Part 18 - The restoration of relations

Aku lagi males lanjutin Daddy dan Luke
Nggak mood dan feel belum dapet 😅

Jadi, fokus di Nathan dulu.
Meski ini revisi, tapi aku ketik ulang.
And guess what?
Aku sampe hapal banget partnya, sampe ke dialog.
Berasa ditarik balik ke jaman SMP.

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Nathan mendengus dengan ekspresi masam, ketika mendengar informasi tentang Ethan Natalegawa, dari Adrian.

Berasal dari keluarga konglomerat asal Korea Selatan, Adrian memiliki seorang detektif pribadi yang membantu memberikan informasi apa saja. Dunia bisnis yang memiliki persaingan kotor dan kecurangan, membuat keluarga besar Adrian harus memiliki sistim pertahanan yang kuat untuk bersaing dengan para pebisnis diluaran sana.

Tujuannya adalah untuk mengenal siapa lawan mereka, asal usul dan kelemahan, atau kecurangan-kecurangan yang pernah dilakukan pihak lawan. Dan pihak yang dipercayai Adrian adalah mantan anggota CIA yang memiliki keahlian dalam mencari informasi paling akurat.

Kali ini, Adrian membantu Wayne untuk mencari informasi tentang Ethan, yang ternyata adalah salah satu pengusaha sukses di Jakarta. Memiliki beberapa perusahaan otomotif dan cukup berpengaruh. Dalam usianya yang sudah menginjak 33 tahun, Ethan berhasil memasarkan unit mobil dengan brand yang dia ciptakan, dan diakui se-Asia Tenggara.

"Dari semua informasi yang lu dapetin tentang dia, kenapa dia nggak ada cela?" tanya Wayne ketus.

"Dalam dunia bisnis, dia sangat oke. Tapi nggak dengan pergaulannya, khususnya skandal yang udah pernah dia lakuin," jawab Adrian dengan lugas.

Christian menggelengkan kepala sambil mendengus. "Actually, gue tahu siapa dia."

Wayne melebarkan matanya. "Lu kenal dia?"

"Gue nggak kenal, tapi gue tahu. Dia pernah terlibat skandal dengan salah satu artis asuhan gue. Waktu itu cukup heboh. Artis gue sempet pacaran atau cuma hook-up sama dia, tapi malah kebablasan. Dia hamil dan Ethan nggak mau tanggung jawab," jawab Christian dengan malas-malasan.

"Terus akhirannya gimana?" tanya Adrian.

"Artis gue malah dituntut sama Ethan atas pencemaran nama baik," jawab Christian. "Waktu itu sempat heboh, karena katanya Ethan sampe kirim orang suruhan buat neror dan ngancem."

"Trus lu nggak bantuin?" tanya Adrian lagi.

Christian tersenyum hambar. "Itu udah urusan pribadi, dan gue selalu menegaskan dengan semua artis asuhan gue, untuk punya sikap dan jaga manner. Mereka harus punya nilai jual dari talenta, bukan gosip atau sensasi. Karena gue melihat dia memang cukup bermasalah, jadinya gue pecat."

"Kok lu tega?" seru Wayne kaget.

Christian berdecak pelan. "Gue bukannya tega, tapi punya prinsip! Kalo nggak beres, yah gue kelarin! Mau ngapain gue simpen sesuatu, yang udah tahu kalo itu sampah? Lagian tuh cewek emang totally bitch. Gue emang suka main cewek, tapi bukan berarti gue nggak seleksi. Semisal di dunia ini cuma ada dia, gue lebih milih buat onani daripada harus maen sama dia."

"Emangnya artis lu yang mana?" tanya Adrian lagi.

"Bella Livia, yang suka maen sinetron kejar tayang gitu, di stasiun ikan terbang," jawab Christian sambil terkekeh geli.

Semuanya hanya ber-oh ria, kecuali Nathan. Karena sedaritadi, pria itu terdiam sambil memikirkan sesuatu. Yeah. Dia memikirkan Lea. Ralat. Dia merindukan Lea. Shit!

Semua gara-gara ultimatum Wayne yang melarang Lea untuk tinggal di apartemen, sampai Nathan tidak bisa bertemu dengan wanita itu selama dua minggu terakhir. Pesan yang dikirim Nathan, tidak sekalipun mendapat balasan. Telepon pun diabaikan. Dan tidak hanya dirinya yang diabaikan, Wayne juga.

Wayne dan Lea tidak saling bertegur sapa ataupun mengobrol seperti biasa, sejak pertengkaran mereka. Menurut Wayne, Lea yang selalu menghindar dari kakaknya dengan mengunci diri di kamar, jika sedang berada di rumah. Bahkan untuk makan malam pun, Lea meminta pelayan rumahnya untuk membawakan ke kamar.

"Btw, Lea masih ngambek sama lu, Wayne?" tanya Adrian kemudian.

Wayne menghela napas dengan berat. "Dia bahkan udah nggak mau ngeliat muka gue lagi."

Christian menatap Nathan dengan tatapan menilai dan menyeringai dalam diam. Nathan tampak begitu serius sampai tidak merasa diperhatikan. Dia begitu pendiam dan malas untuk berkomentar.

Empat pria itu sedang menikmati cheating off day-nya di rumah Wayne. Bukan tanpa alasan mereka berada di situ, tapi karena Wayne sengaja memilih rumahnya, demi bisa berpapasan dengan Lea. Ada yang ingin disampaikan Wayne pada Lea.

"Apa lu masih ngelarang ini itu lagi sama Lea?" tiba-tiba Nathan bersuara.

Wayne menoleh padanya dengan tatapan masam. "Gue ngelarang apaan? Ngeliat mukanya aja nggak kesampean. Anaknya ngetem mulu di kamar! Dia pulang lebih cepet dari gue, dan pergi kerja lebih pagi dari gue."

"Terus lu ngajak kita ngumpul di sini untuk apa?" tanya Nathan dengan alis berkerut tidak suka. "Lu mau tegor dia, di depan kita bertiga?"

Adrian tersentak dan menatap Wayne tidak setuju. "Jangan, Wayne. Lea bakalan makin benci sama lu."

"Emangnya lu mau tegor apaan ke Lea, Wayne?" tanya Christian heran.

"Gue nggak mau dia berteman lagi sama Edward. Dia itu adeknya Ethan, bisa jadi mereka berdua sekongkol, atau Ethan suruh adeknya buat ngerjain Lea," jawab Wayne lantang.

"Heh? Ethan kan lagi dirawat di Singapore, dan Edward ada di Jakarta. Ortunya cerai, dan mereka emang udah tinggal terpisah dari dulu," sahut Adrian menjelaskan, sambil mengarahkan Ipad yang dipegang Wayne. "Lu baca dong data yang gue kirim ke lu barusan."

"Mereka sedarah, bisa jadi sepemikiran dan sepaham. Kakaknya bajingan, bisa jadi adeknya juga," balas Wayne tidak mau tahu.

Nathan mendengus dan menatap Wayne dingin. "Lu mau bilang kalau Lea bakalan jadi brengsek karena lu itu brengsek?"

"Heh? Nggak yah! Ini kasusnya beda! Lea itu nggak akan jadi brengsek, karena gue udah mengusahakan dia jadi anak baik-baik," seru Wayne tidak terima.

"Dan apakah usaha lu udah berhasil?" sahut Christian dengan alis terangkat setengah.

Wayne berdecak ke arah Christian. "Ya iya lah. Lu bisa lihat sendiri adek gue kayak gimana!"

"Kalo gitu, untuk apa lu cemas dan kuatir sama Lea? Lu udah usahain untuk Lea jadi anak baik-baik, tapi lu nggak percaya sama nilai dirinya, dan tetap jadi Abang posesif yang kampungan," balas Christian telak.

"Eh, lu nggak bisa ngomong seenak jidat, karena lu nggak punya adek cewek!" seru Wayne tidak suka.

"Gue bukan seenaknya ngomong, Wayne. Sekarang gue tanya, apa gunanya lu jadiin Lea itu anak baik-baik, kalo lu nggak kasih kesempatan untuk mengetes nilai baik-baik yang lu maksud?" tanya Christian dengan ekspresi tengilnya.

"Ada benernya juga," komentar Adrian sambil menganggukkan kepala.

Wayne bungkam. Nathan menatap Christian dengan alis terangkat setengah, dan pria itu juga memberikan tatapan yang sama. Dia sangat heran dengan sikap Christian yang terkadang terkesan mendukungnya diam-diam.

"Ibarat beli mobil, meskipun merk Lamborghini atau Ferrari, lu tetep butuh test drive sebelum lu yakin kalo itu mobil bagus, kan?" tambah Christian kemudian. "Sama kayak Lea. Lu udah yakin kalo dia anak baik-baik, tapi lu nggak kasih kesempatan untuk dia menguji dirinya, lewat dunia yang udah semakin jahat, Dude."

"Kalo dia dijahatin orang, gimana? Dia terlalu baik dan polos!" balas Wayne langsung.

Christian terkekeh pelan. "Itu berarti menjadi baik, nggak selamanya adalah hal yang baik, kan? Harus ada unsur kebrengsekan, kejahatan, dan kegigihan dalam menjadi satu pribadi."

"Maksud lu apa sih?" celetuk Wayne tidak suka.

"Maksud gue adalah lu pikir baik-baik, apakah yang lu lakuin itu udah bener ato belom? Goblok banget sih lu!" desis Christian gemas.

Nathan tertawa geli bersama dengan Adrian. Ada kalanya Wayne menjadi penengah, namun seringkali Christian banyak memberi masukan. Kedua orang itu seperti duo leader yang konyol.

Suasana santai itu terjadi hanya sebentar, karena mereka langsung terdiam, ketika melihat sosok yang ditunggu-tunggu datang. Tampak Lea pulang dengan penampilannya yang... entah kenapa Nathan merasa dia bertambah cantik. Apakah semua karena sudah dua minggu ini, Nathan tidak melihatnya?

"Hai," sapa Lea dengan pelan, ketika sudah bisa melihat mereka.

Adrian dan Christian membalas sapaan Lea dengan ramah, namun Wayne tidak. Sedangkan Nathan masih menatap Lea dengan penuh arti, dan Lea pun memberikan tatapan hangat padanya.

"Lea, tunggu!" seru Wayne ketika Lea kembali melanjutkan langkahnya menuju ke anak tangga.

Nathan menoleh ke arah Wayne dengan waspada, Christian dan Adrian pun demikian. Jika dua minggu lalu, Nathan tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi Lea, karena masih ada orangtua yang harus dihormatinya, tapi kali ini tidak. Jika Wayne kembali berulah, Nathan akan segera menindaklanjuti.

Lea memutar tubuhnya dan menoleh ke arah Wayne dengan malas. "Ada apa?"

Wayne beranjak berdiri untuk menghampiri Lea, sementara yang lainnya semakin waspada. Kini, Wayne dan Lea berdiri berhadapan.

"Aku mau ngomong sama kamu," ucap Wayne kemudian.

Lea menatap Wayne selama beberapa saat, lalu menoleh ke arah Nathan dan kedua temannya yang lain, kemudian kembali menatap Wayne dengan tatapan dingin.

"Kamu mau ngomong atau mau keroyok aku, sampe harus di depan temen-temen kamu?" tanya Lea datar.

"Wow! I like this girl," bisik Christian dengan mata berkilat senang.

"Bisa nggak sih, kamu jangan sinis gitu? Aku mau ngomong baik-baik sama kamu, dan kebetulan aku lagi ngobrol sama mereka," tukas Wayne ketus.

Lea memaksakan senyuman hambar dan menatap Wayne dengan tatapan kecewa. "Kamu nggak usah ngomong sama aku, Wayne. Aku udah tahu kamu mau ngomong apa. Kalo niat kamu cuma pengen nyuruh aku jauhin Edward, lebih baik lupain aja. Aku nggak bisa dan aku nggak mau, jadi kamu juga nggak usah repot-repot ngancem Edward. It's too childish, don't you think?"

"Wow," kini giliran Adrian yang berbisik dengan ekspresi takjub.

Nathan tersenyum dan menatap Lea dengan penuh rasa bangga. Wanita itu sudah dewasa dan memiliki ketegasan dalam bersikap, yang patut diacungi jempol. Sorot matanya yang tajam, rahang yang mengetat, dan dagu yang terangkat, membuat Lea terlihat tidak gentar dalam menghadapi Wayne.

"Aku nggak mau kamu dalam bahaya. Aku peduli sama kamu," ujar Wayne dengan tegas.

"Thanks kalo kamu masih peduli sama aku. Tapi kamu nggak usah kuatir, aku baik-baik aja. Edward nggak akan nyakitin aku, dan dia beda banget sama kakaknya. Aku berani jamin itu," balas Lea dengan penuh penekanan.

Lea pun langsung memutar tubuhnya untuk menaiki anak tangga, tapi Wayne menahannya dengan mencengkeram lengannya.

"Mau apalagi, Wayne?" tanya Lea jengah.

Wayne menatap Lea dengan seksama, lalu maju untuk memeluk Lea. Tampak Lea terlihat kaku dan tidak menyangka akan dipeluk oleh Wayne, namun matanya berkaca-kaca. Ekspresinya seperti menahan tangis dan bersikeras untuk mempertahankan ego.

"Kita baikan, okay?" ucap Wayne lirih. "Aku nggak bisa didiemin gini sama kamu. It's so not you. Aku sayang sama kamu, Lea. Jangan benci aku, okay?"

Nathan bisa melihat Lea yang berusaha untuk tidak menangis, ketika mendapat perlakuan manis dari Wayne. Christian hanya menghela napas sambil mengalihkan perhatiannya pada ponsel, sementara Adrian pun membuang muka ke arah lain dengan ekspresi tidak enak hati. Berbeda dengan Nathan yang masih melihat pemandangan yang menenangkan hati terhadap kasih persaudaraan yang terjalin diantara Wayne dan Lea.

"Aku mau jadi kakak paling keren yang kamu punya," lanjut Wayne sambil menarik diri, dan menatap Lea dengan penuh arti. "Kamu boleh lakuin apa aja sesuai kata hati, tapi harus jadiin aku sebagai orang pertama yang tahu, kalo kamu butuh pertolongan."

Air mata Lea mulai mengalir dan dia langsung menyeka dengan punggung tangannya. "Aku nggak mau di-php sama kamu."

"Nggak. Aku nggak php kamu. Kalo sama cewek lain, iya. Tapi kamu nggak. Kalo kamu mau balik ke apartemen, silakan aja. Yang penting kamu kasih kabar jam berapa kamu pergi dan pulang, terus kalo ada janji sama temen, yah bilang sama aku. Supaya aku tahu kamu ada dimana," balas Wayne langsung.

Ekspresi wajah Lea berubah menjadi senang. "Beneran?"

"Iya."

"Seriusan?"

"Iya."

"Kalo gitu aku mau balik ke apartemen sekarang!"

"Eh, kok gitu? Kenapa harus langsung? Kenapa nggak Senin aja? Hari ini kan Jum'at!" protes Wayne dengan ekspresi tidak suka.

"Aku ada kerjaan," balas Lea kalem. "Aku harus lanjutin proyek skripsi, yang harus aku kerjain di workshop, yang ada di apartemen. Hari Selasa besok, aku harus ketemuan sama Julia untuk finishing bareng-bareng. Jadi, weekend ini aku sibuk banget."

Alis Wayne berkerut curiga. "Kamu nggak bohongin aku, kan? Kalo tadi aku nggak ngomong soal kamu boleh balik ke apartemen, kamu..."

"Aku pulang ke sini, cuma buat ambil equipment yang ketinggalan. Abis itu, aku langsung jalan ke apartemen," sela Lea santai.

"Heh? Kok mendadak gitu? Aku nggak bisa anterin kamu!" kembali Wayne memprotes.

"Sama aku aja," seru Adrian menawarkan diri, sambil mengangkat tangannya dengan ceria.

Nathan langsung menoleh pada Adrian dengan alis berkerut tidak suka, dan hal itu diperhatikan oleh Christian.

"Lu kan ada janji sama salah satu model asuhan gue, yang mau lu pake jadi BA di Department Store lu, Dude," ujar Christian mengingatkan.

Alis Adrian berkerut bingung. "Lho, emangnya hari ini? Bukannya besok siang?"

"Barusan modelnya konfirmasi, kalo besok nggak bisa. Bisanya hari ini," jawab Christian sambil menyeringai licik.

"Kalo gitu, Nathan aja," celetuk Wayne tiba-tiba.

Deg! Nathan merasakan degup jantung yang berpacu kencang saat melihat Lea sedang tersenyum padanya. Sorot mata Lea yang menatapnya kini, terlihat seperti sorot mata penuh kerinduan. Sama seperti dirinya saat ini.

"Besok aku mampir ke tempat kamu yah, sekalian aku bawain dinner. Nggak apa-apa, kan?" tanya Wayne kemudian.

Lea mengangguk. "Nggak apa-apa."

Lea pun segera berlalu menuju anak tangga tanpa berkata apapun lagi, sementara Wayne menatap kepergian Lea sambil menggelengkan kepala.

"Lu bisa nganter Lea, kalo lu mau, Wayne," ujar Nathan kemudian. "Ada urusan apa sampe lu nggak bisa?"

Wayne mengangkat bahu sambil berjalan dan duduk di tempatnya kembali. "Posisi Lea masih senggol bacok, gue lagi nggak mood buat ladenin emosinya yang masih labil. Bikin dia seneng dulu aja, besok baru gue samperin."

Christian terkekeh penuh arti ke arah Nathan, dan Adrian hanya berdecak malas.

"Suruh model lu ubah tanggal lagi, Tian. Gue mau anter Lea aja," ucap Adrian sambil menatap Christian dengan cemberut.

Christian menatap Adrian jengah. "Yang mau pake dia tuh banyak. Nggak cuma lu doang. Semisal lu nggak mau, gue lepas dia jadi BA di Store lain. Masih bagus gue utamain lu dulu."

Adrian semakin berdecak dan terlihat kesal, tapi tidak membalas apa-apa lagi. Wayne tidak berkomentar, sementara Nathan memperhatikan Christian dengan seksama. Sampai akhirnya, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponsel Nathan. Itu dari Christian.

"Nggak usah balas budi. Karena gue adalah Christian, bukan Budi. Gue tahu kangen itu berat. Paham kan maksudnya?" tulis Christian.

Nathan hanya memutar bola mata membaca pesan Christian dan bisa mendengar kekehan geli dari pria itu.

Tak lama kemudian, Lea muncul sambil membawa tas perlengkapannya dan sudah mengganti pakaian. Dia memakai oversized t-shirt yang dipadukan dengan celana jeans pendek, yang membuatnya tampak segar dan muda.

Lea menatap Wayne yang kini menghampirinya dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia seperti mempelajari tatapan Wayne dengan seksama, lalu melirik ke arah ketiga yang lainnya, termasuk Nathan, dan kembali menatap Wayne.

"Kabarin aku kalau udah sampe, besok aku ke sana," ujar Wayne sambil mengusap kepala Lea dengan lembut.

Lea masih bergeming dan tetap menatap Wayne dengan seksama. "Aku nggak tahu apa yang kamu rencanain sama temen-temen kamu, tapi aku cuma mau bilang kalau itu nggak perlu. Stop ganggu Edward, dia orang baik. Dia teman baik aku, dia nggak akan jahatin aku."

"Kita belum tahu ke depannya akan seperti apa, kan?" balas Wayne dengan nada malas. "Nggak usah bahas hal ini, kita masih sama-sama emosi. Besok aja."

"Aku..."

"Lea! Ayo kita jalan," sela Nathan tegas, sambil menarik lengan Lea untuk menjauh dari Wayne. "Kamu bilang ada kerjaan, mendingan jalan sekarang daripada nanti."

Wayne menatap Nathan dengan ekspresi lega, seolah memahami tujuan Nathan untuk menyela pembicaraan mereka yang akan berujung pada perdebatan yang tidak diinginkan. Sejujurnya, Nathan merasa kesal dengan pembelaan Lea atas Edward. Dia memiliki pemikiran yang sama dengan Wayne, mereka kuatir jika Edward akan bersekongkol dengan kakaknya untuk melakukan sesuatu sebagai pembalasan.

Dia yakin Ethan tidak akan berdiam diri setelah menerima pemukulan yang dilakukannya, apalagi luka yang diterima bajingan itu cukup parah, dan Nathan bersyukur akan hal itu. Posisi terakhir dari info yang didapatkan Adrian, bahwa Ethan masih menjalani perawatan khusus di Singapore. Pemukulan itu sudah terjadi 2 minggu, tapi belum ada tuntutan apapun dari pihak Ethan pada Nathan, ini sudah pasti ada yang mencurigakan.

Tidak ada obrolan selama perjalanan, dan Nathan pun tidak berpikir untuk memulai pembicaraan, karena Lea masih terdiam dengan tatapan kosong ke arah depan. Sikap Lea yang seperti ini adalah hal baru untuk Nathan, karena biasanya, wanita itu akan melakukan apapun yang dikatakan Wayne. Tapi sekarang? Lea menunjukkan sisi kedewasaannya dengan berani membela diri, dan memberikan pembuktian bahwa dia berhak atas dirinya sendiri. Lea berubah. Lea sudah menjadi pribadi yang tidak terbaca, dan itu membuat Nathan semakin penasaran.

"Btw, thanks udah mau nganterin aku," ucap Lea tiba-tiba.

Nathan spontan menoleh dan mendapati Lea yang masih menatap ke arah depan. "It's okay. Udah seharusnya aku nganterin kamu, karena kita memang searah."

Lea tersenyum masam. "Makasih, yah. Dan sorry banget, kalo kamu harus jadi saksi untuk ngeliat kami berantem."

"Kakak adik kalo berantem itu wajar. Lagipula, Wayne kuatir dan peduli sama kamu."

"Mungkin," balas Lea masam, terlihat enggan mengomentari lebih lanjut tentang Wayne.

"Aku juga mau bilang sorry sama kamu," ujar Nathan kemudian.

Lea menoleh kearahnya dengan alis berkerut. "Sorry for what?"

"Kalo nggak ada kejadian aku mukul Ethan, nggak akan kayak begini akhirnya," balas Nathan seadanya.

Dia mengatakan hal itu untuk menenangkan Lea, agar tidak terus merasa bersalah. Dia tahu jika Lea menyalahkan dirinya sendiri atas pertemuannya dengan Ethan. Semua terlihat dari bagaimana Lea bersikap dan berusaha untuk bertanggung jawab dengan menjadi keras kepala. Tapi sayangnya, Nathan tidak akan tinggal diam jika bajingan itu kembali berulah. Bahkan mengingat wajah brengsek orang itu saja, sudah membuat Nathan kembali merasa kesal.

"Semua udah terjadi, Nathan. Dan ini bukan kesalahan kamu," ujar Lea pelan.

Nathan meraih satu tangan Lea untuk digenggamnya. Rasa sayang pun timbul dalam hatinya dengan degup jantung bergemuruh yang sudah terasa menyenangkan bagi Nathan. "I miss you, btw."

Lea mengerjap dan menatapnya sayu, lalu tersenyum lembut. "Me too."

"Wanna go somewhere?" tanya Nathan dengan hangat. "Masih kepagian untuk pulang, gimana kalau kita jalan-jalan sebentar?"

Alis Lea terangkat senang, ekspresinya berubah menjadi ceria dengan senyuman lebar yang menghias di wajah. Nathan menyukai pemandangan itu.

"Mau kemana?" tanyanya.

"Pantai? Kita bisa tarik lurus dari sini untuk ke Anyer," jawab Nathan.

Lea mengangguk sebagai jawaban. "Okay! I really need some air, so let's go!"



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Aku lihat banyak yang senang ketika kata kunci berupa "Anyer" sudah keluar 🤣
(Khususnya para reader lama yang udah baca versi sebelumnya)

Mau lanjut? Double update?
Lihat nanti. Aku masih nggak yakin bisa lanjut atau nggak.
😛😛😛

P.S. Babang akan mengambil alih untuk adegan mature-nya. Beliau sudah gemas karena Nathan kurang bajingan di versi sebelumnya 😑




Published : Des 2017 - Feb 2018
New version : 02.05.19 (19.32 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top