuka jendela untuk melihat keindahan kota secara langsung. Juga, tujuan utamanya untuk bertemu dengan pangeran impian sejak kecil, yaitu Ian. Hanya terpikirkan namanya saja sudah membuat degup jantungnya berdebar kencang.

Nadine menatap keindahan pemandangan bunga sakura yang bermekaran dengan ekspresi kagum, juga tidak lupa untuk mengambil kamera dan mengabadikannya dengan beberapa jepretan. Menyukai fotografi sebagai hobi barunya, Nadine mempunyai website pribadi untuk memamerkan hasil fotonya, dan sudah memiliki ratusan ribu pengikut di sana.

Dia menyukai seni pengambilan foto lewat pengambilan sudut yang tepat, permainan cahaya, juga berbagai macam kamera untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Hal itu sudah digeluti olehnya selama tiga tahun terakhir.

Tidak terasa, mobil sudah melamban, dan berhenti di sebuah rumah besar yang menjadi tujuannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Nadine segera bergegas turun untuk menuju ke rumah itu. Menekan bel sebanyak beberapa kali, dan seorang petugas keamanan menanyakan keperluannya. Cukup lama Nadine menunggu, tapi itu tidak apa-apa, karena saat sosok yang dirindukannya muncul dari balik pagar, perasaan Nadine melambung tinggi.

Melihat sosoknya yang tampak begitu sehat, segar, dan menawan, sudah memberi kelegaan dan kebahagiaan bagi Nadine. Tanpa ragu, dia segera melompat dan memeluknya dengan kencang sambil berteriak kegirangan.

"Aku kangen banget sama kamu, Ian!" seru Nadine girang.

"Eh, ini siapa sih?" decaknya ketus dan segera melepas dua tangan Nadine yang merangkul bahunya.

Sorot matanya menajam, ekspresinya terkesan tidak suka, dan tampak tidak ramah. Tapi itu bukan masalah bagi Nadine, sebab dia terlalu senang. "Ini Nadine, Ian. Nadine."

"Nadine?" tanyanya dengan mata menyipit tajam.

"Iya, Nadine Natasha, anaknya papa Gordon," jawab Nadine sambil menaruh dua tangan di dada sembari mengenalkan diri.

"Nadine? Anaknya Om Gordon yang cupu itu?" tanya Adrian dengan ekspresi tidak percaya, lalu menatapnya naik turun dengan penuh penilaian. "What?"

Senyuman Nadine semakin melebar saat melihat ekspresi lucu dari Adrian yang dirindukannya. "Yes! Dulunya suka pake kacamata, sekarang nggak lagi. Kan pake softlens."

Terdiam, Adrian menatapnya dengan seksama. Jika tadi terlihat bingung dan tidak percaya, kali ini terlihat tidak suka dan terkesan dingin.

"Buat apa kamu ke sini?" tanya Adrian kemudian.

"Liburan! Juga kangen banget sama kamu," jawab Nadine ceria. "Selama sebulan, aku bakal di sini. Tenang aja, Papa dan Ahjussi udah kasih izin untuk tinggal di sini. Sama kamu."

"Are you kidding me?" balas Adrian ketus.

"No!" seru Nadine sambil menggelengkan kepala. "So, aku udah bisa masuk? Aku jetlag dan capek banget nih. Flight dari Connecticut ke Seoul tuh bikin lemes."

Adrian menggeleng. "Kamu nggak bisa main masuk ke rumah orang tanpa permisi. Kalau mereka yang kasih kamu izin untuk datang ke sini, kenapa nggak minta mereka yahg kasih tempat buat tinggal? Kenapa harus rumahku?"

"Karena mereka maunya aku tinggal sama kamu. Biar aman katanya," balas Nadine senang, sama sekali tidak memperhatikan ekspresi Adrian yang begitu sengit.

"Do I look like I care?" tanya Adrian dengan alis terangkat menantang.

Mengerjap bingung, Nadine baru tersadar dengan sikap Adrian yang tampaknya tidak menyukai kehadirannya. Apakah dia sudah berubah? Apakah dia sudah tidak peduli dan melupakanku? pikir Nadine sedih.

"Ada siapa, Dri?"

Terdengar pertanyaan dari seseorang dari arah belakang, dan Nadine segera memiringkan kepala untuk melihat sosok pria tampan yang sangat rupawan di sana. Bahkan, mata Nadine melebar kagum saat pria itu sudah mendekat dan berdiri di samping Adrian dengan senyuman yang sangat ramah. Dia tampak begitu bersinar dan seperti seorang Idol.

"Halo, namaku Nadine," ucap Nadine memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan pada pria itu.

Dan pria rupawan itu memamerkan cengiran lebar sambil menyambut uluran tangan Nadine dalam jabatan yang erat. "Halo juga, aku Christian."

Mata Nadine melebar senang dan membalas keramahan Christian dengan senyuman.

"Nggak usah sok akrab sama orang yang belum kenal!" tegur Adrian ketus.

"Kamu cemburu?" tanya Nadine senang.

Sebelum Adrian sempat membalas, pria bernama Christian itu sudah berpindah posisi dan berdiri menjulang tepat di hadapan Nadine dengan ekspresinya yang begitu ceria.

"Ini siapanya Adrian? Pacar?" tanya Christian dengan tatapan ingin tahu.

"Tian!" desis Adrian yang langsung dibalas decakan sengit oleh Christian, sementara Nadine hanya terkekeh geli melihat interaksi keduanya.

"Temen lama, tapi kalau mau dibilang pacar juga nggak apa-apa," jawab Nadine sumringah.

"Whooaaaa, Adrian beruntung banget," seru Christian dengan ekspresi terkejut, lalu menoleh pada Adrian dengan cengiran penuh arti. "Kok, Adrian nggak pernah cerita ya?"

"Nggak usah ngomong sembarangan," cetus Adrian sinis.

Mengabaikan kesinisan Adrian, Christian kembali menatap Nadine dengan keramahan yang semakin menjadi. "Masuk dulu, yuk. Kasihan banget kalau sampai harus berdiri sambil nenteng koper di sini."

Tanpa ragu, Christian segera mengambil alih koper milik Nadine dan langsung mendapat teguran keras dari Adrian.

"Heh, ngapain lu bawa-bawa kopernya segala?" sewot Adrian.

Christian menoleh dengan malas. "Kenapa? Lu mau bawain?"

"Nggak!" jawab Adrian sengit.

"So what?" balas Christian tengil, lalu menatap Nadine kembali sambil tetap mempertahankan senyuman. "Maaf yah, yang punya rumah lagi sensi, jadi biar tamunya aja yang layanin. Masuk, yuk."

Nadine tertegun sesaat, lalu melirik pada Adrian yang masih bersikap tidak ramah padanya. Bahkan, ekspresinya semakin terlihat tidak senang, dan bisa dibilang jika dia seperti ingin marah. Hendak menolak, tapi sebuah cengkeraman kuat sudah dilakukan Christian di pergelangan tangannya, lalu menariknya agar mengikuti Christian untuk melewati Adrian, memasuki rumah itu.

"Lu nggak bisa main tarik orang asing masuk ke dalam rumah gue, hanya karena dia ngaku temen lama, Tian!" sewot Adrian dari belakang, dan Christian tampak tidak menggubrisnya selain terus melangkah.

Merasa bingung, juga perasaan sedih yang tiba-tiba menghinggap dalam diri, Nadine menghentikan langkah dan menarik tangannya dari cengkeraman Christian saat sudah tiba di pekarangan rumah itu. Christian langsung menoleh dengan kening berkerut, sementara Adrian masih terlihat dingin. Kini, Nadine berdiri di antara mereka yang begitu menjulang tinggi.

"Mmmm, aku nggak jadi masuk deh," ucap Nadine pada Christian, lalu menoleh pada Adrian. "Maaf yah, Ian. Harusnya aku kabarin kamu dan nggak main dateng ke sini."

"Untuk apa minta maaf? Nggak ada yang aneh kalau kamu memang nggak pernah ada kabar, baik pergi ataupun pulang!" balas Adrian dengan nada sindiran tajam.

"Easy, Man. Lu itu kenapa sih? Cewek manis begini dijudesin kayak gitu! Pantesan aja masih bujangan, nggak bisa liat kesempatan, dan main tolak aja," decak Christian malas.

"Lu nggak usah ikut campur kalau nggak tahu apa-apa!" balas Adrian galak.

"Hey, hey, ada apa? Kenapa malah adu bacot di sini? Nggak di Jakarta, nggak dimana-mana, pasti berdua nggak akur," tegur seseorang yang terdengar begitu tegas, dan spontan membuat Nadine menoleh padanya, lalu tertegun.

Tidak menyangka jika dia akan bertemu dengan pria rupawan lainnya, selain Christian. Tidak hanya satu, tapi dua! Yang satu tampak begitu lembut, dan yang satu tampak begitu dingin layaknya malaikat pencabut nyawa, tapi keduanya memiliki pesona yang sanggup membuat wanita manapun menahan napas saat melihat di kesan pertama, termasuk Nadine.

"Tuh, temen lu yang childish abis. Temen dateng kok nggak disuruh masuk, udah gitu pake marah-marah karena gue ajak masuk," celetuk Christian sambil mengarahkan dagu ke arah Adrian.

Nadine mengerjap tidak nyaman saat dua pria itu menatapnya dengan penuh penilaian, lalu menoleh pada Adrian dengan alis terangkat seolah menuntut penjelasan.

"Namanya siapa?" tanya pria tampan dengan sorot mata teduh di sana.

"Nadine," jawab Nadine dengan senyuman tipis, lalu melirik cemas pada Adrian yang sedang mendengus kasar.

"Kenalin, namaku Wayne," ujarnya sambil mengulurkan tangan dan langsung disambut Nadine.

Pria di samping Wayne ikut mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Nathan."

"Jadi, ini temen lu, Dri? Kenapa nggak diajak masuk?" tanya pria yang bernama Nathan sambil bertolak pinggang, menatap Adrian tanpa ekspresi.

Nadine mengembuskan napas berat, merasa tidak berdaya dengan tiga pria tampan yang berdiri berdampingan. Jika tadinya dia memiliki bias dalam boy group EXO, BTS, dan Super Junior, kali ini berubah pikiran saat tiga pria itu muncul di hadapannya. Sebab, para idol bukanlah jangkauan, sedangkan tiga pria itu masih masuk dalam kemungkinan.

"Dia bukan temen gue."

Ucapan Adrian yang terdengar sinis itu, spontan membuat Nadine langsung menoleh ke arahnya. Tampak Adrian begitu dingin dalam menatapnya, begitu tajam hingga terasa menyakitkan, dan membuat Nadine merasa sedih.

"Terus kalau bukan temen, kenapa Nadine bisa datang ke sini?" tanya Wayne dengan nada curiga.

"Kenapa sih kalian harus tanyain gue sampe segitunya? Kalau gue bilang bukan, ya bukan!" desis Adrian sinis.

"Ya udah, nggak usah ngegas. Kenapa harus senyolot itu buat jawabin Wayne?" balas Nathan datar.

Keempat orang itu masih berdebat dan Nadine tidak mengerti dengan perdebatan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Ian benar, batin Nadine sedih. Dia bukanlah temannya, mendekati pun tidak, karena semua itu sudah berlalu. Adrian kembali pada kehidupannya, sementara Nadine masih hidup dengan semua kenangannya.

"Udahan yah berantemnya, nggak apa-apa. Ian bener, aku bukan temennya. Aku minta maaf karena udah bikin keributan," lerai Nadine ceria, yang sukses menghentikan perdebatan itu, dan keempatnya menatap ke arahnya sekarang.

Cengiran lebar diberikan Nadine untuk membalas tatapan mereka, lalu membungkuk seolah memberi salam. "Aku cuma mampir aja. Asal bisa liat Ian di sini, aku udah seneng banget."

"Ian? You call him with Ian?" tanya Wayne dengan satu alis terangkat.

Nadine mengangguk dengan antusias. "Keren, kan? Dia yang terbaik dan paling baik dari dulu."

"Baik?" tanya Christian seolah memastikan.

Nadine mengangguk lagi.

"Udah deh, nggak usah lebay," desis Adrian.

Nadine kembali mengangguk dan memaksakan keceriaan untuk sebentar saja, meski dalam hatinya terasa nyeri karena rasa sedih yang sudah mendominasi.

"Aku jalan dulu, yah," ujar Nadine sambil mengulurkan tangan untuk mengambil kopernya dari Christian.

"Mau jalan kemana?" tanya Christian sambil menjauhkan koper dari jangkauan Nadine.

"Hotel," jawab Nadine cepat.

"Rumah ini gede, ada banyak kamar di dalam. Kenapa harus ke hotel?" tanya Wayne.

"Yang punya rumah nggak mau ngasih tinggal, Wayne," sahut Christian yang membuat Adrian semakin mendengus di sana.

"Aku memang nggak tinggal di sini kok," elak Nadine yang berusaha kembali untuk mengambil kopernya, dan kali ini, Christian memberinya dengan enggan.

"Emangnya bener kalau kamu bukan temennya Adrian?" tanya Nathan yang masih memberikan ekspresi datar.

"Lu itu apa-apaan sih, Than?" decak Adrian sinis.

"Gue nanya sama dia, bukan lu," balas Nathan dengan alis terangkat menantang.

"Aku... mmmm, aku bukan temennya lagi. Kenal sih, tapi... aku..." jawab Nadine bingung, lalu melirik cemas pada Adrian yang semakin dingin.

"Itu berarti kalian saling kenal dan berteman," putus Wayne akhirnya, lalu giliran orang itu yang mengambil alih koper Nadine dengan cepat.

"Eh, jangan!" seru Nadine sambil hendak merebut kembali, tapi Christian menahan langkahnya dengan mencengkeram lengannya.

"Heh, lu nggak bisa pegang dia kayak gitu, Tian!" hardik Adrian sambil melepas cengkeraman Christian dari lengan Nadine, lalu menarik Nadine untuk berdiri di belakangnya sambil menghadapi Christian dengan sengit.

Ketiga orang itu hanya tertegun. Cukup lama. Bahkan tidak ada satu pun yang bereaksi, selain memperhatikan Adrian dan Nadine secara bergantian. Nadine mulai merasa tidak nyaman, bukan karena sikap Adrian yang tidak bersahabat, melainkan kepalanya yang mulai terasa pening karena lelah. Dia sangat membutuhkan istirahat.

"Fine, kita bawa Nadine masuk, dan kasih dia nginep di sini," ujar Wayne kemudian.

"Dia nggak perlu di sini. Ada banyak hotel yang bisa nampung," balas Adrian tegas.

"Kalau gitu, sama kayak kami, kan? Rumah lu nggak perlu nampung kami karena ada banyak hotel yang bisa nampung," balas Nathan dengan ekspresinya yang semakin datar.

"Heh, kok jadi nggak nyambung gini, sih?" seru Adrian tidak terima.

"Apa bedanya dengan Nadine dan kami?" sahut Christian.

Nadine menepuk-nepuk punggung Adrian, dan pria itu menoleh dengan kening berkerut, lalu matanya melebar kaget saat melihat wajahnya.

"Hey, kamu kenapa?" tanya Adrian dengan sorot matanya yang cemas.

"Aku mau ke hotel dulu ya. Aku mau tidur. Aku ngantuk banget," jawab Nadine lemah.

Adrian memperhatikan Nadine dengan seksama, lalu menghela napas sambil merangkul bahunya dan bergumam dalam suara yang hanya bisa didengar Nadine. "Dasar nyebelin!"

Nadine mengerjap bingung, lalu mengikuti langkah Adrian yang sudah membimbingnya maju untuk melewati ketiga temannya yang masih menatap dengan ekspresi tertegun sedaritadi. Sempat menoleh ke belakang, Nadine melihat ketiganya menyusul dimana Wayne membawa kopernya.

Di dalam rumah itu, terdapat seorang anak yang sepertinya masih SD sedang asik bermain game. Christian memanggil anak itu, lalu dia menoleh, dan menatap Nadine selama beberapa saat. Segera beranjak, anak itu bergerak untuk mendekati Nadine dengan senyuman lebar dan ramah.

Kening Nadine berkerut, lalu menoleh pada Christian, dan kembali pada anak itu. Rasanya terlalu muda untuk pria semuda Christian memiliki anak sebesar itu. Satu kandidat gebetan yang memiliki kemungkinan pun gugur, pikir Nadine geli.

"Hello, Pretty Girl. Do you have a boyfriend? My name is Joel, and I can be your friend with the word 'boy' in the front, if you like," sapa anak itu sumringah.

"Of course, Buddy. I can be your friend with the word 'girl' in the front. So, we can match each other," balas Nadine sambil mengulurkan tangan, tapi anak itu segera maju untuk memeluk pinggangnya dengan erat.

Tersentak kaget, namun itu hanya terjadi beberapa saat, karena Nadine sudah tertawa menerima keramahan seorang anak yang terbilang berlebihan.

"Emang dasar anak Christian. Masih kecil aja udah pecicilan," celetuk Nathan sambil ber-ckck ria.

"Bibit gue emang suka ngegas," balas Christian bangga.

Bahagia, itulah yang dirasakan Nadine selain lega. Suasana kekeluargaan sangat terasa, dan Nadine bersyukur jika Adrian memiliki orang-orang yang menyenangkan seperti mereka. Tidak lama kemudian, beberapa orang kembali bergabung, yaitu para wanita yang ternyata adalah para istri dari pria rupawan.

Semua kandidat gebetan yang memiliki kemungkinan itu, kini sama seperti bias yang tidak bisa dijangkau. Tapi setidaknya, para wanita memang tampak layak dan serasi dengan para pria rupawan itu. Lea yang lembut, Cassandra yang begitu cantik, juga Miranda yang tampak elegan dan berkelas.

Akhirnya, setelah diperkenalkan oleh mereka, Nadine diantar pada sebuah kamar oleh Adrian. Meski masih bersikap dingin dan tidak ramah, tapi gestur tubuhnya begitu perhatian. Masih merangkul bahunya, demikian Adrian membawanya pada kamar itu.

"Terima kasih, Ian," ucap Nadine dengan senyuman lebar saat Adrian menaruh kopernya di sudut kamar.

Berteman sejak kecil, atau jauh sebelum itu, kedua ayah mereka bersahabat sejak kuliah. Ayahnya adalah seorang pengacara hebat, dan sudah menjadi pengacara pribadi dari keluarga besar Adrian. Sudah mengenal Adrian sejak berumur sepuluh tahun, mereka bertumbuh bersama dan menjalani masa kecil yang sangat bahagia.

Adrian berselisih empat tahun lebih tua dari Nadine. Sikap Adrian yang penyayang dan perhatian sudah menjadikannya sebagai orang terfavorit Nadine setelah kedua orangtuanya. Dia adalah pahlawan berhati lembut, yang selalu menjaga dan melindunginya. Bagi Nadine, Adrian adalah pangeran impiannya. Cinta matinya.

"Nggak usah terima kasih. Aku kasih kamu nginep karena males ribut sama teman-temanku. Juga, aku nggak mau ada urusan panjang sama Abeoji dan Om Gordon karena nggak terima kamu di sini. Habis ini, aku bakal bikin perhitungan sama mereka," tukas Adrian dingin.

Nadine terkekeh dan mengangguk saja. "Tapi tetap harus terima kasih sama kamu. Buatku, mau kamu kayak gimana pun, kamu itu baik, baik, baik banget!"

Adrian memutar bola mata dan bergerak untuk menuju ke pintu. "Kalau capek, tidur aja sana. Jangan nyusahin orang dengan harus urus kamu di sini. Dan satu hal yang perlu kamu ingat!"

"Apa?"

"Kita bukan teman. Sama sekali bukan teman!"

"K-Kenapa?"

"Karena kamu adalah orang yang nggak pantas dijadikan teman."

BLAM! Pintu ditutup dengan kasar, hingga membuat Nadine melompat kaget. Diam, juga hanya bisa menatap kosong pada pintu kamar yang sudah tertutup di sana. Menghela napas, Nadine melepas topi, dilanjutkan sepatu dan kaus kaki, lalu melemparkan pandangan ke sekeliling kamar. Sudah saatnya untuk beristirahat.

Berada di dalam rumah Adrian, sudah bertemu dengannya, dan melihatnya baik-baik saja. Kesemua itu adalah hal yang patut disyukuri oleh Nadine. Sama sekali tidak tersinggung dengan sikap dingin yang diberikan Adrian padanya, karena itu memang pantas dilakukan olehnya.

Setelah mematikan semua lampu yang ada di kamar, Nadine merebahkan diri di ranjang, menarik selimut hingga batas kepala, dan memejamkan mata. Tidak membutuhkan waktu lama, Nadine sudah tertidur dan lelap begitu saja.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Pagi semuanya 💜
Harusnya aku update semalam, tapi apa daya kalau aku ketiduran sampe pagi 😅

Bahagia selalu, jaga kesehatan, dan lindungi diri dengan memakai masker dan cuci tangan ya.

I purple you 💜


21.01.21 (09.10 AM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top