Part 5 - The Goodbye Kiss

Bagi kamu yang udah baca versi awal, jangan bingung.
Sebab ini adalah part baru 🤗

Unspoken series akan aku ketik ulang semua dengan versi terbaru.
Dikemas lebih gemas, disajikan lebih nakal, dan akan ada campur tangan Babang kesukaan kalian.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Wayne tidak henti-hentinya tersenyum saat menatap wajah rupawan yang sedang menikmati makan malamnya dengan enggan.

Sejak Wayne memiliki rasa tertarik pada lawan jenis, tipe kesukaannya adalah cantik. Itu sudah pasti. Dan sedari kuliah, dia selalu menyukai paras import alias bule yang memiliki keunikan, baik dari segi warna bola mata, tulang pipi, hingga kesan unik yang tidak biasa.

Entah kenapa hal itu sudah menjadi daya tarik tersendiri dan Wayne selalu menjalin hubungan dengan beberapa teman saat kuliah di Oxford. Dia pernah berpacaran, yes. Berbanding terbalik dengan tiga temannya yang tidak tertarik untuk berpacaran saat kuliah, Wayne termasuk pria yang memiliki komitmen.

Namun, sejak dirinya memulai usaha sendiri, kesibukan menyita perhatiannya untuk mencari kekasih. Tentu saja, hubungan satu malam pun menjadi satu kenyamanan tersendiri bagi Wayne. Kebetulan, dia adalah orang yang cukup fleksibel.

Saat ini, Wayne mengajak teman kencan yang baru saja dikenalinya sejak dua jam yang lalu, menikmati makan malam di salah satu restoran pizza favoritnya, yang tidak jauh dari area penthouse pribadinya.

Dalam otaknya sudah memikirkan beberapa rencana untuk membawa wanita cantik bernama Cassandra itu mampir ke penthouse-nya untuk menghabiskan malam bersama. Jika Wayne sudah berhasil mengajaknya makan malam, maka Wayne semakin percaya diri untuk mampu membawanya ke ranjang.

Meski wanita itu terus merapalkan penegasannya berupa larangan untuk menjalin hubungan semacam itu, tapi Wayne yakin bisa mengubah pikiran Cassandra. Sebab sepertinya, wanita dengan nilai sempurna itu tampak tidak terlalu berpengalaman untuk menghadapi seorang pria.

Wanita itu cenderung gugup dan kaku. Sesekali merasa cemas, menatapnya dengan waspada, dan menjaga jarak. Tapi, Wayne sudah terlanjur menyukainya dan tidak ada jalan mundur. Apapun akan dia lakukan.

"Kayaknya mata kamu udah mau keluar, kalau liatin orang kayak gitu," komentar Cassandra sambil meliriknya dengan ekspresi menegur.

Wayne hanya tertawa pelan. "Aku jadi bego kalau harus duduk di samping cewek cantik kayak kamu."

Cassandra mendengus pelan, lalu kembali menyendok sup krim-nya tanpa minat. "Aku masih gagal paham kenapa kamu ajak aku makan sup krim? Padahal, aku cuma kepengen makan roti."

"Kalau maag kambuh, nggak boleh makan makanan beragi atau mengandung banyak karbo," jawab Wayne langsung.

Cassandra menoleh padanya. "Emangnya kata siapa kalau aku kena maag?"

Wayne memberikan senyuman lembut dan tatapan yang teduh. "Aku punya adik cewek, namanya Lea. Dia suka bandel karena sering ngelewatin jam makan saking sibuknya. Kalau udah telat makan, mukanya pasti pucat dan perutnya pasti nggak enak. Seperti kembung atau nyeri di ulu hati. Kayak gini...,"

Wayne dengan lancang melayangkan telapak tangan di perut Cassandra yang rata, lalu menekannya perlahan. Shit! Kelembutan tubuh Cassandra, spontan membuatnya menegang sempurna. Duduk bersebelahan memberikan keuntungan bagi Wayne untuk bergerak cepat.

"Ugh!" ringis Cassandra sambil mencengkeram pergelangan tangan Wayne. "Ini sakit."

Wayne tersenyum sambil mengusap lembut punggung Cassandra, dan dengan perlahan mengarahkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Perut kamu sakit. Kalau kayak begini, kamu harusnya senderan. Semakin membungkuk, malah makin nggak nyaman."

Cassandra menjauhkan tangan Wayne dari perut dan punggungnya, lalu bergeser menjauh untuk menatap Wayne tegas. "Thanks untuk perhatiannya. Aku udah paham kalau kamu tahu aku lagi maag."

"Sama-sama," balas Wayne santai, mengabaikan nada sindiran dalam ucapan Cassandra padanya.

Baiklah. Mungkin incarannya kali ini, tidak seperti yang biasanya. Jika didekati Wayne, rata-rata sudah melempar sorot mata nakal dan memberi sinyal untuk segera ditarik ke ranjang. Tapi Cassandra? Wanita itu seperti sedang kebosanan dan berniat untuk mencari hiburan.

Mungkin Wayne tidak boleh bertindak berlebihan, demi mendapatkan wanita itu dalam pelukannya. Sebab, sentuhan ringan seperti tadi pun, sepertinya tidak disukai Cassandra.

"So, kamu udah kerja atau masih kuliah?" tanya Wayne sambil menopang dagu dan menatap Cassandra dengan teduh.

Cassandra tidak langsung menjawab. Meski tangannya sedang menyendok sup krim, tapi Wayne tahu jika dia sedang berpikir. Terlalu banyak kompromi, pikir Wayne. Wanita itu tampak berhati-hati sekali terhadap lawan bicaranya.

Detik demi detik berlalu dan masih tidak ada jawaban. Wayne kembali berinisiatif untuk mengalihkan pembicaraan.

"It's okay, kalau kamu nggak mau ngomong. Aku nggak masalah. Barang kali kamu curiga kalau aku adalah orang jahat. Biar aku kenalin diri secara singkat. Cowok yang bernama Wayne ini berumur 28 tahun, berulang tahun di bulan Februari, punya usaha kecil-kecilan yang bertempat di gedung Bapindo, dan lagi usaha buat dapetin calon istrinya," ujar Wayne riang.

Cassandra tersenyum tipis menanggapi ucapan Wayne yang sudah pasti dikira lelucon olehnya. Meski sebenarnya, dia memang pantas disangka gila karena berani mengeluarkan ucapan konyol seperti itu. Bahkan, mengucapkan kata 'calon istri' saja sudah membuat Wayne bergidik ngeri.

"Cassandra, umur 24 tahun, baru aja lulus S2 dan lagi jalanin pelatihan kerja di perusahaan asing selama tiga bulan terakhir. Sekarang ini, lagi sibuk ladenin cowok aneh yang ngebet jadi calon suami," balas Cassandra sambil terkekeh geli.

Senyuman Wayne semakin lebar melihat betapa cantiknya Cassandra jika merona seperti itu. Wanita itu memiliki perubahan mood yang tidak stabil. Terkadang waspada, lalu santai, kemudian tenang, dan bimbang.

"S2?"

Cassandra mengangguk. "Bisnis."

Alis Wayne terangkat takjub. Selain cantik, wanita itu cerdas dan mandiri. Jika seorang wanita sudah memiliki pendidikan yang cukup tinggi, maka kecil kemungkinan untuk mau menikah muda. Perasaan Wayne menjadi lega karena merasa sudah menemukan sekutu terbaik.

Wayne hanya harus mendapatkan calon istri untuk dibawa ke orangtuanya, demi menghindari perjodohan. Dia akan mencari cara untuk menarik perhatian Cassandra, mengambil hatinya, menjadikannya sebagai tunangan sementara, dan akan Wayne tinggalkan setelah Lea menikah.

"You're the entire package of my dream, Cassie," ucap Wayne dengan lembut dan penuh arti.

Cassandra tersenyum kembali, bukan karena tersipu melainkan bersikap sopan. "Thanks, Wayne."

"So, besok ada rencana?" tanya Wayne kemudian.

Cassandra menaruh sendok dan mengusap mulut dengan serbet. Dia sudah selesai dan hanya sanggup menghabiskan setengah porsi sup krim itu. "Ada acara keluarga."

"Besoknya lagi?" tanya Wayne lagi.

Cassandra tertawa pelan. "Belum tahu tapi kayaknya udah ada acara."

"Bukan karena untuk menolak aku yang udah jelas kepengen ngajak kamu ngedate?"

"Salah satunya iya."

Damn! Meski dalam hati Wayne mengumpat, tapi wajahnya menampilkan senyuman lebar. Bagaimana mungkin seorang Wayne bisa ditolak? Harga dirinya merasa tersinggung dan membuatnya semakin bersemangat untuk mendapatkan wanita itu.

"Apa kamu memang kayak begini? Langsung menilai jelek terhadap orang yang baru kamu kenal?" tanya Wayne hangat.

"Bukankah hal yang wajar untuk bersikap waspada dengan orang asing yang ngebet kayak kamu? Kalau bukan karena taruhan sama teman, bisa jadi ego kamu sebagai laki-laki yang kepengen dapetin cewek secara random malam ini."

"Let's say iya. Tapi kamu terima ajakan aku untuk...,"

"Hanya sekedar berterima kasih, Wayne. Jangan ge-er dulu. If I may remind you about this, kamu maksa. Meski sebenarnya aku memang lebih memilih ke sini sama kamu ketimbang ikut temenku ke klub," sela Cassandra sopan.

"Wait, kamu mau kemana?" tanya Wayne heran ketika Cassandra beranjak dari kursi, diikuti olehnya.

Cassandra menatapnya hangat. "Udah malem. Aku mau pulang. Dari sini, tadi aku liat di lobby ada banyak taksi. Kamu punya ongkos buat pulang ke rumah, kan?"

"Huh?"

"Nggak etis rasanya kalau cewek yang anter cowok pulang, apalagi ini pertemuan pertama. Aku lagi kasih kesempatan buat kamu jadi gentleman."

What the heck! Wayne tidak menyangka akan dikerjai oleh wanita yang kikuk dan canggung seperti Cassandra ketika bersama dengan dirinya, namun tampak biasa saja ketika bersikap tegas seperti ini.

"Soal pulang, nggak masalah. Tapi kita belum ngobrol banyak," ujar Wayne.

"Apa yang mau diomongin di jam malam kayak gini, Wayne?"

"Masa depan."

Cassandra tertawa pelan sambil mengambil tas tangannya, sementara Wayne mengeluarkan dompet untuk membayar tagihan makanan

"Kamu lucu. Mudah-mudahan niat kamu untuk dapetin calon istri disegerakan," tukas Cassandra sambil melangkah dan Wayne sudah berada di sampingnya, berjalan berdampingan.

"Aku nggak bercanda soal calon istri, Cassie."

Langkah Cassandra terhenti dan menatap Wayne dengan tajam. "Cassandra. Panggil aku Cassandra, jangan Cassie."

"Why?"

"Karena aku nggak suka nama kecilku dipanggil sama orang asing."

"Cassie, lebih simple dan singkat di lidah."

Wajah cemberut Cassandra membuat Wayne merasa gemas. Tidakkah lucu jika wanita itu terang-terangan mengeluarkan aksi protes soal nama kecil yang dipanggil Wayne?

"Terserah kamu deh," ujar Cassandra kemudian, lalu kembali melanjutkan langkah untuk menuju ke pelataran parkir.

"Hey, kamu kenapa? Kok tiba-tiba ngambek? Kalau aku ada salah ngomong, bilang." Wayne menyamakan langkah Cassandra yang berjalan anggun menuju ke mobilnya.

"Aku nggak ngambek," balas Cassandra sambil tertawa pelan. "Aku cuma udah ngantuk dan kepengen tidur."

"Akan bahaya kalau kamu nyetir dalam keadaan ngantuk. Biar aku yang bawa mobil kamu dan anter kamu sampai ke rumah. Aku bisa pulang naik taksi setelahnya," ujar Wayne sambil mencengkeram lengan Cassandra dengan lembut, ketika mereka sudah tiba di samping mobil sedan wanita itu.

Cassandra berbalik untuk menatapnya. Sorot mata hijaunya yang cantik seakan membius Wayne hingga membuatnya terpana. Demi apapun, Wayne tidak pernah merasakan ketertarikan yang begitu besar kepada siapa pun saat pandangan pertama. Kecuali hari ini.

"Aku masih bisa nyetir, Wayne. Ini masih jam setengah dua belas malam. Apartemenku nggak jauh dari daerah sini," balas Cassandra dengan lembut.

Wayne mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyodorkan pada Cassandra. "Minta nomor kamu. At least, aku bisa hubungi kamu dan memastikan kalau kamu udah sampe di apartemen kamu."

Cassandra tersenyum dan mengambil ponsel Wayne. Dia menunduk menatap ponsel itu tanpa melakukan apapun, lalu mendongak untuk menatap Wayne.

Cassandra mengambil selangkah lebih maju, menatap Wayne tajam, dan begitu bernyali. Hal itu membuat Wayne bisa menangkap sinyal yang dilemparkan Cassandra saat ini.

Seperti sebuah magnet, mereka saling mendekatkan diri. Cassandra berjinjit dan Wayne membungkuk untuk bertemu dalam sebuah ciuman. Yeah. Mereka tenggelam dalam kehangatan yang menyenangkan lewat lumatan lembut dan lidah yang bertautan.

Wayne merangkul pinggang dan membawa Cassandra dalam pelukan untuk memperdalam ciumannya. Mendesak pelan punggung wanita itu ke sisi mobil dan meremas lembut bokong Cassandra yang begitu kencang, terasa menyenangkan di telapak tangan Wayne, seolah membakar dirinya dalam hawa panas yang menjalar di sekujur tubuh.

Cassandra mendesah pelan, mencengkeram erat bahu Wayne dengan satu tangan, dan satu tangannya lagi memasukkan ponsel ke dalam saku celana belakang Wayne. Keduanya merapatkan tubuh, berbagi kelembutan, menyalurkan hawa panas yang semakin bergelora.

Ciuman itu terjadi cukup lama. Bahkan ciuman terpanjang yang dilakukan Wayne dengan wanita yang baru dikenalinya. Membuat Wayne tidak karuan dan memiliki keinginan untuk menuntut lebih dari apa yang dia lakukan saat ini.

Cassandra menghentikan ciuman panas itu dengan mendorong bahu Wayne dan menjauhkan kepala untuk menghirup oksigen dengan rakus. Mereka berciuman seperti kehabisan napas dan bernapas dalam buruan kasar, meski masih saling berpelukan.

"How about we...,"

"Good night, Wayne," sela Cassandra dengan suara tercekat. Dia menatap sorot mata teduh Wayne dengan ekspresi hangat. "This is all I can give to you. Name, dinner, talk, and goodbye kiss."

"Phone number, please," ucap Wayne dengan suara yang nyaris berbisik, merengkuh Cassandra semakin erat seolah enggan untuk melepasnya.

"Kita ketemu di dalam mimpi, Wayne," balas Cassandra sambil melepas rangkulan Wayne di pinggangnya. "Karena mimpi nggak butuh nomor handphone."

Wayne tertegun dan menatap Cassandra dengan tatapan tidak percaya. Wanita itu menolaknya tanpa ragu dan memberikan pengalaman pertama pada Wayne bagaimana rasanya ditolak.

Herannya, Wayne tidak merasa harus marah atau putus asa. Siapapun pria yang pernah bersama dengan Cassandra, sudah pasti tidak akan bisa melupakannya dengan mudah, karena wanita itu tahu bagaimana membuat dirinya tak terlupakan.

Ketika wanita itu sudah masuk ke dalam kursi kemudi dengan mesin yang sudah dinyalakan, Wayne mengetuk kecil kaca jendela dan Cassandra menurunkannya. Wayne membungkuk dan memberikan senyuman hangat pada wanita yang sudah mengerling nakal padanya.

"Yakin nggak mau kasih nomor hape?" tanya Wayne dengan sorot mata teduhnya.

Cassandra tertawa pelan lalu menggeleng mantap. "Nice to meet you, Wayne."

Wayne mengangguk maklum dan mencondongkan wajah untuk mencium pipi Cassandra. "See you again, Cassie. Mungkin kamu benar soal taruhan dan aku memang nggak pernah beruntung dalam urusan gambling. Makanya aku kalah dan nggak bisa dapetin kamu malam ini."

Cassandra menoleh padanya dengan alis terangkat. "Thanks buat kejujuran kamu, tapi kamu tetep nggak akan dapet nomor aku. Sorry not sorry, Gorgeous."

"Kita ketemu di lain kesempatan, Cassie. Kalau kamu ngajakin ketemu di mimpi, aku justru senang. Kebetulan, aku orang yang senang bermimpi dan selalu berusaha untuk menjadikannya kenyataan," balas Wayne kalem.

Sebuah usapan lembut dilayangkan Wayne pada wajah rupawan yang memiliki kecantikan seperti salah satu koleksi boneka Barbie milik Lea. Bermata hijau, cerdas, dan memiliki teknik ciuman yang luar biasa. Wayne masih menatap Cassandra selama beberapa saat seolah mengingatnya, lalu mencium bibir itu singkat dan kemudian menjauh.

Wayne memasukkan kedua tangan ke dalam saku sambil tersenyum hangat. "Safe drive, Doll."

Cassandra melambaikan tangan dan mulai melajukan kemudi dengan suara tawa pelan yang masih terdengar oleh Wayne.

Wayne masih berdiam untuk mengawasi mobil Cassandra hingga menghilang dari jangkauannya. Perasaannya saat ini terlalu senang untuk diungkapkan dalam kata-kata. Betapa dia menyukai pertemuan singkat bersama wanita cantik yang bahkan tidak memberikan nomor ponselnya, tapi memberikan ciuman yang berkesan.

Jika Cassandra menantangnya soal mimpi, Wayne sama sekali tidak masalah. Sebab, dirinya memang bermimpi dengan segenap pikiran, meyakini sesuatu dengan sepenuh hati, dan mewujudkannya dengan seluruh tenaga. Keberuntungan dalam hidup Wayne adalah apa yang diyakininya baik dan melakukan segala sesuatunya dengan sabar dan tekun. Itu saja.

Dan harapan yang diyakininya saat ini adalah pertemuan kembali dengan wanita itu, dalam keadaan yang tidak disangkanya seperti tadi. Seperti saat Cassandra masuk ke dalam resto dan menjadi orang pertama yang dilihatnya setelah menyetujui permainan Christian, seperti itu jugalah pertemuannya kembali dengan wanita itu.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷




Nggak usah mikirin yang terlalu jauh waktu baca di part yang sebelumnya 🤣

Ada yang bertanya, apakah Unspoken Series akan dibukukan?
Yes. Aku akan bukukan.
Tapi nanti. Satu2 aja dulu.

Bagi pecinta Nathan, sabar yah 😊
Isi buku apakah sama?
Aku akan jawab perpaduan antara versi pertama dan versi terbaru.
Apakah akan beda?
Well, masih pada kepo gimana cara pacaran mereka sampe ke nikahan?
Nah itu aja spoilernya 😆

Brb, lanjut Russell yang nggak tahu kenapa si Babang tuh sengaja banget kasih lanjutan yang mengarah ke nganu mulu ya.
Kan jadinya KE.ZEL!






Published : Feb - Apr 2018
New version : 22.07.19 (17.38 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top