PART. 18 - ALL YOURS

Selamat malam.
Weekend telah usai dan besok weekday, yeah!

Siapa disini yang seneng kalau besok udah weekday kek aku?
Keknya gak ada ya hahaha 🤣

Happy Reading ya 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷




Setelah menyelesaikan urusan imigrasi dan bagasi, Adrian segera berjalan menuju ke pintu kedatangan. Bersama dengan seorang asisten, Adrian diarahkan untuk menuju pada seorang supir pribadi yang sudah menunggu dan sigap untuk mengambil alih bagasi mereka.

Asisten langsung membacakan agenda pekerjaan saat mereka sudah berada di dalam mobil dan keluar meninggalkan area bandara. Tidak ada yang mengetahui kepulangannya ke Jakarta hari ini, bahkan Nadine pun tidak. Hal itu dikarenakan Adrian enggan untuk memberi tahu siapapun karena penatnya pikiran dan rasa tidak senangnya.

Ada rasa tidak puas dalam diri sejak Nadine kembali, dan entah itu apa. Hubungannya terasa hambar, meski Nadine masih bersikap sebagaimana diri seorang Nadine padanya, tapi tidak bagi Adrian. Dia merasa berbeda, juga tidak memiliki kasih sayang sebesar dulu. Bukan benci, juga sama sekali tidak dendam, hanya saja hampa. Itu saja.

"Yono, antar saya ke kantor Pak Gordon sekarang juga," perintah Adrian dengan nada malas.

"Baik, Pak," balas supirnya lugas.

"Tapi, Pak, untuk..."

"Saya mau semua jadwal hari ini dibatalkan dan diundur besok saja," sela Adrian sambil menatap tajam asistennya yang duduk di kursi depan.

"Baik," balasnya pelan.

Tidak pernah bersikap sinis atau tegas dengan para staf, bahkan Adrian termasuk yang paling ramah diantara para petinggi, dan mungkin saja kali ini adalah hal yang tidak pernah disangka oleh mereka terhadap perubahan Adrian. Entahlah. Adrian sendiri merasa tidak nyaman dengan apa yang terjadi dalam dirinya saat ini.

Merasa marah, tapi tidak memiliki alasan. Penuh pertanyaan, tapi tidak memiliki jawaban. Apa yang terjadi di sekelilingnya penuh kepalsuan dan drama yang tidak disukai Adrian. Namun saat sudah mendarat di Jakarta, hal utama yang sangat ingin dilakukan adalah segera menemui Nadine terkait dirinya yang tidak menceritakan tentang pria sialan yang menjadi mentornya.

Meski Adrian sudah tahu, tapi dia menunggu Nadine untuk mengatakan hal itu padanya, tapi nihil. Wanita itu bersikap biasa saja setiap kali mereka melakukan telepon dan chat, bahkan seringkali Adrian menyinggung tentang pekerjaan, Nadine tetap bersikap biasa saja.

Sejam kemudian, Adrian tiba di kantor pengacara keluarganya, dan segera keluar dari mobil. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil sedan berwarna merah datang dan berhenti tepat di belakang mobil Adrian.

Memasukkan dua tangan ke dalam saku celana, Adrian menatap mobil sedan itu dengan satu alis terangkat, lalu memperhatikan Nadine yang keluar dari kursi depan dan berlari kecil ke sisi mobil untuk melihat Adrian dengan ekspresi terkejut disana.

"I-Ian," panggil Nadine dengan nada tidak percaya.

Panggilan Nadine tidak dibalas karena tatapan Adrian kini tertuju pada Juno yang baru saja keluar dari kursi kemudi dengan santai. Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, bahkan terkesan dingin dan tidak suka.

"IAN! Kamu pulang kok nggak bilang-bilang!" seru Nadine setelah memastikan jika dia tidak salah lihat, dan segera berlari untuk memeluk Adrian yang begitu menjulang tinggi.

Nadine melompat-lompat untuk menggapai Adrian, dan dia membungkuk agar wanita itu bisa merangkul bahu dan memeluknya erat sambil menyerukan aksi protes berupa ocehan yang tidak diperlukan, disusul isakan pelan sambil bergumam kemudian.

"Surprise," bisik Adrian sambil mengeratkan pelukan, tapi tatapannya masih menatap Juno tajam.

Nadine menjauh tanpa melepas pelukan untuk menatap Adrian cemberut. "Yah nggak gini juga kalau surprise, kamu bisa bikin aku jantungan."

Adrian menunduk dan menatap Nadine sambil tersenyum setengah. "Why? Takut ketahuan sama aku kalau kamu nggak jujur tentang satu hal?"

Seperti mengerti dengan maksud Adrian, Nadine mengerjap cepat dan bungkam seketika. Dia menoleh ke belakang sambil melepas pelukan, lalu memanggil Juno untuk memperkenalkannya pada Adrian.

"Juno, ini Adrian," ucap Nadine sambil menunjuk Adrian, lalu menoleh padanya sambil menunjuk Juno. "Ian, ini Juno, mentorku selama papa nggak di Jakarta."

Baik Adrian dan Juno saling bertatapan. Mereka saling bertukar ekspresi dingin dan tidak senang. Melihat keduanya yang tidak memiliki inisiatif untuk bersalaman atau sekedar tegur sapa, Nadine berdeham pelan dan berbalik untuk menatap Juno.

"Aku balik dulu ya, thanks buat pelajaran hari ini," ujar Nadine kemudian.

Adrian memutar bola mata dan merasa semakin tidak suka. Dia sudah bisa melihat kedekatan diantara keduanya yang sudah membuatnya naik pitam.

"Sure, jangan lupa besok pagi kita ada sidang yang harus dihadiri," balas Juno sambil memberikan senyum hangat.

Nadine mengangguk dan berbalik untuk menghadap Adrian sekarang. "Kamu kesini pasti buat jemput aku, kan? Kalau gitu, ayo kita jalan."

Bergeming, lalu melirik pada Juno yang masih memberi ekspresi tak berarti, dan kembali pada Nadine yang sepertinya terlihat tidak nyaman. Adrian tidak membalas ucapan Nadine dan hanya membukakan pintu belakang.

"Masuk," ucap Adrian sambil mengarahkan dagu ke mobil pada Nadine. "Aku mau ngomong sama Juno sebentar."

Nadine tersentak dan langsung menggeleng, "Ian, kalau kamu pikir..."

"Masuk!" sela Adrian tegas dan sukses membuat Nadine terdiam.

"It's okay, Nadine, nggak akan ada apa-apa," ujar Juno menenangkan dan membuat Nadine menoleh padanya.

Adrian mendengus pelan melihat bagaimana keduanya bertukar tatapan, lalu Nadine mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil tanpa berkata apapun. Shit!

"Gue pikir malam itu, gue salah lihat, tapi ternyata emang bener," celetuk Juno saat pintu mobil sudah ditutup.

Tersenyum sinis, Adrian menatap Juno tajam. "Apa tujuan lu masuk ke advokat ini? Dan apa maksud lu untuk jadi tim Gordon Wirawan?"

"Simple," jawab Juno langsung. "Gue pengen tahu cara kerja orang itu yang bisa ngebela satu geng bajingan manja yang tahunya main belakang."

Satu alis Adrian terangkat, masih tetap dengan ekspresi datarnya dan tatapan yang semakin tajam. Sama sekali tidak menyukai dengan informasi terbaru yang didapatinya tentang seorang Junolio Mananta, bahwa pria sialan itu memiliki hubungan keluarga dengan Ethan Natalegawa, seorang bajingan yang pernah mengerjai Lea beberapa waktu lalu.

"Lalu apa tujuan lu sebenarnya? Mau cari cara untuk membela sepupu brengsek lu itu dengan balas dendam pada kami?" desis Adrian dingin.

Juno tersenyum hambar. "Gue bukan orang cupu dan manja kayak kalian."

Adrian memicingkan mata dan menatap Juno tidak suka. Kedua tangan sudah terkepal erat di sisi tubuh untuk menahan diri agar tidak bertindak lebih jauh, terlebih lagi dengan ekspresi tengil yang diberikan Juno padanya.

"Satu hal yang perlu lu tahu," ucap Adrian dengan penuh penekanan. "Jangan pernah menyentuh Om Gordon, juga Nadine. Gue nggak akan segan-segan untuk bertindak lebih parah dari apa yang bisa diterima oleh sepupu lu."

"Merasa punya kuasa dan segalanya untuk jadi preman, Dude? Sorry not sorry, but I don't care. Gue nggak peduli dengan ancaman lu barusan," balas Juno sambil menyilangkan tangan dan tampak begitu santai seolah tidak mendengar apa-apa.

"Gue bersumpah kalau barusan itu bukan ancaman, tapi peringatan," balas Adrian.

"Dan gue nggak takut sama sekali," sahut Juno lugas.

Adrian hendak membalas, tapi seruan Nadine yang sudah membuka kaca mobil menghentikannya.

"Ian, ayo kita pulang," seru Nadine yang membuat kedua pria itu menoleh padanya.

Nadine menoleh pada Juno dengan tatapan tegas. "Balik ke kantor dan kita akan bicara besok."

Juno melengos sambil menunjuk Adrian tanpa mengalihkan tatapan dari Nadine. "Is he your boyfriend? Seriously?"

"Harusnya siapa?" celetuk Adrian yang membuat Juno langsung menoleh padanya dengan tengil.

"Harusnya cowok yang bisa ngebahagiain cewek lucu kayak dia," balas Juno tanpa ragu.

Shit, maki Adrian dalam hati. Masih berusaha menahan diri, Adrian hendak membalasnya tapi Juno sudah mengangkat kedua tangan sambil berjalan mundur.

"Fine, fine, gue cabut dulu. Nggak enak kalau udah nyita perhatian pacar yang cemburuan karena baru pulang tapi ceweknya jalan sama orang lain," tukas Juno dengan nada mengejek.

"Juno!" tegur Nadine keras, tapi justru membuat Juno terkekeh geli, dan segera berbalik untuk meninggalkan mereka dengan masuk ke dalam lobby.

Masih bergeming, Adrian semakin tidak suka dengan perasaan yang membuatnya semakin tidak nyaman seperti ini. Dia bisa melihat kedekatan keduanya dengan memberi pengertian satu sama lain lewat sikap seperti barusan.

Semakin merasa tidak suka, Adrian membuka pintu mobil dan duduk di samping Nadine, lalu menekan tombol yang ada di sisi pintu untuk menutup bagian depan agar supir dan asisten pribadinya tidak bisa mendengar percakapannya dengan Nadine.

"Jadi, kamu yang udah janji sama aku untuk nggak ketemuan sama Juno, tapi nggak jujur soal Juno yang jadi mentor kamu selama magang?" tanya Adrian tanpa basa basi.

Nadine menghela napas dan menatap Adrian masam. "Dilihat dari kamu yang nggak mencak-mencak pas ketemu sama Juno, aku berasumsi kalau kamu udah tahu."

"Gitu? Jadi kamu berasumsi aku udah tahu dari aku yang nggak mencak-mencak pas ngeliat Juno?" balas Adrian ketus.

"Aku bingung cara sampeinnya, okay? Aku juga sama kagetnya kayak kamu pas liat Juno adalah anak bimbingnya Papa, dan nggak bisa ngapa-ngapain selain cari waktu yang tepat untuk bahas soal ini ke kamu," sahut Nadine.

"Oh yeah? Waktu yang tepat? Kayak hari ini yang langsung kepergok sama aku gitu?"

"Aku sama sekali nggak kepikiran soal kamu yang bakalan tiba-tiba nongol kayak tadi. Juga, kamu nggak kasih tahu kalau pulang Jakarta hari ini."

"Kalau aku kasih tahu, kamu pasti akan mengelak."

"Alasannya apa aku mengelak?"

"Contohnya kayak gini, kamu malah lebih ngeselin."

"Ya, kamu yang nyebelin. Orang baru ketemu, sama-sama kaget, tapi marah-marah."

Adrian tidak menyangka jika Nadine akan menjadi orang yang bisa membela diri dengan terus memberi balasan padanya. Setahunya, Nadine bukan tipikal wanita seperti itu. Seharusnya, Adrian senang dan bangga dengan perubahan diri Nadine yang lebih tegas dan lugas, tapi entah kenapa dia semakin tidak suka karena Nadine melawannya oleh karena pria sialan itu.

"Kamu ngelawan aku?" tanya Adrian.

"Aku nggak ngelawan kamu, tapi cuma jelasin. Kalau penjelasan aku dianggap sebagai bentuk perlawanan, ya sori aja, mungkin kamunya yang berlebihan dalam menilai masalah ini," jawab Nadine ketus.

Adrian tidak lagi membalas, melainkan hanya menatap Nadine dengan tatapan tidak percaya, lalu menghela napas dan membuang tatapan ke arah jendela. Tidak bertemu dalam waktu yang lama membuat Nadine begitu berubah sampai dirinya tidak mengenal sama sekali.

Nadine beringsut mendekat lalu memeluk lengannya sambil merebahkan kepala di bahu. "Aku minta maaf udah bikin kamu marah, aku nggak ada niat buat bohongin kamu. Aku juga kaget kamu pulang, tapi aku seneng kalau bisa lihat kamu sekarang."

Adrian menoleh dan menunduk untuk menatap Nadine yang kini sudah mengangkat tatapannya agar bisa saling menatap satu sama lain.

"Aku nggak suka dibohongi, apalagi nggak dikasih tahu sesuatu yang aku seharusnya tahu," ujar Adrian dengan pelan, namun penuh penekanan.

"Aku tahu," balas Nadine sambil mengangguk. "Maaf ya, nggak akan terjadi lagi."

Adrian menatap Nadine dengan seksama, melihat kesungguhan dari ekspresi wajahnya, dan mengenali sifat manja yang familiar terjadi saat ini. Pelukan erat di lengan, sepasang mata coklat yang bersinar, dan bibir yang merengut gemas di sana.

"Kamu dihukum," ucap Adrian akhirnya, lalu membelai sisi wajah Nadine sambil memiringkan kepala, dan mencium bibir Nadine dengan dalam.

Ciuman dilakukan dalam hisapan dan lumatan yang cukup keras, bahkan Adrian sampai menggigit bibir bawah Nadine dengan gemas. Bukan ciuman penuh hasrat yang dilakukannya, melainkan luapan amarah yang sedaritadi tertahan, hingga Nadine sempat mengeluh pelan.

Adrian menghentikan ciuman setelah beberapa saat, lalu menatap ekspresi Nadine yang tampak bingung dan sedih di saat bersamaan. Bisa dipastikan perasaan tidak nyaman itu bukan kerinduan yang dirasakan Adrian saat ini, melainkan rasa tidak suka karena Nadine tidak jujur dan menyembunyikan hal ini.

"Mulai hari ini, kamu akan aku anter jemput, dan aku nggak terima alasan apapun," ujar Adrian dengan suara tercekat.

Nadine mengerjap pelan, lalu menaruh satu tangan tepat di dada Adrian yang bergemuruh kencang. "Apa dengan lakuin itu, kamu merasa tenang dan puas?"

Adrian mengangguk tanpa ragu, dan Nadine memberi senyuman yang lebar meski kedua pipinya memerah. "Okay, aku akan ikutin apa maunya kamu, selama itu bisa buat kamu merasa tenang."

Lagi, perasaan Adrian semakin tidak suka dengan balasan seperti itu.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Iya, aku tahu Adrian nyebelin, emang sengaja banget dibikin kek gitu. 🤣
Aku udah lama banget membayangkan ide revisi ini dan aku nyesek, Genks.
Keknya ngeselin banget gitu.

Juno, mailop.
Si songong kesayanganku yang bakalan jadi kampret juga.
Meski gitu, aku tetep sayang. 🤣

Si Tuan Muda yang lagi ngegas mulu tapi gemes banget. 💜

23.01.21 (22.10 PM)





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top