Part 3 -The requirement of Wayne
Present day...
Aleandra Jolin Setiawan a.k.a Lea, memekik girang ketika mendapatkan sebuah email, yang sudah ditunggunya selama sebulan terakhir. Dia sampai membaca berulang kali, hanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah. Itu adalah surat penerimaan permohonan magangnya, kepada sebuah kantor majalah fashion yang sudah menjadi incarannya sejak dulu.
Cita-citanya adalah menjadi seorang Fashion Designer, dan dia sedang mewujudkan cita-citanya itu. Lea adalah mahasiswi yang sedang menjalani tahun terakhirnya. Untuk memperlancar skripsinya, Lea memutuskan untuk menjadi intern sebagai Assistant Fashion Director, di majalah Fashion ternama ibukota, selama enam bulan.
Setelah meyakinkan dirinya bahwa itu adalah surat penerimaannya, dia mengirim email itu kepada ayah dan kakaknya. Segala sesuatu yang menyangkut hidupnya, tidak akan luput dari pengawasan mereka berdua. Lea pun sadar diri bahwa dirinya adalah anak perempuan yang tidak boleh memutuskan hal dengan sembarangan. Meski dia sudah memutuskan, belum tentu akan disetujui oleh kedua pria posesif dalam hidupnya.
Email baru terkirim sekitar lima menit yang lalu, tapi ponselnya pun langsung berbunyi. Lea sampai tidak tahan untuk memutar bola matanya, ketika mendapati kakaknya yang meneleponnya lebih dulu.
"Halo," ucap Lea sambil membereskan barangnya ke dalam tas.
"Itu surat apa yang kamu kirim ke aku?" tanya Wayne tanpa basa basi.
"Memangnya kamu nggak bisa baca itu surat apaan?" tanya Lea balik.
"Aku nggak mau baca! Itu nggak penting!" jawab Wayne langsung, dengan penuh penekanan.
Lea harus menarik napasnya untuk menghadapi kakaknya yang mulai kembali dengan sikap overprotektifnya.
"Aku udah mau skripsi, Wayne." Ujar Lea dengan ekspresi masam.
"Terus?"
"Terus aku harus magang," lanjut Lea.
"Tapi nggak dengan magang di tempat jauh kayak gitu. Itu di Tangerang!"
"Terus kenapa? Jakarta – Tangerang itu deket kok. Kamu yang kuliah di London aja, aku nggak pernah komplain."
"Aku sama kamu itu beda. Aku cowok dan kamu cewek. Di luaran sana, banyak orang jahat. Akan ada banyak cowok brengsek yang bakalan ngerjain kamu." Tukas Wayne memberikan alasan klasik, yang sudah membuat Lea bosan mendengarnya.
"Aku harus magang," kembali Lea bersikeras.
"Tapi..."
"Dan aku mau magang di situ. Nggak mudah untuk bisa masuk ke dalam sana, dan aku akan tetap magang di sana, dengan atau tanpa persetujuan kamu." Sela Lea dengan tegas.
Terdengar dengusan napas kasar di sebrang sana, dan Lea tahu kalau Wayne sepertinya mulai marah karena Lea berani membantahnya. Setiap kali Lea menginginkan sesuatu, setiap kali itu juga, dirinya harus berdebat dengan kakaknya. Orang tuanya pun sepertinya mendukung apa yang dilakukan Wayne, sehingga Lea sering kali tidak bisa berkutik. Tapi tidak untuk kali ini, pikir Lea.
"Dimana kamu sekarang?" tanya Wayne kemudian.
"Aku udah kelar jam terakhir kuliah, sekarang mau mampir ke..."
"Nggak usah pake mampir. Sekarang udah jam lima sore. Aku mau kamu pulang sekarang," sela Wayne dengan nada tidak mau tahu.
"Aku udah janji sama Julia," protes Lea sambil mengerang pelan.
"Kamu tuh selain kuliah, kerjaannya itu cuma janjian sama Julia. Jadi, dunia nggak bakalan hancur kalau sore ini, kamu nggak pergi sama dia. Pokoknya kamu pulang sekarang, kita harus membahas rencana magang kamu di rumah." Ujar Wayne santai.
"Ish, kamu nyebelin! Aku bakalan bilang sama Dad kalau..."
"Dad ada di samping aku nih. Dia udah tahu, justru dia yang suruh aku telepon kamu. Sekarang juga kamu pulang, dan tunggu kita di rumah. Okay, anak manis?" sela Wayne sambil terkekeh geli.
Lea hanya mendengus dan mematikan teleponnya dengan berat hati. Dia tidak tahu apa yang akan direncanakan Wayne padanya. Tapi dia tidak akan bergeming, tanpa melakukan apa-apa. Karena ini adalah mimpinya, yang sedang dia usahakan untuk menjadi kenyataan.
"Kenapa muka lu kecut begitu?" tanya Julia heran.
Lea menoleh dan mendapati Julia yang sudah berdiri di samping mejanya.
"Gue nggak bisa temenin lu ke toko bunga. Gue harus pulang karena mau di sidang," jawab Lea sambil menyampirkan tasnya di bahu.
Julie terkekeh geli. "Kasihan amat hidup lu, terkekang banget jadi manusia. Burung aja masih bisa di lepas dari sangkar, buat latihan mengepakkan sayap. Lu kapan?"
"Jangan rese!" sewot Lea, sambil berjalan keluar dari kelas bersama Julia.
"Efek jadi kesayangan itu emang berat. Nikmatin aja. Bersyukur kalau masih ada yang perhatian sama lu, meskipun lu jomblo." Ucap Julia tanpa beban.
"Kayak yang lagi ngomong, nggak jomblo aja." Balas Lea.
"Hidup gue nggak seberat itu, hanya karena gue jomblo. Seperti matahari yang ada di atas sana, meski sendirian, tapi dia tetap bersinar terang. Menghangatkan bumi dan memberikan penerangan." Sahut Julia dengan ekspresi yang berlebihan.
"Jangan julid, Jul." tegur Lea judes.
Julia tertawa pelan. "Kalau gitu, gue duluan yah. Ibunda Ratu yang di rumah udah cerewet minta dibeliin bunga."
Lea mengangguk dan melambaikan tangan ke arah Julia yang sudah berlari kecil menuju ke pelataran parkir. Lea pun segera berjalan menuju ke mobil jemputan yang sudah menunggunya di situ. Ada Pak Karim, supir pribadinya, yang ditugaskan khusus mengantar jemput dirinya.
Lea ingin sekali seperti Julia yang bebas membawa mobil kemana pun. Lea bisa menyetir, hanya saja, dia di larang untuk membawanya. Karena katanya, jalanan di ibu kota bukanlah jalanan yang aman untuk wanita sepertinya. Demikian titah dari ayah dan kakaknya. Mengingat hal itu, membuat Lea mencibir dalam hati.
Sejam kemudian, Lea tiba di rumah dan segera membersihkan diri, sebelum bertemu dengan keluarganya. Dia bahkan mempersiapkan berbagai lembar kerja, dan juga profil dari kantor majalah fashion, sebagai amunisinya untuk berdebat dengan Wayne. Pada intinya, Lea tetap akan menjalani magangnya di kantor itu, apapun yang terjadi.
Ketika dia mendengar ada suara ketukan di pintu kamarnya, di situ pelayan rumahnya mengatakan bahwa makan malam sudah siap, dan keluarganya sudah menunggunya. Lea menarik napas dalam-dalam, lalu segera keluar dari kamarnya untuk menghadapi mereka dengan amunisi yang di dekapnya dengan erat.
Di meja makan, sudah ada kedua orang tuanya dan Wayne di situ. Mereka bertiga memperhatikannya dan memulai makan malam itu, tanpa adanya pembicaraan. Suasana hening seperti itu, sudah jelas membuat Lea semakin gugup. Mereka seperti memberikan tekanan secara tidak langsung kepada Lea, agar dirinya merasa gugup dan cemas.
"Apa kamu sudah selesai, Lea?" tanya Louisa-ibunya, dengan lembut.
Lea mengangguk sebagai jawaban, lalu melirik cemas ke arah Wayne yang tampak acuh tak acuh. Semakin bertambah saja rasa gugup yang dirasakan Lea sekarang, melihat sikap kakaknya yang begitu menjengkelkan.
"Mari kita bicara di ruang tengah," ajak Warren-ayahnya, kemudian.
Dan di ruang tengah itulah, Lea duduk di sofa tunggal, tepat di hadapan keluarganya. Seolah tidak mau mengulur waktu, Wayne memulai ritual ocehannya dan komat kamit tidak karuan, yang membuat Lea pusing kepala. Yang bisa dilakukannya, hanya duduk tanpa ekspresi dan mendengarkan tanpa merasa harus memberikan satu kalimat pun. Dia membiarkan Wayne menyelesaikan ocehannya.
"Aku nggak mau ngomong panjang lebar, Lea," Wayne kembali bersuara untuk ke sekian kalinya, lalu menghela napas kasar. "Kamu adalah anak perempuan yang manis dan baik."
"Woman! Sekarang aku bukan anak kecil lagi, Wayne." ralat Lea langsung.
"For me, you're still a little girl." balas Wayne ngotot dan Lea hanya bisa memutar bola matanya.
"This is life, Lea. Saat aku seumuran kamu, ada banyak hal yang membuat aku penasaran, sampai aku sempat mengambil salah langkah. Dan hal itu sudah menjadikan aku sebagai seorang bajingan." Ujar Wayne, sambil melirik ke arah ayahnya.
Warren yang sedang duduk di samping Wayne, hanya memberikan ekspresi tenang dan hanya menganggukkan kepalanya, seolah maklum dengan ucapan Wayne barusan. Padahal Lea hanya ingin magang di kantor yang berlokasi di daerah Karawaci, Tangerang. Itu hanya menghabiskan waktu selama sejam perjalanan, jika tidak macet. Tapi Lea diperlakukan seperti dirinya akan pergi jauh saja. Sungguh menjengkelkan, batin Lea kesal.
"Mungkin aku terlalu banyak aturan ini itu." ucap Wayne dengan suara bergumam.
"Memang seperti itu," balas Lea sambil mengangguk setuju.
"Dan aku juga suka kepo." timpal Wayne lagi.
"Memang seperti itu," sahut Lea lagi.
"Jadi, aku dan Dad udah putusin kalo kamu akan tinggal di apartemen aku, selama kamu magang di sana."
Deg! Lea tertegun dan menatap Wayne dengan tatapan tidak percaya. Dia yakin kalau dia tidak salah dengar, karena jelas-jelas barusan dia mendengar kalau Wayne memberikan ijin padanya.
"Seriusan?" tanya Lea tidak percaya.
Wayne mengangguk. "Dengan satu syarat!"
Lea langsung berdecak malas mendengar ucapan terakhir Wayne barusan. Seharusnya dia sudah tidak heran jika Wayne akan menuntut persyaratan, jika memenuhi permintaannya.
"Persyaratan apa lagi sih, Wayne? Kamu nggak kasihan sama aku, yang hampir seumur hidupnya ini, cuma bisa nurutin apa maunya kamu?" dengus Lea.
Wayne mengabaikan ucapannya barusan, dengan tetap memberikan ocehannya dalam nada perintah.
"Berhubung kamu itu suka lupa waktu, dan kalau sibuk sampai lupa makan, dan aku nggak mau kalau kamu jadi lupa segalanya. Jadi, aku nggak kepengen ngatur-ngatur hidup kamu atau kepengen kepo untuk...."
"Kamu memang suka kepo dalam segala hal, Wayne! Termasuk ngaturin jam malam aku yang cuma boleh sampai jam delapan malam. Demi apapun, Wayne. Aku udah dewasa sekarang, I'm turning twenty one this year!" sela Lea tegas.
"Okay, fine! Jadilah dewasa dengan mendengarkan persyaratan dari aku, tanpa perlu membuat aku kayak bapak-bapak kepo, yang bawel sama anak perempuannya." tukas Wayne dengan alis terangkat menantang.
Lea menghela napas lelah. "Apa syaratnya?"
"Aku cuma minta kamu untuk telepon seseorang," jawab Wayne dengan mantap.
"What?", tanya Lea spontan. "Memangnya aku harus telepon siapa, selain kamu? Aku cuma magang di sana, dan aku jamin nggak akan ada hal aneh, yang akan aku lakukan selama disitu."
"Aku mau kamu telepon Nathan, sahabat aku." Jawab Wayne lagi.
Mata Lea langsung melebar kaget, begitu mendengar jawaban Wayne barusan. Nathan? Nathan means cinta monyet yang pernah menolak dirinya? Batin Lea langsung berteriak kencang sekarang. Shit!
Ingatan Lea langsung beralih pada pria berparas tampan dan selalu berhasil menarik perhatiannya. Sahabat kakaknya itu memiliki alis tebal, sorot mata yang berkilat tajam, rahang yang kokoh, dan tegas dalam berkata-kata. Bertubuh tegap, atletis, dan tinggi. Secara visual, banyak yang menilai bahwa pria itu memiliki kesan dingin dan bengis, tapi tidak untuk Lea. Baginya, Nathan tampak begitu menarik.
Lea mengingatkan dirinya bahwa itu adalah masa lalunya, dan menyukai Nathan hanyalah sebuah kenangan yang sudah dilupakannya. Itu saja. Damn!
" Dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga kamu selama kamu tinggal di sana. Kamu bisa minta tolong sama Nathan, jika membutuhkan sesuatu. So, call him." suara Wayne membuyarkan lamunan Lea.
Lea mengerjap dan menatap Wayne dengan tatapan kosong. Dia sendiri kebingungan dengan rasa gugup yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya. Sebab Lea sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan, jika membiarkan Nathan menjaga diirinya. Dia masih tidak yakin dengan perasaannya, apakah dia bisa menganggap Nathan sebagai sahabat Wayne, atau sebagai pria yang pernah menolaknya.
"Lea", suara Warren terdengar, dan itu membuat Lea terkesiap. "Apa kamu dengar apa yang Wayne bilang barusan?"
Lea menggigit bibir bawahnya untuk menutupi rasa gugupnya, lalu mengangguk pelan sebagai jawaban.
"You're a good kid, princess. Jalani magangmu dengan baik, dan dengarkan apa kata Wayne barusan." Ujar Warren dengan lembut.
"Tapi, aku ingin mandiri tanpa perlu adanya perlindungan semacam ini, Dad." Balas Lea sambil meringis pelan, ketika melihat Wayne menghunusnya dengan tatapan tajam.
"Tidak harus setiap hari, kamu mencari Nathan, karena anak itu juga memiliki kesibukan tersendiri. Dad hanya ingin ada yang menjaga kamu, selagi kamu tidak berada di rumah ini. Itu saja." Sahut Warren, dengan senyuman lebar yang penuh kasih padanya.
"Atau kamu mau tinggal bareng sama aku? Di apartemen itu, ada tiga kamar dan..."
"Okay! Aku akan telepon Nathan, dan aku akan minta tolong sama dia, kalau aku ada keperluan!" sela Lea cepat, ketika Wayne mulai berulah.
Lea mengabaikan kekehan geli dari Wayne, dan mencoba menenangkan dirinya yang semakin gugup saja. Mengingat dirinya akan menelepon Nathan, spontan membuatnya tidak tenang. Tapi dia harus melakukannya, daripada membiarkan Wayne semakin mengekangnya.
Sebab selain menjadi mandiri, Lea memiliki satu tekad yang ingin segera di wujudkannya. Yaitu memiliki kekasih yang bisa memberikan kisah romantis dalam hidupnya, dan berharap kalau ada pria tampan yang bekerja di kantor majalah itu.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Bikin revisi itu makan waktu, ada banyak yang harus aku benahi.
Dan untuk kesekian kalinya aku bilangin,
Buat kamu yang sedang membaca ceritaku yang lain, dan mendapatkan banyaknya part yang hilang :
Itu adalah ex private yang berubah menjadi draft dengan sendirinya.
Kemungkinan aku akan revisi dan republish cerita yang bersangkutan.
Dimohon untuk bersabar dan please stop untuk menanyakan hal yang sama 😥
Jangan lupa untuk bahagia.
Thanks 💜
Published : Dec 2017-Feb 2018
Republish and Rev : 21.03.19 (15.20 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top