Part 8 - Lucky Charm
Actually, aku lagi sedih karena gak jadi nonton konser Westlife hari ini 😭
Sedihnya tuh sampe nyesek di hati.
Pesan buat kamu :
Selagi kamu masih single, nikmati.
Habis nikah, kamu gak akan bisa sebebas dulu untuk pergi2.
Entah itu ijin suami atau anak sakit yang akan menghalangi 😑
Ugh! Jadi curhat kan? 😡
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Jika ada orang yang merasa tidak nyaman dalam ruangan itu, mungkin Cassandra orangnya. Bertempat di sebuah ruang private yang ada di restoran yang menyajikan masakan asal China, di situ Cassandra menghadiri pertemuan dengan calon investor utama, mendampingi Jose Ferdinand.
Bumi Tekindo, investor utama yang katanya tertarik dengan proposal yang diajukan Mexindo untuk proyek perkebunan sawit yang ada di Kalimantan, kini bersedia memberikan waktu untuk membicarakan lebih lanjut rencana merger itu. Di hadapannya, sudah ada Wayne yang datang bersama dengan orang kepercayaannya yang bernama Hendrik Tee.
Jose pun tampak sumringah sejak dari perjalanan menuju ke tempat pertemuan hingga kini. Dengan berbagai macam menu yang sudah tersaji di atas meja, mereka bernegosiasi sambil menikmati makan siang. Namun yang mengherankan adalah Wayne yang sedari tadi tidak menyentuh makanannya. Piring kecilnya hanya berisi sebuah pangsit udang goreng yang sudah digigit setengah dan gelas berisi es teh. Hanya itu.
“Proposal sudah dipelajari dan akan kami angkat dalam rapat manajemen minggu depan,” ujar Hendrik, pria tua berkacamata yang duduk di samping Wayne.
Pembicaraan masih berlangsung dan Cassandra hanya menjadi pendengar. Tangannya sudah sibuk menulis di buku memo untuk mencatat hal-hal penting, sebab Jose sudah memperingatkan dirinya agar jangan sampai ada yang terlewatkan olehnya terkait pembicaraan ini.
Kini, tatapan Cassandra mengawasi Wayne yang mengambil alih pembicaraan dengan ekspresi serius di wajah. Sama sekali tidak ada seringaian atau senyuman yang sering dilemparkan Wayne seperti kemarin. Pria itu tampak berbeda saat bekerja. Terlihat penuh kendali.
Penampilan Wayne pun patut diacungi jempol. Dia memakai setelan jas mahal yang seolah tercipta hanya untuk dirinya. Tampak atletis dan proporsional. Rambut hipster haircut-nya ditata rapi dan membingkai indah di bentuk rahang yang tegas, sorot mata teduhnya yang tajam, tutur kata yang begitu lugas, dan cukup sopan dalam menyeimbangi pembicaraan dengan dua pria yang jauh lebih tua darinya, meski posisi tertinggi ada pada Wayne.
“Saya sangat berharap jika pihak Anda bisa menjalin kerja sama dengan kami. Seperti yang kalian ketahui bahwa Mexindo adalah perusahaan asing yang masih membutuhkan support dari perusahaan lokal untuk mengembangkan sayapnya,” ujar Jose lugas, setelah Wayne menyelesaikan pembahasannya.
Hendrik menganggukkan kepala dan Wayne tersenyum saja. Pria itu meraih minuman dan menyedot es teh dengan enggan. Pangsit goreng yang ada di piringnya sama sekali tidak dilirik lagi. Cassandra menahan napas ketika Wayne tiba-tiba melirik ke arahnya dan memberikan senyuman setengah, seperti merasa diperhatikan oleh Cassandra.
Cassandra pun segera menundukkan kepala untuk menulis apa saja di buku memo, meski apa yang penting sudah ditulisnya di situ. Damn! Rasa gugup kembali menyergap diiringi rasa tidak nyaman yang semakin membesar.
“Proposal Anda tidak ada masalah, Sir Jose,” ujar Wayne kalem, lalu menoleh pada Hendrik. “Bukan begitu, Pak Hendrik?”
Hendrik mengangguk sambil membetulkan letak kacamata. “Jika sudah naik ke rapat manajemen, maka akan ada pembahasan mengenai kelanjutan proyek.”
“Saya rasa itu adalah berita baik,” ucap Jose dengan ekspresi lega.
“Good! Kalau begitu untuk apa menunggu lagi? Saya membutuhkan informasi mengenai lokasi, anggaran, dan hal-hal yang berkaitan. Lebih cepat itu lebih baik, agar kita bisa meninjau sampai mana progress proyek ini bisa berhasil,” sahut Wayne dengan pelan namun terdengar begitu tegas.
Jose tercengang. “A-Apakah maksud Anda untuk…”
“Asisten pribadi Pak Wayne akan segera menghubungi Anda terkait draft surat perjanjian kerja sama yang sudah dibuatkan dan di-approve oleh Pak Wayne selaku CEO di Bumi Tekindo, Sir,” sela Hendrik kalem.
“Baik. Jadi, apakah ini sudah termasuk kesepakatan secara lisan?” tanya Jose dengan tatapan heran bercampur penuh harap ke arah Wayne.
Wayne mengangguk. “Yes, Sir.”
Cassandra mengangkat wajah dan menatap Wayne yang ternyata sudah melihatnya dengan senyuman lebar di wajahnya. Tatapannya teralihkan pada Jose yang menepuk pelan bahunya.
“Segera hubungi notaris untuk membahas surat perjanjian, koordinasikan dengan lapangan perihal kesiapan lokasi, bentuk tim yang akan menjadi pelaksana, dan jangan sampai terlewatkan sedikit saja. Paham?” ucap Jose dengan nada bossy-nya dalam suara rendah.
Cassandra menahan diri untuk tidak memutar bola mata dengan menjawab seadanya. “Okay.”
“Saya akan mengirimkan kontak Asisten Pribadi Pak Wayne untuk membahas surat perjanjian dan pembentukan tim pelaksana proyek, Ms. Cassandra,” sahut Hendrik kemudian.
“Baik, Pak. Akan saya informasikan secepatnya mengenai…,”
“Mr. Jose,” suara Wayne yang memanggil Jose menghentikan ucapan Cassandra.
Cassandra mendadak panik. Dia menoleh pada Wayne yang kini tersenyum hangat pada Jose dengan sorot mata teduh yang terkesan mencurigakan. Belum-belum, Cassandra sudah berpikir jika Wayne akan melakukan sesuatu lewat proyek merger ini. Pria itu seperti ingin membalas Cassandra karena sudah menolak ajakannya kemarin.
“Yes, Mr. Wayne,” balas Jose.
“Seperti yang sudah-sudah, setiap ada proyek merger atau akuisisi yang kami lakukan, diharuskan adanya perwakilan satu orang dari perusahaan yang bersangkutan. Demi efisiensi dan efektif dalam proses berjalannya proyek, maka diharapkan untuk mengirimkan satu orang agar berkantor di tempat saya,” ucap Wayne sambil menyeringai licik dan menyempatkan diri untuk melirik ke arah Cassandra.
Deg! Cassandra mengerjap panik dan menoleh pada Jose dengan ekspresi tajam, tapi sayangnya, Paman sekaligus Bos sialannya itu tidak menatap ke arahnya, melainkan mengembangkan senyuman yang begitu lebar pada Wayne.
“Sure, kami tidak keberatan,” sahut Jose dengan mantap, lalu mengarahkan tangan kea rah Cassandra tanpa menoleh padanya. “Cassandra sudah saya percayakan untuk menangani proyek ini sedari awal. Kinerjanya tidak akan mengecewakan dan sangat berkompeten dalam bidang ini.”
Wayne tertawa sambil mengangkat bahu. “Saya sangat berterima kasih atas pengertian Anda. Saya memang membutuhkan orang yang berkompeten dan saya yakin jika pilihan Anda tidak salah.”
Cassandra memejamkan mata dan menghela napas pelan. Tentu saja dalam hal ini, dirinya tidak bisa menolak. Jika biasanya Wayne terus menerima penolakan, kali ini pria itu mendapatkan sikap pasrah dari Cassandra yang tidak bisa melakukan apa-apa atas keputusan sepihak yang terdengar begitu egois. Sama sekali tidak ada unsur professional di dalamnya tapi mau tidak mau akan tetap dilakukan Cassandra.
“Jadi, tanpa membuang waktu lebih banyak,” Wayne beranjak berdiri dan menatap Cassandra dengan alis terangkat setengah. “Bisakah Ms. Cassandra ikut saya guna membicarakan beberapa urusan yang belum saya pahami? Anggap saja semacam presentasi singkat. Tentu saja, akan saya antar kembali ke kantor dengan selamat.”
Mata Cassandra melebar kaget dan segera menoleh pada Jose yang sedang menganggukkan kepala. Damn!
“Sure, Anda…,”
“Sir, ada pertemuan penting sehabis ini,” sela Cassandra cepat. “Proses ekspor import dengan pihak forwarding untuk…,”
“Aku bisa menghadirinya sendiri. Tenang saja,” sela Jose dengan mimik wajah tak mau tahunya yang kentara. “Presentasikan rencana kita mengenai proyek ini pada Mr. Wayne. Tunjukkan kemampuanmu dan aku akan segera meluluskanmu dari pelatihan ini pada ayahmu, Anak Muda.”
Sial! Cassandra hanya bisa menelan umpatan dan segera membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Dia beranjak berdiri dan menatap Wayne yang memberikan arahan tangan, mempersilakan dirinya untuk keluar lebih dulu.
“Aku tuh nggak nyangka kalau kamu bakalan main curang kayak gini,” sewot Cassandra ketika mereka sudah keluar dari restoran itu dan berjalan berdampingan di lorong menuju lift.
“Main curang?” tanya Wayne dengan satu alis terangkat.
“Kamu pasti sengaja kan? Minta satu orang untuk stay di kantor kamu? Heck! Kami sering merger sama perusahaan lain tapi nggak pernah harus kayak gitu,” tuduh Cassandra tanpa basa basi.
“Setiap perusahaan punya kebijakan masing-masing, Cassie,” balas Wayne santai sambil menahan pintu lift agar Cassandra bisa masuk terlebih dahulu.
“Kebijakan ini yang kamu maksud? Minta aku yang stay di kantor kamu?”
Wayne menoleh pada Cassandra dengan alis berkerut tanda tidak setuju. “Aku nggak minta kamu. Bos kamu sendiri yang langsung nunjuk kamu.”
Shit! Ucapan Wayne seakan menampar Cassandra keras dengan rasa malu yang menyeruak. Pemikiran negatif yang dilayangkan pada Wayne sudah membuat Cassandra menuduhnya dengan sembarangan.
“Jangan judes banget jadi cewek napa? Aku tuh sebel banget liat muka cantik kamu ditekuk kayak tadi. Kayak disiksa banget sama Bos Diktator macam Jose itu,” kini giliran Wayne yang memberikan ucapan yang ketus.
“Hah? Apa?”
“Cuma sekali ngeliat aja, aku udah tahu orang macam apa dia. Semisal nggak ada kamu dalam proyek ini pun, aku tetap akan bersikap tegas sama orang yang tahunya mengambil keuntungan tanpa memikirkan hal lain. Entah ketimpa duren apa itu cowok, sampe bisa kedapetan kamu yang jadi PA-nya, sukur banget kalau kamu itu keponakan. Coba kalau bukan? Ck!”
Cassandra mengerjap tidak percaya mendengar keluhan Wayne. Dia tidak menyangka jika Wayne begitu memperhatikan gestur dan perilaku seseorang dengan begitu seksama. Perasaannya menghangat ketika mengetahui Wayne menariknya keluar dari restoran itu hanya karena merasa tidak suka dengan ekspresinya.
“Terus kamu mau bawa aku kemana?” tanya Cassandra bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.
Wayne menoleh dan tersenyum hangat sambil menggandeng tangannya. “Temenin aku makan siang.”
“Tadi kamu bilang mau minta aku kasih presentasi,” protes Cassandra sambil mengikuti langkah Wayne dengan susah payah.
“Bisa aku dengerin sambil makan nanti,” balas Wayne cepat.
“Kenapa tadi nggak makan? Udah tahu tadi banyak makanan,” sahut Cassandra ketus.
Wayne membukakan pintu mobil yang terparkir tepat di depan lobby gedung. “Aku nggak doyan Chinese Food. Sorry not sorry.”
Cassandra terlihat bingung dan masuk ke dalam mobil dengan perasaan tidak menentu. Mereka duduk berdampingan di kursi belakang dengan adanya supir pribadi yang melajukan kemudi.
“Why?” tanya Cassandra kemudian.
“Why, what?”
“Kenapa bisa nggak suka Chinese Food?”
“I’m not just like it, but I hate it. Ginger and sesame oil are not my kind of things to smell and to eat.”
“That’s the most silly thing that I ever heard. Cowok dengan muka oriental kayak kamu bisa nggak doyan Chinese food? Keluarga aku dari pihak nyokap yang Mexican aja nggak tahan mau nyomot babi panggang kalau ngelewatin stand nasi campur.”
Wayne tertawa terbahak-bahak dan hal itu menarik perhatian Cassandra. Paras oriental yang tidak menyukai makanan asal Tiongkok yang menjadi kesukaan semua orang, tentunya hal baru yang pernah diketahui Cassandra.
Tawa Wayne terhenti dan menatap Cassandra dengan sumringah. “See what you like?”
Cassandra mengangguk dan memberikan senyuman hangat. “Your laugh amazed me.”
“Kalau gitu, bersedia jadi calon istriku?” tanya Wayne langsung.
Cassandra tertawa pelan mendengar pertanyaan yang masih itu-itu saja. “Kenapa sih masih tanyain hal itu? Emangnya nggak ada kandidat lain?”
“Nope. Cuma kamu aja.”
“Bullshit! Untuk cowok kayak kamu, nggak bakalan susah cari calon istri.”
“Kata siapa? Buktinya aku susah banget cari perhatian sama dia. Dapetin nomor hape udah, tapi malah dilarang telepon kalau bukan soal kerjaan.”
“Makanya kamu sengaja pake alasan itu untuk deketin aku?”
“Anggap aja aku lagi beruntung. Karena aku adalah orang yang percaya dengan satu kebetulan, seolah harapanku terkabul dengan pertemuan yang tak disengaja kayak gini.”
Cassandra bergeser untuk duduk menyamping menghadap Wayne dan pria itu memposisikan tubuh agar bisa lebih dekat dengan Cassandra. Keduanya tampak seperti teman lama dan bukan calon rekanan yang akan melakukan bisnis.
“Dengerin aku, Wayne. Cari calon istri nggak kayak begitu. Ketemuan di Bar lalu berujung dengan pertemuan kembali sejak kemarin sampai hari ini. Kejadian yang kayak gitu bukan alasan mutlak untuk meyakinkan kamu kalau aku adalah calon yang tepat. Lagian, cari pasangan hidup bukan kayak ketemu barang sale di mall cuma gara-gara ngeliat banner iklan di jalanan.”
Wayne tersenyum sopan sambil menarik satu tangan Cassandra ke dalam genggaman erat. “Kalau begitu, ini namanya takdir. Salah kamu sendiri suruh aku mimpiin kamu. Karena setiap hal yang udah jadi mimpi, pasti akan aku kejar sampai dapat.”
Cassandra tertegun lalu menggelengkan kepala. “Kamu susah dibilangin.”
“Cowok emang susah dibilangin. Tapi kalau nggak kayak gitu, yah nggak bakalan dapetin apa yang dia mau. Being stubborn is needed to achieve goals, Baby.”
“Termasuk pasangan?”
“Yeah. Termasuk pasangan.”
“Jadi bagian mananya yang kamu pikir kalau aku adalah cewek yang tepat buat jadi calon istri kamu?”
“Semuanya. Semua yang ada dalam diri kamu membawa aku punya satu pemahaman yang langka sebagai bentuk keyakinan diri kalau aku nggak bakal salah pilih.”
Alis Cassandra berkerut heran sambil mengubah posisi duduk menyamping menjadi lebih menghadap ke arah Wayne. “Pemahaman langka kayak gimana?”
Wayne tersenyum geli sambil mengusap pucuk kepala Cassandra dengan lembut. “Ada deh. Urusan cowok yang kamu nggak bakalan ngerti.”
“Aku curiga kalau kamu bakalan…,”
Napas Cassandra tertahan ketika Wayne tiba-tiba mencium bibirnya tanpa permisi. Tentu saja Cassandra kaget dan spontan mendorong Wayne menjauh sambil melirik ke arah supir pribadi yang tampaknya tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi di kursi belakang. Earphone terpasang di telinga, tatapan lurus ke depan, dan tidak terlihat risih seolah sudah terbiasa dengan kegiatan yang dilakukan Wayne saat ini.
“Kenapa sih kamu nyosor mulu?” erang Cassandra kesal sambil bergerak menjauh dari Wayne.
“Aku kangen,” kekeh Wayne geli.
“Alasannya basi banget. Aku tuh nggak suka yah kalau main nyosor terus kayak gini,” sewot Cassandra.
Wayne tersenyum lalu menoleh ke luar jendela ketika mobil sudah merambat pelan dan berhenti tepat di depan sebuah restoran.
“Yuk, kita turun.”
Wayne membuka pintu mobil dan mengulurkan tangan pada Cassandra untuk membantunya keluar dari mobil. Mereka memasuki sebuah restoran western yang menyajikan steak terenak di daerah itu.
Wayne kembali mempersilakan Cassandra untuk masuk lebih dulu dan memimpin jalan menuju ke meja yang diarahkan oleh seorang pelayan resto di sana.
“Sayang banget aku udah kenyang, kalau nggak, aku udah pasti kepengen cobain wagyu steak di resto ini,” gumam Cassandra pelan.
Wayne menoleh dan tersenyum hangat padanya. “Nanti cobain punyaku. Atau kita atur waktu buat lunch bareng lagi.”
Cassandra hanya memberikan senyuman hambar menanggapi ucapan Wayne yang selalu mengandung modus untuk mengajaknya kencan. Ketika sudah duduk berhadapan, Wayne segera memesan tanpa perlu melihat buku menu, seperti sudah terbiasa menikmati jam makannya di sana.
“So, mengenai merger ini, coba kamu jelaskan secara detail dan anggap ini sebagai presentasi off the record. Buat aku yakin kenapa aku harus incharge dalam proyek ini,” ujar Wayne dengan nada tegas dan dalam.
Tidak ada kesan riang atau canda tawa, melainkan kesan serius yang ditampilkan Wayne, tanda bahwa pembicaraan serius dimulai. Menegakkan tubuh, Cassandra membuka buku memo dari tas, dan memulai penjelasan dengan lugas.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Jadi, udah memutuskan untuk move-on dari Nathan?
Cowok yang suka nyosor? Ada banyak.
Yang cakep and perfect kayak Wayne?
Yah nggak lah, cuma ada di lapak ini.
Hahahaha
Revisi : 06.08.19 (21.21 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top