Part 2 - The first sense of knowing the reason
Nathan 25 yo, Lea 18 yo...
"Apa lu yakin kalau lu harus balik sekarang, Jul?" tanya Lea sambil melirik ke arah pintu masuk dengan cemas.
Bersama dengan sahabatnya yang bernama Julia, Lea mengikuti kursus musik di sebuah sekolah musik yang tidak jauh dari rumahnya. Lea belajar untuk bermain piano, sedangkan Julia memilih untuk bermain gitar. Sudah setahun belakangan ini, mereka mengikuti kursus itu untuk mengisi waktu luang, di luar dari jam kuliah mereka.
"Nyokap gue ada urusan dan mengharuskan gue untuk temenin dia. Ini aja gue udah telat 15 menit!" jawab Julia untuk yang kesekian kalinya.
"Tapi, Jul..,"
"Lu nggak usah takut dan nggak perlu cemas, Lea. Edward itu orang yang baik. Kalo semisal lu merasa nggak nyaman dan kepengen temenan aja, cukup ngomong dengan tegas dan hadapi dia. Jangan cari-cari alasan untuk menghindar setelah dia ngomong cinta. Itu namanya pengecut, dan masalah lu nggak bakalan kelar!" sela Julia dengan tegas.
"Tapi kalo dia nggak terima jawaban gue, gimana? Gue masih nggak yakin harus kasih jawaban seperti apa," elak Lea dengan rasa cemas yang kian menjadi. Sorot matanya kembali mengarah pada pintu masuk
"Jangan konyol! Sejak awal, lu udah tahu jawaban seperti apa yang akan lu kasih ke semua cowok yang naksir sama lu. Hadapi Edward dan kasih jawaban telak lu seperti biasanya." dengus Julia bosan.
"Tapi gue nggak enak. Edward itu beda sama cowok-cowok lain yang gue kenal," tukas Lea.
"Kalo gitu, lu coba jalan aja sama dia. Mungkin Edward bisa ganti posisi all time favorite asshole yang ada di dalam hati lu itu." sahut Julia ketus.
Mata Lea melebar kaget saat mendengar Julia menyebut Nathan dengan sebutan yang terdengar cukup kasar. Pria itu memang bukanlah seseorang yang memiliki predikat baik, tetapi jika ada yang menghina sosok yang sudah menjadi cinta pertamanya, rasanya terdengar salah dan Lea tidak terima.
"Jangan ngomongin Nathan kayak gitu! Meskipun dia bajingan dan pernah menolak gue, bukan berarti dia harus dikatain kayak gitu." tegur Lea sengit.
Julia memutar bola matanya mendengar pembelaan Lea barusan. "See? Lu masih nggak terima kalo ada yang ngejelekin cowok itu. Udah jelas banget kan, jawaban apa yang harus lu kasih ke Edward?"
"Gue bukannya nggak terima, Jul. Cuma..."
"Lea."
Ucapan Lea terhenti ketika mendengar suara Edward memanggilnya dari arah belakang. Lea langsung menoleh ke arah Edward dimana pria itu sudah berjalan ke arahnya.
"Hai, Ed! Titip Lea hari ini. Gue ada urusan." sapa Julia dengan keramahan yang berlebihan.
Lea buru-buru mencengkeram lengan Julia untuk menahan sahabatnya itu, tapi Julia langsung menoleh dan memberikan tatapan yang menghunus tajam, seolah menyuruh Lea untuk menyelesaikan persoalannya dengan Edward. Crap!
Julia pun pergi sambil melambaikan tangannya meninggalkan Lea dengan Edward sekarang. Keduanya tidak melihat tatapan mata Edward yang mengawasi kepergian Julia dengan penuh arti disitu.
"Hai," sapa Edward kemudian. Pria itu terlihat menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.
Lea mengerjap, lalu tersenyum tipis. "Hai. Kamu masih mau cari buku musik yang kamu butuhin?"
Edward langsung mengangguk. "Iya. Kamu udah siap?"
"Udah. Yuk kita jalan." balas Lea sambil meraih tasnya lalu menyampirkan ke bahunya.
Edward mempersilahkan Lea untuk keluar lebih dulu dari ruangan kelas, dan berjalan berdampingan menuju ke pelataran parkir.
Well... sebenarnya tidak ada yang aneh jika Lea bersama dengan Edward. Pria itu ramah dan sopan, juga sangat baik. Secara visual, dia memiliki wajah tampan nan mempesona. Dengan paket komplit seperti itu. setiap wanita manapun pasti akan menyukainya .
Edward adalah senior Lea sewaktu dirinya masih SMU. Pria itu berusia dua tahun lebih tua di atas Lea. Edward adalah mahasiswa teknik semester enam yang memiliki hobi bermain musik. Kecintaan Edward pada musik bukan sekedar main-main, karena pria itu tidak akan segan-segan untuk membeli gitar dengan harga termahal, demi untuk mendapatkan nada yang pas untuk lagu ciptaannya.
Edward membentuk sebuah band bernama Xavior bersama dengan keempat teman sekolahnya. Xavior cukup terkenal di kalangan sekolah dan kampus yang berada di Jakarta. Edward menjadi vokalis dan gitaris dalam bandnya. Dia memiliki cukup banyak fans karena suaranya yang merdu, dan gaya berpakaiannya yang identik dengan vokalis anak band.
Edward pun termasuk murid berprestasi dan berhasil menempati posisi 10 besar kala itu. Dia juga jago olahraga dan menjadi kapten tim sepak bola. Dengan demikian, Edward juga adalah pria yang pintar dan jenius. See? Tidak ada yang kurang dalam diri Edward, bahkan pria itu seakan tidak bercela.
Hanya saja dari semua hal yang disebutkan di atas, tidak cukup untuk membuat Lea tertarik padanya, selain hubungan pertemanan. Padahal Edward sudah bersikap lebih padanya, sejak pertama kali Lea dan Julia masuk kedalam sekolah musik itu, karena Edward menjadi salah satu intern yang mengajar disitu. Berawal dari guru musik menjadi sahabat.
"Kamu udah makan?" tanya Edward saat mereka sudah tiba di mall terdekat dari sekolah musik mereka.
"Tadi udah lunch bareng Julia di kampus." jawab Lea seadanya.
Edward terkekeh saja. "Kalau gitu, mau cari minum sebentar?"
Lea hanya bisa mengangguk saat melihat Edward yang tampak begitu antusias. Dia kembali merasa bersalah, dan menjadi tidak nyaman karena sudah bersikap tidak jujur selama enam bulan mengenalnya.
Kemudian, Edward mengajaknya masuk ke sebuah kafe dan memesankan minuman kesukaan Lea, Avocado Chocolate Mousse dan Mocca Latte untuk dirinya sendiri.
"Kamu suka banget yah ngopi?" tanya Lea sambil melihat bagaimana pelayan kafe itu melayani Edward dengan ramah, tampak seperti sudah saling mengenal.
Edward menoleh ke arahnya, lalu tersenyum sambil mengangguk. "Aku suka ngopi. Dan kafe ini udah jadi langganan aku selama dua tahun ini, atau semenjak aku masuk ke Melodi."
Lea mengangguk saja.
"Jadi karena kamu suka ngopi, makanya kamu kepengen bikin kafe?" tanya Lea lagi, sambil mengikuti Edward berjalan menuju ke konter pengambilan minuman.
Edward langsung mengambil kedua minuman itu dan mengajak Lea untuk duduk di meja dekat jendela. "Nggak juga. Aku lebih kepengen buka bar ketimbang kafe. Jadi konsepnya nggak cuma buat ngopi, tapi bisa buat minum sambil dengerin live music."
"Kamu bakalan ngeband di bar kamu sendiri? Wow! Itu ide yang brilian." seru Lea takjub.
"Nggak gitu, Lea. Aku kepengennya ngerekrut band-band baru atau yang baru mulai ngeband, supaya mereka dikasih kesempatan untuk tampil, dan mengasah kemampuan mereka lebih baik lagi." ujar Edward menjelaskan.
Another wow from Lea. See? Selain mempunyai banyak nilai lebih, Edward menambah satu poin extra dengan memiliki kebesaran hati seperti itu.
"Semoga kamu bisa mewujudkan impian kamu ke depannya, Ed. Aku yakin kalo kamu punya niat baik, maka segala sesuatunya akan dilancarkan." ucap Lea tulus.
Edward mengerjap lalu tersenyum lembut ke arah Lea. Edward terlihat senang, lalu menunduk untuk menyeruput minumannya. Lea pun ikut sibuk dengan minumannya sendiri, untuk menutupi rasa canggung yang tiba-tiba menghinggap di antara keduanya.
"Lea?"
Lea tertegun ketika bisa mendengar suara familiar yang memanggil namanya. Dia tidak yakin apakah barusan adalah suara yang timbul dari pikirannya, atau benar-benar ada yang memanggilnya. Karena sejak ulang tahun Wayne sekitar setahun yang lalu, Lea sudah tidak pernah bertemu dengan orang itu.
"Maaf, Anda siapa?"
Edward terdengar bertanya dan hal itu membuat Lea mengernyit, lalu mendongak untuk melihat Edward yang sedang menatap ke arah belakangnya. Lea pun ikut menoleh dan... Shit! Itu Nathan.
"Ngapain kamu disini?" tanya Nathan kepada Lea ketika tatapan mereka sudah bertemu, sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Edward barusan.
Belum sempat Lea menjawab pertanyaan Nathan, muncul seorang wanita cantik dengan perwakilan dari kata kesempurnaan berdiri tepat di samping Nathan.
"Klien sudah menunggu, sir." ucap wanita itu dengan tatapan berkilat nakal ke arah Nathan.
"Sebentar, Nora." ucap Nathan dengan suara bergumam, lalu memberikan kode kepada wanita itu untuk meninggalkannya.
Lea menatap kepergian wanita itu dengan tatapan menilai. Wanita itu terlalu cantik untuk menjadi seorang asisten, dan tentu saja Lea memahami alasan di balik itu semua. Baik Nathan ataupun kakaknya memiliki selera tinggi terhadap wanita, termasuk staff yang menjadi para pekerjanya di perusahaan mereka.
"Siapa dia, Lea?" tanya Edward kemudian.
Lea menoleh ke arah Edward. "Ini sahabatnya kakakku. Namanya, Nathan."
Edward terlihat mendesah lega mendengar jawaban Lea, sedangkan Nathan masih saja tidak bergeming disitu. Dia bahkan terkesan sedang menatap Lea dengan tatapan menilai.
"Kamu kesini sama dia?" tanya Nathan sambil tetap menatap Lea, tanpa perlu repot-repot melirik ke arah Edward.
"Iya." jawab Lea sambil beranjak berdiri.
Dia segera memutar ke sisi meja untuk menghampiri Edward, lalu menarik tangan Edward untuk segera berdiri. Lea ingin secepatnya menghindari Nathan, karena rasa tidak nyaman yang semakin menghinggap dirinya sekarang.
Karena tergesa-gesa, Edward tidak sengaja hampir menubruk tubuh Lea ketika berusaha mengimbangi posisi berdirinya. Disitu Nathan sudah bertindak lebih dulu untuk menarik Lea, menghindari Edward yang menumpukan satu kakinya tanpa perlu adanya tubrukan yang tidak diinginkan.
Lea merasakan dadanya bergemuruh kencang ketika menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam dekapan Nathan, dia bahkan bisa menghirup aroma maskulin dari pria itu. Oh dear..
"Jangan tarik-tarik orang dengan sembarangan, Lea!" tegur Nathan dengan suara pelan.
Nathan menarik diri dan membungkuk untuk memperhatikan Lea, seolah memastikan keadaannya. Merasa dirinya terancam dengan posisi seperti itu, Lea spontan mundur dua langkah untuk menjauhi Nathan.
"Ed, kita jadi ke toko buku, kan? Sekarang yuk. Nanti kemaleman." ucap Lea gugup sambil menoleh ke arah Edward yang terlihat kebingungan.
"Oke." balas Edward kemudian.
Lea langsung menghampiri Edward dan merangkul lengan pria itu. Lea tampak cemas dan semakin merasa tidak nyaman, terlebih lagi dengan tatapan Nathan yang membuatnya begitu salah tingkah.
"Lea...," kembali Nathan memanggilnya.
"Iya?" balas Lea gugup.
Nathan terdiam beberapa saat lalu menghela napas setelahnya. "Jangan pulang malam-malam karena Wayne lagi keluar kota. Supir kamu lagi cuti dan kalau kamu...,"
"Tenang aja, bro. Gue bisa anterin dia pulang ke rumah." sela Edward dengan sopan.
Lea menatap ekspresi Nathan yang terlihat tidak senang dengan interupsi dari Edward. Sampai akhirnya, Lea mengangguk saja sebagai jawaban untuk Nathan, lalu pergi meninggalkan kafe itu bersama dengan Edward.
Pertemuan yang tidak disengaja tadi, sudah jelas membuat Lea semakin gelisah. Dia yakin ada yang salah pada dirinya, sehingga membuatnya kalang kabut. Dia bisa merasakan perhatian Nathan padanya, dan merasa berlebihan jika apa yang dilakukan Nathan itu, hanya sebatas rasa pedulinya kepada seorang adik.
Apa yang berhubungan dengan Nathan, Lea selalu berusaha untuk mencari hal positif dari setiap nilai buruk yang selalu dia berikan padanya. Mungkin terdengar ironis dan terkesan miris, tapi memang begitu adanya. Hati yang dimiliki Lea bahkan sudah patah menjadi dua, tapi tetap saja, dia selalu menyerahkannya kepada seseorang yang mahir untuk mematahkannya. Siapa lagi kalau bukan Nathan? Sih all time favorite asshole-nya, demikian kata Julia.
Akhirnya, sepanjang dirinya menemani Edward yang sedang mencari buku musik, Lea tampak diam dan tidak menyimak sama sekali, ketika pria itu berceloteh panjang lebar tentang hal apa saja. Seperti virus dari gigitan zombie yang langsung bereaksi, demikian virus Nathan yang selalu berhasil mendoktrin seluruh pikirannya, bahkan tanpa pria itu melakukan apapun. Alhasil, Lea pantas menyandang gelar wanita paling bodoh sejagat raya.
"Lea...,"
Lea tersentak kaget ketika Edward memanggilnya.
"I...iya?"
Edward tersenyum kecil lalu menatapnya dengan hangat. "Daritadi aku ngomong kamu nggak denger, yah?"
"Eh?"
"Ada apa, Lea? Kenapa kamu malah jadi bengong hari ini? Kamu nggak suka jalan sama aku?" tanya Edward kemudian.
Lea menggeleng cepat. "Nggak kok."
"Kalo nggak, kenapa kamu bengong dan diam aja? Apa kamu udah capek dan mau pulang?" tanya Edward lagi.
"Emangnya kamu udah kelar?" tanya Lea balik.
Edward tertawa hambar. "See? Kamu emang kepengen cepet balik dan nggak nikmatin kebersamaan kita kayak gini."
"Bukan gitu, Ed." balas Lea panik.
"Terus apa, Lea? Apakah ada hal penting yang kamu pikirin sampe kamu bengong begitu?" tanya Edward lagi.
Lea terdiam dan kembali berpikir. Dia menatap Edward begitu lama sampai tidak tahu lagi apa yang harus disampaikannya. Tapi kemudian, dia menyadari ada satu hal yang kurang disitu. Kenyamanan.
Yeah... kenyamanan itu tidak didapati Lea saat bersama dengan Edward, meskipun pria itu memiliki kesempurnaan sebagai seorang pacar atau calon suami ke depannya. Jika adanya kenyamanan dalam satu hubungan, maka disitu akan terjalin hubungan yang melibatkan perasaan.
Sebaliknya, Lea hanya bisa merasakan kenyamanan itu ketika bersama dengan Nathan. Meskipun pria itu sudah menolaknya dan hanya menganggapnya sebagai seorang adik, tapi dia tahu bahwa perhatian yang Nathan berikan adalah bentuk dari sebuah kenyamanan dalam satu hubungan, sehingga membuat Lea secara tidak sadar sudah menyukainya.
Lea memejamkan matanya karena baru menyadari alasan Nathan menolaknya. Bukan karena Nathan tidak menyukai dirinya. Bukan itu. Semua karena sebuah kenyamanan dalam satu hubungan yang sedang diusahakan Nathan sekarang. Semua itu terbukti dari Nathan yang tidak pernah mengatakan apapun pada kakaknya, yang sudah bersahabat dengan Nathan sejak dulu.
Demi menjaga sebuah hubungan dengan dalih kenyamanan, Nathan bersikap seperti bajingan yang berusaha untuk menyakiti perasaannya, dan meyakinkan dirinya bahwa Nathan bukanlah sosok yang tepat untuk dirinya.
I got the point, pikir Lea akhirnya.
Kini, Lea berada dalam posisi Nathan ketika dirinya menyatakan perasaan, dengan Edward yang ada di hadapannya. Namun Lea tidak ingin melakukan apa yang Nathan lakukan padanya. Dia harus menjadi berbeda dan berusaha untuk tidak merusak hubungan pertemanan dengan Edward. Sekali lagi. Edward tidak layak untuk disakiti karena dia sudah merasakan bagaimana rasa sakit itu.
Dia tidak mau Edward terjerembap dalam perasaan sepihaknya, yang akan menyiksanya pelan-pelan. Because there's a written : 'the more you hide your feelings for someone, the more you fall for them'. Dan Lea tidak mau Edward seperti itu. Karena mencintainya akan semakin membuat Edward terluka, sementara dirinya masih belum menuntaskan kebimbangan dalam mengendalikan perasaannya sendiri.
"Ed..." panggil Lea dengan suara tercekat.
"Ya?" balas Edward.
"Rasanya aku udah bisa kasih jawaban untuk pertanyaan kamu." ujar Lea sambil menatap Edward lurus-lurus ke dalam sorot matanya.
Edward mengerutkan alisnya dan kemudian, dia mengangguk pelan seolah memberikan kesempatan pada Lea untuk menyampaikan jawabannya.
"Terima kasih untuk perasaan kamu selama ini, Ed. Tapi aku minta maaf, kalau aku nggak bisa balas perasaan kamu." ucap Lea dengan lugas.
Ekspresi wajah Edward berubah menjadi muram dan sorot matanya terlihat kecewa. Dia masih terdiam seolah menuntut penjelasan lebih dari Lea.
"Aku pernah ngerasain posisi kamu saat ini dan langsung ditolak saat itu juga," lanjut Lea dengan suara tersendat. "Setelah itu, aku menghindar darinya dan berusaha untuk melupakannya, karena aku kecewa dengan alasannya. Dia cuma anggap aku sebagai adik dan itu cukup menyakitkan. Sampai sekarang."
Lea menarik napas panjang agar bisa menghirup udara lebih banyak, guna mendapatkan asupan oksigen untuk paru-parunya yang terasa sesak. Dia pun menahan diri untuk tidak menangis, karena dia sudah berjanji untuk tidak mengasihani diri dengan air matanya lagi.
"Aku tahu rasanya menunggu tanpa tahu apa yang ditunggu, itu melelahkan. Mencari tanpa hasil, itu memuakkan. Dan mencintai secara sepihak, itu menyakitkan. Tapi aku nggak akan pernah membuat kamu merasakan hal seperti itu, karena kamu layak mendapat yang lebih baik dari aku, Ed. Aku cuma cewek yang masih susah move on dan trauma karena pernah ditolak. Dengan menerima kamu sebagai pacar, itu nggak akan membuat aku melupakan apa yang aku alami dengan mudah. Apa bedanya aku anggap kamu sebagai pelarian? Nggak! Aku nggak mau kayak gitu." ucap Lea dengan suara yang semakin bergetar.
Dia bahkan tidak mempedulikan posisi mereka yang masih berada di depan toko buku, dimana ada banyak orang yang berlalu lalang disitu.
"It's hard to pretend you love someone when you don't, but it's even harder to pretend that you don't love someone when you really do," tambahnya lagi. "Karena itu, aku lebih memilih kamu membenci aku, daripada kamu merasakan sakit yang lebih dalam."
Lea menggigit bibirnya sambil menatap Edward dengan cemas. Pria itu masih terdiam mendengar penjelasannya, dan respon yang diberikannya cukup tenang. Edward tampak memikirkan ucapan Lea sambil menatapnya dengan hangat.
"Lea...," ucap Edward kemudian, lalu mengulaskan senyum tipis. "Terima kasih kalau kamu mau jujur sama aku. Dari sini aku tahu, kalau aku nggak salah dalam menyukai orang. Kamu baik dan kamu masih sempat memikirkan perasaan orang lain, padahal kamu membutuhkan proses panjang untuk menjalani masalah perasaan kamu sendiri."
Lea menghela napas lega ketika bisa menangkap Edward yang mengerti dengan maksudnya.
"Kalau kamu pikir dengan kamu menolak aku, lalu aku akan menjauhi kamu, itu salah besar. Mencintai nggak harus memiliki dan aku percaya itu. Karena itu, ijinkan aku untuk menjadi sahabat kamu, sebagai bentuk cinta aku yang udah terlanjur mampir buat kamu. Aku janji aku nggak akan libatkan perasaan yang lebih dari teman, tapi kalau satu hari nanti kamu berubah pikiran, jangan sungkan untuk bilang sama aku. Karena sampai kapanpun, aku akan menerima kamu untuk menempati porsi besar dalam hati aku." ujar Edward lembut, sambil meraih tangan Lea dalam genggamannya, lalu mencium lembut punggung tangannya.
Seandainya Lea bisa membuka hatinya dan melupakan Nathan, mungkin dia akan menjadi wanita paling beruntung di dunia, karena dicintai oleh pria seperti Edward. Tapi kenyataan berbicara lain, karena logika dan hatinya tidak sejalan.
"Thanks, Ed. Aku nggak berani janji soal itu. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi orang pertama yang akan muncul, saat kamu membutuhkan pertolongan, dan mendukung setiap jalan hidup yang kamu ambil." ucap Lea mantap.
Senyum Edward mengembang sempurna . Tidak ada kekecewaan ataupun kesedihan disitu, dan Lea merasa lega karena sudah menjelaskan perasaannya pada Edward.
Kemudian, mereka berdua kembali melanjutkan obrolan mereka sambil berjalan mengelilingi mal itu, dan melewati makan malam bersama. Mereka bercengkerama layaknya sepasang sahabat yang saling melempar senyuman, dan sesekali bercanda dalam kekehan ringan. Tidak ada beban dan tidak ada rasa canggung di antara keduanya, karena mereka sudah saling terbuka satu sama lain.
Ketika mereka hendak pulang dan berjalan melewati kafe yang sempat dikunjunginya tadi, disitu Lea melihat sosok Nathan yang masih berada di dalam kafe itu. Nathan terlihat sedang berbincang dengan beberapa orang sambil melonggarkan dasinya. Langkah Lea spontan terhenti ketika melihat orang-orang itu pergi meninggalkan Nathan, dan hanya berdua dengan wanita cantik yang menjadi asistennya itu.
"Ada apa, Lea?" tanya Edward.
"Aku mau ngomong sebentar sama Nathan. Tadi Wayne ada titip pesen untuk dia, soalnya cowok itu nggak bisa dihubungi." bohong Lea.
Edward mengangguk. "Oke. Silahkan."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Lea langsung berjalan cepat mendekati sosok Nathan, seiring dengan degup jantung yang berdetak tidak biasa setiap kali melihat sosok itu. Pacuan dalam jantungnya semakin mengencang, ketika dia semakin dekat pada Nathan. Ketika Lea berdiri tepat di hadapan sosok Nathan yang berdiri menjulang tinggi, disitu dia menatap Nathan yang tampak kaget melihatnya.
"Lea?" ucapnya heran.
"Apa kita bisa ngomong sebentar? Cuma lima menit. Nggak pake lama." tanya Lea langsung, mengabaikan tatapan asisten pribadi Nathan yang menatapnya risih.
Nathan langsung mengangguk setuju dan mengarahkan Lea untuk masuk ke dalam kafe itu, sambil merangkul bahunya dengan lembut.
"Kenapa? Ada apa? Kamu mau dianter pulang atau bagaimana?" tanya Nathan dengan ekspresi cemas.
Lea menggeleng cepat. "Ada yang mau aku sampaikan ke kamu."
Nathan mengerutkan alisnya seolah mencoba membaca raut wajah Lea, lalu dia melirik ke arah Edward yang sedang berdiri tidak jauh dari kafe itu, menunggu Lea disitu.
"Kamu... udah jadian sama cowok itu?" tanya Nathan dengan waspada.
Lea menggeleng cepat.
"Atau kamu mau minta aku untuk jangan ngomong sama Wayne, kalau kamu jalan berdua sama...,"
"No! Bukan itu, Nathan! Aku ingin menjelaskan sikap aku selama ini sama kamu, setelah kejadian waktu itu." sela Lea langsung.
Nathan mengerjap diam. Dia menatap Lea dengan tajam, lalu mengangguk pelan seolah memberikan Lea kesempatan untuk menyampaikan apa yang diinginkannya.
"Aku mau bilang kalau mulai hari ini, aku putusin untuk nggak akan membenci kamu lagi. Aku juga akan melupakan semua perasaan aku sama kamu, karena aku sadar kalau perasaan aku itu, nggak membawa kenyamanan dalam hubungan kita. Juga demi Wayne. Jadi, kalau satu hari nanti kamu ketemu aku di lain kesempatan, anggap aku seperti apa yang kamu anggap selama ini. Mau adik, saudara atau sekedar adik dari sahabat kamu, terserah! Jadi, kamu jangan merasa bersalah karena kamu udah menolak aku waktu itu." ujar Lea dengan cepat.
Dia berbicara dengan tergesa, seolah waktunya tidak banyak untuk menyampaikan apa yang diinginkannya. Lea pun tidak menginginkan adanya interupsi dari Nathan, karena pria itu seperti ingin menyelanya.
"Terima kasih udah ajarin aku bagaimana caranya mencintai dari satu sisi, di mana semua orang nggak tahu soal itu. Dan tolong biarkan tetap seperti itu. Sebagai gantinya, aku akan berbesar hati untuk menerima penolakan kamu." kembali Lea berujar dengan ekspresi serius.
Entah kekuatan dari mana yang Lea dapatkan, karena dia bisa menyerukan perasaannya dengan begitu lugas dan tanpa derai air mata. Bahkan selama ini, dia hanya sanggup menyembunyikan kekecewaannya seorang diri.
"Dan kamu tenang aja, aku akan bertumbuh menjadi wanita yang hebat dan kuat ke depannya. Aku akan menjadi cewek yang mandiri dan nggak cengeng, aku akan membuat kamu dan Wayne bangga. Tunggu aku, Nathan. Aku akan buktikan kalau aku bisa membuat cowok manapun berjuang untuk mendapatkan aku." tukas Lea dengan sorot mata yang berkilat tajam.
Nathan dan Lea saling bertatapan dalam diam. Tatapan yang mengisyaratkan seolah mereka mengerti dan memahami isi hati masing-masing saat ini. Sampai akhirnya, ada senyuman tulus yang mengembang di wajah keduanya.
"I know you can conquer the world in the future, Lea." ucap Nathan dengan tulus.
"That's for sure." balas Lea kemudian.
Tanpa berkata apapun, Lea pun memutar tubuhnya dan berlari menghampiri Edward sambil menyeringai senang.
"Udah?" tanya Edward dengan alis terangkat.
"Udah. Yuk kita pulang," jawab Lea riang.
"Ngomongin apaan sih, sampe kamu bisa senang kayak gini?" tanya Edward lagi.
Lea menggeleng lalu tertawa renyah. "Mau tahu aja atau mau tahu banget?"
Edward ikut tertawa lalu merangkul bahu Lea untuk berjalan keluar dari mal itu.
Di lain pihak, Nathan menatap kepergian Lea dengan tatapan kosong. Dia merasa kehilangan sesuatu, dan seperti ada yang menancap begitu dalam di relung hatinya. Meski sampai saat ini, Nathan masih tidak tahu apa yang dia rasakan, tapi dia tidak pernah lupa untuk menyebut nama Lea dalam doanya, dan mengharapkan yang terbaik untuk Lea dari kejauhan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Buat reader baru,
Dimohon untuk bisa membaca konfirmasi aku di timeline.
Unspoken & Unwanted series akan aku revisi pelan-pelan.
Kalau kamu mau baca cerita lain, bisa cek di Eagle Eye Series atau yang lagi on going 😊
Published : Des 2017 - Feb 2018
Republish & Rev : 19.03.19 (14.20)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top