Part 11 - Silly order with an unexpected offer

Terima kasih sudah menunggu lapak ini dengan sabar.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Wayne menatap Lea dengan alis berkerut heran ketika membuka pintu kamar dan mendapati adiknya yang mengetuk pintu.

“Kamu kok di sini?” tanya Wayne kaget.

Lea mengangguk dan segera memeluk Wayne dengan erat. “Semalam baru sampe dan kamu udah tidur. Long time no see, Brother. I miss you.”

Menarik diri dari pelukan dan membalas tatapan sumringah Lea dengan bingung. “Jangan bilang kalau tunangan norak itu ngerongrong kamu untuk pulang dengan alasan ini itu. Apa dia makin nggak waras, Lea? Kasih tahu aku, biar aku hajar kepalanya lagi kayak dulu!”

Setelah aksi norak Nathan yang menyusul Lea sampai ke NYC dengan niat protes soal pernikahan yang rencananya akan diundur jika Wayne masih belum mendapatkan pendamping, tentu saja Lea kalang kabut dan harus mengurut dada atas sikap Nathan yang tidak mau tahu.

Satu minggu keberangkatan diperpanjang menjadi dua minggu karena Nathan tidak akan kembali ke Jakarta jika Lea masih belum mengurungkan niat itu. Alhasil, dengan sangat terpaksa, Lea mengabulkan permintaan Nathan bahwa pernikahan akan berjalan sesuai rencana.

Lea menggeleng. “Kayaknya kamu lupa kalau Sabtu ini ada perayaan ulang tahun Dad yang ke-60, berbarengan dengan ulang tahun pernikahan orang tua kita yang ke-30.”

Alis Wayne berkerut. “Emangnya sejak kapan Dad suka ngerayain ulang tahun? Kayak bocah aja.”

“Katanya angka usia 60 dengan angka pernikahan 30 itu bagus, makanya dirayain,” jawab Lea sambil melingkari lengan Wayne ketika mereka mulai berjalan berdampingan menuju ke ruang makan.

“Terus kenapa kamu pagi-pagi udah bangun? Kan kamu baru aja sampe semalem,” tanya Wayne.

“Mom minta ditemenin buat fitting gaun,” jawab Lea sambil menekuk cemberut. “Belum lagi nanti siang kudu ikutan pilih tema dekor buat hari H nanti.”

Mata Wayne membulat seakan tidak percaya. “Astaga, Lea! Ini kamu mau nikahnya masih tahun depan kan? Masih ada sekitar tujuh bulanan lagi?”

Lea tersenyum hambar. “Karena aku cuma balik Jakarta sekarang ini, Wayne. Kebetulan, aku dan Julia lagi ambil cuti summer sampe satu bulan ini. Habis itu, kami akan terus magang tanpa cuti lagi. Jadi, aku bakal balik ke sini pas Februari tahun depan.”

Belum-belum, Wayne sudah merasa ngeri dengan persiapan pernikahan yang melelahkan. Ekspresi Lea terlihat jelas bahwa dia seperti tertekan dan mengemban beban yang begitu berat. Haruskah merasa tersiksa seperti itu?

Wayne menghentikan langkah sebelum menuruni anak tangga dan mengarahkan Lea agar berdiri berhadapan dengannya. Lea menatap Wayne heran dengan alis berkerut.

“Apa kamu bahagia, Lea? Bilang sama aku. Jangan paksain diri kalau kamu belum siap. Married itu urusan seumur hidup dan nggak bisa kamu jalanin kalau setengah hati,” ucap Wayne dengan nada tegas.

Dia tahu jika Lea sangat mencintai Nathan  dan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, semakin hari semakin aneh saja kelakuan sahabatnya itu. Entah posesif, trauma, atau obsesi yang dilakukan Nathan, karena pria itu selalu melakukan hal yang dianggap Wayne adalah bentuk penyesalan karena sudah nekat melamar wanita. Sudah kepalang tanggung, pikir Wayne dongkol.

Di luar harapan, Lea tersenyum lembut dan mengangguk tanpa ragu. “Kami saling sayang dan berusaha untuk mengenal satu sama lain dalam hubungan yang jauh lebih serius dari yang kami kira. So far, aku bahagia. Sangat. Aku cuma nggak mau bahagia di atas penderitaan kamu. Itu aja.”

“Nggak usah pikirin aku, Lea. Apa yang aku alamin itu karena nasib aku yang lagi sial dan Dad yang lagi kumat resenya. Entar juga dia bakalan nyesel karena udah maksain kehendak absurd kayak gjtu,” balas Wayne tegas.

“Jadi, kamu udah dapetin calon istri belum? Katanya lagi deketin cewek yang namanya Cassandra tapi kok nggak ada update cerita dari kamu?” tanya Lea yang spontan membuat Wayne teringat akan Cassandra.

Memikirkan hal itu, perasaan Wayne semakin jengkel. Bayangkan saja, tidak ada sejarahnya bagi Wayne untuk menunggu respon wanita sampai satu bulan. Meski satu gedung dan menjalani proyek bersama, tidak membuat Wayne mudah untuk mendekati Cassandra di sela-sela jam kerja.

Selain karena wanita itu datang lebih awal ke kantor, menghadiri pertemuan dengan presentasi yang memuaskan, dan efisiensi kerja yang cukup membuat Wayne kagum, Cassandra seperti sengaja menghindar darinya. Shit!

Wayne tidak diberi kesempatan untuk mencari celah dimana letak kesalahan Cassandra sehingga dia kesulitan untuk mendapat alasan agar bisa berdua saja. Satu bulan sialan ini, Wayne masih belum berhasil mendekati Cassandra meski hanya duduk bersama untuk secangkir kopi.

“Yang ini agak sulit. Dia bukan cewek sembarangan,” ucap Wayne akhirnya.

Lea mengangguk maklum dan menepuk bahu Wayne dengan ringan seolah menenangkan. “Sabar, Brother. Selera kamu emang ketinggian dan jangan ngeluh kalau susah dapetinnya. Mudah-mudahan kali ini bisa bikin kamu tobat.”

Wayne tertawa pelan sambil mengacak rambut Lea dengan gemas. Merangkul bahu Lea, Wayne melanjutkan langkah untuk menuruni anak tangga menuju ke ruang makan di lantai dasar.

Setiap pagi, sebelum melakukan aktifitas, Wayne dan keluarganya akan mengusahakan untuk menikmati sarapan bersama. Itu adalah ketentuan wajib yang diterapkan oleh ibunya guna menjalin komunikasi dalam keluarga.

Di ruang makan, Warren dan Louisa sudah duduk di meja makan, tampak menunggu kedatangan Wayne dan Lea. Mereka mengucapkan selamat pagi kepada orang tua, lalu duduk di kursi yang sudah ditetapkan.

Obrolan ringan pun dilakukan dan kali ini berfokus pada Lea yang memang baru pulang ke rumah setelah dua bulan menjalani masa magang di NYC. Lea menceritakan apa saja tentang kegiatannya dan itu melegakan Wayne untuk tidak perlu berbicara dalam obrolan basa basi.

“Btw, ini udah sebulan lebih dari kesepakatan kita, Wayne. Apa kamu udah ada calon yang mau kenalin sama Dad?” tanya Warren santai.

Tentu saja, Wayne tahu jika Warren terang-terangan sedang menyindirnya. Mengetahui Warren yang sangat mengenal dirinya, membuat Wayne dongkol setengah mati sekarang.

Memasang ekspresi yang masih datar sedaritadi, Wayne hanya melirik singkat dan tetap menekuni sarapannya. “Baru juga sebulan, Dad. Mungkin Dad lupa kalau kesepakatan kita itu 3 bulan.”

“Nah, kalau udah tahu begitu, harusnya sekarang ini kamu udah punya gandengan. Kecuali kalau kamu emang niat buat kadalin Dad dan cari pasangan di waktu yang mepet untuk menghindar,” sahut Warren tidak kalah datarnya.

Sial! Apa yang diucapkan Warren barusan, membuat Wayne menghembuskan napas kasar.

“Dad, kita lagi makan. Jangan bikin keributan,” tegur Lea dengan alis berkerut tidak suka. “Lagian, Dad jangan kayak gitu. Jangan cari-cari alasan supaya aku nggak nikah buru-buru, terus Wayne jadi pelampiasan.”

Wayne semakin kesal saja mendengar ucapan Lea barusan. Jika Warren benar-benar belum ingin anak perempuan kesayangannya menikah dan menjadikan Wayne sebagai tumbal, sudah pasti Wayne tidak akan tinggal diam.

“Dad sama sekali nggak ada niat kayak gitu. Yang punya ide jodoh-jodohan itu Mom, bukan Dad,” elak Warren.

“Lho kok jadi Mom yang disalahin? Kan kamu yang ngotot pengen Wayne dikenalin sama anak temen baik kamu,” protes Louisa dengan ekspresi tidak suka.

Wayne mengangkat alis setengah sambil menatap Warren tajam. Sudah tertangkap basah tapi masih saja tidak mengaku, hal yang sudah biasa dilakukan ayahnya.

“Jangan-jangan, dulu Dad naksir sama istri teman baik sampe ngebet pengen jodohin aku sama anaknya,” sindir Wayne sinis.

Warren malah menyeringai. “Sorry to say that your Mom was irreplaceable. Nggak usah balik nyindir. Kalau emang belum dapetin calon istri yah tinggal ngaku aja, kenapa harus gengsi?”

“Aku udah punya!” sembur Wayne gerah. “Nggak perlu aku pengumuman sama Dad soal urusan pribadi aku!”

Fine! Kalau gitu buktikan! Bawa calon yang kamu punya dan kenalin sama Dad! Justru kalau dari sekarang kamu udah kenalin, Dad percaya. Tapi kalau mepet-mepet, Dad anggap kesepakatan kita batal! Jangan kamu kira Dad mau dikenalin sama sembarang cewek yang kamu asal comot di jalanan!”

What? Emangnya Dad kira aku bakalan mau sama cewek yang ketemu di jalanan?”

“Cuma ingetin aja kalau seorang Setiawan, bukan orang gampangan,” balas Warren angkuh. “Karena itu, pikir baik-baik siapa yang akan kamu kenalin ke Dad. Intinya, Dad nggak mau terima sampah.”

Wayne menaruh alat makan dengan kasar sambil beranjak dari kursi. Tidak ada gunanya dia tetap berada di sana selain menghabiskan waktu untuk berdebat dengan ayahnya. Mengabaikan panggilan Lea dan Louisa, Wayne pergi tanpa pamit.

Tentu saja hari ini akan menjadi hari buruknya karena berangkat ke kantor dengan hati yang dongkol. Mood yang buruk mempengaruhi kinerja yang tidak akan memberi pendidikan apa-apa selain menjadi menyebalkan bagi para staff-nya.

Kesalahan sedikit saja akan menjadi masalah besar untuknya. Seperti yang dilakukan Wayne ketika dirinya tiba di kantor saat ini. Menggelar rapat dadakan, meminta presentasi dari proyek yang terhambat, berteriak dan memaki kepada kepala divisi yang tidak memberi jawaban yang memuaskan. Semua terlihat salah di matanya. Damn!

Baru kali ini, Wayne tidak mampu mengendalikan emosi, sebab bukan dirinya yang sulit untuk menguasai diri. Sambil menggertakkan gigi, Wayne beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan rapat dengan rasa tidak puas. Semua karena urusan keparat yang membuat dirinya tidak terkendali seperti sekarang.

“Batalkan semua jadwal saya hari ini! Saya tidak mau ada telepon atau apa pun itu!” sembur Wayne sambil berjalan ketika melewati meja Grace, dimana asistennya sedang berdiskusi dengan Cassandra.

Cassandra tertegun melihat ekspresi Wayne yang menggelap saat melewati dirinya begitu saja. Bahkan, Wayne tidak perlu repot-repot menyapa atau sekedar melempar senyuman pada wanita itu karena saat ini, dia membutuhkan ketenangan untuk menetralkan emosi.

Menutup pintu dengan kasar dalam debuman kencang, Wayne melangkah menuju ke meja kerjanya dan menghempaskan tubuh di kursi. Lelah dengan semua hal yang terjadi beberapa bulan terakhir. Geram, itu sudah pasti. Bagaimanapun nanti hasilnya, Wayne harus segera membalas tindakan Warren yang sudah membuatnya murka.

“Bisa ngomong jangan cari cewek sembarangan, tapi suruh orang cari bini dalam waktu 3 bulan! Motherfucker!” umpat Wayne sambil menghentakkan meja dan menggeram kesal.

“Umur gue masih 28 dan disuruh kawin? Brengsek! Suruh gue mati aja sekalian!” lanjut Wayne seorang diri dengan berbagai macam pikiran yang sudah tidak karuan.

Wayne menghela napas kasar sambil mengusap keningnya yang berdenyut. Memejamkan mata selama beberapa saat dan mencoba menikmati ketenangan yang ada dalam ruangannya. Menghitung satu sampai sepuluh dalam hati, berharap jika emosinya mengurai dan suasana hatinya kembali membaik.

Baru saja dia merasa lebih baik, tapi ketukan pintu ruangan membuyarkan semuanya. Mendesis tajam, dia menatap satu sosok yang berani mati untuk masuk ke dalam ruangannya saat ini, membalas tatapan dari sepasang mata hijau yang penuh kesan waspada, dan mendekap erat dokumen di dada.

Cassandra tampil dengan begitu cantiknya dalam balutan terusan selutut berwarna kuning gading yang membalut pas di tubuhnya yang langsing. Tentu saja, kapan wanita sialan itu tidak pernah cantik?

“Mau apa kamu ke sini?” tanya Wayne sinis, sama sekali tidak merasa harus menjaga sikap, sekali pun di depan Cassandra.

Terlihat ragu, Cassandra melangkah mendekat sambil mengawasi ekspresi Wayne, demikian sebaliknya. Jika tadi Wayne merasa tidak tenang, kini perlahan membaik. Bisa berhadapan dengan Cassandra sambil bertatapan seperti ini saja, sudah membawa kelegaan bagi Wayne pribadi.

“Dokumen ini perlu ditandatangani karena pihak konsultan membutuhkan salinan untuk dipelajari,” jawab Cassandra kemudian.

“Salinan?” tanya Wayne dengan alis terangkat setengah sambil bersandar di punggung kursi. “Kenapa aku harus tanda tangan di salinan dokumen?”

Cassandra mengerjap panik dan terlihat berpikir. Sial! Wayne kembali merutuk melihat bagaimana wanita itu menunjukkan kegugupan lewat kebiasaan dalam menggigit bibir bawahnya yang seksi.

Menyadari kesalahan, Cassandra malah melumat bibir yang semakin membuat napas Wayne memburu kasar.

“Aku pikir semua dokumen harus ditandatangani sama kamu,” jawab Cassandra gugup.

Why should I?”

“Because you’re the boss.”

“Correct! Because I’m the boss, then you shouldn’t asking me to sign those fucking shit!”

Cassandra tersentak kaget mendengar umpatan kasar Wayne dan menatap dengan tidak percaya. Masih dengan sikap gugup, dia berusaha mengendalikan diri untuk memberikan penjelasan yang sama sekali tidak berguna.

“Aku pikir semua dokumen yang akan diberikan ke pihak ketiga, harus diperiksa sama kamu,” ucap Cassandra dengan suara mencicit.

Wayne mendesis tajam. “Kalau gitu buat apa aku bayar mahal untuk orang yang menjabat sebagai manajer pelaksana dan direktur operasional? Apa Grace nggak kasih tahu kamu soal mereka?”

“B-Bukan.”

“Jadi, Grace bener-bener nggak kasih tahu kamu?” tanya Wayne sambil menyipit tajam.

Cassandra yang terlihat semakin gugup sudah cukup memberi jawaban atas pertanyaannya barusan. Great! Kesempatan untuk Wayne melampiaskan kekesalan yang tidak semakin baik dan kali ini Grace yang menjadi sasaran Wayne.

Wayne segera beranjak dari kursi , berjalan memutari meja, dan melangkah menuju ke pintu. Tapi belum sempat sampai ke sana, Cassandra buru-buru menghalangi.

“Minggir, Cassie,” tegur Wayne datar.

Cassandra menggeleng keras dan tetap pada posisinya untuk menghadang langkah Wayne. “Aku yang nggak tanya sama Grace dan main masuk ke dalam sini. Aku yang nggak baca situasi kalau kamu nggak mau diganggu tapi...,”

“Jadi kamu udah banyak kesalahan,” sela Wayne sambil menyeringai sinis.

“A-Apa?”

“Sudah sebulan di sini, harusnya kamu tahu kalau aku nggak suka peraturan dilanggar. Setiap pelanggaran, sudah pasti ada konsekuensi yang harus diterima. Suka atau tidak suka!”

“Fine! What do you want? Apa yang bisa aku bantu supaya kamu nggak uring-uringan kayak gini? This is not you, Wayne. Stop acting idiot and be the way you supposed to be.”

Hening. Wayne hanya bergeming dan menatap Cassandra dengan takjub. Apakah barusan wanita itu menawarkan bantuan agar dirinya tidak menjadi semakin tidak terkendali? Bagaimana mungkin dia bisa begitu menggemaskan? Batin Wayne takjub.

Tidak ingin mengulur waktu, Wayne mengambil satu langkah untuk menipiskan jarak di antara mereka, menarik Cassandra hingga tubuhnya merapat, dan mengembangkan sebuah senyuman hangat serta sorot matanya yang teduh.

“Such a good girl,” gumam Wayne pelan. “You were right, I need help. But first thing first, you have to fulfil my needs with your vitamin C.”



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Tetep yee, ujung2nya minta gitu 😌

Buat kamu yang ikutan ngegombalin aku di lapak sebelah, ckckck.
Hati aku jadi deg2an gini masa?
Gimana coba caranya untuk menahan degup jantung yang udah gak karu2an 🙈





Revision : 19.08.19 (20.18 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top