PROLOG
Aku menendang kumpulan batu kerikil yang ada di depanku. Sembari menendang, aku terisak dengan rasa sesak di dada. Berharap dengan melakukan hal itu, rasa sakit karena dikhianati bisa menguap.
Aku menarik napas dalam, seolah kehabisan oksigen, mencari kelegaan lewat udara yang menyerbu masuk ke dalam dada. Tapi ternyata, hal itu semakin membuat rasa nyeri itu. kian membesar, hingga isakanku menjadi lebih keras dari sebelumnya.
Langkahku semakin berat, karena rasa lelah mulai menyergap. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan baru menyadari jika aku sudah berjalan terlalu jauh. Tepat di sebuah jembatan, sebagai penghubung antara jalan besar dengan komplek perumahan, yang terpisahkan oleh sebuah danau, aku berdiri di tengah jembatan itu.
Kembali aku menarik napas dalam, dan membuangnya dengan terengah. Sambil mengusap pipi yang basah, tatapanku terarah pada danau yang begitu tenang. Suasana yang begitu sunyi, membuatku bisa mendengar deru napasku yang memburu kasar. Sambil menggigit bibir bawah, aku mulai duduk dan memeluk kedua lutut.
Seperti inikah rasa sakit itu? Aku bahkan tidak menyangka jika hal ini terjadi padaku. Ironisnya, aku mendapatkannya dari orang yang sangat kupercaya. Tidak hanya satu, tapi dua. Sial! Rasa marah dan sedih, bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Bagaimana bisa hal itu terjadi?
Mengingat hal itu, air mata sialan ini, keluar lagi. Kupikir, dengan menggunting rambut panjangku, bisa membuat beban hidup menjadi lebih ringan. Nyatanya? Aku semakin terlihat menyedihkan.
"Aaarrrggghhh! Fuck you, Roland! Fuck you, Bitch! Fuck my life!" teriakku marah.
Aku kembali terisak dan menenggelamkan kepala di atas lutut. Tubuhku bergetar, rasa sedih yang semakin menguap, dan pengkhianatan yang kuterima, seakan mendesak diri untuk menyerah. Tidak. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Aku tidak akan...
"Are you okay?"
Sebuah suara yang terdengar begitu tenang dan ramah di saat yang bersamaan, datang menghampiri dari arah belakang. Isak tangis spontan terhenti, dan aku segera mengangkat kepala, mengusap kedua pipi yang basah, lalu menoleh ke arah sumber suara.
Seorang pria muda. Tinggi. Dan terlihat terpelajar. Dia memakai kemeja bodyfit dengan lengan yang digulung sampai siku, dipadukan celana hitam yang membungkus kaki jenjangnya.
"Hey, you okay?" tanyanya lagi.
Dia berjalan mendekat, kemudian menumpukan satu lutut untuk melihat keadaanku. Aku bergeming dan memperhatikan pria itu menatapku dengan tatapan menilai. Sedetik kemudian, dia tersenyum ramah.
"Kenapa menangis, Gadis Cantik?"
"Bukan urusan kamu," jawabku dingin.
Aku hendak mengusap pipiku lagi, tapi tangan besar pria itu, langsung menahan dengan mencengkeram erat pergelangan tanganku. Spontan, aku tersentak dan menatapnya dengan waspada.
Pria itu tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah sapu tangan terulur, diiringi ucapan dengan suara yang begitu menenangkan. "Pakai ini."
Dengan gugup, aku menerima sapu tangan dan cengkeramannya terlepas.
"Thanks," ucapku pelan, lalu menyeka pipi dengan sapu tangan itu.
Pria itu kembali tersenyum, lalu mengambil duduk di sampingku, dengan posisi bersila. Dengan tubuh yang terarah padaku, dia menumpukan kedua siku di atas kedua lututnya.
"Sudah membaik?" tanyanya lagi.
Dengan sikap waspada terhadap orang asing yang mencoba bersikap ramah, aku bergeser untuk menciptakan jarak. Dia hanya tersenyum melihat apa yang kulakukan dan tidak terlihat tersinggung.
"Setiap kali aku marah atau kesal, aku selalu berteriak di tanah lapang atau pantai. Perasaanku akan menjadi lebih baik, setiap kali aku melakukannya. Dan jika kamu masih belum merasa puas untuk meluapkan kekesalan seperti tadi, cobalah untuk pergi ke lapangan bola, yang ada di ujung komplek perumahan ini. It will be fun," ujarnya dengan suara hangat.
"Kenapa kamu ke sini? Apa kamu pikir, aku akan melompat ke danau?" tanyaku sinis.
Dia menggeleng dengan alis berkerut tidak setuju. "Hanya ingin mengajakmu mengobrol. Jika sedang tidak mood, biasanya membutuhkan teman."
Alisku berkerut tidak suka. Teman katanya? Cih! Aku bahkan membenci istilah teman yang dia sebutkan tadi.
"Jangan hanya karena laki-laki, kamu menjadi lemah. Jadilah wanita yang kuat, yang mampu membuat semua laki-laki bertekuk lutut. Buat bajingan itu menyesal, karena sudah membuatmu seperti ini," ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Aku mengerjap bingung. Apakah begitu kentara, jika aku sedang mengalami patah hati karena sebuah pengkhianatan?
"Jangan sembarangan berbicara," tegurku pelan.
Dia menoleh dan menatapku dengan alis terangkat setengah. Tatapannya yang begitu dalam, membuatku tidak nyaman. Pria itu masih tersenyum hangat, seolah senyum adalah hal yang wajib untuk wajah rupawan itu.
"Untuk gadis seumur kamu, sudah pasti menangis karena dua hal," ujarnya sambil mengacungkan dua jari. "Yang pertama karena berat badan, yang kedua karena kekasih. Dalam hal ini, sudah jelas kamu menangis, bukan karena hal pertama. Tidak ada yang salah dengan postur tubuh kamu."
Aku terdiam sambil memejamkan mata. Merasa seperti seorang pecundang yang menyedihkan. Orang asing saja sudah bisa membaca diriku, lewat hanya sepenglihatannya saja. Aku membuka mata, menoleh padanya, dan mendapati dirinya yang masih melihatku dengan senyuman ramah.
"Pergilah. Aku tidak akan melakukan hal bodoh," ucapku pelan.
Dia mengangguk tanpa ragu. "Aku tahu."
Pria itu masih memberikan senyuman, lalu mengangkat bahu dengan santai. Dia melirik ke arah saku seragam sekolah yang masih kukenakan dengan alis berkerut, lalu kembali menatapku dengan ramah.
"Bersekolah di JIS?" tanyanya, dan aku mengangguk. "Kelas berapa?"
"Kelas 12," jawabku.
Dia mengangguk paham. "Senang berkenalan denganmu, Gadis Cantik."
Aku memutar bola mata mendengar sebutannya padaku. "Ada masalah dengan sekolahku?"
"Tidak. Kebetulan saja aku akan bertemu dengan orang yang bersekolah di sana."
"Siapa?"
"Tidak tahu."
"Dan kenapa kamu tidak segera menemuinya?"
"Karena aku sudah bertemu denganmu sekarang."
Deg! Spontan aku tertawa karena mendengar leluconnya barusan. Lucu sekali. Pria asing itu, ikut tertawa bersamaku. Memberikan rasa nyaman yang terasa asing.
"Nah, smile suits you, Pretty Girl," celetuk pria itu dengan sumringah.
Pria itu beranjak, dan menepuk-nepuk celana dengan santai. "Sudah saatnya aku pergi, karena kulihat kamu sudah membaik."
Alisku terangkat ketika tanganya terulur ke arahku. Dengan gugup, aku menyambutnya dan beranjak dari posisiku. Kini, kami berdiri berhadapan. Pria itu tinggi sekali.
"Jaga dirimu, Gadis Cantik. Jangan sia-siakan masa muda, hanya untuk menangisi laki-laki yang tidak menghargaimu," ucapnya dengan sorot mata tajam, seakan itu adalah pesan yang sangat serius untukku.
Aku merasakan kelegaan yang menjalar dalam hati. Ucapannya benar dan menenangkan. Kesedihan yang kurasakan, menguap entah kemana, berganti dengan rasa syukur.
"Terima kasih," balasku sambil tersenyum.
Tatapan pria itu, kini mengarah pada rambutku. "Perbaiki rambutmu dengan potongan terbaik. Setelah ini, jangan pernah memotongnya. Sebab kamu akan tampak lebih cantik, dengan rambut panjang yang terurai."
Aku hanya mengangguk dan menyodorkan sapu tangannya. "Ini punyamu."
Dia menggeleng. "Pegang saja. Itu untukmu."
"A-Aku tidak bisa menerima sesuatu dari orang yang tidak kukenal."
"Simpan saja. Pergunakan itu, setiap kali kamu merasa sedih, dan ingatkan dirimu atas semua ucapanku tadi," ujarnya santai.
Dia mengulaskan sebuah senyuman sekali lagi, memberikan lambaian tangan dengan singkat, lalu berbalik untuk berjalan menuju ke sebuah mobil yang terparkir di ujung jembatan.
"Hey! Siapa namamu?" seruku tiba-tiba.
Langkahnya terhenti dan menoleh ke arahku. "I'm just nobody, Pretty Girl. Just call me, Mr. Smile, if you like."
Ah, Mr. Smile. Pria murah senyum itu, berbalik dan berjalan kembali menuju ke mobilnya. Sosoknya menghilang, ketika dia masuk ke dalam mobil sedan, lalu melaju cepat meninggalkan tempat itu.
Aku masih berdiam diri, memberikan waktu untuk rasa lega yang perlahan menyebar di tubuh. Dengan langkah ringan, aku kembali pulang ke rumah, sambil menggenggam sapu tangan pemberian orang asing itu. Senyuman ramah dan ucapan Mr. Smile semakin terngiang dalam benak, memberikan semangat baru dalam hidup, dan ikut tersenyum, setiap kali aku mengingatnya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Sehubungan Nathan yang udah mau kelar, kini giliran Wayne 🤗
New version yah, biar lebih gemes 💜
Apa kamu sudah siap untuk menerima serangan hati dari Wayne?
Perlahan tapi pasti, Wayne akan menggantikan posisi Nathan yah 😂
Diharapkan bersabar.
I purple you 💜
Published : Feb 2018 - Apr 2018
New version : 27.06.19 (22.40 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top