Part 7 - Dating rule number one

Ini adalah kesalahan, batin Lea nelangsa.

Sedaritadi, Lea terus membatin tidak karuan karena merasakan ketidaknyamanan yang membuatnya galau. Dia merasa agresif, bodoh, dan memalukan. Entah setan apa yang merasuki dirinya tadi siang, karena mendapat ide konyol macam membeli tiket masuk Night Club begitu saja tanpa permisi. Ya Lord... dia bahkan tidak mengerti apakah dirinya memang bersemangat untuk mencari jodoh? Atau memang dirinya yang tidak bisa tenang semenjak pertemuannya dengan Nathan sejak Senin lalu? Dia. Tidak. Bisa. Tidur. Nyenyak.

Ugh!

Lea pun hanya bisa terdiam saja selama perjalanan bersama dengan Nathan. Setelah berhasil mencari keberadaan Wayne, dan membohongi kakaknya soal dirinya yang besok akan masuk kerja, nyatanya Lea merasa menyesal telah menyalagunakan kepercayaan yang sudah diberikan Wayne padanya.

Kini, dia harus menerima karmanya dengan berada di tengah keramaian yang begitu bising. Ralat. Keramaian yang memekakkan telinganya, sehingga degup jantungnya berpacu lebih cepat dan terasa semakin keras. Belum lagi sekitarnya tampak begitu remang dan dia tidak menyukai suasana yang seperti itu.

Lea langsung mencoret Night Club sebagai daftar pertama untuk tempat yang tidak akan dikunjunginya lagi. Dia lebih memilih menarik selimutnya untuk tidur saja.

Sorot mata Lea mengerjap cemas ketika dia melihat ada beberapa pria yang hampir mabuk, sedang tertawa terbahak-bahak di meja sebelah. Orang-orang itu tampak mengabaikan keramaian dengan melakukan hal seenaknya seperti berciuman dengan wanita seksi dan... Astaga! Wanita itu sedang diraba-raba oleh kedua pria lainnya.

Lea langsung bergidik dan membuang muka ke arah minuman sodanya yang sudah dicengkeram dengan begitu erat. Ini adalah kesalahan, batin Lea mengingatkan.

"Ada masalah?"

Suara Nathan menyadarkan dirinya bahwa dia tidak sendirian di situ. Bahkan Lea harus tersentak karena bibir pria itu begitu dekat dengan telinganya, sehingga Lea bisa merasakan hembusan napas hangat dari pria itu.

Lea menoleh dengan tatapan waspada ke arah Nathan, dan dia mendapati Nathan yang sudah menatapnya dengan ekspresi menilai.

"Ka...kamu ngagetin," ucap Lea dengan suara tercekat.

Nathan hanya memberikan senyuman setengah. Dia kembali mencondongkan tubuhnya untuk berbisik padanya. "Aku mesti ngomong sedekat ini, supaya kamu bisa dengar. Musiknya kenceng banget."

Lea kembali beringsut menjauh dan menatap Nathan waspada. Kini, alis pria itu berkerut bingung sambil menatap Lea.

Damn! Lea mengumpat dalam hati karena bersikap bodoh seperti barusan. Seharusnya dia tidak boleh menjadi kekanakan seperti ini pada Nathan, dan bersikap lebih dewasa untuk menjaga imagenya. Dia bukanlah anak berumur 15 tahun yang ditolak pria itu. Dia adalah wanita yang akan genap berumur 21 tahun sebentar lagi.

"A... aku...," Lea tergagap. Dia kebingungan.

Satu pihak dia merasa tidak nyaman, dan di pihak lainnya, dia merasa bahwa inilah yang harus diterimanya jika sudah melakukan kebohongan pada Wayne.

Seharusnya dia bersama Wayne, bukan dengan Nathan. Jika dengan Wayne, mungkin dirinya bisa memeluk kakaknya dan merengek minta pulang. Tapi sekarang? Lea ketakutan dan merasa terancam dengan teman pendampingnya sendiri.

Nathan tersenyum saja sambil kemudian meneguk bir dari botolnya. Pria itu tampak begitu santai seolah apa yang terjadi di sekelilingnya adalah hal yang biasa. Dia bahkan tidak terlihat tersinggung, melainkan maklum pada Lea. Membuat Lea menjadi semakin tidak enak hati.

Lea pun mendengus pelan dan kemudian membetulkan posisi duduknya yang sudah tidak pada tempatnya itu. Dia menarik kursinya dan mendekati Nathan, lalu menatap Nathan yang masih asik meneguk birnya.

Lea menarik ujung kemeja Nathan dengan pelan sehingga Nathan menyudahi minumannya, lalu menoleh ke arahnya dengan alis terangkat. Spontan, Lea menarik selembar tissue dan mengusap bibir Nathan yang basah. Ck! Kenapa Nathan minum seperti anak kecil? Sewotnya dalam hati.

Aksinya itu membuat Nathan terdiam. Pria itu tampak memperhatikan Lea yang sibuk mengusap bibirnya dengan telaten, sama sekali tidak merasa diawasi oleh Nathan.

Lea tersenyum ketika bibir Nathan sudah selesai dibersihkan, dan dia kembali menatap Nathan. Deg! Lea mengerjap bingung melihat ekspresi Nathan saat ini. Tatapan yang seakan pria itu lapar. Lapar dalam artian yang lain. Tatapan yang...

"Ka.. kamu mau apa?" tanya Lea cemas.

Nathan mencondongkan tubuhnya dengan perlahan, mendekati Lea dengan sorot mata yang menghunus tajam ke arahnya. Lea hendak menjauh tapi kursinya tertahan. Kedua tangan Nathan sudah bekerja untuk menahan kursi yang didudukinya, dan mengukung tubuh mungilnya di situ.

"Na... Nathan! Jangan bercanda!" ucap Lea dengan nyali yang semakin menciut saat Nathan semakin membungkuk padanya, dan Lea menjauhkan diri sebisanya.

Nathan seolah tuli, pria itu bahkan memiringkan wajahnya untuk mendekatkan diri padanya. Nathan semakin mendekat dan membuat Lea semakin sesak. Dia bahkan bernapas dengan terengah ketika merasakan pipi Nathan sudah menempel di pipinya, dan hembusan napas pria itu sudah menggelitik telinganya.

"Bukannya ini kemauan kamu?" bisik Nathan pelan.

Eh? Apa maksudnya? Lea langsung menoleh ke arah Nathan yang masih menatapnya. Kini mereka saling menatap dalam posisi yang memalukan bagi Lea. Ini adalah kesalahan dan ini terlalu dekat, batin Lea semakin berteriak.

"Aku cuma penasaran," jawab Lea gugup.

"Penasaran yang akan membawa kamu ke dalam penyesalan," balas Nathan dengan alis terangkat lantang.

"Maksud kamu?" tanya Lea bingung.

Lea tersentak dan matanya melebar kaget ketika merasakan sebuah tangan besar merayap di atas lututnya. Dia langsung menunduk dan mendapati tangan besar Nathan sedang membelai lututnya. Shit! Ini pelecehan, maki Lea dalam hati.

"Ini penyesalan yang bakalan kamu dapetin, kalau kamu main ajak cowok ke klub. Di sini banyak terjadi pele.."

Plak!

Lea spontan menampar pipi Nathan dan mendorong tubuh Nathan sekuat mungkin. Dia segera beranjak berdiri sambil menatap Nathan marah.

"A... Aku memang ngajakin kamu ke sini tapi bukan berarti kamu boleh main sentuh aku kayak gitu!" sembur Lea emosi.

Matanya berkaca-kaca dan luapan emosinya melesak naik sampai ke ubun-ubun. Dan yang lebih membuatnya kesal, Nathan masih terlihat santai seolah apa yang dilakukannya tadi bukanlah apa-apa. Shit!

"Aku bakal ngadu ke Wayne!" kembali Lea berseru sambil menghentakkan kakinya karena kesal.

Nathan masih belum memberikan reaksi yang berarti, malahan dia meraih botol birnya dan meneguknya cepat. Sama sekali tidak mengindahkan aksi protes Lea barusan.

Lea yang marah pun segera memutar tubuhnya dan melangkah dengan begitu cepat, menerobos kerumunan orang-orang yang begitu ramai. Dia ingin pulang. Dia ingin kembali. Dan dia tidak akan mau menginjakkan kakinya ke tempat seperti ini lagi.

Lea menghentikan langkahnya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia kebingungan karena setahunya ini adalah jalan keluar, tapi kenapa dia malah tiba di perbatasan hiruk pikuk klub dengan koridor panjang yang begitu gelap.

Ya Lord, Lea rasanya ingin menangis. Dia mulai gemetar ketakutan dan berpikir untuk kembali ke Nathan. Dia baru saja memutar tubuhnya tapi... shit! Lea mengerjap ketakutan saat melihat sosok besar yang menghalangi jalannya.

"Hello, baby," sapa orang itu dengan sorot mata kurang ajar yang memperhatikan Lea dari atas hingga ke bawah. "Sendirian aja?"

Lea menatap pria dengan berperawakan tinggi dan besar. Penampilannya cukup berkelas dengan setelan jas kerja keluaran desainer ternama. Wajahnya cukup tampan namun menjengkelkan. Lea tidak menyukai sorot mata orang itu yang seolah menelanjangi Lea sekarang.

"Bukan urusan kamu." Cetus Lea sinis sambil mengambil langkah untuk maju.

Pria itu langsung menghalangi jalan Lea kembali dan itu membuat Lea semakin gugup. Lea mencoba menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun yang memedulikan keadaan sekitarnya.

"Jangan galak-galak dong, cantik. Daripada kamu sendirian, mendingan kamu temenin saya aja, gimana?" kembali pria itu bersuara.

"Nggak!" tolak Lea langsung dengan suara gemetar. "Aku nggak sendirian."

"Setiap cewek yang datang ke sini sendirian, pasti akan ngomong hal yang sama. Itu klise banget. Jangan jual mahal begitu, tanpa perlu bersikap kayak gitu, saya bisa bayar sebanyak yang kamu minta." Ujar pria itu dengan angkuh.

Mata Lea melebar kaget mendengar ucapan pria jahat itu. Tadi dia sudah disentuh Nathan, dan sekarang ada yang melecehkannya dengan tuduhan dirinya adalah pelacur. Ini adalah kesalahan, batin Lea yang semakin membuatnya nelangsa.

Lea benar-benar ingin menangis ketika pria itu melangkah untuk mendekatinya, dan Lea mengambil langkah mundur untuk menghindarinya. Dia merasa terpojok ketika dirinya sudah berada di sudut koridor yang gelap.

"Pergi! Jangan ganggu!" usir Lea ketika posisinya sudah tidak bisa mundur.

"Saya nggak ganggu. Justru saya mau ajak kamu seneng-seneng," balas pria itu yang tampak begitu menjulang ketika mereka berhadapan.

Lea mengatupkan bibirnya untuk menahan isak tangisnya ketika pria itu mulai membungkukkan tubuhnya. Airmata Lea bahkan sudah mengalir melihat posisi pria itu semakin dekat padanya. Tidak! Tidak! Batin Lea berseru kencang. Dia tidak boleh lemah dan menerima nasibnya seperti ini. Jika dia diam, maka pria itu akan semena-mena. Dia harus melakukan sesuatu.

Ketika pria itu semakin mendekat dengan gerakan yang seolah ingin menciumnya, disitu Lea mencoba menekuk lutut untuk bersiap memberikan tendangan lututnya. Tapi sebelum dia sempat melakukan itu, semuanya terjadi.

Pria yang tadinya begitu dekat padanya, tiba-tiba tertarik ke belakang dan tubuhnya terhempas begitu saja pada dinding koridor, menghasilkan bunyi debuman yang kencang. Lea membekap mulutnya sendiri ketika melihat pria itu mendarat di atas lantai sambil mengerang kesakitan.

Tampak Nathan sedang menatap dingin ke arah pria itu dan sama sekali tidak terlihat merasa sudah menyakiti orang lain.

"Kalo lu nggak mampu buat bayar cewek, mendingan lu pulang dan ngocok di rumah!" desis Nathan sengit.

Lea masih tampak begitu kaget melihat sikap dan mendengar ucapan Nathan yang begitu kasar. Dia tidak percaya akan menyaksikan Nathan yang seperti itu. Selama ini, Nathan begitu lembut dan hangat padanya. Sama sekali tidak menyangka jika Nathan bisa terlihat menyeramkan.

Lea menahan napas ketika melihat Nathan kini menoleh ke arahnya dan menatap dengan berang. Tanpa berkata apapun, Nathan segera menarik tangan Lea dan menyeretnya keluar dari klub itu.

Nathan segera membukakan pintu mobil untuknya dan Lea masuk begitu saja tanpa adanya perlawanan. Dalam hatinya dia merasa lega kalau bisa keluar dari klub itu, tapi tidak dengan menghadapi Nathan sekarang.

Pria itu tampak begitu marah dan menyetir dalam kecepatan yang gila-gilaan dengan rahang mengetat. Nathan tampak seperti Wayne yang sedang marah besar, sehingga nyali Lea semakin menciut saja.

"Nathan, bawa mobilnya bisa pelanin dikit nggak? Aku takut." Ucap Lea lirih.

Nathan melirik singkat ke arahnya, lalu menghela napas sambil menurunkan kecepatan. Tatapannya menatap lurus ke arah jalan raya yang cukup lengang di jam yang sudah mendekati sebelas malam.

Mobil berhenti tepat saat lampu merah menyala. Keheningan yang ada di dalam mobil, membuat Lea merasa gelisah dan degup jantungnya sudah berdetak tidak karuan di dalamnya. Entah kenapa dia merasa bahwa Nathan jauh lebih menyeramkan dibanding Wayne sekarang. Jika Wayne akan meluapkan amarah lewat ocehan panjang lebar yang memekakkan telinga, berbeda dengan Nathan yang cenderung diam tak bersuara, namun ekspresi wajahnya mengeras.

Kedua tangan Lea menaut gelisah di atas pangkuannya, dia mencoba untuk menenangkan diri tapi sulit. Sepertinya dia benar-benar sudah melakukan kesalahan besar dan dia tidak akan mengulanginya lagi.

"Calm down, Lea," suara Nathan yang terdengar begitu pelan membuat Lea bergeming.

Dia menoleh dengan tatapan waspada ke arah Nathan yang kini sudah mendaratkan satu tangan di atas kedua tangan Lea yang gemetar. Tangan besar Nathan menggenggam erat seolah menenangkan dan menatapnya dengan lembut sekarang.

"Ma..Maaf," ucap Lea dengan suara yang nyaris berbisik.

Mata Lea kembali berkaca-kaca dan sudah mempersiapkan diri untuk mendapatkan semburan kemarahan dari Nathan, dia bahkan pasrah jika pria itu melaporkan tindakannya kepada Wayne. Tapi yang terjadi bukan seperti itu. Melainkan sebuah usapan lembut mendarat di atas kepalanya.

"Seharusnya aku yang minta maaf karena udah main sentuh kamu sembarangan," ujar Nathan kemudian. "Aku cuma berniat untuk kasih contoh sama kamu, kalau apa yang aku lakuin tadi, bisa terjadi kapan aja tanpa kamu sadari. Apalagi tempat maksiat kayak tadi, Lea."

Lea belum melakukan apa-apa selain menatap Nathan dan menunggu kelanjutan penjelasan pria itu. Lampu merah sudah berubah menjadi hijau, dan Nathan mulai melajukan kemudinya dengan pelan.

"Klub malam bukan tujuan yang pantas buat ngedate. Kalau mau pacaran yang nggak sehat dan sama-sama gila, itu mungkin aja. Tapi kalau kamu? Itu sama sekali nggak pantas. Kalau kamu cuma sekedar pengen tahu, silakan. Tapi jangan maksain diri, kalau kamu nggak nyaman di situ." lanjut Nathan.

"Aku tahu itu salah," ucap Lea dengan suara mencicit. "Aku bego banget main beli tiket dan nggak mikir panjang. Tujuan aku cuma pengen diajarin sama kamu."

Nathan tertawa hambar. "Kayaknya aku bajingan banget yah, sampe kamu niat banget minta ditemenin ke tempat kayak gitu?"

"Bukan!" seru Lea cepat. "Aku percaya sama kamu karena kamu nggak bakalan ngejudge atau ngerjain aku. Kamu udah aku anggap keluarga."

Shit! Lea menahan napas ketika mendengar kata terakhirnya barusan. Keluarga? Ya Lord. Emangnya ada keluarga yang bakalan jadi all time favorite asshole sampe gagal move on? Bego banget sih lu jadi orang? Rutuk Lea dalam hati.

Nathan tampak terdiam selama beberapa saat sambil membelokkan kemudinya. Dia tidak langsung menanggapi ucapan Lea barusan.

"Great. It's really great if you want to try something new with someone you know. I appreciate your consideration." Ucap Nathan akhirnya. "But please, no more like this, K?"

Lea mengangguk pelan. Dia merasa sudah mempermalukan diri di hadapan pria yang sampai saat ini, masih menempati posisi tertinggi dalam hatinya. Seharusnya dia sudah bisa melupakan Nathan setelah beberapa tahun tidak pernah bertemu. Selama masa vakumnya pun, dia sama sekali tidak teringat dengan pria itu. Tapi sekarang? Belum genap seminggu, ya Tuhan! Tapi pria itu kembali merangkak naik dalam ingatannya, dan menjajahi hatinya dengan mudah. Godamnit!

"Aturan pertama dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, cewek dilarang ngajak jalan duluan," ucap Nathan yang membuyarkan lamunan Lea.

Lea memejamkan matanya sambil terus merutuk diri sendiri karena sudah menjadi wanita agresif yang memalukan. Dan dia akan mengingat aturan pertama yang disebutkan Nathan barusan dalam otaknya baik-baik.

"Sorry," balas Lea pelan.

Nathan menoleh ke arahnya untuk melihat apa yang dilakukan Lea, lalu kembali menatap ke arah jalan raya. "Kamu jangan minta maaf sama aku. Dalam hal ini, kamu masih belum ngelakuin kesalahan apapun, karena aku cuma jadi mentor kamu, bukan gebetan."

Mentor rasa gebetan, batin Lea dalam hati. Lea sudah pasti akan menjadi orang paling terkutuk karena berani bermain api. Api cinta Lea belum padam, tapi sudah berniat untuk meminta percikan bensin yang hanya bisa dikobarkan oleh Nathan. Shame on you, Lea! Kembali Lea merutuki dirinya.

Tangan Nathan yang masih menangkup kedua tangannya tampak meremas lembut untuk menarik perhatian Lea. Spontan, Lea menoleh dan mendapati Nathan tersenyum hangat padanya.

"Jangan kebanyakan mikir, kerutan kamu di jidat bikin kamu cepet tua." Ujar Nathan sambil terkekeh. Dia mencoba mencairkan suasana.

"Tapi tadi kamu marah," gumam Lea pelan.

"Aku marah karena aku nggak suka kamu main pergi aja kayak tadi, dan hampir dikerjain sama cowok brengsek itu." Balas Nathan dengan ekspresi tidak suka. "Kalau cewek jalan sendirian di sana, otomatis bakal dideketin sama cowok sembarangan. Apalagi kamu itu cantik, banyak yang suka. Ngeliat kamu sendirian, udah pasti jadi sasaran empuk."

"Tapi kamu tadi berani deketin aku dan main sentuh aku," balas Lea dengan alis berkerut.

Nathan menoleh ke arahnya dan mengangkat bahunya santai. "Cuma kepengen ngeliat kamu bisa ngapain kalau dalam keadaan darurat kayak gitu. Insting kamu lumayan jalan, kamu bisa refleks mukul. Tapi sayangnya kamu cuma berani sama yang kamu kenal, tapi sama cowok brengsek tadi malah kicep."

Lea bungkam. Dia bukannya tidak berani. Hanya saja tadi dia baru akan melakukan sesuatu, tapi Nathan sudah datang menyelamatkannya lebih dulu.

"Maaf," ucap Lea akhirnya.

Nathan tersenyum lagi. "Kamu udah kebanyakan minta maaf. Jangan diulangi lagi, okay? Kalau ada masalah, diomongin. Jangan main kabur kayak tadi. Hasil akhirnya pasti nggak bakal baik. Kita tahu jelas soal hindar menghindar, atau jauh menjauhi kan?"

Lea tahu kalau Nathan tidak bermaksud menyindirnya, tapi entah kenapa Lea merasa tertampar dengan ucapan Nathan barusan. Rasanya dia belum cukup dewasa dalam menghadapi Nathan sekarang.

"Iya," jawab Lea singkat.

"Jadi, apa kamu udah cukup puas untuk hasil eksperimen hari ini?" tanya Nathan santai.

"Udah."

"Terus?"

"Aku nggak mau kesana lagi. Aku nggak suka. Bau rokok, berisik, dan semuanya pada ngaco."

Nathan tertawa geli mendengar jawaban Lea barusan sambil membelokkan kemudinya, memasuki sebuah restoran drive-thru yang masih tampak ramai, lalu memarkirkan mobil.

"Makanya jangan sok gede." Ucap Nathan geli.

Lea menekuk bibirnya cemberut sambil melepas sabuk pengaman. "Kamu mau makan?"

"Kita makan es krim sambil mikirin soal besok, yang katanya kamu harus kerja," ujar Nathan sambil membuka pintu mobil.

Lea tertegun dan buru-buru membuka pintu untuk segera menghampiri Nathan. "Kamu nggak bakalan ngomong sama Wayne soal barusan dan besok kan?"

Nathan menatapnya sambil menggeleng. "Kenapa aku harus ngomong sama Wayne?"

"Aku pikir kamu bakalan ngadu sama dia dan.."

"Aku nggak akan ngadu," sela Nathan mantap. "Aku yang ngejagain kamu di sini, dan apa yang terjadi tadi, cukup kita berdua aja yang tahu, selama kamu bisa penuhin janji kamu untuk nggak akan main mutusin sesuatu, tanpa berunding sama aku."

Senyum Lea langsung merekah begitu saja dengan perasaan lega yang menjalar dalam hatinya. Dia senang karena memiliki sekutu yang mendukungnya dan melindunginya, tanpa perlu menghadapi kemarahan Wayne, yang akan memberikan sejuta wejangan ini itu yang membosankan.

"Kalau gitu aku boleh ngomong sesuatu?" tanya Lea, berusaha negosiasi.

"Apa?" Nathan mengarahkan jalannya untuk memasuki restoran makanan siap saji itu.

"Besok hari Sabtu, hari wajib buat orang pacaran. Aku kepengen ngerasain malam mingguan," jawab Lea tanpa ragu sambil berjalan menuju ke antrian pemesanan.

Alis Nathan berkerut dan menatap Lea dengan tatapan tidak setuju. Dia kembali berpikir dan tidak langsung memberikan respon terhadap jawaban Lea barusan. Deg! Lea kembali merasa tidak nyaman karena tatapan yang dilayangkan Nathan sekarang, membuatnya merasa bersalah.

"Okay," ucap Nathan akhirnya. "Besok aku akan jemput dan kita akan pergi bareng kemanapun kamu mau pergi. Setelah itu, aku akan anter kamu pulang ke rumah orangtua kamu."

Lea meringis pelan. "Aku salah lagi yah?"

Nathan tersenyum saja. "Kamu masih nggak salah kalau ngajak aku. Tapi kalau sama cowok gebetan kamu, it's a big NO. Ingat baik-baik aturan pertama aku."

Lea mengangguk cepat dan tersenyum dengan lega. Sikap yang ditunjukkan Nathan, pengertian yang diberikannya, dan kedewasaannya membuat Lea tidak mampu untuk berkata-kata, selain menikmati degupan jantung yang mengencang dalam irama yang begitu lembut.

Dia kembali melakukan kesalahan untuk menjatuhkan dirinya ke dalam lubang yang sama. Yaitu menyukai sosok pria yang sedang memesankan makanan dengan lugas, dan perhatian Lea sama sekali tidak teralihkan ketika Nathan menyebutkan rasa es krim kesukaan Lea tanpa menanyakannya terlebih dulu.

Ya Lord... kapan move-on nya kalau begini ceritanya?


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Siapa yang masih gagal move on?

Jangan sedih, tersenyum saja.

Masih ada hari esok yang bisa membawamu ke masa bahagia, dimana para bajingan di luaran sana,
akan tergila-gila dan berusaha keras untuk mendapatkanmu 😆


04.04.19 (13.12 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top