Part 15 - What will you get when you fall in love with an Asshole? Pain!

Hallo!
Aku ikutin voting terbanyak 😛

Happy Reading 💜

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Thanks, Life, for giving me the living, breathing metaphor for how I was feeling.

Lea mengumpat pelan sambil meletakkan punggung tangan di atas keningnya dengan lemas. Dia merasa konyol. Padahal apa yang terjadi adalah keinginannya selama ini. Dia selalu berharap untuk bisa membuka hati pada orang lain, dan menjalani kehidupan sosial pada umumnya, tanpa harus berpaku pada jam malam yang ditetapkan Wayne.

Lea sudah pergi dengan Adrian sepanjang hari ini, dimana pria itu sudah bersikap menjadi seorang pria yang baik, dengan tutur kata lembut dan sangat sopan padanya. Dia ramah dan baik hati, memiliki pengetahuan yang luas dan cukup perhatian. Pembawaaannya riang dan memiliki selera humor yang lumayan.

Sayangnya, untuk semua hal positif yang didapatinya dari seorang Adrian, tidak membuat Lea mampu merasakan sesuatu yang berarti, atau setidaknya menikmati kebersamaan itu. Tidak saat ketika dia bersama dengan Nathan.

Dan sudah sejam sejak kepulangannya dari kencan itu, Lea hanya bisa duduk di sofa sambil memeluk kedua lututnya, dengan tatapan kosong menatap meja kaca. Pikirannya teringat pada ciuman yang dilakukannya bersama Nathan waktu itu. Oh dear,  wajah Lea langsung memanas dan spontan, dia melumat bibirnya sendiri seolah merasakan kembali, bagaimana cara bibir Nathan melumat bibirnya dengan lembut waktu itu. Ugh!

Hanya dengan mengingat hal itu saja, sudah membuat jantung Lea berdegup kencang. Meskipun dia sudah jujur kepada diri sendiri, termasuk kepada Nathan, namun tetap saja dia masih bersikap bodoh. Kini, dia sudah tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sudah mencoba untuk berkencan dengan orang lain, tapi tetap nihil. Otaknya masih tetap saja teringat pada Nathan, dan merasa sudah berkhianat kepada pria itu dengan menerima tawaran kencan dari Adrian.

"You have to explore and be happy," kata Nathan waktu itu.

“Apanya yang hepi?” gerutu Lea seorang diri. “Gue malah ngerasa kayak udah selingkuh dan bersalah sama lu.”

Lea mengacak poni rambutnya dengan frustrasi, merasa geram karena tidak bisa menyingkirkan virus Nathan dalam dirinya. Gagal move on, itu intinya. Sial!

Lea merasa tidak ada gunanya, dengan terus memikirkan hal yang sama sekali tidak mendatangkan perubahan dalam hidupnya. Dia melirik jam dinding dan sudah jam 8 malam. Masih ada waktu untuknya mencari makan malam. See? Apakah tidak cukup konyol dengan kenyataan dirinya belum makan, padahal baru pulang kencan? Kebodohan Lea sudah tidak ada obatnya.

Dia segera beranjak dari duduknya, mengambil kunci mobil, dan segera menuju ke lift untuk mencari udara segar. Dia membutuhkan penyegaran. Dan juga sendirian. Dia…

"Lea…,"

Sebuah panggilan disertai cengkeraman erat di lengan, membuatnya tersentak kaget dan menoleh dengan panik. Deg! Dia mengerjap tidak percaya melihat Nathan ada di basement gedung apartemennya.

“Ka… kamu kok bisa…”

“Ini siapa?”

Deg! Lea kembali tersentak kaget, karena ternyata Nathan tidak sendirian. Dari balik bahu Nathan, Lea bisa melihat seorang wanita cantik muncul di situ. Wanita itu memiliki kesempurnaan yang hakiki dari semua impian para gadis remaja. Lea sampai merasa rendah diri jika dibandingkan dengan dirinya.

"Ini siapa, Than?", tanyanya lagi, dengan nada riang dan terdengar manja.

Ekspresi wajah Nathan terlihat canggung, tapi dia tetap memperkenalkan Lea kepada wanita cantik itu. "Kenalin, ini Lea."

Wanita cantik itu seperti menggumamkan sesuatu, sambil memberikan sorot matanya yang berkilat penuh arti ke arah Nathan. Lea memperhatikan sikap keduanya yang tampak begitu akrab layaknya sepasang kekasih.

Wanita itu kembali menatap Lea dan mengulurkan tangannya. "Gue nggak nyangka akan secepat ini ketemu orangnya. Hai, gue  Shareena."

Lea menunduk menatap uluran tangan Shareena, lalu menjabat tangan itu dengan gugup.

"Hai, gue Lea," balasnya pelan.

"Nice to meet you, Lea. You're so gorgeous," balas Shareena ramah.

Lea tertegun mendengar balasan Shareena yang terdengar konyol baginya. Entah wanita itu menyindir atau merendahkannya. Entahlah. Yang jelas, saat ini perasaan Lea mendadak sensitif. Dia sedang dalam mood baper akut yang tidak ingin diganggu. 

"Thanks," ucap Lea tanpa minat.

Lea kembali melihat ke arah Nathan, yang sedang memperhatikan dirinya saat ini. Sorot mata Nathan menyiratkan kecemasan dan tampak tidak nyaman. Berbanding terbalik dengan Shareena, yang justru terlihat antusias dan merangkul pinggang Nathan dengan santai. Dia bahkan memberikan ciuman ringan di pipi Nathan, dan itu membuat Lea menahan napasnya selama sepersekian detik. Shit!

"Thanks for today, Nathan. Next time, kita bisa atur waktu lagi buat ketemuan. Kalau sempat aja," ujar Shareena tanpa beban.

Nathan melirik sinis pada Shareena, sambil menjauh dan terlihat tidak senang padanya. Di situ, Lea merasa harus menyingkir, sebelum pasokan oksigennya habis.

"Mmm… aku duluan yah. Bye."

Lea langsung memutar tubuhnya untuk menghindari pemandangan yang terasa menyakitkan, ketika dia hendak melangkah, di situ Nathan kembali menahannya dengan mencengkeram lengannya. Lea kembali menoleh dengan panik. “Ke…kenapa?”

"Tunggu dulu," jawab Nathan lembut.

Shareena masih menyunggingkan senyuman lebar, tapi sudah tidak merangkul Nathan. Dia malahan menatap Lea dan Nathan secara bergantian, dengan tatapan yang terlihat begitu senang.

"Take care, Shar. This is …," Nathan terlihat ragu untuk melanjutkan, tapi Shareena langsung menyela dengan lugas sambil mengibaskan rambut indahnya dalam gerakan santai.

"It's okay, Nathan! It's official then. Don't feel sorry for me. I'm okay. I'm fine," sela Shareena sambil mengangkat bahu setengah.

Lea mengerjap bingung. Dia tidak mengerti maksud Nathan untuk menahan dirinya, dan melihat pemandangan lovebirds seperti itu. Perasaan itu datang kembali. Perasaan dimana Lea menyaksikan Nathan membawa wanita yang berbeda-beda, setiap kali bertandang ke rumahnya, untuk mencari Wayne. Rasanya sungguh menyakitkan.

This is what you get when you're in love with an Asshole, Lea!,  umpatnya dalam hati.

"Thanks, Shar. For everything. I've got to go," ucapan Nathan membuyarkan lamunan Lea. Shareena tertawa renyah dan menganggukkan kepala sebagai balasan.

Kemudian, Shareena melangkah dengan santai untuk mendekati Lea, dan memberi pelukan hangat. Deg! Lea sama sekali tidak menyangka akan menerima serangan seperti ini.

You're such a doll. It's good to see you, Lea. This is my Nathan. Please take a...,"

"Shareena!" Nathan menegur Shareena dengan suara tegas, sampai suara Shareena menggantung di udara. Mereka saling bertatapan seolah berkomunikasi dalam cara yang tidak dipahami Lea.

Lea bisa mengerti jika mereka mungkin mempunyai hubungan, dan seperti begitu mengenal satu sama lain. Tapi telinga Lea terasa berdengung mendengar kalimat terakhir Shareena barusan, dan bergema dengan kalimat yang berulang-ulang. This is my Nathan. This is my Nathan.

Well, okay. Aku duluan kalau gitu. Bye."

Shareena pun pergi dengan suara stiletto-nya yang bergema dan menuju ke arah pintu masuk gedung apartemen. Nathan kembali menatap Lea dengan sorot matanya yang tajam, namun ekspresi wajahnya hangat. Sama sekali tidak melepas cengkeraman tangannya yang ada di lengan Lea.

"Well, dia cantik," gumam Lea pelan, dan Nathan hanya mengangguk sebagai balasan.

"Pacar, yah?" tanya Lea dengan seulas senyum yang dipaksakan. Dia berusaha keras untuk terlihat santai dan menganggap kejadian barusan tidak berarti apa-apa untuk dirinya.

"Dia bukan pacar aku. Cuma sekedar hangout bareng," jawab Nathan, dengan kesan tidak nyaman.

Hangout. Yeah! Meskipun Lea tidak pernah menjalin hubungan, tapi dia cukup banyak menghabiskan waktunya selama kuliah, untuk mengerti arti dari kata ‘hangout’ yang dilontarkan para pria jaman sekarang. Itu semacam Boy-Code, dimana 99 persennya adalah hubungan kasual semacam sex partner yang tidak terikat dalam komitmen, atau hubungan yang tidak menjanjikan apa-apa selain seks.

"So, not someone you would introduce as a girlfriend," balas Lea kemudian.

"No! Definitely not a girlfriend," tegas Nathan sambil menatap Lea tajam, seolah dia merasa tersinggung dengan apa yang diucapkan Lea barusan.

Lea menarik nafas pelan lalu menatap Nathan dengan tatapan menegur "Bisa tolong dilepasin? Aku bukan anak kecil yang harus dipegangin kalau berdiri.”

"Oh, sorry," gumam Nathan sambil melepaskan cengkeramannya dari lengan Lea.

"Kamu ngapain ada di sini? Ada janji sama temen, yang kebetulan tinggal disini?" tanya Lea tanpa bermaksud ingin tahu, tapi dia sendiri tidak bisa berpikir jernih atau mencerna setiap perkataan Nathan. Pertemuan dengan Shareena barusan, kembali membuatnya teringat dengan kata-kata itu. This is my Nathan. Shit!

Nathan menggeleng cepat. "No, aku kesini karena mau mampir ke tempat kamu. Tadi sekalian nganter Shareena, kebetulan pacarnya tinggal di sini."

Lea mengerjap tidak percaya. Ucapan Nathan barusan harusnya melegakan perasaannya, tapi saat ini terasa salah bagi Lea. Dia meragukan ucapan pria itu. 

"Oh."

Nathan terlihat sedang memikirkan sesuatu, lalu menatap Lea dengan tatapan bingung "Kamu sendiri ngapain jalan di parkiran sendirian?"

"Aku mau keluar cari makan." jawab Lea seadanya.

"What? Kamu belum makan? Bukannya tadi kamu ngedate sama Adrian? Wait! Jam berapa kamu pulang?" tanyanya heran.

"Jam tujuh," jawab Lea langsung.

"Tujuh?" tanya Nathan lagi, dengan nada tidak percaya.

"Yeah."

"And?"

“End!”

Nathan mengerutkan alisnya sambil menatap Lea bingung. Dia kembali memikirkan sesuatu, lalu menghela napas dengan lelah. "Kalau gitu, kamu ikut aku. Biar aku yang bawa kamu makan malam. Ini udah hampir jam setengah sembilan."

Lea menggeleng cepat dan menepis tangan Nathan yang hendak merangkulnya. “Nggak usah. Aku mau bawa mobil sendiri.”

Penolakan Lea tidak berarti, karena Nathan sudah kembali menariknya mendekat untuk berjalan beriringan, sambil merangkul pinggangnya.

“Udah terlalu malem, dan kamu harus makan,” ujar Nathan dengan nada tidak peduli.

Lea menarik diri dan melepas rangkulan Nathan dari pinggangnya. Langkah mereka terhenti, dengan posisi saling berhadapan. Keduanya memberi ekspresi tidak senang dan saling melempar tatapan tajam.

“Aku udah bilang nggak usah,” ucap Lea tegas.

"Aku nggak mau berargumen, Lea!" balas Nathan, tidak kalah tegasnya.

“Aku juga! Kalau gitu jangan cari gara-gara sama aku. Intinya aku mau bawa mobil dan pergi makan sendiri!” sahut Lea dengan penuh penekanan.

Nathan mendengus dan kembali menarik tangan Lea untuk berjalan ke arah SUV-nya yang diparkir tidak jauh dari posisi mereka tadi. Dia mengeluarkan kunci mobilnya, menekan central lock, lalu menyodorkan pada Lea.

“Ini maksudnya apa?” tanya Lea bingung.

“Kamu bilang mau bawa mobil dan makan sendiri, kan? Gih sana, bawa aja mobil aku. Aku duduk di samping kamu, dan nggak akan bersuara, seolah aku nggak ada,” jawab Nathan tanpa ekspresi.

“Terus apa bedanya kalo kamu ikutan?” balas Lea kesal. “Aku bilang aku mau sendirian.”

“Kamu bisa anggap aku nggak ada. Begitu kamu sampe di resto, kamu bisa turun dan makan sendiri. Aku tunggu di mobil.”

Holy cow! Lea hanya bisa termangu mendengar ucapan Nathan yang terdengar begitu bossy. Dia mendadak kesal karena sikap pria itu yang sudah keterlaluan. Seharusnya, Lea yang berhak marah sekarang dan bukan Nathan. Beberapa menit yang lalu, dia bersama dengan wanita lain, dan sekarang dia ingin mengatur Lea. A big NO! batin Lea mengerang kencang.

"Aku nggak mau!" tegas Lea dengan suara lantang.

Lea mendorong Nathan menjauh darinya dan mundur sebanyak dua langkah. Dia memberikan ekspresi marah yang tidak biasa. Mungkin saja hal itu tampak aneh, dilihat dari respon kaget Nathan sekarang. Tapi Lea tidak peduli. Enough is enough, batinnya bersikukuh.

"Lea...,"

"Aku menghargai kamu sebagai teman baik Wayne, dan berterima kasih karena kamu udah sangat baik, mau jagain aku selama aku sendirian disini. Tapi kamu nggak punya hak untuk ngatur-ngatur aku, apalagi kalo sampe maksain kehendak kamu. Aku tuh bukan anak kecil! Aku bisa makan sendiri, pergi sendiri, bawa mobil sendiri! Nggak perlu dikawal sama kamu!” sembur Lea berapi-api, dengan luapan emosinya yang sudah menumpuk.

Nathan terdiam saja melihat Lea yang tampak begitu marah, dengan wajah yang memerah dan kedua tangan yang mengepal kuat di sisi tubuhnya. Seolah ingin menerkam mangsa yang ada di depannya.

“Kamu tuh nggak pantes untuk bersikap kayak gitu sama aku,” desis Lea tajam. “Tadi kamu sama cewek lain, sekarang kamu ngotot mau sama aku. Itu namanya brengsek, tahu nggak?”

Deg! Lea mengerjap kaget ketika mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulutnya. Oh my God! Lea menelan ludah dengan susah payah, melihat tatapan Nathan yang tidak terbaca. Pria itu tampak begitu datar dan luar biasa tenang. Tidak ada tanda-tanda emosi di wajahnya, dan itu membuat Lea semakin membatin tidak karuan.

Sorry,” ucap Nathan pelan. Dia memaksakan sebuah senyuman dan mengangguk paham. “Kalau begitu, aku balik dulu.”

Tanpa berkata apapun, Nathan menuju ke mobilnya dan meninggalkan Lea. Mobilnya pun melaju keluar dari pelataran parkir dengan kecepatan yang tidak biasa.

Lea menatap kepergian Nathan dengan dada yang terasa sesak dan napas yang memburu. Dia benci harus kembali merasa bersalah, tapi tidak seharusnya membalas niat baik Nathan dengan mengumbar emosi seperti barusan. Lea pun segera menuju mobilnya yang tidak pernah sekalipun dibawanya. Mobil itu selalu dipakai oleh supir pribadinya untuk mengantar jemput dirinya, dan diparkir di basement.

Dia tidak terlalu pintar mengingat arah, dan selalu tersesat di tengah jalan, karena itulah yang membuatnya tidak pernah membawa mobil sendiri. Lea pun hanya sanggup mencari tempat makan di sebuah resto makanan Jepang, tempat dimana Nathan pernah mengajaknya waktu itu.

Setelah memarkirkan mobilnya, Lea masuk ke dalam resto dan disambut oleh Ken, pemilik resto yang adalah kerabat Nathan yang sempat dikenalinya.

“Alone?” tanya Ken dengan alis terangkat.

Lea tersenyum sambil mengangguk. Ken pun membalasnya dengan senyuman ramah, dan mengantarnya untuk menempati sebuah meja dengan dua kursi. Suasana resto itu tidak terlalu ramai, meski meja-meja hampir terisi penuh dengan pelanggan, mungkin saja itu dikarenakan saat ini sudah lewat jam makan malam.

Ketika Lea sedang membaca buku menu yang sudah ada di meja, ada sebuah suara bariton yang terdengar berat, hingga membuat kulit tubuh Lea meremang. Tanda bahaya seolah datang dengan memberikan reaksi tubuhnya yang tidak menyenangkan.

“Lea? Is that you, Sugar?”

Lea mendongak dengan tatapan waspada, dan mendapati Ethan Natalegawa, sedang berdiri menjulang tepat di hadapannya. Sosok kakak Edward yang menakutkan itu, membuat degup jantung Lea berdegup dua kali lebih kencang.  

"Hei…” balas Lea singkat.

Dia merasa terancam, ketika Ethan dengan lancangnya menempati kursi kosong yang ada di hadapannya. Pria itu menyeringai senang dalam sorot mata yang terkesan kurang ajar.


“It’s good to see you here, Lea,” ujarnya riang. “What a lovely coincidence I had! Kamu sendirian?”

“Lagi nungguin temen,” jawab Lea langsung.

Dalam pikirannya, dia sudah berencana untuk segera kabur ke toilet dan menelepon siapa saja, untuk memberikan pertolongan. Dia pun merasa menyesal telah menolak tawaran Nathan untuk pergi bersamanya. Damn to myself, rutuknya dalam hati.

“Sambil nungguin temen kamu, gimana kalau aku temenin kamu ngobrol?” ucap Ethan dengan sebuah kerlingan nakal.

Lea menggeleng tegas. “Aku nggak masalah kalo nunggu sendirian. Kamu bisa balik sekarang.”

"Aku nggak buru-buru kok, malahan nggak kepengen balik,” sahut Ethan santai.

Demi apapun, Lea mulai panik sekarang. Buku menu yang ada di tangannya, sama sekali tidak menarik. Rasa laparnya menguap entah kemana, dan dia ingin cepat-cepat pergi dari situ.

"Btw, minggu depan kamu ada acara?" tanya Ethan, memulai obrolan.

Lea menahan diri untuk tidak tersentak kaget dan memberikan ekspresi sedatar mungkin. “Nggak ada.”

“Kalo gitu, ngedate yuk! Minggu depan ada premiere film terbaru, yang nggak kalah keren dengan film Superhero yang baru premiere minggu lalu,” ajak Ethan dengan rasa percaya diri yang tinggi.

"No, thanks," tolak Lea tanpa ragu.

Ethan mengerutkan alisnya dengan ekspresi tidak suka, seolah penolakan Lea sudah menyinggung perasaannya. “Katanya kamu nggak ada acara.”

“Bukan berarti aku mau pergi sama kamu,” balas Lea tegas.

“Kok gitu? Jangan punya pikiran jelek sama aku dulu. Kalo Edward ada ngomong yang macem-macem, jangan didengerin. Dia emang suka gosipin aku yang nggak bener,” ujar Ethan dengan alis terangkat setengah. Nadanya terdengar sinis dan terlihat jengkel.

"Edward nggak pernah ngomong macem-macem, apalagi gosipin orang," bantah Lea cepat.

“Kalo gitu, kamu kurang kenal siapa Edward,” sahut Ethan dengan seringaiannya yang menakutkan.

“Itu juga berarti, aku nggak kenal sama kamu,” lanjut Lea dengan sisa nyali seadanya.

"Oh come on, Sugar. Aku cuma kepengen ngajak kamu nonton. Cuma sekedar ngajakin have fun. Nggak ada maksud apa-apa," celetuk Ethan sambil memberikan ekspresi terluka yang palsu.

"Thanks, tapi maaf aku nggak bisa," balas Lea dengan tegas.

Ethan mengerjap lalu terdiam sesaat, seolah sedang berpikir sesuatu. Lea semakin merasa tidak nyaman dan ingin segera keluar dari situ saja, tapi tubuhnya seakan membeku dan tidak mampu melakukan apa-apa. Dia begitu tegang dengan degup jantung yang semakin berdegup kencang.

"It's okay, maybe next time, kita bisa nonton bareng. Atau makan bareng," ujar Ethan bersikeras.

"Nggak usah repot-repot, karena aku nggak punya banyak waktu," kembali Lea menolak, dan itu membuat ekspresi Ethan semakin tidak senang.

Kini, Ethan tertawa sinis sambil menatap Lea dengan sorot matanya yang begitu kurang ajar, seolah menelanjanginya.

"It's okay, Baby. Aku cukup suka sama cewek yang jual mahal," ujarnya dengan nada ancaman. “Kalo diajak baik-baik, malah bikin ilfil. Kedepannya, aku nggak janji bakal bersikap sebaik ini.”

Lea tercengang dan menatap Ethan ngeri. “Mak... maksud kamu apa?”

Nothing,” jawab Ethan santai. “Aku berharap akan ada kebetulan yang kayak gini. Seneng aja ketemu sama cewek langka kayak kamu.”

“Kamu ngancem?”

“Nggak. Aku nggak ngancem. Aku cuma udah nemuin seseorang yang berhasil narik minat aku, dan nggak akan berhenti sebelum ngedapetin.”

Mata Lea melebar kaget mendengar perkataan Ethan barusan. Lea menahan diri untuk tidak bergidik ngeri dengan membayangkan apa yang diucapkan pria itu. Sudah saatnya dia harus melakukan sesuatu sebelum pembicaraan ini kelewat batas.

Dan saat Lea sedang bergumul dengan pikirannya, disitu dia merasakan ada tangan yang mencengkeram bahunya dengan mantap, sampai membuat Lea tersentak kaget lalu menoleh.

"Hey, sorry tadi macet. Kamu udah nunggu lama?"

Suara teduh Nathan melegakan perasaan Lea, seolah dirinya baru saja mendapatkan pertolongan dari Tuhan. Meski Nathan tidak melihat ke arahnya, pria itu tampak menatap Ethan dengan tajam dan dingin. Posisi berdirinya seakan memberi benteng perlindungan untuk Lea, cengkeraman yang begitu erat seolah menyatakan kepemilikan, dan tatapan dingin yang menusuk ke arah Ethan.

“Nggak,” jawab Lea sambil menggeleng. 

Ethan menyeringai sinis dan beranjak dari kursi, sambil membalas tatapan Nathan dengan remeh. “Aku balik dulu karena temen kamu udah dateng. Until we meet again, Lea.”

Ethan mengangkat alisnya setengah, saat melewati Nathan yang masih menatapnya dengan tajam, lalu melenggang santai tanpa beban.  Ketika Ethan sudah berlalu dari situ, Lea langsung menghela napas lega,  sambil mencengkeram tangan Nathan yang ada di bahunya, dan menyandarkan kepala di pinggang Nathan yang masih berdiri disampingnya.

Dia tahu jika dia sudah merasa aman.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Happy weekend, genks! 💜

See you on Monday.

Published ; Des 2017 - Feb 2018

New version : 26.04.19 (21.14 PM)






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top