Part 10 - The Bossy Wayne and His Consequences
Bagi yang menunggu lapak ini, maaf kalau agak lama 😂
Disabarkan yah, nanti juga makin lama makin panas hehehe...
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Gue masih nggak nyangka kalau diem-diem, lu udah gercep duluan!" erang Rheina untuk ke sekian kalinya. "Anjir lu! Ketimpa pulung apa sampe bisa dapetin cowok sekelas Wayne Joseph Setiawan, yang punya Bumi Tekindo?!"
Cassandra menghela napas kasar dan menatap Rheina sinis. "Ngomong jangan sembarangan. Gue dan dia nggak ada hubungan apa-apa."
"Cassandra, sayanggg!!! Don't you get it? Dia jelas-jelas udah ngincer lu pake modus minta lu pindah ke kantor, even nggak ada salahnya juga karena kalau gue jadi lu, gue juga nggak bakal nolak. Pokoknya, lu gila banget bisa dapetin cowok hotlist macam dia!" cerocos Rheina gemas.
"Setahu gue, lu nggak kenal dia waktu ketemuan di Paulaner," balas Cassandra dengan alis terangkat setengah.
Rheina mengeluarkan ponsel dari saku blazer-nya dan mengetik sesuatu di sana. "Begitu gue dapet info dari Bos soal merger yang susah kita dapetin itu, tangan gue udah auto browsing perihal perusahaan sekaligus owner investor kita. And guess what? Woalaaaa..."
Tatapan Cassandra menunduk ketika Rheina menyodorkan ponsel yang sudah terpampang profil Wayne di sana. Tidak menyangka dengan banyaknya informasi yang bisa dia dapati di Google tentang seorang Wayne yang termasuk pengusaha muda yang sukses di bidang usaha batu bara, properti, dan investasi.
Selain sepak terjang di dunia bisnis, Wayne juga cukup terkenal dengan banyaknya wanita yang pernah menjadi teman kencan. Tidak tanggung-tanggung, ada aktris papan atas, supermodel, dan wanita kelas atas yang cukup ternama. Bagi Cassandra, itu sudah biasa. Wayne dengan banyak wanita bukanlah hal yang mengejutkan.
Akan tetapi, ketika tangannya bergerak mendapati pria itu pernah terjerat kasus kekerasan, yang melibatkan sederet nama-nama pengusaha muda lainnya, jelas adalah hal yang tidak mudah dipercaya oleh Cassandra.
Membayangkan sorot mata teduh, senyuman hangat, dan sikap lembut nan sopan yang ditampilkan Wayne, rasanya pria itu tidak akan tega jika hanya memukul seekor nyamuk. Wayne jauh dari kesan kriminal.
"Selain hebat, mapan, dan tampan. Dia juga bahaya," ucap Rheina seperti sedang memberi pengumuman dengan nada senang. "Yang artinya kesukaan bagi semua wanita baper kayak gue."
Cassandra memutar bola mata sambil menyodorkan kembali ponsel Rheina. "Nggak usah terlalu percaya sama media. Bisa jadi, itu cuma akal-akalan mereka untuk naikin pamor orang yang bisa kasih duit banyak dengan ngejelekin namanya."
Rheina berckckck ria sambil menyilangkan tangan. "Ciyeeee, yang udah pernah dinner bareng mah beda. Udah liat batangannya belom? Gede, nggak? Kalo udah liat, baru nyombong sama gue."
"Ih, lu apa-apaan sih? Kok nggak nyambung gitu?"
"Ya elu kayak gitu. Belom-belom udah ngebelain segala. Gue cari informasi biar bisa tahu siapa investor untuk proyek baru kita ini. Jadi, gue udah punya amunisi saat berhadapan dengan dia," balas Rheina sambil terkekeh.
Cassandra menaruh barang terakhir ke dalam boks dan segera mengangkat dalam dekapannya. "Terserah deh. Gue jalan dulu."
"Eh? Seriusan lu pindah sekarang? Nggak mau nyarap bareng gue dulu?" tanya Rheina dengan tatapan tidak rela sambil mengikuti Cassandra yang sudah keluar dari ruang kerjanya.
"Nggak bisa, Rhei. Harusnya, gue udah pindah dari minggu lalu tapi baru bisa sekarang. Dan lagian, gue udah telat. Sekarang udah jam sembilan, nggak mungkin banget kalo gue sampe kena SP di hari pertama kerja," jawab Cassandra tanpa menghentikan langkah dan terus berjalan menuju lift.
"Asik dong kena SP. Biar bisa ngadep sama CEO kece kayak Wayne. Ah gokil, gue sirik banget sama lu yang bisa ketemuan sama doi tiap hari!" ucap Rheina sambil memekik kegirangan.
Cassandra melirik ke arah Rheina ketika sudah tiba di depan lift dan Rheina yang membantunya untuk menekan tombol menuju lobby.
"Lu tiba-tiba ngebet sama cowok lagi, kayaknya sama yang kemarin si Theo-Theo itu udahan?" tebak Cassandra dengan mata menyipit curiga.
Rheina mengibaskan tangan dengan gerakan berlebihan, tampak tidak terkesan dengan tebakan Cassandra yang sepenuhnya benar. "Tuh bule payah. Mainnya nggak bisa lama. Cemen ah, gue nggak suka!"
Cassandra menggelengkan kepala melihat kegilaan Rheina yang sudah kelewat batas. Dia melangkah masuk ke dalam pintu lift yang sudah terbuka.
Rheina menahan pintu dan kembali memberikan seringaian lebarnya kepada Cassandra sambil melambaikan tangan. "Have fun, gurl! Mudah-mudahan proyek merger-nya lancar, dan berhasil ngegaet Bos hotlist itu. Bikin gue bangga jadi temen racun lu!"
Mau tak mau, Cassandra tertawa dan menyuruh Rheina untuk segera menyingkir dari pintu lift. Rheina tertawa lalu menarik tangan yang menahan pintu dan melambaikan tangan ke arahnya. Pintu tertutup dan Cassandra mendesah lega.
Hari ini adalah hari pertama bagi Cassandra untuk memulai proyek kerjasama antara Mexindo dengan Bumi Tekindo. Dalam hatinya berdoa agar segala sesuatu berjalan dengan lancar. Entah kenapa, dia merasa begitu gugup dan rasa percaya dirinya menguap entah kemana.
Wayne benar-benar tidak menghubungi meski tahu nomor pribadinya. Pria itu mendengarkan penegasan Cassandra soal jangan menghubungi jika bukan urusan pekerjaan. Tentu saja, urusan pekerjaan dilakukan oleh asisten pribadi atau orang kepercayaan Wayne. Jika boleh jujur, selama seminggu ini Cassandra sempat berharap Wayne menghubunginya.
Tidak ada gunanya bersikap jual mahal di saat banyak wanita yang melemparkan diri pada pria seperti Wayne, pikirnya dalam hati. Tapi Cassandra juga tidak ingin menjadi salah satu daftar panjang teman kencan, lalu hanya dijadikan sebuah pajangan yang menampilkan pencitraan.
Cassandra menggelengkan kepala sambil memejamkan mata seolah bisa mengusir pikiran tentang Wayne. Sebab selama perjalanan dari kantornya ke gedung perkantoran Bumi Tekindo, hampir semuanya dipenuhi oleh Wayne.
"Aku nggak nyangka kalau cewek cantik itu bisa bengong juga."
Sebuah celetukan dari suara familiar membuyarkan lamunan Cassandra. Spontan, dia mendongak dan mendapati sosok Wayne sudah berdiri menjulang tinggi di hadapannya.
Cassandra mengerjap kaget dan melirik kanan kiri yang ternyata dirinya sudah berjalan melewati batas lift penumpang dan berada di koridor yang terhubung dengan lift khusus untuk para petinggi.
"Mmmm, sorry," gumam Cassandra pelan, berniat untuk segera mangkir dengan perasaan malu yang sudah menjalar.
Belum sempat mundur, Wayne sudah menahan langkah dengan mencengkeram lengannya, mengambil alih boks, dan memberikan senyuman hangat sambil menatap dengan sorot mata teduh yang menyejukkan.
"Mau kemana? Sini aja, jangan jauh-jauh. Asal kamu tahu, lift umum nggak akan berfungsi untuk naik kalau udah lewat dari jam masuk kantor. Hal itu aku lakuin supaya semua staff bisa disiplin," ujar Wayne ramah.
Cassandra membulatkan mata dengan tatapan tidak percaya. "Terus gimana naiknya?"
"Ada tangga darurat sampe ke lantai 30," jawab Wayne kalem.
"W-What?"
"Tapi tenang aja. Khusus kamu, itu pengecualian. Pertama, kamu bukan staff melainkan rekanan. Kedua, kebetulan kita ketemu di sini dan kamu bisa ikut aku naik lift ini."
"Hah?"
"Dengan catatan, jangan pernah terlambat lagi!" tegas Wayne dengan penuh penekanan. "Sebagai rekanan baru, kamu udah molor satu minggu dari kesepakatan yang sudah disetujui, yang artinya waktu aku udah terbuang satu minggu dengan urusan yang katanya kamu harus selesaikan itu."
"Tapi itu benar," balas Cassandra membela diri. "Tugasku cukup banyak dan..."
"Haruskah itu menjadi alasan? Sekali pun benar kalau kamu banyak kerjaan, senggaknya kamu bisa oper kerjaan kamu dalam kurun waktu paling lama dua hari."
Cassandra bungkam. Di hadapannya adalah seorang pria dengan sikap disiplin dan penuh ketegasan yang tak terbantahkan. Meski masih dengan senyuman lebar, tapi kesan yang didapati Cassandra sarat dengan intimidasi.
"Okay, Sir. It won't happen again. I promise," ujar Cassandra akhirnya, mendadak nyalinya menjadi ciut dengan rasa takut yang tiba-tiba menghinggap dalam diri.
"I know," balas Wayne santai. "I tell you once then you have to do it right. Perfectly."
Cassandra mengangguk pasrah dan mengikuti Wayne yang sudah mengarahkan jalan padanya. Menunggu lift, berdiri berdampingan dengan pantulan diri yang bisa terlihat dari pintu lift.
Cassandra mengerjap gugup sambil menggigit bibir bawahnya dan mencoba mengalihkan tatapan dari pintu lift, merasakan tatapan Wayne yang tertuju padanya dalam diam.
Meski tidak ada pembicaraan yang terjadi, namun entah kenapa degup jantung Cassandra sudah bergemuruh kencang. Ting! Cassandra menahan napas ketika pintu lift terbuka.
Melirik cemas ke arah Wayne yang sudah mempersilakan untuk melangkah lebih dulu, Cassandra melewati pria itu sambil terus menggigit bibir bawah untuk menutupi kegugupan.
Cassandra mengambil posisi terdalam meski lift hanya diisi oleh mereka berdua. Wayne menekan tombol lantai teratas dan pintu tertutup. Tatapan Cassandra mengarah pada lampu angka yang merambat naik, berdoa agar lantai yang ditujunya segera tiba karena semakin merasa tidak nyaman dengan tatapan Wayne dari pantulan pintu besi.
Ketika tinggal beberapa lantai lagi, Wayne menoleh ke arahnya dengan alis terangkat setengah. "Apa kamu tahu lantai ruangan kamu ada dimana?"
Shit! Cassandra tidak bisa menjawab karena belum diberitahu perihal lantai dan ruang kerjanya. Dia berpikir untuk menelepon Grace atau Pak Hendrik ketika tiba, tapi sialnya, pikiran yang dipenuhi Wayne itu mengalihkan apa yang seharusnya dilakukan terlebih dulu.
"A-Aku nggak tahu. Sorry. Aku lupa tanya," jawab Cassandra jujur.
"Clumsy but cute," gumam Wayne pelan, bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.
Cassandra semakin merasa tidak nyaman dengan kebodohan yang diperlihatkan saat ini. Wayne kembali mempersilakan dirinya untuk keluar lebih dulu. Dengan gugup, Cassandra keluar dan mendapati sebuah ruang kerja yang besar dengan jendela kaca raksasa yang menampilkan pemandangan Ibu Kota.
Cassandra segera berbalik dan melihat Wayne sudah menaruh boks miliknya di atas meja kecil, tepat di sisi lift.
"Ini ruangan siapa? Kamu?" tanya Cassandra gugup.
Wayne menoleh dan kembali memberikan senyuman lebar. "Iya."
"Terus ruangan aku?" tanya Cassandra lagi.
"Kamu mau aku yang kasih tahu dimana ruangan kamu, setelah aku udah bantu untuk bisa naik ke atas sini?" tanya Wayne balik.
Cassandra kembali menggigit bibir bawahnya dengan rasa gugup yang kian menjalar. Bodoh, rutuknya dalam hati. Wayne yang seorang pemimpin tertinggi di perusahaan itu sudah jelas tidak akan senang dengan adanya pelanggaran yang terjadi.
"Sorry, aku akan telepon Grace dan tanyain ruang kerjaku," jawab Cassandra sambil melangkah maju, hendak mengambil boks yang ditaruh di atas meja oleh Wayne.
Saat dirinya hendak mengambil, di situ Wayne kembali mencengkeram lengan, menahan langkahnya, dan memutar tubuh untuk menghadap ke arah Wayne hingga tubuhnya bertubrukan dengan tubuh besar itu. Deg!
Mata Cassandra membulat, degup jantung bergemuruh kencang, dan rasa gugup yang semakin menjalar. Sorot mata Wayne yang menatapnya kini tampak begitu tajam dan mengintimidasi.
"Wayne, aku...,"
"Aku akan anter kamu ke ruang kerjamu, tapi sebelumnya, kamu harus terima konsekuensi dariku," sela Wayne dengan tegas.
"Konsekuensi?"
Wayne mendesak tubuh Cassandra untuk mundur, hingga pinggangnya menubruk meja kecil di sisi kosong tepat sebelah boks.
"Konsekuensi karena udah bikin aku pusing dengan kamu yang terus gigit bibir kamu di depanku kayak gini!" jawab Wayne dengan suara parau sambil mengusap bibir Cassandra dengan ibu jari.
"Wayne?"
"I want to kiss you badly," bisik Wayne sambil memiringkan wajah dan mengecup pipinya lembut. "Because I miss you. Damn. Much."
Sedetik kemudian, Wayne sudah mencium bibir Cassandra, menggigit bibir bawahnya dengan gemas, sambil mengangkat tubuh Cassandra ke atas meja. Kedua kaki Cassandra dilebarkan agar tubuh besar Wayne bisa menghimpit masuk di antara dua kakinya, membungkuk lebih banyak untuk memperdalam ciuman, dan memeluk Cassandra begitu erat.
Awalnya, Cassandra belum siap. Tapi ciuman Wayne yang begitu lembut membuatnya terlena. Dia menyukai bagaimana lidah Wayne meliuk lincah di dalam mulutnya, memberikan sensasi yang menyenangkan dan terasa begitu nikmat. Memejamkan mata, Cassandra membalas ciuman itu. Cukup takjub dengan rasa rindu yang tiba-tiba timbul dalam hati, membuat perasaannya melambung tidak karuan.
Suara cecapan dan hisapan terdengar begitu nyaring di dalam ruang kerja yang sunyi, namun terdengar harmonis di telinga Cassandra dan dapat diartikan sebagai luapan kerinduan.
Beberapa saat kemudian, ciuman itu selesai ketika keduanya saling menarik diri dan mengadukan kening. Cassandra yang merangkul bahu Wayne dengan kedua tangan melingkar, Wayne yang melingkari pinggang Cassandra dengan kedua tangan yang membelit erat, dan saling bertatapan dalam diam.
"Ternyata gitu?" gumam Wayne pelan, lalu tersenyum. "Kalau aku minta ijin, kamu nggak akan nolak."
Cassandra merasakan wajahnya memanas sambil kembali menggigit bibir bawah ketika gugup. Wayne langsung berdecak dan menggelengkan kepala seolah itu adalah peringatan. Satu tangan sudah mendarat di wajah Cassandra dengan ibu jari yang sudah bekerja untuk mengusap bibir itu.
"Jangan sekali-kali gigit bibir kamu kayak gitu," tegur Wayne dengan nada paling lembut yang didengar Cassandra.
"Kenapa?" tanya Cassandra, spontan menghentikan kebiasaan buruknya ketika rasa gugup menerpa.
"Karena itu bikin aku kepengen ambil alih untuk ngegigit bibir kamu," jawab Wayne sambil tersenyum hangat.
Menyadari posisi yang memalukan dimana kedua kakinya mengapit pinggang Wayne, tubuh yang begitu dekat, dan tangan yang berangkulan, Cassandra segera mendorong bahu Wayne agar menjauh. Untung saja, hari ini dia memakai skinny pants yang dipadukan dengan blouse selengan.
"Sorry, Baby," bisik Wayne geli.
Wayne mengangkat tubuh Cassandra dengan mudah dan menurunkan dari meja. Setelah mereka sudah berdiri berhadapan, Wayne kembali meraih boks bawaan Cassandra sambil menyeringai senang.
"Kamu itu lucu. Apa pipi kamu harus semerah itu kalau habis deketan sama cowok? Atau cuma aku yang berani mepetin kamu kayak gini?" goda Wayne sambil mengetukkan telunjuknya di pipi Cassandra yang merona.
"Jangan iseng," ujar Cassandra sambil menepis tangan Wayne dengan sopan. "Baru kali ini, aku kedapetan rekanan yang rajin nyosor kayak kamu."
Wayne tertawa. "Tapi kamu nggak nolak, dan juga nggak akan sanggup nolak."
"Pede banget."
"Pede udah jadi nama tengahku. Sampai detik ini, kamu masih jadi calon istri yang lagi aku usahain. Tungguin aja."
Cassandra mengulum senyum dan memalingkan wajah untuk menyembunyikan semburat merah yang semakin menjalar di kedua pipi. Wayne kembali tertawa lalu memberi satu kecupan di pipi sambil berbisik, "Welcome, Cassie. Mudah-mudahan hati aku selalu siap untuk liatin kamu setiap hari. Kamu cantik banget hari ini, dan seperti biasanya, aku selalu suka."
Demi jantungnya yang sudah bergemuruh semakin kencang, Cassandra bergeser menjauh dan menatap Wayne yang masih terkekeh senang.
"Dimana ruang kerja aku?" tanya Cassandra.
"Oh iya, sini! Aku tunjukkin," jawab Wayne sambil membuka pintu ruangan dimana ada satu meja besar tepat di samping ruangan, yang sudah ditempati oleh seorang wanita berkacamata tebal dengan hair bun yang sempurna.
Wanita itu mendongak dan segera beranjak dari kursi, memutari meja, dan tersenyum ketika sudah berada tepat di depannya.
"Grace, ini Cassandra. Cassandra, ini Grace! Mulai hari ini, semua hal yang bersangkutan dengan Mexindo bisa kalian diskusikan secara langsung," ujar Wayne dengan lugas ketika memperkenalkan asisten pribadinya pada Cassandra.
"Baik, Pak," balas Grace cepat.
"Antarkan Cassandra ke ruangannya, sekalian kasih tahu jam kerja dan tata cara yang ada di gedung ini, supaya dia nggak nyasar ke ruangan saya," lanjut Wayne sambil menyodorkan boks Cassandra pada Grace.
Cassandra bisa melihat ekspresi geli Wayne dari sorot matanya meski sudah disembunyikan. Apakah dia harus terus menggoda seperti itu? Jika ya, Cassandra perlu mempersiapkan hatinya lebih banyak ketimbang dirinya.
"Baik, Pak," balas Grace lagi, kali ini dengan sorot mata ingin tahu yang melirik ke arah Cassandra.
"Alright! Sekarang saatnya kerja! Internal meeting segera dilakukan dalam waktu lima menit dari sekarang! Saya nggak mau telat!" ucap Wayne tegas.
Grace terkesiap dan langsung mengangguk. Segera mempersilakan Cassandra untuk mengikutinya, tapi langkah Cassandra tertahan ketika Wayne mencengkeram lengan dan berbisik dalam nada geli. "Thanks buat vitamin C-nya. Mudah-mudahan kerasan di sini dan makin rajin telat, biar aku bisa kasih konsekuensi kayak tadi."
Wajah Cassandra semakin memanas mendengar bisikan Wayne yang kini sudah bergerak menjauh sambil menyeringai puas. Memperhatikan Cassandra selama beberapa saat, lalu berbalik menuju ke ruang kerja tanpa berkata apa pun.
Dengan perasaan yang tidak menentu, Cassandra mengikuti Grace yang membawanya ke satu ruangan yang berada di lantai yang sama dan tidak jauh dari ruangan Wayne.
"Ini adalah ruangan Ibu. Ada yang perlu ditanyakan, bisa langsung ke saya. Rapat akan segera dimulai, dimohon untuk segera bersiap karena Bapak nggak suka menunggu," ujar Grace sopan.
Cassandra mengangguk paham dan membiarkan Grace meninggalkannya di ruangan itu. Sambil menarik napas, Cassandra mengingatkan diri untuk tidak gegabah dan perlu memahami situasi saat ini. Jangan pernah terlambat. Jangan membuat Wayne menunggu. Sebab pria itu memiliki standarisasi waktu yang begitu tinggi dan Cassandra tidak mampu menerima konsekuensi yang akan diberikan seperti tadi. Kecuali jika dirinya sudah siap untuk masuk ke lubang yang sama, bahkan lebih dalam dari sebelumnya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Gpp, yah ngegas gini 😚
Soalnya aku suka sama cowok yang cepet ambil tindakan daripada basa basi busuk yang membosankan.
😂😂😂😂😂
Ketahuan banget yee, betapa nakalnya aku di jaman dulu?
Fyi, aku anak baik.
Otaknya aja yang suka nakal 🙈
Revisi : 14.08.19 (10.23 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top