Part 8 - The first date and the other rules

Anggap aja aku lagi rajin,
Dan kepengen tulis ulang cerita ini 😆

Halo semuanyaaaaa... 💜


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Nathan menekuk siku pada kemudinya dan menopangkan kepala, untuk melihat Lea yang sedang masuk ke dalam mobilnya.

Aroma parfum lembut yang dipakai Lea langsung menyerbu indera penciumannya. Wanita itu tampak tergesa dan kerepotan dengan sebuah kantong besar untuk ditaruh di kursi belakang. Ketika Lea sudah duduk dan menutup pintu, disitu Nathan mulai menatap Lea dengan tatapan menilai. 

Lea mengenakan crop top bertali, dipadukan ripped short pants dan cardigan rajut selutut. Rambut panjangnya bergelombang indah dan wajahnya terlihat segar. Nathan menyukai keindahan yang ada di depannya saat ini.

“Kok belum jalan?” tamya Lea sambil menatapnya bingung.

Senyum Nathan mengembang. “Semangat amat, Sis. Emangnya mau kemana sih?”

Lea tampak tersipu dan mengulum senyuman hangat. Pipinya merona, tampak salah tingkah dengan ekspresi meringis.

“Aku pikir kalau mau pergi ngedate, kudu semangat,” jawabnya pelan.

“Segitu niatnya yah, kamu mau cari pacar?” tanya Nathan sambil menegakkan tubuh dan memindahkan gigi kemudi.

“Aku masih dalam tahap belajar, okay? Bukankah kita harus selalu semangat jika berniat untuk mempelajari sesuatu yang baru?” balas Lea gugup.

Nathan tertawa pelan. Dia sudah melajukan kemudinya, keluar dari area gedung apartemen itu.

“Nggak usah sampai segitunya, kalau kamu mau belajar sesuatu. Apalagi soal pacaran. Kamu bisa bilang kalau ini tahap belajar, tapi kamu sampe totalitas kayak gini.” Ujar Nathan kemudian.

“Mmmm.. emangnya aku harus sok biasa aja yah?” tanya Lea ragu.

Nathan kembali tertawa. “Kamu tampil cantik begini, padahal cuma pergi sama aku. Biar bagaimana pun, aku tuh cowok yang bisa kegeeran juga. It feels like you’re dressed to impress me.

I am.” Balas Lea cepat.

Nathan bergeming. Dia melirik ke arah Lea dengan tatapan menilai, dan mendapati Lea yang sedang terlihat serius menatapnya. Dalam hatinya bertanya, apakah Lea memang sepolos itu? Atau memang wanita itu mengatakan hal yang sesungguhnya? Apa mungkin kalau Lea masih menyukainya? Damn!

Pertanyaan terakhir yang muncul barusan, spontan membuat degup jantung Nathan berdetak dua kali lebih cepat. Dia merasakan perasaan familiar yang pernah singgah dalam hatinya. Perasaan yang disalahartikan olehnya, lalu berakhir dengan penyesalan.

“Kamu...”

Lea terkekeh geli. “I was joking.”

“Eh?”

“Kamu tuh serius banget sih? Aku tuh kebingungan harus pake baju apa? Kudu dandan atau nggak? Aku kan jomblo, nggak pernah jalan sama cowok, nggak pernah pacaran. Cupu banget. Jadi, aku mikirin semaleman untuk harus gimana buat pergi malam mingguan.” Ujar Lea menjelaskan dengan wajah memerah menahan malu, dan tampak begitu serius.

Seriously?

Lea mengangguk. “Yes! Jadi, aku berhasil bikin kamu terpesona? Tadi kamu bilang aku cantik dan bikin kamu geer.”

Seharusnya Nathan tahu kalau Lea mencoba untuk bersikap jujur, namun herannya, dia merasa sedikit kecewa mendengar penjelasan Lea. Kemudian Nathan hanya tertawa hambar saja, untuk menutupi kekecewaannya.

Okay, anggaplah kamu dandan cantik buat aku,” putus Nathan, yang spontan membuat wajah Lea semakin merona.

Nathan mengabaikan rona merah yang ditunjukkan wanita itu sambil fokus menyetir. Tidak bisa dipungkiri, sejak pertemuannya dengan Lea beberapa hari lalu, sudah meninggalkan kesan yang menyenangkan untuk Nathan. Entah kenapa bersama dengan Lea sekarang, bisa membuatnya mematahkan aturan hidupnya yang menolak untuk keluar di hari Sabtu.

Biasanya, Nathan akan menghabiskan akhir pekannya dengan membawa salah satu koleksi mobil sportnya ke bengkel langganannya, untuk memodifikasi. Atau dia akan berdiam diri di rumah saja, untuk menonton koleksi film box officenya. Jika ada Shareena, biasanya wanita itu akan datang ke rumahnya untuk menginap dan melakukan seks sepanjang malam.

Tapi sekarang? Dia sampai berniat untuk bangun lebih pagi dari biasanya, membersihkan diri dan memakai pakaian semenarik mungkin, untuk mendapatkan perhatian dari wanita yang sedang mengetik cepat di ponselnya sekarang.

“Jadi kamu mau kemana?” tanya Nathan memecah keheningan.

“Ngedate,” jawab Lea singkat.

“Kemana?”

Lea menoleh ke arahnya. “Bukannya tugas cowok buat nentuin rute pacaran, yah?”

“Emangnya kamu mau kalau aku ajak ke hotel?”, tanya Nathan ketus.

Lea tersentak kaget dan menatap Nathan dengan tatapan tidak percaya. “Kok ngomongnya gitu?”

Nathan menoleh tanpa ekspresi. “Aturan nomor dua buat kamu, jangan pernah sekali-kali asal ngajak cowok keluar, kalo kamu sendiri nggak yakin mau kemana.”

“Tapi kan kita masih belajar,” sahut Lea membela diri.

“Justru karena masih belajar, makanya aku kasih tahu. Apalagi ini date pertama.”

Nathan berckckck ria dalam hatinya mendengar ucapannya barusan. Kayak pernah pacaran aja lu, Than! cibirnya dalam hati. Meski dia sering berdekatan dengan wanita, namun tidak ada satu pun yang pernah dijadikannya pacar. Sekali lagi. Dia paling menghindari komitmen, tapi malah bersikap layaknya expert soal pacaran disini. What a bullshit, batinnya.

Lea tampak berpikir, lalu mengangguk. “Kita ke mall aja, yah? Yang deket rumahku. Senayan City, gimana? Jadi, aku nggak bakal kesorean sampe rumah, kalo kita keburu telat.”

Alis Nathan berkerut. “Keburu telat? Emangnya kamu mau ngapain di mall?”

“Ada film superhero yang baru keluar Rabu lalu. Aku kepengen nonton,” jawab Lea ceria.

Shit!

“Hari gini mau nonton bioskop? Nggak salah?” Nathan spontan menyeletuk dalam nada ketus.

Pasalnya, dia bukan orang yang senang menonton film di akhir pekan. Belum-belum, otaknya sudah berputar soal ramainya bioskop, antrian yang panjang, dan kursi depan terakhir yang tersisa. A big No! Dia lebih memilih menonton bioskop di hari biasa, dan sudah memiliki janji dengan tiga sahabatnya untuk menonton film yang disebut Lea tadi.

“Aku kepengen nonton,” jawab Lea mantap. “Julia nggak suka nonton film superhero. Lagian kan hari ini hari Sabtu, hari wajib buat pacaran. Rata-rata pasti nonton bioskop.”

Nathan mendengus pelan. “Itu kata siapa?”

Lea menyodorkan ponselnya yang membuka sebuah laman, Nathan pun melirik sekilas dan dengusan napasnya semakin kasar. Kenapa cewek ini mau aja dikadalin sama web receh, yang kasih tips and trick buat pacaran? Sama sekali nggak guna! Sewot Nathan dalam hati.

“Web itu cuma ngibulin kamu. Jangan percaya sama begituan. Seriusan deh itu...” ucapan Nathan terhenti ketika dia menoleh dan mendapati Lea yang memberikan ekspresi penuh harap. “Aaarrrggghhhh... fine! Kita nonton!”

Lea mengerjap dalam diam, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia tidak bersuara selama beberapa saat dan keheningan tercipta, sampai membuat Nathan kesal sendiri.

Spontan, Nathan meraih satu tangan Lea, mengaitkannya, dan mendaratkan di atas pangkuannya. Hal itu membuat Lea tersentak dan menatapnya kaget. Nathan mengabaikannya dengan menatap lurus-lurus ke arah depan, sambil memegang kemudi dengan satu tangan.


“Aku nggak suka kamu diam kayak gitu. Ada yang nggak nyaman, bilang sama aku. Itu adalah cara orang dewasa berkomunikasi,” ucap Nathan menjelaskan. “Bersikap natural, okay? Nggak perlu baca-baca artikel sampah kayak gitu. Hubungan bisa terjalin dengan sendirinya, tanpa perlu tutorial ini itu.”

“Mmm.. okay,” balas Lea dengan suara tercekat. “Tapi... emangnya tangan aku perlu digenggam kayak gini? Aku...”

Nathan menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Biar kamu nggak kaget. Biar kamu terbiasa dan tahu kalau hal kayak gini, bisa aja terjadi saat kamu ngedate sama pacar nantinya.”

Ucapan Nathan barusan spontan membuatnya merasa tidak rela. Ada kesan yang menjanggal ketika membayangkan Lea bersama pria lain, rasanya Nathan tidak menginginkan hal itu terjadi. Aneh, pikirnya. Dia bahkan mengeratkan genggaman tangan itu dengan pikiran berkecamuk, sampai tidak menyadari Lea yang tampak gelisah menerima tindakannya saat ini.

Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan, seolah mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya, mereka tiba di mall yang sudah pasti sangat ramai di akhir pekan, terlebih di lobi bioskop yang membuat Nathan harus menahan napas melihat antrian panjang itu. Damn!

“Kamu duduk aja gimana? Biar aku yang ngantri,” ucap Lea yang seperti memahami isi pikiran Nathan lewat ekspresi yang ditampilkannya.

“Nggak apa-apa,” balas Nathan seadanya, ketika mereka sudah berdiri di antrian paling belakang.

Sebenarnya, Nathan bisa saja menelepon Christian untuk mendapatkan tiket nonton dengan mudah, seperti yang selalu dilakukan temannya itu. Sebab Christian memiliki teman yang memiliki beberapa bioskop di mall Ibu Kota. Tapi mengingat mulut besar  Christian yang tidak pada tempatnya, membuat Nathan mengurungkan niatnya. Lebih baik menyiksa dirinya dengan mengantri, daripada menyalip dengan akhir yang tidak menyenangkan.

“Aku pikir cowok bakalan senang kalau diajak nonton sama ceweknya.” Gumam Lea pelan, tapi masih bisa didengar oleh Nathan.

“Sayangnya kamu bukan pacar aku,” celetuk Nathan asal.

“Emangnya kalau aku pacarnya kamu, perasaannya bakalan beda?” tanya Lea dengan mata melebar kaget.

“Nggak juga,” jawab Nathan jujur. “Kalau aku jadi pacar kamu, aku udah pasti bakalan tinggal pulang dan tidur di rumah aja.”

“Kok gitu?” tanya Lea lagi, kali ini dengan alis berkerut.

Don’t you see? Crowded is everywhere. Dan aku termasuk orang yang nggak suka keramaian. Untuk apa ikutan norak kayak orang-orang, yang kalau nonton harus weekend gini? Emangnya nggak bisa hari lain?” balas Nathan sambil mengambil langkah maju, dan menarik Lea mendekat agar berdiri di sampingnya.

Matanya mendelik tajam ke arah beberapa pria yang berdiri di barisan sebelah, seakan sengaja berdiri mendekat untuk sekedar menyenggol Lea. Cih! Dasar kampungan, maki Nathan dalam hati.

Nathan segera menunduk ketika mendapat tepukan ringan di bahunya. Lea pun berjinjit untuk berbisik padanya. “Sorry.”

Napas hangat Lea yang menyembur lembut di telinganya, tubuh mungilnya yang terarah pada Nathan, dan rambut Lea yang menggelitik ringan di wajahnya, sanggup membuat degup jantung Nathan mengencang. Dia menyukai kedekatan seperti ini.

“It’s okay, Lea. Jangan minta maaf terus-terusan,” balas Nathan, setelah Lea menarik diri.

“Aku nggak enak sama kamu,” balas Lea sambil memberikan senyuman hambar. “Mungkin lain kali, aku akan coba ajak temen aku buat eksperimen, dan...”

“Nggak boleh!” sela Nathan tajam.

Menyadari nada tinggi suaranya yang tidak diperlukan, Nathan membuang napasnya sambil merutuk dalam hati. Ada apa dengan dirinya hari ini? Ugh!

Lea mengerjap bingung dan mengangguk pelan sebagai respon larangannya barusan.

“Maksud aku, jangan sembarangan ngajak orang yang kamu nggak kenal baik. Aku nggak mau kalau sampai ada yang jahatin kamu. Apa kamu lupa soal kamu yang hampir dikerjain sama cowok brengsek semalam?” tukas Nathan dengan suara yang lebih pelan.

Pikiran Nathan langsung teringat pada sosok bajingan yang beraninya mendekati Lea dengan lancang semalam. Dia tahu kalau Lea hampir memberinya pukulan, tapi Nathan tidak bisa membiarkan wanita itu ketakutan.

“Aku nggak punya temen cowok,” ucap Lea dengan ekspresi malu. “Maksudnya itu aku mau ngajak Julia, atau temen kuliah buat ngemall bareng.”

Nathan langsung mendesah lega mendengar jawaban Lea. Dalam hatinya, dia sudah berharap agar Lea jangan berteman dengan pria lain. Rasa tidak sukanya kembali muncul, ketika membayangkan Lea pergi dengan pria lain, dan bukan dirinya.

Tidak terasa, mereka sudah berada di loket pemesanan tiket. Nathan bahkan tidak percaya jika dia bisa menikmati waktu yang sudah terbuang untuk mengantri.

“Ada dua seat tersisa untuk di jam tiga sore, di baris tengah. Mau disitu aja?” tanya penjaga loket dengan ramah.

Lea langsung mengangguk cepat. “Mau!”

Nathan tertawa sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia segera menahan tangan Lea yang hendak melakukan hal yang sama sepertinya.

“Aku...”

“Biar aku yang bayar,” sela Nathan sambil menyerahkan uang pada penjaga loket.

“Tapi kan aku yang ngajak, jadi harusnya aku yang bayar.” Protes Lea dengan suara pelan.

Nathan mengucapkan terima kasih kepada penjaga loket, setelah menerima tiket dan uang kembalian. Dia pun menarik Lea untuk menjauh dari lobi bioskop.

“Aturan ketiga buat kamu, Lea. Jangan membayar apapun selama kamu ngedate. A big No! Sudah sewajarnya, cowok yang bertanggung jawab untuk membayar, apalagi saat date pertama. Nggak ada ceritanya, cewek yang ngebayarin.” Ucap Nathan sambil membimbing Lea untuk keluar dari area bioskop.

“Kan masih pacaran, nggak ada salahnya kalau cewek ikutan bayar,” komentar Lea dengan ekspresi bingung.

“Ada benarnya juga, tapi itu bisa dilakukan kalau hubungan udah berjalan cukup baik. Tapi kalau masih pedekate, dan sekedar jalan bareng, you better let the man does his job to pay all the bills.” Balas Nathan santai.

Lea hanya ber-oh ria dan mengangguk paham. Nathan hanya tersenyum geli melihat ekspresi Lea yang begitu serius, setiap kali mendengarkan perkataannya. Menggemaskan, pikir Nathan senang.

“Kita masih banyak waktu sebelum film dimulai. Jadi, berminat untuk makan siang? Aku lapar,” ajak Nathan sambil merangkul bahu Lea untuk berjalan ke sisi mall yang terdapat banyak restoran di lantai dasar itu.

Lea mengangguk sambil memamerkan cengiran lebarnya. “Aku juga. Tapi aku...”

“Kamu yang pilih mau makan di mana, tetap aku yang bayar!” sela Nathan tegas, seolah tahu apa yang ingin disampaikan Lea.

Lea tertawa pelan. Dia melingkari lengan Nathan sambil menatapnya dengan tatapan berbinar. Jarak mereka cukup dekat, sampai Nathan bisa merasakan lekuk sepasang payudara Lea yang mendesak lembut di lengan sialannya sekarang.

“Thanks for today, Nathan. You really made my day, and I’m so lucky to have you as my mentor,” bisik Lea diiringi senyumannya yang tampak malu-malu.


Nathan merasakan debaran asing yang bergemuruh cepat dalam dadanya, kelembutan tubuh Lea terasa menyenangkan ketika Lea memeluk lengannya sambil berjalan berdampingan. Dan sisa hari itu, dia menjadi lebih pendiam karena lidahnya mendadak kelu, dengan banyaknya pikiran yang berkecamuk, sementara Lea tampak begitu antusias bercerita apa saja padanya.

Dia menjadi seperti orang tolol.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Siapa yang pas jaman pedekate, momennya kayak part ini?

Aku salah satunya 😆
Jadi pas lagi pedekatean, suamiku nyetir pake 1 tangan, dan 1 tangannya lagi genggam tanganku.

Katanya : "Biar kamu nggak jauh2 dari aku, biar aku tahu aku nggak sendirian di mobil karena ada kamu."

Tapi itu dulu... 😣
Dulu banget.
Pas uda jadian, julidnya keluar 😤😒😫







Published : Des 2017-Feb 2018
Revision : 07.04.19 (20.26 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top