Part 31 - The late honesty brings into unexpected incident
"See you when I see you."
Lea memijat pelan keningnya, ketika merasakan pusing yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Pesan singkat terakhir yang dikirim Ethan, membuatnya merasa semakin tidak tenang. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan sudah membuat sikap diamnya mencapai titik terendah.
Tanpa ragu, Lea mencoba membalas pesan itu dan mengetik, "Apa mau kamu?"
Balasan datang dalam hitungan detik. "Aku mau kamu. Dan akhirnya kamu bales juga pesanku ❤"
Lea menahan napas membaca balasan itu. Dia yakin jika Ethan sudah benar-benar gila, dan cukup bahaya untuk dihadapinya sendirian. Seperti kata Nathan bahwa pria itu pasti memiliki niat terselubung dari sikap diamnya yang tidak melakukan apa-apa.
"Aku nggak ngerti maksud kamu dan berhenti mengganggu orang." Lea mengetik balasan dengan gugup dan langsung mengirimnya. Sama seperti tadi, balasan datang dengan cepat.
"Kamu nggak akan bisa menghindar dari aku."
Lea mengusap wajahnya dengan perasaan kalut. Dia tidak mau membalas lagi karena tidak ada yang bisa dia sampaikan, sebab semakin dirinya membalas pesan, dia semakin panik dengan tubuh yang mulai gemetar. Jujur saja, ketakutan yang dirasakannya semakin menjadi.
"Lea!"
"Kyaaa!" Lea berteriak kencang ketika ada seseorang yang menangkup kedua bahu dengan tiba-tiba dari arah belakang.
Lea menoleh ke belakang dengan wajah pucat dan rasa panik yang tidak karuan. Demi Tuhan, degup jantungnya berpacu begitu cepat, melesat naik sampai ke kepala hingga rasa pusingnya semakin menjadi. Dia mendapati Julia yang menatapnya dengan heran.
"Biasa aja kali, nggak usah kaget sampe pucet gitu. Lu kenapa sih?" celetuk Julia dengan alis berkerut bingung.
"Yah, kalau bercanda nggak kayak gitu juga, Jul. Lu bisa bikin gue jantungan!" pekik Lea gusar.
Ketidaknyamanan yang dirasakan, semakin membuatnya terancam. Lea sudah lelah dan merasa perlu menceritakan yang dialaminya kepada Julia, sesuai dengan rencana awalnya sejak kemarin. Dia sudah berada di Bar Edward dan menunggu kedatangan Julia, dimana Edward yang masih sibuk dengan teman band yang ada di panggung.
"Tiap kali kalau ketemuan, gue juga selalu heboh kayak barusan kali. Lu aja yang udah banyak berubah semenjak kena virus Nathan yang makin menjadi," ujar Julia sambil menempati kursi yang ada di depannya, dan melepaskan tas selempangnya.
"Gue mau ngomong sama lu," ujar Lea kemudian.
"Kita ketemuan karena memang ada yang mau diomongin sama Edward, kan?"
"Iya. Tapi gue juga mau ngomong."
"Ya udah, tungguin Edward dulu aja. Kayaknya dia udah mau kelar sama temennya."
"No. Gue mau ngomong sama lu aja. Rahasia."
Julia tertegun dan menaruh kedua tangan di atas meja. "Lu mau ngomong soal lu yang udah resmi jadian sama cinta pertama yang sempet nolak dan akhirnya kesampean itu?"
"Bukan. Itu mah udah basi. Soal itu kan, gue udah konfirmasi lewat telepon," balas Lea sambil menggeleng.
"Terus? Lu mau cerita kalau lu udah tidur bareng?"
Deg! Lea kaget dengan tembakan tak terduga dari Julia. "Kok lu bisa nebak kayak gitu?"
Julia mengangkat bahu. "Gue udah cukup tahu soal pergaulan kakak lu dan temen-temennya yang obviously damn wild. Gue pun yakin kalau lu nggak mungkin dilewatin gitu aja sama Nathan, apalagi cowok kayak gitu, bakalan ngerasa bangga kalau bisa tinggalin sidik jari di badan perawan kayak lu. Tenang aja, gue nggak akan histeris. Gue hanya simpati dengan kebodohan lu yang nggak ada obatnya soal cowok yang satu itu."
Lea mendengus pelan mendengar ucapan Julia. Meski ada benarnya, namun kali ini, Lea tidak mau membahas hal yang menyangkut pribadi karena itu sudah menjadi keputusannya. Dia tidak menyesal soal melepas keperawanan kepada Nathan, dan itu bukanlah urusan Julia.
"Terserah lu mau ngomong apa soal itu, tapi gue mau ngomong hal yang lain," ucap Lea sambil menyodorkan ponselnya pada Julia dengan menampilkan urutan pesan singkat yang dikirim Ethan padanya.
Julia mengerutkan alis sambil meraih ponsel Lea. "Lu mau jual handphone sama gue? Ngapain lu kasih-kasih gue buat... Holy crap!"
Julia menutup mulutnya sambil menatap ponsel Lea dengan ekspresi kaget dan serius di saat yang bersamaan. Dia menggerakkan ibu jarinya dengan gerakan naik turun di layar ponsel dengan alis berkerut. Hening. Tidak ada yang bersuara. Julia yang serius membaca pesan demi pesan, sementara Lea yang menunggu respon dari Julia.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Lea melirik cemas ke arah Edward yang masih berbincang dengan temannya di sana, lalu kembali menatap Julia yang sudah melihat ke arahnya.
"Ini... si Ethan, kakaknya Edward?" tanya Julia dengan nada berbisik.
Lea mengangguk.
"Ini udah berapa lama dia ngerjain lu?" tanyanya langsung.
"Sebulan lebih. Mungkin hampir mau dua bulan," jawab Lea.
"Lalu, Nathan udah tahu?"
Lea menggeleng.
"What?" seru Julia dengan suara memekik kaget.
"Ssshhhh... jangan kenceng-kenceng, Jul! Edward bisa denger bacot lu barusan!" balas Lea dengan mata melotot tajam, lalu melirik ke arah Edward yang kini melihat ke arah Julia dengan alis berkerut.
"Apa alasan lu untuk nggak bilang ke siapa-siapa, Lea? Ini udah termasuk ancaman dan gangguan yang serius!" ucap Julia dengan nada rendah.
"Gue nggak mau ada kejadian yang kayak dulu, Jul. Gue takut kalau mereka tahu, mereka bisa makin kalap dan ngelakuin sesuatu yang lebih parah dari sebelumnya. Lu tahu jelas kalau Wayne dan temen-temennya itu pernah berurusan sama polisi, kan?"
"Tapi dengan mendiamkan kayak gini, nggak akan menyelesaikan masalah. Lu mau tunggu sampai orang gila ini beneran samperin lu?"
"Yah nggak, Jul. Amit-amit! Makanya gue cerita sama lu."
"Lu cerita sama gue juga percuma. Gue nggak bisa ngapa-ngapain. Udah jelas lu harus ngomong sama Wayne atau Nathan. Atau paling nggak, si Edward! Dia yang paling tahu soal Ethan karena orang itu kakaknya."
Lea terdiam. Dia menoleh pada Edward dengan tatapan menilai, lalu kemudian menggelengkan kepala. Menyampaikan hal itu pada Edward, sepertinya akan sama. Sebab pria itu, bisa saja mengadukannya pada Wayne atau Nathan. Apalagi, Lea tidak ingin membuat Edward cemas.
"Kayaknya gue ngomong sama Wayne aja," gumam Lea pelan.
"Emangnya lu udah baikan sama Wayne? Bukannya lu masih diem-dieman sama dia, gara-gara dia ngelarang lu bergaul sama Edward?" balas Julia dengan alis yang semakin berkerut.
"Gue akan cari cara untuk cerita sama dia," ujar Lea kemudian.
"Kalau gitu sekarang aja. Telepon Wayne dan kasih tahu kalau Ethan gangguin lu lewat SMS kaleng kayak gini. Hal ini bisa diceritain lewat telepon. Nggak usah tunggu sampai nanti," sahut Julia dengan tegas.
"Tapi, gue takut dia nggak percaya sama gue. Dan gue mau ngomong langsung di depannya, nggak mau pake telepon. In case, kalau dia tiba-tiba khilaf dan main hajar," kembali Lea berkelit.
"Kok gue jadi kesel yah ngomong sama lu? Apa susahnya buat jujur? Kalau lu cuma takut karena mereka ngelakuin pemukulan, itu juga karena untuk membela lu, dan cowok kayak Ethan emang udah sepantesnya dihajar. Kalau perlu mati sekalian!"
"Dengan konsekuensi mereka bakal dipenjara? No! Gue nggak mau mereka sampai kayak gitu dan...,"
"Jadi, soal aku yang tanyain ke kamu waktu itu, kamu bohong?" terdengar suara pertanyaan dengan nada dingin dari arah samping.
Lea buru-buru menoleh pada Edward yang sudah berdiri tidak jauh dari meja yang ditempatinya. Shit! Dia mengerjap gugup melihat ekspresi Edward yang serius dan tidak suka.
"Bu-Bukan kayak gitu, Ed," sergah Lea cepat.
"Bohong!" seru Julia sambil menyodorkan ponsel Lea yang masih ada di tangannya pada Edward. "Nih buktinya."
Mata Lea melebar kaget melihat tindakan Julia. Dia hendak merebut ponselnya tapi Edward sudah lebih dulu mengambil ponsel itu. Rasa cemasnya kian menjalar dengan pikiran tentang sikap Nathan dan kakaknya jika mengetahui hal itu.
"Aku nggak nyangka kenapa kamu bisa bohongin aku. Kamu tahu jelas soal handphone aku yang ketinggalan di tempat Ethan," ujar Edward datar, sambil menaruh ponselnya kembali di meja setelah membaca semua yang ada di sana.
"Aku cuma nggak mau kalau kalian ngelakuin hal yang buruk, Ed," ucap Lea dengan nada memohon. "Dan please, jangan ngomong sama Wayne atau Nathan."
"Terus, kamu mau apa kalau suruh aku jangan bilang ke mereka? Kamu mau ngadepin Ethan sendirian? Listen to me, Lea. Ethan memang kakakku, tapi udah lama banget aku nggak ngobrol atau sekedar ketemu sama dia. Yang aku ingat adalah dia orang yang berambisi. Dia berani ngehalalin semua cara, demi mendapatkan apa yang dia mau. Dari SMS yang tadi aku baca, udah jelas kalau dia lagi ngincer kamu, dan itu sama sekali nggak baik," ujar Edward tegas.
Edward menarik sebuah kursi untuk duduk di antara Lea dan Julia. Pria itu terlihat kecewa dan menggelengkan kepala seolah tidak percaya dengan apa yang diketahuinya sekarang. Julia terdiam sambil menatap Lea dengan bibir menekuk cemberut, seolah tidak terima dengan tatapan menuduh dari Lea.
"Aku paham banget apa yang jadi kekuatiran kamu, tapi kamu perlu tahu, kalau kita semua sayang sama kamu, dan nggak akan terima jika ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Makasih banyak kalau kamu bisa cerita sama Julia, sampai akhirnya dia yang sampein ke aku kayak tadi," lanjut Edward tanpa beban.
Lea menatap Edward dengan mata yang berkaca-kaca, seperti ingin menangis. Melihat pria itu menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin, membuatnya merasa terintimidasi dengan rasa takut yang akan dihadapinya jika berhadapan dengan Wayne nanti.
"Jangan marah sama aku," ucap Lea dengan suara mencicit.
Edward mengangguk dan menyodorkan ponsel Lea ke arahnya. "Kalau kamu nggak mau aku marah, cepet telepon Nathan atau Wayne. Sekarang. Aku nggak mau kamu tunda-tunda lagi dan aku mau denger langsung kalau kamu udah telepon salah satu dari mereka soal ini."
"K-Kalau mereka bakalan ngelakuin sesuatu gimana?" tanya Lea cemas.
"Itu akan menjadi urusan lain. Yang jelas, lebih baik kamu jujur dan sampaikan ke mereka secara langsung. Senggaknya, mereka nggak perlu turun tangan kayak waktu lalu. Jujur aja dulu, urusan lain bisa belakangan," jawab Edward dengan alis terangkat setengah.
Lea menatap Edward dengan seksama, lalu menoleh ke arah Julia untuk meminta bantuan. Nyatanya, Julia hanya mengangkat bahu dan menopang dagu dengan ekspresi yang membuat Lea jengkel.
"Jangan lihatin Julia. Dia cuma ngejalanin tugas sebagai temen," ujar Edward yang memperhatikan apa yang dilakukan Lea.
Lea terdiam sejenak. Dia menunduk menatap ponselnya dengan pikiran yang berkecamuk. Nathan sedang ada di luar kota dan dia tidak ingin mengganggu pria itu. Wayne? Bisa jadi. Karena Wayne tidak banyak berbicara ketika mengantar Lea ke kantor tadi pagi. Dan dia berharap dengan pemberitahuannya soal itu, akan membuat hubungannya membaik.
"Well?"
Lea melirik ke arah Edward yang masih menunggunya untuk bertindak.
"Iya," balas Lea sambil meraih ponsel. "Aku telepon Wayne aja. Nathan lagi kerja."
Edward dan Julia sama-sama menghela napas lega. Mereka menunggu dan memperhatikan tindakan Lea. Merasa diperhatikan seperti itu, sungguh tidak nyaman, tapi Lea tidak mempunyai pilihan. Perasaannya mengatakan dia memang harus memberitahukan hal ini dan membicarakannya.
Telepon sudah tersambung, dan Lea menunggu dengan perasaan cemas.
"Halo," suara Wayne terdengar setelah bunyi ketiga.
"Halo," balas Lea gugup.
"Lea? Kenapa? Kamu udah mau minta dijemput sama supir?" tanya Wayne dengan nada heran.
"Nggak. Aku masih belum kelar."
"Oh. Terus, ada apa?"
Lea mengerjap bingung dan menatap Edward yang menganggukkan kepala seolah menyemangati.
"Lea?" panggil Wayne kemudian.
"Iya. Mmmm... aku mau ngomong sama kamu," ucap Lea akhirnya.
Wayne terdiam sejenak. "Okay."
"Ada yang berusaha ganggu aku. Lewat telepon, juga SMS."
"Siapa?"
"Ethan."
Lea melumat bibirnya dengan erat, setelah mengucapkan nama itu. karena Wayne terdiam cukup lama. Tidak ada balasan. Tidak ada suara, dan hanya dengusan napas berat yang terdengar di sebrang sana.
"Bisa kamu ceritain sama aku lebih rinci?" akhirnya Wayne kembali bersuara.
Dengan gugup, Lea menceritakan semuanya. Dia tidak tahu apakah penyampaiannya cukup bisa diterima oleh Wayne atau tidak, sebab ketika Lea menceritakannya, dia bisa mendengar suaranya terdengar gemetar dan rasa takut kian menghantamnya. Wayne sama sekali tidak menyela, masih terdiam mendengarkan di sebrang sana, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Okay," ucap Wayne setelah Lea selesai menyampaikan.
"K-Kamu nggak akan ngelakuin sesuatu yang...,"
"Tenang aja, Lea. Aku udah pasti akan ngelakuin sesuatu, tapi caranya nggak banci kayak gitu. Thanks kalau akhirnya kamu mau jujur sama aku, di saat hubungan kita lagi nggak baik. Jadi, dengerin aku baik-baik. Mulai hari ini, kamu balik ke rumah dan jangan tinggal di apartemen sendirian. Aku yang akan anter jemput kamu ke kantor, suka atau tidak suka. Is that clear?"
Lea sudah tahu jika akhirnya akan seperti ini. Wayne pasti akan bersikeras untuk menyuruhnya kembali tinggal di rumah, dan nada suara yang terdengar penuh kendali itu, tidak akan bisa dibantah oleh Lea. Namun, dia juga tidak bisa berbuat banyak, mengingat Nathan tidak ada.
"Iya," ucap Lea dengan pasrah.
"Good. Aku akan jalan ke sana untuk jemput kamu. Jangan pergi kemana-mana, sebelum aku sampe ke situ," tukas Wayne tegas, lalu kemudian telepon itu dimatikan.
Lea terdiam dan mengusap wajahnya dengan kalut. Bukannya merasa tenang, rasa takut yang dirasakannya semakin menjalar, sehingga keringat dingin mulai membasahi kening, dan degup jantung yang bergemuruh kencang. Berbagai kekuatiran memenuhi kepalanya dan rasa pening itu kian menguat.
"Lea, lu baik-baik aja? Kok lu malah makin pucat sih?" tanya Julia cemas.
"Kamu sakit?" tanya Edward.
Lea menggeleng sebagai jawaban. "Kayaknya aku mau ke toilet. Aku permisi dulu, nanti kita baru ngobrol lagi. Kamu masih hutang cerita."
Edward mengangguk sambil tersenyum. "Iya."
"Perlu gue temenin gak? Lu lagi PMS atau gimana sih? Kok lu malah kayak mau pingsan gitu?" tanya Julia sambil beranjak berdiri.
"Gue pusing," jawab Lea pelan.
Jika stress melanda, inilah yang akan dirasakan Lea. Gugup, takut, mual, pusing, dan semua perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia sudah memberitahukan Wayne, dan nanti malam dia berpikir untuk berbicara dengan Nathan.
Toilet di Bar itu hanya memiliki dua bilik. Yang satu untuk pria, dan satu lagi untuk wanita. Julia mempersilakan Lea untuk lebih dulu memakai toilet. Lea masuk dan segera mengeluarkan cairan asam lambung ke dalam kloset. Shit! Pikirannya sudah melalang buana pada Wayne yang sudah pasti akan berunding dengan teman-temannya, termasuk Nathan. Lea langsung teringat pembicaraannya kemarin soal kepercayaan dengan Nathan. Membuat pria itu marah dan tidak senang, bukanlah hal baik, apalagi Lea sudah tidak jujur padanya.
Selama beberapa saat, Lea sudah selesai dan keluar dari toilet, bergantian Julia yang kini masuk ke dalam sana. Lea menunggu Julia sambil mencuci tangannya di washtafle yang tidak jauh dari bilik toilet. Dia baru saja mematikan keran, ketika ada sebuah tangan besar membekap mulut dan sebilah pisau yang terarah pada perut.
Kedua tangan Lea spontan mencengkeran tangan yang membekap mulutnya dan matanya melebar melihat pantulan seorang pria bermasker dengan topi hitam. Sorot mata pria itu menusuk tajam ke arahnya, seolah mengancam dirinya.
"Kalau kamu berani teriak, aku nggak akan segan-segan untuk menusuk kamu. Lalu aku akan tusuk temen kamu yang masih di dalam toilet," bisik pria itu dengan tajam.
Lea mengangguk dengan tubuh yang sudah gemetar ketakutan.
"Good. Sekarang, ikut aku dan jangan pernah nengok ke belakang," perintah pria itu sambil memasukkan pisau ke balik pinggangnya, namun tangan besarnya masih membekap mulut Lea.
Lea menuruti perintah pria itu, berjalan mengikutinya dengan degup jantung yang bergemuruh kencang. Dia sudah menangis dengan isakan yang tertahan. Airmatanya sudah membasahi pipi, ketika pria itu mendorongnya masuk ke dalam kursi belakang mobil asing dari pintu belakang Bar.
Ketika mobil itu sudah berjalan, dan bekapan mulut di Lea terlepas. Di situ, Lea segera berpindah untuk beringsut mundur pada sudut terjauh di pintu mobil. Dia menatap cemas ke arah pria bermasker yang sudah melepas topi dan maskernya. Tampak Ethan menyeringai licik dan menatapnya dengan sorot mata yang bengis.
"K-Kamu.. hmmpphh!!"
Ethan kembali membekap mulut Lea, kali ini dengan sebuah sapu tangan, sambil menarik tubuhnya untuk mendekat. Lea mengerjap panik dan berusaha memberontak tapi tidak bisa, karena tubuhnya mendadak lemas dan dia menjadi tidak berdaya.
Sesaat sebelum dirinya tidak sadarkan diri, sayup-sayup dia mendengar Ethan berbisik padanya dalam suara dingin. "This is what you get when you try to ignore me, Baby."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Aku tertarik untuk membuat Nathan di veri terbaru ini, menjadi lebih seram dari sebelumnya 🙈
Aduh, gimana nih?
Masa belum2, aku udah deg2an 😣
Published : Des 2017 - Feb 2018
New version : 13.06.19 (19.40 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top