PART. 10 - TAKE TIME

It's been like forever, ya Lord. 😅

Hi, semuanya, mudah2an kalian masih inget Sheliu. 😂
Kita mulai dengan Anak Bungsu dulu ya, nanti yang lain menyusul.

It's good to be back here.
How are you? 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Setelah mengantarkan dokter pribadi yang datang memeriksa kondisi Nadine ke mobilnya, juga sudah memastikan Nadine sudah terlelap di kamar, Adrian menyandarkan tubuh di dinding sambil menatap taman belakang mansion yang dilengkapi kolam air mancur di sana.

Menengadah ke atas, Adrian menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan yang sedaritadi tertahan selama dirinya berada di dekat Nadine. Tidak menyangka jika dirinya akan lepas kendali dengan mencium Nadine begitu dalam dan liar. Bahkan, Adrian merasakan sensasi asing yang menjalar saat berciuman dengan Nadine.

What the hell was that? batinnya heran. Memiliki hubungan dekat dengan Nadine sejak lama, tidak pernah membuat Adrian sampai ingin melakukan hal yang melewati batas seperti tadi, meski Nadine selalu berterus terang jika menyukainya. Baginya, Nadine seperti seorang adik yang tidak pernah dimilikinya.

Tapi, sekarang? Crap! Adrian bahkan menginginkannya dengan ciuman penuh hasrat seperti tadi. Mengusap wajahnya dengan kasar, Adrian berusaha mengusir perasaan yang membuatnya merasa bersalah dan tidak nyaman. Juga, debaran jantung yang cepat membuatnya tidak percaya dengan sensasi yang masih terjadi saat ini.

Bermula dari seorang pria bernama Junolio yang sudah menyita perhatiannya, juga tidak menyukai bagaimana interaksi Nadine dengan pria itu. Kedekatan mereka yang terjadi hari ini membuat Adrian semakin tidak senang dan rasa ingin memilikinya bergejolsk tanpa alasan.

"What are you doing here, Mate?" terdengar suara Wayne dari balik pintu.

Segera menoleh, Adrian mendapati Wayne sedang menatapnya dengan satu alis terangkat. Terpergok berciuman oleh teman-temannya adalah hal paling memalukan, juga menyebalkan. Nadine langsung mendorongnya menjauh saat Christian dan yang lainnya, masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

"Nothing," jawab Adrian sambil menggeleng.

Kedua alis Wayne terangkat, menatapnya naik turun, lalu menghela napas, dan menepuk-nepuk bahunya untuk mengajaknya masuk ke dalam.

"Nothing means something. Mind to share? I have time if you want," ucap Wayne santai.

Berpikir sejenak, Wayne berbeda dengan Nathan dan Christian. Sosoknya yang tenang, membuatnya menjadi seseorang yang bisa dipercaya dan tidak banyak mulut. Bukan berarti yang lainnya suka mengumbar rahasia pribadi, bukan itu. Hanya saja, Wayne memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa dan matang diantara mereka. Juga, Wayne yang selalu menjadi penengah dan bersikap netral jika diantara mereka berselisih paham.

Keduanya berjalan menuju ke mini bar yang tidak jauh dari pantry. Wayne berinisiatif untuk duduk di salah satu kursi, sementara Adrian mengambil dua kaleng bir dari kulkas, lalu ikut bergabung dengan Wayne untuk duduk di sebelahnya.

"Just let it flow, Dri. Don't hold back or you'll get nothing," ucap Wayne sambil membuka segel bir, lalu meneguknya.

"What?" celetuk Adrian bingung.

Tersenyum miring, Wayne kini mengarahkan posisi duduk pada Adrian, lalu menatapnya dengan tatapan penuh penilaian. "Your face tells it all. Belajarlah dari Nathan dan Christian yang akhirnya kalah dengan sosok di masa lalu yang memberi kesan penuh arti. You can't resist her charm, Mate. I knew it since the first time you met her that day," ujar Wayne lugas.

Membuka segel bir, Adrian segera meneguknya cepat. Dalam hatinya, Adrian mencerna ucapan Wayne yang terdengar klise. Entahlah. Sebagian dirinya merasa jika Nadine menyembunyikan sesuatu dengan kedatangannya yang tiba-tiba, sebagian dirinya lagi merasa lega jika wanita itu baik-baik saja.

Ada banyak hal yang menjadi pertanyaan, bahkan Adrian sampai menghubungi ayahnya untuk meminta penjelasan. Sampai hari ini, orangtua itu menjadi sulit dihubungi, dan begitu sibuk dengan urusan pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh ribuan karyawannya. Nadine pernah berujar jika kedatangannya atas ijin dari ayah keduanya, yang berarti kedua orang itu mengetahui sesuatu.

"I kissed her," ucap Adrian akhirnya.

"There's nothing wrong with that," balas Wayne langsung.

Adrian menoleh pada Wayne dan menatapnya serius. "Deeply."

"So, what?"

"Also, passion."

Wayne terdiam sambil mengamati Adrian dengan seksama, tidak langsung membalasnya.

"Apa yang dia lakuin sampai lu semarah itu?" tanya Wayne akhirnya.

"What?" tanya Adrian kaget.

"Cowok yang lakuin ciuman pertama sama cewek yang dianggap spesial dengan liar, udah pasti ada masalah di situ. Antara lu cemburu, atau lu marah sama dia," jawab Wayne skeptis.

"H-How do you know that?" tanya Adrian lagi.

Tersenyum hambar, Wayne mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Ciuman kasar yang gue lakuin pertama kali sama Cassie adalah saat dia nggak sengaja ketemu sama mantan brengseknya. Itu pertama kalinya gue cemburu dan menganggap dia lebih."

Masih dengan rasa kagetnya, Adrian tidak membalas, melainkan meneguk bir dengan cepat, lalu kembali menoleh pada Wayne yang sedang terkekeh pelan di sana.

"Gue nggak terima waktu cowok yang namanya Juno cium Nadine," ujar Adrian mengakui.

"French kiss?" tebak Wayne lalu meneguk bir, dan Adrian langsung menggeleng.

"Di jidat," jawab Adrian yang langsung membuat Wayne tersedak mendengar jawabannya.

"What the hell you talked about! Cuma cium jidat langsung keki? Posesif amat lu!"

"Bukan posesif, tapi nggak ada akhlak. Baru kenal udah main cium, jaga sikap dong! Masa udah keliatan banget ngebetnya!" sewot Adrian.

Mengerjap tidak percaya, Wayne tertawa sambil menggelengkan kepala. "Okay, gue bisa asumsikan kalau lu cemburu, juga marah."

Adrian menghela napas. "Gue juga nggak tahu, Wayne. Gue beneran bingung."

"Fine, lets make it simple. What do you feel about her now?" tanya Wayne tegas.

"Gue sayang sama dia. Emang udah dari dulu kayak gitu. Dia udah kayak adek sendiri. Udah dianggap keluarga juga. Sama sekali nggak kepikiran untuk mikir lebih dari itu," jawab Adrian jujur.

Keduanya saling bertatapan dalam diam, seolah Wayne memberi waktu bagi Adrian untuk berpikir.

"Kalau kayak gitu, jadilah seorang Adrian yang dibutuhkan oleh seorang Nadine. Untuk jadi orang penting dalam hidup, nggak harus jadi pacar atau suami. Lu bisa jadi apa aja kayak yang lu sebut tadi. Keluarga. Dan, definisi keluarga itu luas, nggak melulu soal orangtua dengan anak, kakak dengan adik, semacam itu," ujar Wayne kemudian.

"Apa kebingungan yang gue rasain ini, bisa dikategorikan sebagai penolakan diri untuk pesona yang lu maksud di awal tadi?" tanya Adrian kemudian.

Wayne menggeleng. "No, lu hanya bersikap jujur saat ini, yaitu ragu dengan apa yang lu rasain. Take your time, Dri. Sambil mencari jawaban untuk kebingungan lu, jadilah orang yang dibutuhkan Nadine saat ini."

Ada kelegaan yang terasa saat mendengar ucapan Wayne yang menenangkan. Setidaknya, perasaannya mulai terasa ringan, juga tidak merasa bersalah atau panik seperti tadi. Mungkin benar jika dirinya perlu mencari jawaban yang pasti untuk keraguannya saat ini. Seperti apa yang Wayne katakan bahwa dirinya perlu waktu untuk memastikannya.

Meneguk cepat dan menandaskan isi kaleng, Wayne mengoyakkan kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di sisi meja bar. "I'm done. This conversation is over, and it's time for me to come back to my gorgeous wife."

Adrian tersenyum dan menepuk bahu Wayne sambil ikut berdiri dengannya. "Thanks, Mate."

"That's what friends are for," balas Wayne santai. "So, besok kita jadi ke Jeju?"

"Yeah, kudu jalan pagi," sahut Adrian saat mereka berdua berjalan berdampingan.

"Good. Kalau gitu, jangan sok jaim depan Nadine. Jual mahal itu udah nggak zaman, yang ada justru kecolongan."

"Kayak lu, gitu ya?"

"Nggak juga, sih. Gue emang gercep, tapi jangan ikutin gue yang main ngegol duluan, walau gue bangga kalau gue jago."

"Si Kampret!"



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



I know, it's quite short.
Selow.

Nanti malem, aku akan update Jed.
Borahae 💜

Mukanya emang CEO banget ya 😍


080721 (19.35 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top