PART. 17 - REALIZED
Halo, pakabar?
Aku usahakan update semampunya karena duta sangat sibuk.
Juga beberapa alasan pribadi yang bikin mood aku tuh naik turun.
Kamu bahagia selalu ya.
Happy reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Emangnya kita perlu banget duduk disini sampe kelar? Atau emang nggak ada kasus yang lebih penting selain sidang cerai kayak gini?" bisik Nadine dengan nada suara yang hanya bisa didengar oleh Juno.
Juno menoleh dan mendapati gadis cantik yang sudah dibimbingnya selama tiga hari ini masih menatap ke depan dengan ekspresi jenuh. Hal itu spontan membuat Juno tersenyum karena gadis itu terlihat semakin menggemaskan.
Sebagai seorang pemula, Nadine termasuk cerdas dan mampu menjawab semua pertanyaan Juno tanpa cela. Meski begitu, Juno tidak akan memberi pujian, tapi justru mencari celah untuk kesalahan yang bisa dicarinya. Nyatanya? Belum ada.
Oleh karena itu, untuk kebersamaan yang terasa menyenangkan saat bersama Nadine, Juno mengajaknya untuk melihat persidangan di pengadilan agama yang tidak seberapa jauh dari kantor mereka untuk mengikuti proses sidang perceraian yang membosankan.
"Belajar dari hal kecil, dimulai dari sidang perceraian," jawab Juna dengan nada berbisik, dan itu membuat Nadine segera menoleh padanya.
Sepasang mata coklat yang tampak begitu jernih itu membuat Juno semakin terpikat. Juno sangat menyukai wanita dengan tatapan cerdas seperti itu. Meski mungil, Nadine terlihat kuat dan pantang menyerah. Sama sekali bukan sosok cengeng yang sangat dibenci oleh Juno, yang langsung membuatnya teringat tentang sosok itu.
"Aku tahu, tapi ini sama sekali nggak bagus buat mentalku," ucap Nadine dengan nada mengeluh. "Don't you see? Interupsi sana sini, palu udah diketok nggak tahu berapa kali, dan udah jelas-jelas mereka nggak bisa disatuin lagi."
"So?" balas Juno dengan satu alis terangkat.
"So, aku nggak niat jadi pengacara yang urus sidang cerai, tapi buat membela kamu lemah yang diperlakuin nggak adil," sahut Nadine.
"Emangnya yang jadi istri diperlakukan adil di sana?" tanya Juno sambil mengarahkan dagu ke arah sidang di depan sana.
Nadine bungkam.
"Apapun yang kita kerjakan, atau apa yang menjadi keputusan kita untuk hidup, itu bukan berdasar dari apa yang menjadi minat kita. Meski kamu nggak suka dengan perceraian, tapi adanya hal itu sudah pasti ada alasan kuat. Contohnya kayak gini, istri mengalami tindakan kekerasan, dikhianati oleh suaminya, dan difitnah sudah mencelakakan suami kurang ajar kayak gitu. Apa kayak gitu harus dipertahankan? Apa dia diperlakukan adil? Dan apakah dia nggak lemah dalam kondisi seperti itu?" tukas Juno santai sambil bersandar dan menyilangkan kaki dengan posisi mengarah pada Nadine yang masih bungkam.
Cukup lama Nadine bergeming, lalu akhirnya menghela napas dan mengangguk sebagai jawaban. Senyuman Juno kembali mengembang dan cukup senang dengan respon positif yang diberikan Nadine. Umumnya, anak ingusan yang baru mau lulus akan memberikan pembelaan diri untuk menutupi kesalahan karena ego yang masih terlalu tinggi. Tapi Nadine? Juno kembali harus mengakui jika putri dari mentor yang dihormatinya memiliki karakter yang langka seperti itu.
"Sabar, yah, sebentar lagi sidangnya juga kelar," ucap Juno kemudian.
Nadine menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Aku lebih suka kalau kamu pegang kamera ketimbang seriusan kayak gini."
"Maksudnya lebih keren?" balas Juno sambil terkekeh pelan.
Nadine tersenyum. "Kamu keliatan serius banget soalnya. Terus tampilannya juga kayak bapak-bapak banget."
Juno membetulkan posisi duduk, lalu bergeser sedikit untuk lebih dekat dengan Nadine agar tidak menimbulkan keberisikan yang tidak diinginkan karena mereka sudah lebih asyik mengobrol daripada memantau progress sidang.
"Aku punya batasan soal privacy dan kerjaan, juga nggak tanggung-tanggung," ucap Juno.
Nadine mengerutkan kening dan menatap Juno dengan seksama. "Why? Haruskah jadi berbeda dalam hal ini?"
"For me, yes. Biar orang nggak ngenalin aku juga kalau lagi nggak kerja," balas Juno santai.
"Apa jadi pengacara itu adalah impian kamu?" tanya Nadine kemudian.
Juno terdiam sejenak, bahkan cukup lama untuk berpikir, kemudian tersenyum saja. "Demi supaya bisa beli pulau."
"Pulau?" tanya Nadine bingung.
"Yes," jawab Juno geli melihat ekspresi Nadine yang semakin bingung.
"Emangnya gaji pengacara gede banget buat kamu beli pulau ya?" tanya Nadine polos dan itu membuat Juno berusaha keras untuk menahan tawa.
Setelah menarik napas untuk menahan kegelian, Juno melumat bibir sambil mengangguk mantap. "Bukan soal gaji, tapi demi pulau yang aku mau."
Nadine mengerjap cepat, lalu ber-oh ria sambil mengangguk. "Taruhan sama papa kamu gitu ya?"
Apakah Juno sudah bilang tentang betapa cerdasnya wanita itu? Jika sudah, Juno akan mengatakan hal itu kembali. Nadine begitu cerdas.
"Pada intinya, aku nggak suka dengan ketidakadilan, apalagi kalau orang yang merasa punya kuasa untuk bermain dengan hukum," tukas Juno mantap, kali ini dengan ekspresi serius.
Nadine mengangguk dan menepuk ringan sisi lengan Juno. "Sekarang aku nggak heran kenapa Papa bisa bilang kalau kamu adalah anak mentor terbaiknya."
Alis Juno terangkat mendengar hal yang baru diketahuinya. "Really?"
"Yes," jawab Nadine lugas. "Aku setuju sama omongannya."
Ketukan palu membuat keduanya tersentak dan spontan menoleh ke proses persidangan yang ada di depan sana. Sepertinya sudah selesai dan berakhir seturut dengan apa yang diprediksi Juno. Bercerai, dan pihak suami dipidanakan dengan tuntutan pasal kekerasan selama beberapa waktu, juga membayar sejumlah denda.
"Bagus! Emang kalau cowok kampret harus banget dihukum karena beraninya sama perempuan!" sewot Nadine dengan suara bergumam.
Juno menoleh dan terkekeh. "Katanya nggak suka kalau ada yang cerai."
Nadine melebarkan cengiran dan memukul ringan bahunya. "Jangan gitu dong, kan masih newbie."
Juno tertawa dan menggeleng pelan. Dia beranjak dan diikuti Nadine untuk segera meninggalkan ruangan sidang, dan sebelumnya bertegur sapa dengan rekan kuasa hukum yang dikenalnya di sana.
"So, kamu mau makan apa? Aku traktir!" seru Nadine saat mereka sudah duduk berdampingan di dalam mobil.
"Ada event apa kamu mau traktir?" tanya Juno sambil menyalakan mesin.
"Karena udah ngajakin ngobrol pas sidang tadi," jawab Nadine ceria.
Juno tertawa lagi. Entah sudah berapa lama dirinya tidak pernah mendapatkan kenyamanan saat bersama dengan orang lain. Bersama dengan Nadine, semuanya terasa menyenangkan.
"Aku yang traktir, tapi kamu yang pilih mau makan dimana," putus Juno kemudian.
Nadine menoleh kaget. "Kok jadi aku yang nentuin trus kamu yang traktir?"
"Soalnya aku bosen liat kamu makan bekal dari rumah. Trus isiannya cuma sayuran, ayam rebus, nasi merah gitu. Lagi diet atau gimana? Badan kamu udah ideal banget kok, nggak ada yang perlu dikurusin lagi. Gemukin dikit lagi malah iya," komentar Juno sambil melirik singkat dan melajukan kemudi.
"Aku nggak diet, cuma jalanin hidup sehat," ujar Nadine kemudian.
Juno memutar bola mata dan melirik kembali pada Nadine. "Jadi kamu niatnya mau traktir, cuma aku yang makan dan kamu pelototin orang makan gitu?"
"Nggak gitu," kekeh Nadine geli. "Aku tetep makan bekal, nanti liat menu yang bisa aku pesen buat tambahan."
"Okay, deal! Tapi aku yang bayar," balas Juno tegas.
"Ih, kan aku yang ngomong traktir duluan!"
"Tapi kamu tetep makan bekal, ya sama aja bo'ong."
"Aku makan kok."
"Iya, tapi makan bekal."
"Nanti pesen yang lain."
"Nope! Tetep aku yang bayar. Kamu bayarnya nanti aja kalau lagi nggak bawa bekal."
"Curang!"
Juno menikmati bagaimana sikap cemberut Nadine yang begitu menggemaskan. Wanita itu terus menggerutu dalam suara bergumam, bahkan sempat menghentakkan kaki dengan pelan sebagai respon tidak sukanya.
Di hari itu, Juno mengetahui satu hal yang sudah dirasakannya sejak pertama kali bertemu dengan Nadine.
Juno menyukainya. Sangat.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Gemes ya 🤣
Aku tuh suka banget bikin part yang sayang2an, gemes2an kek gini.
Simple aja, karena aku kurang disayang 🙃
Curhat kan jadinya? Hahahaha
Borahae, Yeorobun. 💜
Oh, Juno, mailop! 😘
10.01.22 (22.15 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top