PART. 16 - REUNION

Iya, tahu, ini tahun baru.
Yang artinya kudu rajin yega? 🤣

Selamat malam, semuanyaaaaa...💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



"Papa percaya kalau kamu bisa menjalani proses magang ini dengan baik," ucap Gordon lugas.

Nadine hanya mengangguk dan mengembuskan napas pelan sambil menatap ke luar jendela. Sudah seminggu berada di Jakarta, dan kini Nadine akan menjalani hari pertamanya di kantor ayahnya selama beberapa bulan kedepan.

Memiliki seorang ayah yang hebat dalam bidangnya, Nadine sudah merasakan adanya tekanan sebelum memulai. Selain dikagumi dan disegani, tentu saja ada banyak harapan yang tertuju untuk menyamai posisi ayahnya itu.

Mobil sudah memasuki area perkantoran dan berhenti tepat di depan sebuah gedung terbesar diantara yang lain. Nadine bergegas keluar saat pintu belakang sudah dibukakan. Merasa tidak nyaman, setiap perhatian tertuju padanya. Tentu saja karena dirinya datang bersama dengan ayahnya, Gordon Wirawan, pimpinan yang hanya datang jika ada rapat penting saja.

Semua memberi salam hormat saat menyambut kedatangan mereka. Nadine tidak suka menjadi pusat perhatian, dan sedaritadi sudah merasa gelisah. Tidak ada ucapan selain anggukan kepala dan senyuman yang dipaksakan.

"Kamu akan dibimbing oleh salah satu orang terbaik Papa," ucap Gordon saat mereka sudah berada di dalam lift khusus.

"Loh, bukannya Papa yang mentorin aku?" tanya Nadine kaget.

"Harusnya begitu, tapi Papa sedang pegang kasus besar di Surabaya, dan tidak ada waktu untuk mentorin kamu selama beberapa minggu ini," jawab Gordon dengan ekspresi menyesal.

"Tapi aku maunya dimentorin sama Papa," ucap Nadine pelan.

Gordon tersenyum dan merangkul bahu Nadine dengan lembut. "I know, Baby. Kalau Papa udah selesai, gantian Papa yang akan mentorin kamu langsung. Sementara ini, kamu sama yang lain dulu yah."

Pintu lift terbuka, dan mereka segera melangkah keluar untuk memasuki sebuah ruangan kerja. Sudah cukup lama Nadine tidak berkunjung ke kantor ayahnya. Dulu, setiap setahun sekali, Nadine akan berkunjung ke kantor ayahnya untuk sekedar melihat-lihat dan bertegur sapa dengan para staff.

Tidak ada yang berubah dengan ruangan luas yang tidak banyak memiliki perlengkapan selain meja kerja, kursi besar, sofa set, dan rak kaca yang terpajang beberapa penghargaan di sana. Bahkan, untuk foto keluarga atau lukisan pun tidak ada. Hal itu dikarenakan ayahnya tidak sering menempati ruang kerja itu, dan lebih sering pergi ke dalam atau luar negri untuk menjalani pekerjaannya.

"Jadi, Papa dengar kalau kamu mulai pacaran dengan Adrian?" tanya Gordon sambil mengempaskan tubuh di kursi kebesarannya.

Nadine tidak langsung menjawab dan mengambil duduk di salah satu kursi kosong yang ada di depan meja kerja ayahnya. Berpikir tentang bagaimana ayahnya bisa mengetahui tentang hubungannya dengan Adrian, sebab dirinya belum menceritakan hal itu sama sekali padanya.

"Papa tahu darimana?" tanya Nadine akhirnya.

Gordon hanya mengangkat bahu. "Terlihat dari ekspresi muka kamu yang kelihatan udah punya pacar."

Nadine mengerjap cepat sambil menatap Gordon tidak percaya. "Ekspresi muka aku kayak gimana?"

Gordon menaruh kedua siku di atas meja dan menopang dagu dengan kedua tangan yang terkepal. "Anak Papa sumringah terus dan sibuk video call tiap jam."

Tertegun, lalu Nadine segera menggelengkan kepala sebagai respon spontan untuk ucapan ayahnya barusan. "Aku nggak tiap jam video call kok, terus juga nggak sumringah terus."

"Berarti bener kalau kamu udah pacaran sama Adrian?" tebak Gordon yang membuat Nadine tersentak karena baru menyadari jika dia masuk dalam jebakan ayahnya dengan mudah.

"Kalau udah tahu, ngapain pake nanya?" celetuk Nadine cemberut.

Gordon tertawa pelan. "Yah lebih suka kalau denger jawabannya dari kamu langsung."

"Ya gitu deh," balas Nadine malas.

Ekspresi Gordon berubah menjadi serius dan menatap Nadine tajam. "Apa yang bikin kamu mau jalin hubungan dengan Adrian dalam waktu yang singkat, Nak?"

"Kenapa? Papa nggak setuju kalau aku sama Ian?" tanya Nadine langsung.

"Bukan seperti itu," sahut Gordon sambil menggeleng cepat. "Itu waktu yang sangat singkat untuk memutuskan berpacaran dengan orang yang baru saja kamu temui, Sayang."

"Dia itu temen lama yang udah kayak saudara, Pa. Meski udah nggak ketemuan selama tiga tahun, bukan berarti kita..."

"Sudah berbeda!" sela Gordon tegas. "Time flies. People change."

"So do you," tambah Nadine getir.

Gordon dan Nadine sama-sama terdiam untuk menatap satu sama lain, sama-sama memiliki arti namun berbeda. Banyak hal yang sudah terlewati, Nadine tahu apa yang akan diterimanya saat bertemu dengan Adrian. Perubahan tidak hanya pada orang lain, melainkan diri sendiri. Semuanya tidak lagi sama, juga tidak akan seperti semula, Nadine tahu jelas soal itu. Tapi satu hal yang pasti bahwa dia tidak akan pergi seperti saat itu.

"Apa kamu nggak curiga kalau Adrian punya maksud untuk deketin kamu?" tanya Gordon kemudian.

"Dari sejak ketemu sama aku, Ian udah curigaan terus, bahkan sinis sama aku," jawab Nadine.

"Lalu apa yang bikin kamu mau jadi pacarnya, Nadine?" tanay Gordon lagi.

Nadine tersenyum hambar. "Jaminan buat Ian supaya percaya kalau aku nggak bakalan pergi lagi."

"Dengarkan Papa, Nadine," tegas Gordon dengan ekspresi serius. "Kamu nggak perlu kasih jaminan apapun untuk dia karena apa yang sudah kamu lakukan sudah lebih dari cukup!"

"Tapi..."

Ucapan Nadine terhenti saat pintu ruangan itu terdengar diketuk. Keduanya sama-sama menoleh ke arah pintu, disusul seruan masuk dari Gordon. Pintu itu terbuka dan tampak seorang pria dengan setelan resmi muncul dari sana.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Nadine menahan napas saat melihat sosok pria yang masih berdiri di ambang pintu, tampak melihat ke arahnya dengan ekspresi terkejut yang sama. Shit!

"Oh, kamu sudah tiba," ujar Gordon sambil beranjak dari kursi dan mempersilakannya untuk masuk. "Perkenalkan, ini adalah anak saya yang akan memulai intern-nya selama enam bulan. Saya minta kamu untuk membimbingnya selama saya nggak ada di sini. Namanya Nadine."

Tersentak, Nadine mengerjap cepat saat Gordon sudah tiba di sisi kursi yang didudukinya, meraih lengannya agar berdiri berdampingan, bertepatan dengan pria itu yang sudah berjalan masuk dan berhenti tepat di hadapan keduanya.

"Nadine, ini adalah orang kepercayaan Papa yang akan mentoring kamu selama Papa dinas keluar kota," ujar Gordon sambil mengenalkan orang itu pada Nadine dengan lugas. "Namanya Junolio Mananta, kamu bisa belajar banyak darinya."

Baik Juno ataupun Nadine masih berdiam diri dan menatap bingung selama beberapa saat. Tak lama kemudian, Juno yang berinisiatif lebih dulu untuk mengambil satu langkah ke depan sambil mengulurkan tangannya.

"Juno," ucapnya sambil tersenyum.

Nadine mengulurkan tangan dengan ragu dan menjabat tangan Juno. "N-Nadine."

"Selamat bergabung di tempat ini," balas Juno sambil meremas lembut tangan Nadine yang sedang berjabatan dengannya.

Nadine mengangguk sebagai balasan sambil menarik tangan untuk melepas jabatan tangan itu. Merasa tidak nyaman dengan suasana hatinya saat ini. Sungguh konyol jika mendapati dunia begitu kecil sekarang. Satu-satunya orang yang harus dihindari dan menjadi peringatan dari Adrian, justru dipertemukan dalam keadaan yang tidak bisa dihindari.

"Juno adalah pengacara muda yang sangat berkualitas. Kedepannya akan menjadi seorang pengacara yang hebat," ujar Gordon dengan nada bangga.

"No, Sir, saya masih perlu banyak belajar," balas Juno merendah.

Gordon dan Juno mengobrol dalam beberapa bahasan mengenai bimbingan Nadine, dan hal itu adalah kesempatan baginya untuk memperhatikan penampilan Juno yang sangat berbeda dari terakhir kali melihatnya.

Pria itu menata rambutnya dengan begitu rapi dan tak bercela, sepertinya memakai bantuan gel atau spray agar terlihat licin. Memakai setelan jas warna hitam dengan kemeja putih di dalamnya, lengkap dengan dasi yang terlipat sempurna. Sama sekali tidak menyangka dengan profesi Juno yang tadinya Nadine berpikir jika pria itu bermain di bidang teknik atau industri.

"Alright, Nadine, kamu bisa ikut Juno sekarang. Papa harus urus kerjaan karena harus berangkat sore ini," tukas Gordon sambil merangkul bahunya dengan lembut.

"Mama ikut?" tanya Nadine dan Gordon menggeleng.

"Mama akan temenin kamu di sini," jawab Gordon dan segera memeluk Nadine dengan erat. "Be good, okay? You can do it."

Setelah mencium pipi Gorodn, Nadine mengikuti Juno untuk keluar dari ruang kerja ayahnya menuju ke ruangan lain. Ruang yang Nadine yakin adalah ruang kerja Juno yang tampak lebih kecil, namun rapi dan nyaman.

Saat mereka tiba di sana, baik Juno ataupun Nadine terlihat canggung satu sama lain. Terkesan bingung untuk memulai pembicaraan untuk sebuah pertemuan yang tak terduga seperti ini.

"Jujurly aku bingung harus ngomong apa sama kamu," ucap Juno kemudian.

Nadine mengangguk setuju.

"But I'm so happy to meet you again," tambah Juno sambil mengulas senyuman penuh arti.

Nadine ikut tersenyum. "Kita udah kenal karena hobi, sekarang ketemu karena kerjaan, bukan berarti kita harus santai. Jadi, professional aja ya."

Juno mengangguk setuju sambil menyilangkan tangan dan duduk di sisi meja tanpa mengalihkan tatapannya. "Sure, professional is a must. Walau aku nggak nyangka kalau cewek cute dan cheerful kayak kamu bakalan belajar hukum."

"The same like you. Anak fotografi umumnya main di IT, atau desain grafis," sahut Nadine.

"Aku pikir kamu malah jadi content creator, atau fashion stylist," ujar Juno sambil tertawa pelan.

"No, Im lack of fashion," ucap Nadine pelan.

Juno segera beranjak dan menuju ke kursinya setelah mempersilakan Nadine untuk duduk.

"So, how was your holiday? Katanya mau sebulanan di sana tapi kok udah balik ke sini?" tanya Juno sambil menyalakan laptopnya.

"Perubahan rencana," jawab Nadine sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "So, apa yang harus aku lakuin untuk hari pertama di sini?"

Juno mengangkat tatapan untuk bisa menatap Nadine. Ada rasa tidak nyaman dalam diri, seperti ada debaran asing yang mengencang dalam dada saat melihat tatapan Juno sekarang.

"Ada yang berbeda dari kamu," gumam Juno sambil menatapnya lebih intens.

Kening Nadine berkerut, lalu menunduk untuk melihat penampilannya sendiri. Dengan bantuan Lea, Nadine mendapatkan outfit kerja yang membalut pas di tubuhnya. Juga ada Cassandra yang membawanya untuk menggunting rambut dengan model yang pas di wajah, serta Miranda yang mengajarinya banyak hal dalam hal merias wajah.

"Kamu tambah cantik," tambah Juno mantap. "Dan aku suka."

Debaran asing itu menguat seiring dengan napas yang terasa lebih berat. Nadine tidak pernah mendapat pujian secara terbuka dari seorang lawan jenis seperti yang Juno lakukan, terlebih lagi dengan tatapan tajam dan tegas di sana.

"Kamu juga," balas Nadine tenang, dan bersorak dalam hati dengan ketenangan yang dikeluarkan meski tidak menentu dari dalam. "That suit, and everything."

Juno tersenyum setengah, lalu ekspresinya berubah menjadi serius dan terkesan mengintimidasi. "Kembali ke pertanyaan kamu tentang hari pertama, perlu aku infokan kalau aku bukan orang yang ramah dalam hal bekerja."

"Aku udah biasa sama orang yang bossy, keras kepala, dan control freak. So, it doesn't matter for me," balas Nadine kalem.

"Good!" tukas Juno sambil mengangguk. "Aku punya disiplin yang tinggi, dan jangan lupa kalau papa kamu yang mentorin aku, so cara kerja aku dengan beliau nggak beda jauh."

Kemudian, Juno beranjak dari kursi sambil merapikan jas, lalu menempati kursi kosong di samping Nadine, dan mengambil dua bundel dokumen yang berada di tumpakan teratas. Memperhatikannya dengan seksama, Nadine bisa melihat jika Juno tampak begitu serius saat membuka dokumen dan membaca dalam diam.

"Di sini ada berkas kasus baru, kamu bisa pelajari itu, dan kasih pendapat setelah jam makan siang," ucap Juno sambil menyerahkan dokumen yang tadi dibukanya.

"Hanya itu?" tanya Nadine dengan nada tidak percaya.

Juno menggeleng. "Kita akan lakukan sedikit eksperimen, juga permainan dalam intuisi. Sekedar trial sebelum benar-benar terjun lapangan."

Nadine mengangguk. "Ada lagi?"

"Sementara hanya itu," jawab Juno langsung. "Kamu bisa kerja di kubikel kosong yang ada di depan sana. Kalau ada yang nggak kamu ngerti, kamu boleh tanya tapi cukup sekali. Aku nggak terima pertanyaan lebih dari sekali, dan pastikan pertanyaan kamu itu berbobot."

Nadine mengangguk sambil melihat Juno yang sudah beranjak untuk duduk di kursi kebesarannya kembali. Dengan posisi yang sudah menghadap laptop, juga memakai kacamata minus, Juno menatap Nadine dengan ekspresi serius yang tidak menyenangkan.

"Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" tanya Juno dengan satu alis terangkat.

"Nggak," jawab Nadine sambil menggeleng.

"Kamu boleh pergi sekarang, dan jangan lupa tutup pintunya," ucap Juno tegas, lalu tatapannya kini fokus pada laptopnya, dan bersikap seolah tidak ada Nadine di sana.

Nadine mengembuskan napas lega dan segera beranjak dari kursi untuk keluar dari ruangan itu. Tidak ada yang perlu dicemaskan karena Juno bersikap biasa saja padanya, persis seperti apa yang dia pikirkan. Dengan senang hati, Nadine menempati satu meja kosong yang diarahkan Juno dan mulai mempelajari dokumen yang diberikan untuknya.

Setidaknya, hari pertama tidaklah seburuk perkiraannya.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Kita ngegas aja ya. 🤪
Mari kita buat sedikit keributan dengan konflik yang tidak diperlukan.

Jika kamu pembaca lama, aku adalah team Juno btw. (Sejak lama) 🤣
I dunno why, dari pertama bikin sampe udah jadi revisi, aku nggak into it sama Adrian.
Maybe karena bukan tipe cowokku yang lbh suka cowok kampret ketimbang pretty boy. 😅

Dasar cewek, sukanya cari gara2.
Giliran disakitin, bilangnya cowok yang salah, gak peka, blablabla, padahal emang sengaja nyemplungin diri sendiri.
Loh, kok curhat? Haha 😝


04.01.22 (22.00 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top