Part 4 - Beautiful Stranger
Setelah menyelesaikan pekerjaan dadakan yaitu menjadi kurir untuk mengambil setelas jas dan menyerahkan pada Ferguso, Cassandra langsung bergegas menuju ke sebuah tempat yang sudah diberitahukan oleh Rheina. Paulaner Brauhaus, restoran asal Jerman yang memiliki spesialisasi bir.
Seharusnya Cassandra tidak mengunjungi tempat yang berbau Jerman. Seharusnya. Tapi kebutuhan minumnya jauh lebih kuat ketimbang satu kata kunci brengsek yang menjadi kata keramat dalam hidupnya.
Dengan langkah kasar, Cassandra memasuki tempat itu dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suasana tempat itu cukup ramai namun tidak terlalu padat. Setidaknya, Cassandra bisa bernapas lega dan membuatnya mudah mendapati Rheina yang sudah melambaikan tangan ke arahnya.
Senyum Cassandra mengembang dan segera berjalan mendekati Rheina yang sedang duduk dengan pria bule yang duduk di samping Rheina.
"Kenalin, ini Theo," ujar Rheina mengenalkan teman kencan yang baru dikenalnya tadi siang.
Cassandra berjabat singkat dengan pria bernama Theo dengan enggan, sama sekali tidak tertarik dengan paras import, terutama bermata biru. Tentu saja, hal itu membuatnya teringat dengan satu kata keramat yang disebutnya barusan. Jerman. Bermata biru. Fuck!
Perkenalan hanya dilakukan dengan singkat, sebab Cassandra sama sekali tidak ingin melihat lebih lama, paras yang terlihat menjengkelkan bagi Cassandra, terutama sorot mata Theo yang penuh minat padanya. Dasar hidung belang! Satu Rheina saja ternyata tidak cukup untuknya. Cih!
"Habis ini kita mau ke klub, lu mau ikutan?" tanya Rheina senang.
Cassandra tertegun. "Mau ngapain?"
"Buat tobat. Ya hepi-hepi lah!" decak Rheina kesal.
"Emangnya nggak bisa di sini aja?"
"Di sini nggak bakalan ketemu cowok kampret buat pengalihan. Rata-rata bengkok semua kalo ngetem di kafe."
"Ya tapi bukan berarti di klub, cowok pada lurus juga, Rhei."
"Jadi, ngapain lu samperin gue ke sini?"
"Minum."
"Cuma nge-beer mah bukan minum. Kalo mau bandel, jangan setengah-setengah! Makanya lu baperan jadi cewek," sewot Rheina.
"Tapi niatnya gue emang cuma kepengen minum, Rhei. Sama sekali nggak punya rencana buat cari cowok di klub."
"Justru yang nggak sesuai dengan rencana itu yang akan menjadi titik akhir dalam hidup lu, antara lu jadi bego atau jadi bener. Udah gitu aja."
"Sial."
Cassandra terkekeh geli dan menyibakkan rambutnya.
"Jadi, lu beneran nggak mau ikutan ke klub? Theo mau bawa temen, siapa tahu lu tertarik," tanya Rheina lagi. Sementara Theo yang merasa namanya disebut, langsung menoleh ke arah keduanya dengan senyum sumringah.
Cassandra hanya menarik napas dan menatap Rheina masam. "Gue minum dulu deh, liat ntar aja. Kalo mood gue masih nggak bagus, gue ikut."
Rheina tertawa pelan dan menyodorkan buku menu. "Tuh pesen aja."
"No, gue mau ke meja bar aja. Malesin banget liat muka cowok lu yang lagi mupeng. Jijik," sinis Cassandra sambil beranjak dan Rheina hanya tertawa saja.
Tentu saja, pemahaman tentang kebebasan ala Rheina, sangat berbanding terbalik dengan Cassandra. Dia tidak pernah berhubungan dengan sembarang lelaki yang baru dikenalnya, lalu meninggalkan keesokan harinya. No. Dia masih belum memiliki nyali sebesar itu.
Meski selama ini, dia menginginkan kebebasan dan itulah yang diberikan orangtua padanya. Dia yang selalu mengeraskan hati dan memegang teguh apa yang diyakininya baik, mengabaikan setiap peringatan dari orangtua, hingga akhirnya terjatuh dalam kesakitan akibat sikap keras kepalanya.
"Hell, Dunkel and Weßbier, 500 ml on each glass," ujar Cassandra ke arah Brewer, ketika sudah duduk di kursi meja Bar.
Cassandra meletakkan siku di atas meja dan memijat pelan keningnya. Rasa lelah membuatnya muak dan ingin menumpahkan kekesalan kepada siapapun juga. Bukan hanya pekerjaan, namun juga hidupnya.
Kosong dan hampa, itu yang ada dalam hatinya saat ini. Dia enggan untuk berbagi atau meluapkan segala permasalahan dalam hidup kepada orang lain, terutama keluarga. No.
Melakukan kesalahan tentunya bukanlah satu hal yang mudah untuk menebusnya. Dia sudah berjanji untuk membahagiakan diri sendiri, melupakan apa yang sudah berlalu, dan menapaki langkah baru dalam hidup. Tapi nihil. Entah sudah berapa tahun dia menjalani kesendirian ini, sejak kejadian itu. Sejak...
"Hello, Gorgeous."
Suara yang terdengar begitu hangat, tiba-tiba datang menyapa dari samping kirinya. Spontan, Cassandra menoleh dan tertegun selama beberapa saat. Seorang pria dengan penampilan berkelas, bertubuh atletis, dan memiliki sorot mata paling teduh yang pernah dilihatnya. Dia tampan, terkesan sedikit nakal dalam kerlingan mata yang menggoda.
Apa kata Rheina soal tidak ada pria yang bisa ditemui di sebuah tempat minum seperti ini? Cassandra bahkan memekik kegirangan melihat sosok rupawan yang kini memiringkan wajah dan memberikan senyuman yang menampilkan sepasang lesung pipi yang dalam. Spontan, Cassandra tersenyum padanya.
"Hello, Stranger," balas Cassandra. "Do I know you?"
Pria itu memberikan tawa pelan mendengar pertanyaan Cassandra yang memiliki nada sindiran, dan sepertinya ditangkap dengan mudah. Well, dia bukan pria bodoh, pikir Cassandra.
"No. You're not. That's why I came here to ask you," jawabnya ramah.
So, pria berkelas yang tidak mungkin tidak ada yang mau, berniat untuk mengajaknya berkenalan, pikir Cassandra kembali, dengan semua intuisi yang penuh kewaspadaan. Cassandra sudah bisa menebak apa yang diinginkan pria itu.
"For what? Kamu lagi taruhan sama temen kamu, untuk bisa kenalan sama cewek secara random di sini? Modusnya udah keburu basi," balas Cassandra dengan alis terangkat setengah.
Pria itu memberikan ekspresi takjub, lalu kembali tertawa pelan. Ya Lord, kenapa tawa dan senyumnya seperti candu yang menyenangkan? Seolah hal itu saja sudah memberi ketenangan bagi Cassandra untuk melupakan segala kepenatan dan permasalahan dalam hidupnya.
"Aku paham kalau kamu sering banget dideketin sama cowok, sampai kamu langsung mikir jelek. That's okay, it's normal. But sorry, tebakan kamu salah," ujarnya dengan sorot mata teduh yang semakin membuat perasaan Cassandra membaik.
Tak lama kemudian, pesenannya tiba. Ada tiga gelas di sana. Cassandra segera mengambil satu gelas dan meneguknya tanpa ragu. Dia menandaskan satu gelas beer dan mendesah lega setelahnya. Pria tampan. Segelas beer. Gosh! Ternyata menyenangkan, batinnya lega.
"Lagi banyak pikiran?" tanya pria itu.
Cassandra hanya tersenyum dan menyodorkan satu gelas beer padanya. "Buat kamu."
Alis pria itu terangkat. "Kamu ngajakin aku minum bareng?"
"Daripada kamu pelototin orang nggak jelas? Ada baiknya, kamu ikut minum, supaya ada kerjaan tanpa perlu liatin orang terus kayak gitu," sahut Cassandra dengan santai.
Cassandra menyilangkan kaki, sehingga terusan yang dikenakan sedikit tertarik ke atas, membuat kaki jenjangnya terekspos dengan jelas. Pria itu memperhatikan dan mengawasi setiap pergerakannya, Cassandra tahu itu. Herannya, jika tadi kenalan Rheina menatapnya dengan sorot mata penuh minat membuatnya risih, kali ini tidak. Cassandra justru merasa senang diperhatikan oleh pria itu.
"Okay. But my treat," putus pria itu dan langsung meneguk beer itu sampai habis.
Cassandra terkekeh dan kembali meneguk gelas keduanya. Kali ini tidak sampai habis karena perutnya terasa kurang nyaman. Damn! Dia baru ingat jika belum makan malam. Semua gara-gara jas sialan Uncle Jose yang menyebalkan itu.
"Kamu sendirian?" tanya pria itu, membuyarkan lamunan Cassandra.
Cassandra kembali menoleh dan membalas tatapan sepasang mata teduh itu. "Maunya kamu gimana?"
"Berduaan aja sama aku," balasnya spontan, lalu terkekeh geli setelahnya.
"Receh banget," sahut Cassandra.
Tangan pria itu terulur kepadanya. "Kita belum kenalan. Namaku Wayne."
Wayne? Nama yang unik dan sangat jarang di pasaran, pikir Cassandra. Dan sialnya, nama itu memang sangat pantas untuk dimiliki seorang pria yang memberikan aura penuh kedamaian.
Cassandra menyambut uluran tangan dan menahan napasnya ketika pria itu menjabatnya dengan erat. "Cassandra."
"Cassandra," ucap Wayne dengan tatapan menerawang. "Nama yang cantik, kayak orangnya."
Cassandra tertawa pelan sambil menarik tangan, namun tertahan karena jabatan Wayne mengetat di sana. Shit!
"Bisa dilepasin?" tegur Cassandra dengan alis terangkat.
Wayne terkekeh sambil menarik tangan Cassandra ke arah mulutnya, dan... cup! Wayne mengecup punggung tangannya dengan hangat dan singkat. Hal itu membuat degup jantung Cassandra hampir mencelos keluar. Sial! Pria yang ada di hadapannya, sudah pasti memiliki sepak terjang yang luas di luaran sana. Sangat pandai menarik perhatian.
"Kebiasaan yah kalau ketemu cewek kayak gini?" desis Cassandra sambil menarik tangan dan bergeser sedikit untuk menjauh dari Wayne.
"Nggak. Aku nggak pernah ngelakuin hal barusan. Baru kali ini," balasnya cepat.
"Semua cowok juga jawab hal yang sama kalau ditanya kayak tadi," sahut Cassandra.
"Jelas berbeda," ujar Wayne dengan lugas dan tetap memberikan senyuman. "Karena niat aku adalah untuk mencari calon istri, bukan selingan."
Cassandra membulatkan mata, melirik ke kanan dan ke kiri, lalu kembali menatap Wayne dengan bingung. "Di sini bukan biro jodoh. Di sini....,"
"Calon istrinya itu kamu," sela Wayne halus.
Cassandra tersentak kaget dan hampir limbung, sampai akhirnya Wayne meraih pinggangnya. Aroma maskulin dari Wayne tercium jelas dan membuat dirinya menjadi gugup. Sudah lama sekali, dia tidak sedekat ini dengan pria.
Mereka bertatapan selama sepersekian detik, melempar sinyal penuh ketertarikan di antara keduanya, hingga Cassandra menyadarkan diri untuk segera beringsut mundur dari Wayne yang kini sudah tersenyum hangat di sana.
"Sorry, mungkin aku udah keburu mabuk," gumam Cassandra sambil kemudian meraih gelas dengan sisa setengah beer, tapi langsung ditahan oleh Wayne.
Cassandra menoleh pada Wayne dengan waspada, ketika pria itu memberikan sorot mata teduhnya yang menenangkan. "Jangan diterusin. Kamu bukan mabuk tapi pusing. Aku takut kamu sakit. Muka kamu udah pucat, kayak belum makan."
Deg! Apakah selain pintar menarik perhatian, Wayne juga pintar menilai kondisi fisik pada lawan bicara? Jika ya, Cassandra harus berhati-hati padanya.
"Jangan sok tahu. Kamu udah kayak calon suami posesif," balas Cassandra kalem, sambil menarik tangan Wayne yang menahan gelasnya.
Wayne tersenyum lembut, sambil merebut gelas itu dari Cassandra dengan cepat. "Buat calon istri kayak kamu, mungkin aku rela jadi bucin seumur hidup."
Wayne meneguk habis sisa beer yang ada pada gelas Cassandra tanpa beban. Dia hendak mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangan, tapi sudah lebih dulu ditahan Cassandra. Alisnya terangkat bingung, tapi Cassandra memberikan senyuman.
Cassandra meraih selembar tissue yang ada di meja Bar, lalu mengusap bibir Wayne dengan lembut. Mata Wayne melebar kaget menerima perhatian dari Cassandra. Tentu saja, tidak hanya Wayne bisa menarik perhatian dengan sikap manis, Cassandra pun mampu. Mumpung sudah tidak ada kesibukan, Cassandra berniat untuk meladeni permainan pria tampan bernama Wayne ini.
"You just met me, Stranger. Don't speak nonsense," ucap Cassandra sambil menarik tangannya dan menatap Wayne dengan sorot mata berkilat.
"And already I have a strong urge to want you," tukas Wayne dengan suara yang nyaris berbisik.
"Glad to know that," balas Cassandra santai.
"So, do you want to have dinner with me? We can go somewhere which more private."
Cassandra tertawa pelan sambil menyibakkan rambut panjangnya. "Aku bawa mobil."
"Mudah. Kebetulan aku nggak bawa mobil," balas Wayne cepat.
"Jadi, maksudnya kamu mau cari tebengan buat pulang?"
Wayne spontan tertawa keras dan menggelengkan kepala. Dia menatap Cassandra sekilas, lalu mengarahkan tubuh ke arah sudut restoran, dan menunjuk ke sebuah meja dengan adanya tiga pria muda yang sepertinya seumuran dengannya.
"Aku tadi sama mereka. You know? Boys day out," ujarnya memberitahu.
Cassandra mengangguk paham sambil membalas tatapan tiga pria yang sedang menatap ke arahnya dengan tatapan sumringah. Seperti memang sudah mengawasi pergerakan Wayne dan dirinya sedari tadi. Ckckck.
"Jadi, kalau taruhannya menang, kamu dapat apa?" tanya Cassandra spontan.
Wayne kembali menoleh ke arahnya dengan tatapan tidak setuju. "Seperti yang aku bilang, aku nggak punya niat kayak yang kamu bilang. Aku memang dalam proyek buat cari calon istri."
"Dan calonnya aku?"
"Iya."
"Why?"
"Simple. Karena kamu cantik dan termasuk tipeku."
Cassandra tertegun. "Semudah itu kamu cari calon istri? Heck! Apa kamu akan ngelakuin hal yang sama, kalau yang datang bukan aku?"
Wayne tampak meringis dan terlihat ragu untuk menjawab. Hmmm...
"Menurut penelitian, pengalihan pemandangan itu bagus untuk kesehatan mata dan aku setuju soal itu. Aku bosen kumpul sama mereka dan rasanya ada hal yang menarik perhatianku, waktu kamu masuk ke sini," ujarnya menjelaskan.
"Lalu samperin aku, ngajak kenalan, ngajak dinner, dengan modus buat cari tebengan?"
"No," balas Wayne sambil tertawa pelan. "Sebab aku meramal kalau kamu adalah calon isteriku dan memang seperti itu."
Cassandra menegakkan tubuh dan menikmati sorot mata teduh yang sedang menatapnya sekarang. "Apa yang kamu tawarkan ke aku sekarang, Wayne?"
"I'm not sure," jawabnya jujur. "Tapi yang jelas, aku kepengen kenal lebih dalam sama kamu. Mudah-mudahan nggak keberatan."
"Dan kalau aku keberatan?"
Wayne mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyodorkan pada Cassandra. "Minta nomor handphone dan aku akan kabarin kalau udah punya ide yang lebih receh dari sekarang, supaya kamu nggak keberatan."
Cassandra tertegun lalu tertawa geli mendengar lelucon konyol dari Wayne. Sementara pria itu hanya meringis saja.
"Cassandra," sebuah tepukan ringan, bersamaan dengan panggilan yang tegas, membuat Cassandra dan Wayne langsung menoleh ke arah Rheina yang sudah berdiri di sampingnya, bersama dengan Theo.
"Rhei...,"
"Ini siapa?" tanya Rheina penuh minat dan mengerling nakal ke arah Wayne.
Belum sempat Cassandra memberitahu, Wayne sudah mengambil alih dengan beranjak berdiri menghadap Rheina dan mengulurkan tangan.
"Kenalin, saya Wayne. Calon suami Cassie," ujar Wayne dengan penuh percaya diri.
Cassandra membulatkan mata dan mulut terbuka lebar ketika mendengar ucapan Wayne barusan. Tidak hanya dirinya, tapi Rheina juga. Theo hanya mengerutkan alis dan menatap Wayne heran. Namun ada satu sensasi yang menggelitik ketika Wayne memanggilnya dengan sebutan nama kecilnya. Cassie.
"I-Ini serius?" tanya Rheina tergagap.
"Serius kok," jawab Wayne santai sambil menjabat tangan Rheina, lalu berjabat tangan dengan Theo.
"Tapi tadi Cass...,"
"Masih dalam usaha," sela Wayne pelan. "Doain aja mudah-mudahan berhasil."
Rheina langsung tersenyum sumringah dan menoleh pada Cassandra dengan kode mata yang menyiratkan kesenangan yang tidak disangka, lalu kembali menoleh pada Wayne.
"Kalau gitu, gimana kalau lu ikutan? Rencananya, kita mau ke klub," ajak Rheina semangat.
"Rhei, gue...,"
"Ke klub?" sela Wayne dengan alis berkerut dan melirik ke arah Cassandra dengan tatapan menilai. "Ajakan yang menarik, tapi sayangnya, saya sama Cassie udah janjian buat dinner bareng sekarang."
Lagi. Cassandra tertegun dan menggelengkan kepala karena kepercayadirian Wayne yang begitu tinggi.
"Seriusan?" seru Rheina dan langsung menoleh pada Cassandra, lalu berbisik. "Kampret lu, ngomongin gue aja bisanya, ngedate sama cowok yang baru gue kenal di jam makan siang. nggak tahunya, lu lebih binal daripada gue."
Mata Cassandra terbelalak dan melotot tajam pada Rheina yang sedang terkekeh geli, sambil beranjak dari kursi. "Ngomong jangan sembarangan."
"Saya yang ngajak Cassie, pake maksa kok. Nggak mungkin cewek secantik dia, mau terima tawaran saya gitu aja," ujar Wayne kalem, seolah bisa mendengar bisikan Rheina barusan.
Wajah Cassandra memanas. Rheina benar-benar sudah mempermalukannya.
"Terus kenapa maksa?" tanya Rheina ingin tahu.
"Kayaknya dia nggak suka ke sana. Klub malam bukan tempat yang cocok buat cewek stunning kayak dia. Jadi, saya kasih jalan keluar yang mudah, supaya dia bisa menolak ajakan kamu," jawab Wayne sambil menyeringai geli.
Sial! Sial! Sial! Wayne semakin membuat perasaan Cassandra melambung tidak karuan. Bisa-bisanya dia melemparkan serangan yang membuat Cassandra seperti melayang. Cowok ini bener-bener bahaya, batin Cassandra.
Tiba-tiba, Cassandra terdorong maju, hingga membentur tubuh Wayne, dimana pria itu segera merangkul dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Rheina sengaja mendorongnya dengan kurang ajar.
Cassandra bisa merasakan dengusan napas kasar dari Wayne dan buru-buru mengangkat wajah untuk melihat Wayne yang sedang menatap Rheina dengan tatapan tidak suka.
"Kebetulan banget, dia lagi butuh temen dan perhatian. Silakan bawa dia, dan jangan nyakitin yah. Gue duluan yah, Cass!" ucap Rheina sambil menepuk bahu Cassandra, sama sekali tidak merasa sedang dipelototi oleh Wayne, dan berlalu begitu saja dengan Theo.
Wayne pun menunduk dan menatap Cassandra cemas. "Kamu baik-baik aja?"
Cassandra beringsut mundur. "Aku baik-baik aja. Sorry kalau...,"
"No. Kamu nggak salah. Yang salah itu temen kamu. Gaya bercandanya kampungan banget," sela Wayne datar.
"Mmm, sorry. Kalau gitu...,"
"Stay!" sela Wayne lagi. "At least, kasih aku kesempatan buat mengenal kamu. Anggap aja kamu berterima kasih karena aku udah nyelametin kamu dari ajakan Rheina. Keputusan kamu tepat, bahwa klub adalah tempat yang nggak layak buat cewek cantik kayak kamu."
"Tapi...,"
"Aku bukan orang jahat, Cassie. Aku cuma berniat untuk ngajakin kamu makan malam and that's all."
Cassandra terdiam sambil mempelajari ekspresi Wayne. Seharusnya pria itu tidak berbahaya dan bukan tipikal pria pemaksa. Pikirannya menyuruh untuk menolak, tapi hati kecilnya menyuruh sebaliknya.
"No ONS," ucap Cassandra tegas. "Just dinner."
"And talk," lanjut Wayne sambil menyeringai senang.
"Jangan macem-macem," kembali Cassandra mengingatkan sambil meraih tas tangannya.
Wayne tersenyum hangat, memberikan sorot mata teduhnya, sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang, dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang ditaruh di atas meja bar untuk membayar minuman mereka.
"Aku cuma 1 macam aja," ujar Wayne kalem.
"Apa?"
"Nggak akan menolak kalau kamu yang minta, juga nggak akan memaksa kalau kamu nggak mau."
Cassandra hanya tertawa pelan sambil melangkah keluar bersama dengan Wayne, dimana tanpa sepengetahuannya, Wayne yang berdiri di belakangnya, memutar tubuh untuk melihat tiga temannya yang sedang menyeringai dari kejauhan, lalu mengarahkan jari tengah kepada mereka. Tanda sebuah seruan kemenangan darinya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Wayne, kamu nakal 🙈
Published : Feb - Apr 2018
New version : 19.07.19 (08.30 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top