Part 19 - Another firsts from Nathan to Lea
WARNING : MATURE CONTENT (21+)
Written by. Sheliu
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Lea melepas sepatu dan menapakkan kakinya di atas pasir, sambil menikmati angin pantai yang menerpa wajahnya. Rasanya menyenangkan. Dia memang membutuhkan penyegaran setelah menjalani hari-harinya yang tidak menyenangkan. Rasa bersalah kian menguat, seiring dengan penyesalan yang kian bertambah.
Tapi dia perlu memberikan pembuktian diri secara tegas pada Wayne, agar kakaknya tidak memaksakan kehendak lagi. Itu saja. Dia ingin didengar, dipahami, dan dihargai. Meski apa yang sudah terjadi, memang adalah kesalahannya, tapi dia berusaha untuk menyelesaikan.
Awan mendung tampak menghias langit di atas sana, seiring dengan angin yang cukup kencang, namun tidak menyurutkan keinginan Lea untuk menghirup udara di sana. Tatapannya kosong mengarah ke pemandangan itu.
“Are you okay?” tanya Nathan.
Lea menoleh ke arah kirinya, dan mendapati Nathan sudah berdiri sambil bertolak pinggang, menatap ke arah pemandangan yang ada di hadapan mereka. Dia tampak memukau dengan kemeja kerja yang sudah digulung selengan, dan celana kerja yang digulung sampai batas lutut. Ekspresinya tenang dan sikapnya begitu santai. Nathan seperti memahami apa yang dirasakan Lea saat ini, dan memberikan waktu untuk Lea menenangkan diri.
“I guess I am,” jawab Lea kemudian.
Nathan pun menoleh ke arahnya dengan tatapan menunduk, untuk memperhatikan ekspresi Lea. “No, you’re not okay.”
Lea tersenyum hambar. “Aku bingung.”
“Bingung kenapa?” tanya Nathan. “I don’t mind to listen if you want to share. Sharing is caring.”
“Do you care about me?”
“I do.”
Lea kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dari sebelumnya. Spontanitas yang ditunjukkan Nathan membuat perasaan Lea menghangat. Selama dua minggu tidak bertemu dengan Nathan, Lea merindukannya. Rindu sekali. Dia bahkan tidak yakin apakah ke depannya, Lea bisa melupakan Nathan? Sebab sudah terhitung 6 tahun sejak penolakan Nathan, perasaan Lea kepada pria dingin itu, sama sekali tidak berubah.
“Aku kepengen minum kelapa, terus belanja sebentar, sebelum kita balik,” ujar Lea dengan seulas senyuman ringan.
Nathan mengerutkan alis sambil menatap Lea dengan penuh penilaian. Pria itu tampak berusaha mempelajari dirinya hari ini, namun tidak banyak bicara. Dia seperti ingin menjaga perasaan Lea, tapi juga penasaran karena ingin tahu apa yang dirasakannya sekarang.
“Are you okay?” tanya Nathan lagi, masih dengan pertanyaan yang sama.
Lea tertawa pelan. “Aku baik-baik aja.”
Nathan terlihat tidak percaya, tapi membiarkan Lea merangkul lengannya untuk mulai melangkah menuju ke salah satu kedai penjual kelapa. Tidak ada pembicaraan selama mereka menikmati air kelapa, karena mereka sama-sama menatap pantai dengan pikirannya masing-masing. Awan mendung semakin menggelap, beserta kilatan petir yang mulai terlihat.
“Kalau ada yang mau kamu tanyain, tanya aja. Jangan ngeliatin aku kayak gitu,” tegur Lea tanpa menoleh ke arah Nathan.
Tanpa melihat Nathan, Lea tahu jika sedaritadi Nathan terus memperhatikannya. Mereka duduk berdampingan di bangku kayu, di sebuah kedai sederhana, yang ada di pinggir pantai. Jika Wayne akan meledak-ledak ketika merasa tidak suka, lain halnya dengan Nathan yang selalu berdiam diri. Sikap diam Nathan ini, yang seringkali membuat Lea geram. Entahlah. Bagi Lea, pria itu terlalu banyak kopromi.
“Aku nggak mau kamu makin bete,” jawab Nathan kemudian.
Lea menoleh dan menatap Nathan dengan alis terangkat setengah. “Dengan kamu diam dan pelototin orang kayak gini, emangnya nggak bikin orang bete?”
“Tadi aku udah tawarin diri untuk dengerin curhat, tapi kamu malah ngajak minum air kelapa,” sahut Nathan ketus.
Lea pun terkekeh pelan sambil kembali menyeruput air kelapanya sampai habis. Dia merasa harus segera menyingkir dari situ, lalu menuju ke tenda yang menjual oleh-oleh, dan pulang. Sebab awan sudah semakin gelap, pertanda akan hujan deras.
“Aku pikir kamu tuh nggak asik buat diajak curhat, karena kamu cuek. You’re so individual. So calm. So cold. So Nathan," balas Lea sambil beranjak dari duduk. “Yuk kita belanja sebentar. Habis itu, kita pulang sebelum hujan.”
Sebelum Nathan sempat mengeluarkan dompet, Lea sudah lebih dulu membayar kepada bapak penjual kelapa itu. Dia mengabaikan pelototan Nathan yang terlihat tidak senang, dan berlalu lebih dulu.
“Kamu lupa aturan yang aku kasih soal pembayaran?” celetuk Nathan dari belakang, dengan nada tidak suka.
“Nggak. Tapi aku kepengen bayar aja,” balas Lea santai. “Cuma sekian rupiah yang nggak bakalan bikin aku kehabisan uang jajan.”
Nathan meraih lengannya agar Lea menghentikan langkah, dan bisa menatap ke arahnya. “Ini bukan soal berapa jumlah rupiah, Lea.”
Lea mengangguk paham. “Ini soal gengsi atau harga diri seorang cowok.”
“It’s not like that!” balas Nathan cepat.
“Then what? Apa kita harus debat, cuma gara-gara uang lima puluh ribu?” sahut Lea tidak mau kalah.
Nathan bungkam. Dia tidak membalas ucapan Lea, dan memilih untuk menahan diri. Sambil mendengus kasar, Nathan pun melepas cengkeramannya di lengan Lea, dan mempersilakan Lea untuk melanjutkan langkah.
Wayne benar, pikir Lea. Dia masih emosi dan sepertinya masih belum stabil untuk menghadapi siapapun saat ini. Rasanya seperti semua hal menyinggung perasaannya. Dan ini terasa tidak benar, pikirnya lagi.
Lea berusaha mengalihkan pikiran dengan berbelanja, mengambil apa saja yang dia inginkan. Membeli baju dan celana dengan beberapa ukuran. Dia bahkan tidak melihat lagi apa yang diambil, hanya tangan yang bekerja tanpa ada minat untuk sekedar mengeceknya. Sampai tidak terasa, dia sudah memilih hingga sekantong besar belanjaan.
Ketika Ibu penjual menyebut total pembelian, Lea menunduk untuk mengambil dompet dari tasnya. Tapi kali ini, dia kurang cepat, sebab Nathan sudah lebih dulu menyodorkan beberpa lembar uang kepada Ibu penjual. Shit!
Lea mengerjap kaget dan hendak protes, tapi Nathan sudah lebih dulu meraih kantong belanjaannya, dan segera berlalu tanpa berkata apa-apa. Lea mengerang pelan sambil menyusul Nathan dengan berlari kecil.
Rintik hujan sudah mulai turun, dan suara petir mulai menggelegar di atas langit. Angin semakin terasa kencang dan ombak pantai menggulung tinggi. Dalam hitungan detik, rintik-rintik hujan terasa semakin memberat, dan ritmenya merambat naik.
“Nathan, nggak seharusnya kamu…,”
Nathan segera menarik tangan Lea dan merangkul bahu, sambil menutupi kepala Lea dengan tangannya. “Kita harus cepet, ini bakalan hujan gede.”
Mobil terparkir pada salah satu resort yang ada di pantai, yang tidak jauh dari posisi mereka. Namun karena ritme hujan yang kian menanjak, sehingga menjadi lebat, mereka tiba di lobby resort dalam keadaan basah kuyup. Hujan begitu lebat seiring dengan angin kencang dan petir yang bergemuruh hebat di atas sana.
“Kita nggak mungkin pulang sekarang. Aku nggak mau kamu sampai sakit,” putus Nathan kemudian, setelah berpikir lama sambil terus mendekap Lea.
Lea mengerutkan alisnya dan menatap Nathan dengan bingung. “Maksud kamu?”
“Aku akan sewa kamar di sini, supaya kamu bisa ganti baju. Tadi kamu beli baju, jadi kamu bisa pake baju yang kamu belil tadi,” jawab Nathan sambil membimbingnya untuk masuk ke dalam resort itu.
Resort itu tampak ramai dengan pengunjung. Ada yang berteduh, dan ada juga yang memesan kamar. Mereka juga basah kuyup seperti dirinya. Lobby itu tampak penuh dan ramai.
“Kamu duduk dulu di sini,” ujar Nathan sambil mengarahkan Lea untuk duduk di salah satu kursi kosong yang tersisa di lobby itu. Tetesan air dari rambut Nathan, menetes ringan di pangkuan Lea, ketika pria itu membungkuk untuk membimbingnya duduk.
Setelah menaruh kantong belanjaan di sisi kursi yang diduduki Lea, Nathan segera berjalan menuju counter pemesanan kamar. Lea pun terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan tatapannya berhenti pada salah satu pengunjung yang sedang duduk tidak jauh darinya. Seorang ibu bersama anak perempuan yang sedang menggigil, tampak memeluk ibunya dalam keadaan basah kuyup.
“Anaknya nggak digantiin baju, Bu?” tanya Lea kemudian.
Ibu itu menatap Lea sambil memberikan senyuman tipis.
“Tasnya lagi diambil sama papanya di mobil,” jawab Ibu itu sambil mengusap wajah anaknya yang basah.
Lea pun segera mengambil beberapa baju dan celana yang bisa ditariknya dari kantong belanjaan, yang ada di samping kursi. Dia saja sudah cukup merasa kedinginan, dan merasa anak itu akan sakit, jika tidak segera mengganti pakaiannya.
“Bu, ganti baju dulu. Ini masih baru, tadi saya baru beli,” ucap Lea sambil menyodorkan beberapa baju dan celana yang berhasil diambil.
Ibu itu menatapnya dengan ragu. “Tapi, dek…,”
“Nggak usah tapi,” sela Lea cepat. “Adeknya udah kedinginan. Nanti dia sakit.”
Ibu itu masih terlihat ragu dan tidak kunjung mengambil baju yang disodorkan Lea. Akhirnya, Lea berinisiatif untuk beranjak dari kursi dan menaruh pakaian di atas pangkuan anak itu.
“Nanti adek kalau mau pake, ntar nggak ada,” balas Ibu itu dengan lirih.
“Saya ada beli banyak,” balas Lea ramah. “Cepet ganti baju yah, Bu. Kasihan adeknya nanti sakit.”
Ibu itu akhirnya mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Dia segera membawa anaknya untuk menuju ke toilet, sambil membawa pakaian yang diberikan Lea. Melihat hal itu, Lea tersenyum senang. Setidaknya ada pengalihan yang membuat perhatiannya teralihkan. Desiran angin yang kencang dari arah luar, membuat Lea bergidik karena mulai kedinginan.
“Lea?”
Panggilan Nathan spontan membuatnya menoleh, dan pria itu sudah berdiri di samping kursi. Ekspresi pria itu tampak tidak senang, seperti ada yang mengganggunya namun dia tidak mengatakan apapun. Nathan menarik lengan Lea sambil meraih kantong belanjaan itu, dan berjalan menuju ke pintu lift.
“Tadi kamu ngobrol sama siapa?” tanya Nathan kemudian, ketika mereka sudah berada di dalam lift.
“Nggak sama siapa-siapa,” jawab Lea seadanya.
Nathan mendengus pelan. “Bukannya tadi kamu lagi ngobrol sama ibu-ibu yang lagi sama anaknya?”
“Oh, itu…,”
Lea tidak melanjutkan ucapannya karena dia merasa tidak perlu menjelaskan. Melakukan sesuatu tidak berarti harus ada yang mengetahuinya.
“Aku tahu kamu itu orangnya care, tapi tetap nggak bisa sembarangan baik sama orang lain. Jaman sekarang banyak yang pura-pura, cuma buat narik belas kasihan dari orang yang nggak dikenal. Next time, kamu harus lebih aware sama sekeliling kamu,” ujar Nathan dengan tegas.
Lea tercengang mendengar ucapan Nathan barusan. Dia mengerutkan alis tanda tidak setuju dan menatap Nathan dengan tajam. “Anaknya kedinginan. Dalam keadaan kayak gitu, emangnya mungkin dia punya niat jahat?”
“Aku bilang next time, Lea,” balas Nathan dengan alis terangkat setengah.
Ting! Pintu lift terbuka, dan Lea langsung keluar dari lift itu tanpa mengatakan apapun. Tubuhnya menggigil dan dia mulai bersin. Dia benci dengan air hujan yang mengguyur tubuhnya, sebab setiap kali dia terkena air hujan, kepalanya akan terasa berat dan tubuhnya akan memanas.
Nathan membuka pintu dan mempersilakannya untuk masuk lebih dulu, sambil memperhatikan dirinya dengan seksama. Lea pun masuk dan mempelajari isi kamar yang terlihat… berlebihan. Nathan menyewa sebuah suite hanya untuk mengeringkan tubuh. Great! Lea sudah tidak heran dengan selera para pria seperti Nathan dan kakaknya dalam memanjakan wanita.
“Buat apa sewa kamar segede ini, cuma buat keringin badan dan nunggu hujan reda?” tanya Lea sambil melirik judes ke arah Nathan.
“Nggak ada kamar yang lain, selain presidential suite ini. Jadi, aku ambil,” jawab Nathan.
Lea melangkah menuju Mini Bar dan meraih sebuah teko listrik untuk membuat teh panas, demi menghilangkan rasa dingin yang semakin menjalar di sekujur tubuhnya, dan rasa pusing di kepala. Tiba-tiba, dia merasakan ada sesuatu yang melingkupi kepalanya, dan mendongak kaget ketika Nathan sudah berdiri di belakangnya, dengan handuk yang ditaruh di kepala Lea. Pria itu pun mengeringkan rambut Lea dengan lembut.
Menerima perlakuan itu, Lea spontan bergerak menjauh dan mengambil alih handuk yang masih ada di kepalanya, sambil menatap Nathan dengan ekspresi dingin. “Aku bisa sendiri, kamu nggak usah repot-repot.”
Nathan melihatnya dengan ekspresi masam. “Kamu udah kedinginan, lebih baik mandi sekarang.”
“Kamu duluan aja,” tolak Lea langsung. “Aku masih mau nyeduh teh.”
“Biar aku yang nyeduh, kamu mandi dulu,” tegas Nathan sambil berniat untuk mengisi air pada teko listrik, tapi Lea buru-buru merebut botol air mineral yang sedang dipegang Nathan.
Degup jantung Lea bergemuruh kencang, ketika bisa melihat ekspresi wajah Nathan menggelap. Terlihat sekali jika pria itu sudah marah. Sangat marah seakan hendak meledak.
“Lea,” ucap Nathan dingin, seakan itu peringatan keras untuk Lea.
“Aku nggak mau mandi dan aku mau seduh teh dulu,” balas Lea dengan suara gemetar. “Kamu nggak usah ngatur aku, dan jangan perlakuin aku kayak anak kecil. Aku nggak suka! Aku masih marah sama Wayne, dan jangan bikin aku marah sama kamu juga.”
Nathan memiringkan kepala sambil menyilangkan tangan, seolah ingin melihat apa yang akan dilakukan Lea sekarang. Dia tidak banyak bicara, dan tidak memaki seperti Wayne atau menaikkan suara. Dia tampak tenang, namun tatapannya mengintimidasi, seakan hal itu bisa menciutkan nyali bagi siapa saja yang hendak melawannya.
“Bisa diperjelas, bagian mananya aku perlakuin kamu kayak anak kecil?” tanyanya datar.
“Nggak usah aku perjelas kalau kamu udah tahu,” jawab Lea sambil menggenggam erat botol air mineralnya.
Nathan tersenyum sinis. “Asal kamu tahu, justru kamu yang bersikap kayak anak kecil sekarang. Kamu kedinginan, dan rentan flu kalau kena air hujan. Aku suruh kamu mandi, bukan berarti aku ngatur kamu, tapi karena aku tahu kondisi fisik kamu. Anak TK aja kalau dibilangin bisa ngerti lho, masa kamu nggak?”
Damn! Lea bungkam. Nathan benar-benar bisa memberikan balasan yang telak padanya.
“Mungkin kamu yang terlalu kepohin aku,” sahut Lea dengan alis terangkat setengah, seolah menantang. “Kamu berniat ngeringin rambut, nyeduhin teh, dan suruh aku mandi. Aku nggak nyangka kalau niat kamu bisa sampai se-kepo itu.”
“Jadi perhatian kayak gitu, bikin kamu merasa diperlakukan kayak anak kecil, begitu?” balas Nathan dengan ekspresi yang semakin dingin.
“Karena kamu sama aja kayak Wayne. Suka ngatur, suka ngelarang ini-itu, selalu merasa benar dan aku yang salah. Lagian, kamu bukan siapa-siapa, dan nggak berhak untuk maksa ngikutin kehendak kamu,” ujar Lea dengan suara yang semakin bergetar.
Lea menahan napasnya, ketika Nathan tiba-tiba maju menghampirinya, sampai dia tidak sempat untuk menghindar. Punggung Lea terdesak di tembok yang ada di belakangnya, sementara Nathan mengukungnya dengan tubuh besar pria itu.
Dia bisa melihat rahang Nathan yang mengetat, sorot mata tajam yang begitu dingin, dan deru napas yang memburu kasar. Nathan terlihat menakutkan, namun itu tidak berarti apa-apa untuk Lea. Dia tahu bahwa pria itu tidak akan menyakitinya. Dia yakin itu.
“Kita lihat apakah kamu masih merasa diperlakukan seperti anak kecil,” ucap Nathan dengan suara beratnya, sambil menarik Lea dalam dekapannya.
Lea memekik kaget. Tubuhnya menegang kaku, saat bibir Nathan mengunci bibirnya dengan lumatan, dan desakan lidah yang menuntut. Kedua tangan Lea diangkat sampai ke atas kepalanya, dengan satu kepalan tangan besar Nathan yang menahannya disitu. Satu tangannya lagi, mengeratkan dekapan, sementara tubuh Nathan menghimpit tubuh Lea. Hal itu membuat Lea tidak bisa berkutik.
Mereka yang sudah basah kuyup tampaknya sudah tidak membuat Lea merasa kedinginan, melainkan rasa panas yang tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya, dan semakin terasa sesak saat Nathan semakin menghimpitnya.
Perlahan namun pasti, ciuman itu melembut dan mulai berirama, terasa sangat dalam dan memabukkan. Membuat kepala Lea semakin terasa pening, dan membuat perasaannya semakin limbung. Rasa cinta yang dimilikinya untuk Nathan, membuatnya tersiksa dengan ketidaksanggupan dalam menolak ciuman Nathan, sehingga Lea mulai membalasnya.
“Jangan paksa aku untuk ngelakuin hal di luar batas, cuma buat ngebuktiin kalau aku nggak menganggap kamu kayak anak kecil, Lea,” bisik Nathan dingin di sela-sela ciumannya.
Tatapannya tajam dan rahangnya semakin mengetat. Sorot matanya terlihat seperti menegur tapi memancarkan kelembutan secara bersamaan.
"Semua yang kamu lakuin memang udah di luar batas, Nathan. I'm a big girl now! Not a litlle silly girl anymore!" balas Lea dengan suara tercekat.
Balasan Lea tadi membuat Nathan menatapnya dengan sorot mata yang penuh emosi. Dia tidak mengeluarkan satu kata pun, hanya mempelajari raut wajah Lea saat ini.
Lea langsung terkesiap, saat dia merasakan tangan Nathan yang merangkul pinggangnya, tiba-tiba menyelinap masuk ke balik kaos yang dipakainya, untuk mengusap punggungnya secara langsung. Oh dear… napas Lea kian memberat.
Telapak tangan Nathan yang dingin, terasa menyenangkan saat bersentuhan dengan punggungnya yang hangat. Terasa kontras. Hal itu menimbulkan sensasi tersendiri, sehingga membuatnya merasa lemas. Dan dia merasakan sesuatu yang mengeras di perutnya, saat Nathan semakin menekan tubuhnya, seolah ingin memberitahukan sesuatu yang sudah menegang di bawah sana.
"Sekali lagi aku tegaskan, kalau aku nggak menganggap kamu seperti yang kamu bilang. Kamu special, dan kedekatan seperti ini memberi pengaruh buat aku. Jadi, jangan berargumen lagi, untuk kebaikan masing-masing. Khususnya saat ini,” ucap Nathan dengan suara serak. Dadanya naik turun, seiring dengan hembusan napas beratnya yang menerpa wajah Lea.
Ciuman itu terhenti, dan mereka saling bertatapan dalam diam. Lea melumat bibirnya rapat-rapat, sambil mengendalikan napasnya yang tidak teratur. Perutnya terasa bergejolak. Dia tidak pernah merasakan kedekatan yang begitu intens seperti saat ini, dan ini adalah pertama kali untuknya.
Selama ini, pengetahuannya tentang seks hanya didapati dari pendidikan seks di sekolah, dan cerita dari teman kampus tentang kehidupan seks mereka selama berhubungan dengan kekasihnya. Hanya itu. Dan saat ini, Lea merasa bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba hal itu. Bersama Nathan, pria yang sukses mengambil hatinya secara utuh, dan selalu hadir dalam imajinasi liarnya. Pikiran itu berhasil membuat Lea merasakan sensasi asing yang perlahan menguar dari dalam tubuhnya.
"See? Aku membela diri, dan kamu anggap itu argumen yang nggak penting. Apa bedanya?" balas Lea lantang.
Lea tidak percaya dengan keberaniannya saat ini, dengan sengaja memancing emosi Nathan. Dia ingin melihat sejauh mana Nathan akan bertindak. Karena jujur saja, Lea menginginkan lebih dari apa yang Nathan lakukan saat ini.
Nathan memejamkan matanya singkat dengan napas yang memburu, lalu membuka matanya kembali dan menatap Lea dengan ekspresi menegur. "Don't tease me, Lea!"
Sorot mata Nathan beralih ke rambutnya, dan cengkeraman Nathan di tangannya mengendur, karena tangan Nathan beralih untuk mengusap rambut Lea dengan lembut, lalu menautkannya ke belakang telinga. Aksi ini membuat Lea menelan ludah dengan susah payah, apalagi Nathan mulai mendekatkan wajahnya ke arah samping, dan mengecup telinganya dengan hangat.
Lea langsung menggelinjang, karena Nathan tidak sekedar mengecup, melainkan meliukkan lidahnya untuk bermain di daun telinganya, lalu melumatnya di situ. Tubuhnya memberikan desakan asing yang menguat, sampai kakinya terasa lemas dan tubuhnya seolah meleleh dari dalam.
Ciuman Nathan beralih dari telinga, dan turun ke lehernya diiringi dengan lidah yang menggeliat sempurna, sehingga meninggalkan jejak basah di sepanjang leher Lea. Tangan Nathan yang mengusap punggungnya kini perlahan naik, membuka kaitan bra dan dengan cepat, tangan itu berpindah ke depan, untuk menangkup satu payudaranya secara penuh.
Lea tersentak kaget dan tangannya langsung mencengkeram bahu Nathan dengan gemetar, sebagai penyangga agar tidak jatuh. Dan barusan, dia yakin dia mendengar suara desahannya sendiri saat Nathan meremas pelan payudaranya.
"You fit my hand perfectly, Lea. Still wanna play with me? Big girl?" bisik Nathan parau di lekuk lehernya, dan napas hangat Nathan yang menyembur lehernya, membuat Lea semakin terasa pening.
"Please... Nathan," ucap Lea dengan suara tercekat.
Nathan mendongak dan menatap sayu. Pria itu terlihat bergairah namun waspada, seolah sedang bersiap untuk berhenti.
"Please what?" tanyanya dengan napas berat.
Lea membasahi bibirnya sambil menatap Nathan. "Please don't stop.”
Alis Nathan terangkat dan matanya melebar kaget. "W...what?"
Kekagetannya langsung membuat dirinya berhenti, dia hendak menarik tangannya tapi Lea langsung menahan.
"You better be ready to finish what you started, Nathan,” bisik Lea serak, lalu dia mencium bibir Nathan dengan seluruh keberaniannya, sambil mengarahkan tangan Nathan untuk tetap melakukan tugas di atas payudaranya saat ini.
Nathan mendesah parau di sela-sela ciumannya, dan Lea merasakan kejantanan Nathan yang semakin mengeras di perutnya, sementara rasa nyeri mulai menjalar di pangkal paha, dan dia merasa basah di bawah sana.
"Lea...,” Nathan menarik diri dari ciuman itu dan menatap Lea dalam-dalam "Ini pertama kalinya buat kamu dan aku...,”
Lea langsung mengarahkan telunjuk ke bibir Nathan sebagai tanda untuk menyuruhnya diam dan itu berhasil.
"Aku berhak menentukan apa yang terbaik buat aku, dan aku nggak akan menyesal. This is my body, not yours!" ujar Lea dengan suara yang nyaris berbisik.
Nathan seperti bergumul, dia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa didengar Lea, sambil dirinya kembali mencium bibir Lea dengan liar dan menuntut. Nathan menarik ujung kaos Lea yang basah ke atas, sampai melewati kepalanya, bersamaan dengan bra yang sudah terlepas.
Sorot mata Nathan menatap kagum ke arah sepasang payudara Lea, dan dia terlihat penuh gairah. Kedua tangannya pun mulai bekerja untuk meremas lembut payudara Lea, sampai Lea memejamkan matanya untuk menikmati momen itu.
Momen dimana Lea disentuh oleh pria untuk pertama kalinya, dan dia tidak merasa keberatan. Semua terasa seperti apa yang diimpikannya, dan dia memang hanya menginginkan Nathan dalam hidupnya. Sekalipun dia tidak bisa mendapatkan pria itu, namun dia memiliki pengalaman kebersamaan yang menyenangkan seperti ini.
"Tell me to stop if you change your mind, Lea," bisik Nathan parau.
"I don't,” balas Lea dengan serak. "Just tell me what I should do.”
Nathan menatapnya penuh arti dan takjub secara bersamaan. “I'll make it good to you. I'll touch you in every inches of your body. So you will remind me as your another firsts in your life.”
Nathan mencium bibirnya dalam-dalam, dan Lea membalasnya sambil merangkul bahu Nathan dengan kedua tangannya. Dia merasakan Nathan mengangkat tubuhnya, sambil memperdalam ciuman, dan mulai berjalan pelan melewati ruangan.
Lea direbahkan di atas ranjang, dan Nathan melepas ciuman itu, untuk melepas kemejanya yang basah. Disitu, Lea bisa melihat dengan jelas otot-otot tubuh Nathan yang terpampang indah di tempat yang seharusnya. Lengan yang kekar, otot perut yang kokoh, dan dada bidangnya. Tubuhnya lembap karena kehujanan, tapi sepertinya tidak menjadi masalah, karena Lea merasakan kehangatan saat Nathan kembali mendekat dan merengkuhnya dalam pelukan erat.
"Nathan,” panggil Lea pelan dengan suara yang tertahan.
"Yeah?"
"After this? Please don't break me.”
Nathan berhenti sejenak lalu mendongak menatapnya. "I won't.”
Setelah itu, Lea membiarkan Nathan mengambil kendali atas tubuhnya, dan menyerahkan dirinya kepada pria untuk pertama kalinya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Segitu aja dari aku, karena aku udah engap 😧
Sisanya atau next part adalah jatah babang, jadi biarin beliau yang memutuskan mau di update kapan?
Double update is done!
Next part : "In Anyer With Love"
(Written by CH)
Published : Des 2017 - Feb 2018
New version ; 02.05.19 (22.53 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top