Part 17 - The Decision

Pada liburan kemana hari ini?
Nanggung yee, cuma sehari doang.

Aku cuma punya dua rute hari ini :
Kamar dan dapur.
Kamar untuk tidur, dapur untuk makan.

Produktif banget kan? 🤣

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Lea menundukkan kepala sambil meremas kedua tangannya dengan perasaan campur aduk. Malu, sedih, kesal, dongkol, lelah, semuanya menjadi satu.

Urusan pemukulan Nathan berujung panjang, dimana Wayne datang menjemput paksa dirinya di rumah Nathan, untuk pulang ke rumah orangtuanya. Wayne berpikir bahwa keputusan Lea untuk tinggal di luar rumah adalah kesalahan besar yang sudah dilakukan. Bahkan, kedua orangtuanya pun terlihat menyetujui.

“Coba kalau kamu dengerin aku sejak awal,” desis Wayne geram. “Nggak bakalan ada kejadian kayak gini!”

Wayne terlihat berang dan berjalan mondar mandir di hadapan Lea, seperti orang yang sudah gelisah ingin melakukan sesuatu untuk pelampiasan amarah. Lea sedang berada di ruang utama, kediaman keluarganya. Dengan orangtuanya yang sedang berdiri di dekat anak tangga, Wayne yang menjalankan peran sebagai eksekutor dengan sangat baik.

Sebenarnya, jika hanya ada mereka berempat saja, mungkin Lea tidak akan merasa kacau. Tapi sekarang? Ada Nathan, yang berdiri tidak jauh dari Wayne, sedang menatap Lea dengan penuh simpati. Jujur saja, Lea merasa sangat malu. Bagaimana bisa seorang wanita yang sedang beranjak dewasa, masih dimarahi dan ditindak seperti anak remaja, padahal sudah berumur 21 tahun? Miris, pikir Lea sedih.

Ocehan Wayne sudah berjalan 15 menit, ketika Lea sudah tiba di rumah, dan disaksikan oleh orangtuanya, juga Nathan. Dia sudah tidak tahu sikap apa yang harus diambilnya saat ini, sebab dia tahu bahwa dia memang salah. Seandainya saja, dia tidak nekat membeli tiket masuk ke klub malam, maka pertemuan dengan Ethan tidak akan terjadi, dan kejadian seperti ini mungkin tidak terjadi juga.

“Mulai sekarang, kamu tetep tinggal di rumah, nggak usah pake tinggal sendirian di apartemen! Ada supir yang antar jemput!” ucap Wayne dengan tegas.

Lea langsung mengangkat wajah dan memberikan ekspresi dingin ke arah Wayne. “Aku harus datang tepat waktu ke kantor, dan pulang sampe malam, Wayne. Mana mungkin aku...”

“Kalo gitu, nggak usah magang di sana! Aku punya kenalan desainer ternama di Jakarta, aku bisa masukkin kamu untuk magang di situ! Nggak perlu magang-magang di majalah segala! Kamu tuh mau jadi desainer, lebih baik magang sama desainer langsung! Mau ngapain jadi asisten fashion di kantor majalah?” sela Wayne tajam.

“Aku nggak mau! Dan kamu nggak perlu masukkin aku sama kenalan yang kamu bilang! Aku sama sekali nggak minat kenal  sama mantan fuck buddy kamu!” balas Lea dengan suara lantang.

Deg! Lea bisa memperhatikan ekspresi kaget Wayne, namun tampak marah di saat yang bersamaan. Lea melirik ke arah orangtua Wayne yang masih memberikan ekspresi datar. Hanya Nathan yang memberikan ekspresi takjub sambil mengangkat alisnya, menatap Lea sekarang.

“Kamu bilang apa barusan?” tanya Wayne sengit.

Lea membalas tatapan amarah Wayne dengan berani. “Kamu udah denger apa yang aku bilang barusan, nggak usah suruh aku ulangin lagi.”

“Sekarang kamu udah mulai berani yah sama aku,” cetus Wayne dengan tatapan penuh intimidasi. “Ini yang kamu dapetin, selama hampir sebulan tinggal sendiri? Yang kamu bilang mau mandiri! Yang kamu pikir kamu udah cukup dewasa! Begitu maksud kamu?”

“Aku cuma ngomong apa adanya, Wayne! Aku bukan anak kecil lagi! Aku udah berhak nentuin apa maunya aku, dan jalan hidup apa yang harus aku pilih! Nggak selamanya aku harus ngandelin kamu, dan nggak bisa seterusnya kamu ngaturin hidup aku,” sahut Lea dingin.

“Misalkan tadi kamu dikerjain sama si bangsat itu, gimana? Kalo tadi kamu lagi nggak di tempatnya Ken, atau kalo Ken nggak telepon Nathan! Kamu bisa apa? Diem di tempat dan nangis gitu aja?” bentak Wayne sambil melotot galak.

“Aku bisa pergi dan usir dia!” balas Lea dengan suara yang tidak kalah kerasnya dari Wayne.

“Nggak segampang itu ngusir cowok brengsek kayak gitu! Dia bisa ngikutin kamu, ngejarin kamu, sampe dapetin apa yang dia mau! Apa yang ada di dunia itu, nggak segampang yang kamu pikir!” sahut Wayne yang semakin menjadi.

“Kalau kamu udah tahu kayak gitu, harusnya kamu lepas aku! Biar aku belajar! Dan kalau aku jatuh, kamu tangkap aku! Kalau aku salah, hajar aku! Bukannya malah dijaga kayak cewek bego yang nggak ngerti apa-apa! Kamu pikir kamu juga nggak salah? Semisal kamu kasih aku kebebasan, aku juga nggak bakalan jadi cewek cupu!” kembali Lea membalas dengan seluruh emosinya.

“Gue bukan ngekang lu, yah! Gue cuma mau lu bisa paham untuk...”

“Stop it, Wayne!” sela Nathan tegas, sambil menarik mundur Wayne yang terlihat semakin maju untuk mendekat pada Lea.

Lea menatap nanar ke arah Wayne, yang terlihat begitu marah dan seperti hendak memukulnya. Dia bisa melihat kedua tangan Wayne terkepal di kedua sisi tubuh, dengan wajah yang merah padam menahan emosi, juga bahasa 'lu-gue' yang dipakai Wayne setiap kali merasa tidak senang.

Nathan berusaha menahan Wayne yang hendak kembali menghampiri Lea, dan Lea yang sama sekali tidak berpindah posisi. Dia ingin melihat sejauh mana Wayne akan melakukan tindakannya. Sementara itu, orangtuanya mulai bergerak untuk menengahi mereka.

“Lu jangan ikut campur, Than!” desis Wayne sambil menepis tangan Nathan yang menahan tubuhnya.

“Lu mau ngocehin adek lu, silakan! Tapi nggak main tangan!” balas Nathan galak.

“Siapa yang mau main tangan?” sahut Wayne sengit.

“Lu yang nggak nyadar! Tapi gue tahu bahasa tubuh lu, kalo lu lagi nggak seneng dan punya niat buat main hajar!” balas Nathan lagi.

Wayne mengerjap dan menoleh pada Lea dengan alis berkerut. Lea tahu bahwa emosi Wayne sedang meluap, dan seringkali melakukan tindakan yang tidak disadarinya.

“Kamu terlalu keras dengan Lea, Wayne,” ujar Warren-ayahnya, sambil menepuk bahu Wayne dengan ringan.

“Dad, barusan Lea ngelawan aku,” celetuk Wayne sambil mendengus tidak suka. “Jangan mentang-mentang Dad paling sayang sama Lea, jadi dibela terus!”

Louisa tersenyum lembut pada Lea sambil menautkan rambut Lea ke belakang telinga. “Bukannya membela, Wayne. Don’t you see? Lea udah ada kemajuan. Dia berani berargumen sama kamu, bahkan membela dirinya sendiri ketika dia merasa nggak bersalah. Harusnya kamu sebagai kakak bisa melihat perkembangan adik kamu.”

Lea bisa melihat ekspresi kaget dari Wayne, ketika mendengar ucapan ibunya. Menjadi anak bungsu dalam keluarga, terlebih lagi sebagai anak perempuan, bukanlah hal mudah bagi Lea. Meski orangtua dan kakaknya tidak pernah mengatakan apapun, tapi Lea merasa dengan sendirinya, bahwa dia harus menjadi sempurna bagi keluarga.

Dia berusaha menjadi anak yang baik, dengan tidak pernah keluar rumah selain sekolah atau kuliah. Dia terus mempertahankan nilai akademis untuk tetap menduduki posisi tiga terbesar. Dia hampir tidak pernah memiliki teman, selain Julia dan Edward, meskipun tawaran pertemanan selalu menghampirinya. Dia menjadi anak penurut, ketika orangtua atau kakaknya memberikan arahan dan perintah untuk dilakukannya. Seperti itu.

Namun satu hal yang dia lupakan, yaitu menjadi dirinya sendiri. Selama 21 tahun hidupnya, dia tinggal dalam keadaan yang serba ada, selalu cukup, dan segala sesuatunya tersedia tanpa perlu bersusah payah.

Pengawasan dan perlindungan yang dilakukan Wayne, membuat Lea merasa terkekang dan terbeban. Tadinya, dia berpikir Wayne sangat menyayanginya. Tapi semakin dewasa, dia semakin tahu bahwa Wayne merasa bertanggung jawab atas diri Lea, karena sudah banyak melakukan dosa, khususnya merusak wanita. Sebab diantara Wayne dengan sahabatnya, hanya Wayne yang memiliki seorang adik perempuan, sedangkan tiga yang lainnya tidak.

“Tapi, Lea nggak boleh tinggal sendirian,” ujar Wayne keras kepala. “Semisal nanti ada cowok brengsek yang deketin lagi, gimana?”

“Aku bisa jaga diri,” balas Lea tanpa ragu.

“Kamu tuh susah yah dibilangin!” desis Wayne geram.

“Kamu juga susah dijelasin!” sahut Lea tidak mau kalah.

Warren dan Louisa terkekeh senang melihat pertengkaran kakak adik yang jarang terjadi. Mereka bahkan enggan untuk melerai, sementara Nathan terus memperhatikan Wayne dan Lea dengan serius.

“Dad, jelasin ke anak ceweknya! Aku udah kesal daritadi!” seru Wayne sinis, sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.

Lea menatap Warren dengan tatapan kecewa. Ekspresi Warren yang tenang menyiratkan bahwa ayahnya mendukung Wayne sepenuhnya. Dia kembali kalah dan harus menerima aturan Wayne yang begitu egois.

“Don’t do that, Dad,” ucap Lea lirih, sambil menggelengkan kepala.

Louisa merangkul bahu Lea dengan erat, dan Warren memberikan senyuman hangat. Lea melirik ke arah Nathan, dengan tatapan seolah meminta pertolongan. Tapi pria itu tampaknya tidak bisa berbuat banyak karena hanya sebagai pihak luar.

“Sementara tinggal di rumah lagi yah,” ujar Warren menenangkan. “Dad harus pergi selama beberapa minggu karena ada urusan kerjaan, dan Mom akan temenin Dad. Jadi, karena kami nggak ada, maka kamu harus tinggal di rumah sama Wayne.”

Pertahanan Lea pun runtuh. Dia pun menumpahkan seluruh kemarahannya lewat airmata yang mengalir dengan deras sekarang. Dia menangis dalam isakan tertahan, napas yang memberat, dan hawa panas yang sudah menjalar di kepalanya.

“Lea...,” Warren hendak menghampiri tapi Lea menjauh sambil menggelengkan kepala.

Lea pun menepis tangan Louisa yang hendak kembali merangkulnya. Dia kecewa. Sangat kecewa. Juga marah. Tidak bisakah dia diberi kesempatan untuk melakukan keinginannya sendiri? Kenapa harus terus ditarik kembali dalam zona aman dan nyaman yang semakin membuatnya tidak mampu untuk berdiri sendiri?

Lea menoleh pada Nathan yang menatapnya dengan sorot mata sedih. Pria itu tampak terpukul melihat dirinya yang sedang menangis. Isakan Lea semakin memberat ketika menyadari bahwa kebersamaannya dengan Nathan sudah tidak ada lagi. Padahal, dia baru merasakan adanya balasan dari Nathan tentang perasaannya, meski dia masih ragu.

Wayne beranjak dari duduknya, dan Lea langsung menoleh padanya. Wayne masih terlihat kesal namun mulai melunak, mungkin karena sudah ada yang mendukung keputusannya.

“Aku harap yang barusan tadi adalah pertama dan terakhirnya kamu ngelawan aku, Lea,” ucap Wayne angkuh.

Lea mengusap pipinya yang basah dengan kasar, sambil membalas tatapan Wayne dengan tegas. “Dan aku juga berharap kalau ini adalah terakhir kalinya, kamu ngatur hidup aku!”

Wayne berdecak tidak suka. “Kamu masih aja ngelawan, yah? Apa kamu...,”

“Jangan salahin aku, kalau kedepannya nanti, aku nggak akan lagi terbuka sama kamu. Terutama soal rencana hidup aku!” sela Lea lantang.

“Jadi kamu udah ngerasa hebat?” balas Wayne dengan sorot mata yang menghunus tajam.

“Bukan! Bukan karena aku ngerasa hebat,” sahut Lea dengan sorot mata sedih. “Tapi karena aku udah benci kamu.”

Pandangan Lea mengabur, seiring airmata yang kembali menggenang di matanya. Dia bisa melihat ekspresi kaget Wayne, ketika mendengar ucapannya barusan.

“Lea...,”

Lea tidak menggubris Wayne lagi. Tatapannya kini mengarah pada Nathan dengan perasaan yang begitu sedih. Dia melangkah pada Nathan dan memeluknya erat.

“Hey, you’ll be okay. Don’t be mad. Go sleep and say sorry to Wayne tomorrow, okay?” bisik Nathan pelan, sambil mengeratkan pelukan.

Lea menggeleng pelan dan mencium pipi Nathan dengan hangat. “Goodbye, Nathan.

Lea segera menarik diri dan menatap Nathan yang terlihat bingung. Dia pun tidak menghiraukan Wayne dan orangtuanya, dengan berjalan melewati mereka, menuju anak tangga untuk ke kamarnya.

Lea marah namun lelah. Lea sedih namun kesal. Dia merasa percuma menjadi seseorang yang sempurna di mata keluarga, dan kehilangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia sudah memantapkan langkah untuk mengambil keputusan yang selalu membuatnya ragu.

Tawaran dari FashionMagz, kantor majalah ternama asal NYC, yang sudah memberinya panggilan kerja sebagai intern selama 6 bulan, yang belum sempat dijawabnya. Julia pun menerima panggilan kerja yang sama ketika mereka sama-sama mencoba melamar ke FashionMagz sekitar sebulan lalu.

Jika dia menjawab panggilan itu, dia bisa segera berangkat menuju ke sana setelah wisuda. Itu berarti masih ada waktu beberapa bulan untuk dirinya mempersiapkan diri. Tentu saja dia tidak sendiri karena ada Julia yang menemani.

Inilah saatnya dia ingin mewujudkan mimpi, tanpa perlu dibatasi oleh aturan Wayne, ataupun pengawasan orangtua. Juga adalah kesempatan dirinya untuk melupakan Nathan sepenuhnya.

Lea langsung mengunci pintu kamar dan segera menyalakan laptop. Tangannya bekerja untuk mengambil ponsel di saku celana dan menelepon Julia. Nada sambung terdengar dan Julia menjawab di dering ketiga.

Halo,” sapa Julia di sebrang sana.

“Gue ikut, Jul,” balas Lea langsung.

“Huh? Ikut? Ikut kemana maksud lu?” tanya Julia bingung.

Lea menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Dia terdiam selama beberapa detik untuk memantapkan diri, lalu membuka mata dengan seluruh keberaniannya.

“Gue akan terima panggilan FashionMagz, dan kita berdua akan kesana setelah wisuda.”



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Suamiku pernah berkata seperti ini :
"Ibarat pasir adalah orang yang kamu cintai, tadahlah pasir itu dengan tangan terbuka, bukan dengan mengepalnya erat-erat."

Maksudnya :
Kalo pasir kamu genggam erat dalam kepalan tangan, pasti akan ada pasir yang keluar dari sela-sela jarimu.
Tapi jika menadahnya dengan tangan terbuka, pasir itu tidak akan kemana2.

Intisarinya :
Punya pacar/sodara jangan dikekepin, biarin aja dia kenal dunia.
Semisal pacar, dia bakalan balik kalo emang jodoh.
Semisal sodara, dia juga bakalan bilang kalo ada yg gak beres.

Paham? 🤣



01.05.19 (18.34 PM)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top