Part 13 - Being honest from heart to heart

Warning : Part ini mengandung kejengkelan yang tidak berarti 😅
Disarankan untuk menjaga hati...

Happy Reading 💜


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Ada rasa yang tidak menyenangkan, ketika melihat Nathan pergi dari Bar dengan ekspresi yang tidak senang. Entah kenapa Lea merasa bersalah dan perlu memberikan penjelasan kepada pria itu. Tanpa berkata apapun, Lea berlari mengejar Nathan keluar.

Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mendapati SUV Range Rover milik Nathan mulai bergerak keluar dari pelataran parkir. Lea pun segera berlari ke tengah jalan sambil merentangkan kedua tangannya dan memejamkan matanya, ketika SUV itu hampir mengenainya.

"Lea, have you lost your mind?" teriak Nathan kaget, sambil keluar dari mobil dan berlari menghampirinya.

Lea mengerjap gugup ketika Nathan mengusap kepalanya, lalu menangkup wajahnya, kemudian menunduk sambil memperhatikan seluruh tubuhnya, untuk memastikan dirinya baik-baik saja.

"Kenapa kamu tiba-tiba lari, terus berdiri ngehalangin jalan begini, sih?" tanya Nathan dengan gusar. Suaranya gemetar, dan terlihat begitu cemas.

"Aku takut kamu udah keburu pergi," jawab Lea gugup.

Nathan mengerjap bingung sambil mengerutkan alisnya. "Ada apa? Kalau ada yang mau kamu tanyain, kamu bisa telepon. SMS kamu juga udah aku balas."

"Bukan soal itu," balas Lea lagi. Shit! Otaknya mendadak buntu.

Nathan terlihat semakin bingung dan Lea berusaha memutar otaknya untuk memberikan alasan, yang sebenarnya dia tidak memiliki alasan apapun, untuk mengejar Nathan.

"Are you okay?" tanya Nathan lagi, sambil membungkuk dengan kedua tangan yang menangkup bahunya, dan tatapan yang begitu dalam.

Lea membalas tatapan Nathan dengan degup jantung yang bergemuruh. Selama beberapa saat, dia tidak mampu menjawab pertanyaan Nathan, selain memandang paras rupawan yang ada di hadapannya. Bodoh? Lea sudah melebihi kata itu, ketika menggerakkan kakinya menyusul Nathan. Satu-satunya cara yang ingin diambilnya saat ini adalah jujur pada diri sendiri. Itu saja.

"A...aku pengen ngomong sama kamu," jawab Lea dengan pelan.

Nathan tidak langsung merespon jawabannya. Dia masih menatap Lea dengan seksama, seolah membaca apa yang dipikirkan Lea. Kemudian, dia mengangguk dan menegakkan tubuhnya, sambil melepas kedua tangannya dari bahu Lea.

"Okay, kamu bisa ngomong sekarang," ujar Nathan kemudian.

"Nggak di sini!" seru Lea cepat. Menyadari suaranya yang cukup keras, Lea mengatupkan bibirnya dan menoleh ke sekelilingnya untuk memastikan apakah ada yang mengikuti dari dalam. Ternyata tidak ada.

"Jadi, maunya ngomong dimana?" tanya Nathan sambil tersenyum.

"Kamu bisa tunggu sebentar? Aku ambil tas dulu di dalem," balas Lea.

Alis Nathan berkerut. "Emangnya kamu udah kelar performance-nya?"

"Udah."

"Terus, tadi kan kamu dijemput sama Adrian. Apa nggak..."

"Kok kamu bisa tahu kalo aku dijemput Adrian?" sela Lea heran.

Nathan bungkam. Dia terlihat salah tingkah karena baru saja mengeluarkan ucapan yang sepertinya disesalinya.

"Aku cuma tahu aja," jawab Nathan akhirnya.

Lea mengangguk paham. "Jadi, kamu punya waktu untuk ngomong sama aku? Aku takut kalo kamu udah keburu ada janji."

Nathan berpikir sejenak lalu menggeleng dengan mantap. "Nope. Tadinya ada janji, tapi itu nggak penting."

"So, lebih penting ngomong sama aku yah, daripada janji kamu itu?" celetuk Lea spontan, dan Lea langsung membekap mulutnya sendiri karena sudah mengeluarkan ucapan yang tidak diperlukan.

Nathan hanya tersenyum dan mengangguk. "Iya, lebih penting ngomong sama kamu. Karena nggak akan mungkin kamu nekat ngehalangin jalan, kalo nggak ada hal yang penting."

Lea mengerang pelan dalam hati atas kebodohannya barusan. Dasar kegeeran! Rutuknya pada diri sendiri. Dia merasa kesal karena harus bersikap seperti remaja tengik.

"Pokoknya tunggu aku yah," ucap Lea sambil mundur beberapa langkah.

"Okay," balas Nathan sambil mengangguk.

Lea pun berbalik untuk segera berlari ke dalam, tapi sebelum mencapai pintu masuk, dia menyempatkan untuk menoleh ke belakang, dan mendapati Nathan sedang menelepon seseorang sambil berbalik membelakanginya. Lea pun melanjutkan langkah untuk mengambil tas.

"Kamu mau kemana, Lea?" tanya Wayne heran, ketika melihat Lea menghampirinya dan sudah membawa tas.

"Aku disuruh ngambil foto di studio yang ada di Kota," bohong Lea dengan lugas. "Besok mau aku kirim ke redaksi."

"Emangnya file foto nggak bisa dikirim lewat email?" tanya Wayne spontan dengan ekspresi yang semakin heran. Shit!

"Aku juga nggak tahu kenapa disuruh ambil," balas Lea seadanya, kali ini terdengar kurang meyakinkan.

Alis Wayne menekuk. "Jangan mulai aneh-aneh. Bilang sama Chief Director kamu, kalau..."

"Wayne..." tiba-tiba Christian menyela dengan ekspresi tengil di wajah. "File foto itu terlalu berat kalo dikirim via email. Resolusi foto buat majalah itu gede, mau nggak mau kudu pake USB."

"Yah, tapi kenapa harus Lea yang ngambil? Kenapa nggak staff yang lain?" sembur Wayne keras kepala.

"Namanya juga anak magang, pasti dikerjain lah," balas Christian santai lalu memberikan sebuah kerlingan nakal kepada Lea, yang menatapnya dengan ekspresi lega.

"Kalau kayak gitu caranya, besok kamu nggak usah magang lagi di sana! Aku akan..."

"Wayne, please deh! Kenapa sih harus ribet kayak gini? Sekarang kamu pilih, mendingan aku jujur dan minta ijin sama kamu, atau aku main kabur aja?" sela Lea geram.

Christian terkekeh sambil menyeletuk. "Kicep deh lu!"

Adrian menepuk bahu Lea, dan dia langsung menoleh. "Kamu kesana sama siapa? Aku anterin yah."

Lea menggeleng dengan senyuman. "Nggak usah. Aku bareng sama Nathan."

"Nathan?" Wayne kembali menyeletuk. "Katanya dia ada urusan mendadak, kenapa dia bisa nganterin kamu segala?"

"Waktu di jalan, dia sempet ngomong sama gue, kalo punya urusan di Pluit," jawab Christian santai. "Kayaknya cuma mampir, jadi bisa sekalian anter Lea kemanapun Lea mau pergi."

Lea menatap bingung ke arah Christian, pria itu seolah mengetahui sesuatu, terlihat dari ekspresinya yang mencurigakan. Tanpa mau berdebat, dia kembali menoleh pada Adrian.

"Aku titip Julia sama kamu, sori banget yah. Soal besok, nanti malam aku kasih jawaban."

Adrian tersenyum lalu mengangguk. "Aku tunggu."

"Ngapain juga lu berdua bisik-bisik?" tegur Wayne sewot.

"Kepo banget sih lu jadi Abang? Kesel gue lama-lama!" dengus Adrian sambil melirik sinis.

"Udah, santai aja, Bro. Lea pergi sama Nathan, dan Adrian cuma mau mastiin Lea baik-baik aja. Beban lu sebagai Abang jadi berkurang, karena ada dua orang so'ib lu yang udah turut membantu," bujuk Christian sambil menyodorkan sebotol bir pada Wayne.

Lea memberikan kecupan singkat di pipi Wayne. "Aku pulang ke rumah malam ini."

Wayne berdecak pelan. "Awas aja kalo kamu sampe nggak pulang ke rumah."

"Udah nggak jaman jadi posesif," celetuk Adrian ketus.

Lea hanya tertawa dan segera pergi meninggalkan mereka, dia melambaikan tangan ke arah Edward dan Julia yang masih ada di atas panggung. Dia mengabaikan tatapan penuh curiga dari Julia, dan segera menuju pintu keluar. Di situ, Nathan masih menunggu sambil bersandar di sisi mobilnya.

"Udah?" tanya Nathan.

"Udah."

"Pasti Wayne sewot dan mikir yang nggak-nggak," tebak Nathan.

Lea memberikan cengirannya dan mengangguk. "Iya, but thank to Christian yang bantuin ngomong. Katanya kamu ada urusan di Pluit, emangnya itu bener?"

Alis Nathan berkerut lalu mendengus pelan mendengar ucapan Lea. Dia tidak membalas dan membukakan pintu mobil untuk Lea.

Lea pun masuk dan memakai sabuk pengamannya, sambil memikirkan apa yang ingin disampaikannya agar tidak terkesan bodoh. Meski sebenarnya dengan memaksa dirinya berada di mobil itu, sudah merupakan kebodohan yang terlanjur dilakukannya. Hanya saja, melihat ekspresi Nathan yang tidak senang, membuat Lea tidak nyaman.

"Jadi, kamu mau ngomong di mana?" tanya Nathan ketika mobil sudah melaju.

"Tadi aku bilang sama Wayne, kalo aku mau ambil foto di Kota," jawab Lea seadanya.

Nathan menoleh. "Maksudnya kamu mau minta dianterin ke sana buat ambil foto?"

"Bukan!" seru Lea sambil menggeleng. "Itu aku bohong ke Wayne, biar dikasih jalan."

Nathan terdiam lalu mengangguk. "Okay. Kamu udah makan belum?"

"Mmm... kenapa sih kalo kamu tanya, pasti nanyain udah makan atau belum?" tanya Lea ragu.

"Aku mau mastiin kalo kamu nggak telat makan. Supaya maag kamu nggak kambuh, dan aku nggak merasa harus bersalah karena nggak kasih makan anak orang," jawab Nathan sambil terkekeh.

Lea tersenyum hangat mendapatkan perhatian singkat dari Nathan seperti barusan. "Thanks, tapi tadi aku udah makan sandwich bareng Julia dan Adrian."

Nathan langsung menoleh dan menatapnya dengan alis terangkat setengah. "Kamu makan bareng siapa? Julia dan Adrian?"

Lea mengangguk. "Tadi siang, Julia mampir ke kantor buat jalan bareng sama aku. Kebetulan, Adrian memang udah janji mau jemput, jadi barengan deh."

Nathan tersenyum sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, dia tampak lebih santai dari sebelumnya. Ekspresinya pun terlihat nyaman, tidak seperti saat Nathan meninggalkan Bar tadi.

"Sandwich itu nggak bikin kenyang, gimana kalo kita pergi kulineran?" tanya Nathan kemudian.

Alis Lea terangkat senang. "Kulineran dimana?"

"Mau cobain Food Festival yang ada di Kemang?" tanya Nathan lagi.

"Mau banget!"

"Nggak apa-apa kalo makannya bukan di restoran? Ini festivalnya pake tenda di pinggir jalan lho."

"Emangnya kenapa kalo makan di tenda? Ada masalah?" tanya Lea heran.

Nathan tertawa. "Cewek kurang suka kalo diajak makan di pinggir jalan. Katanya ribet dan panas. Terus..."

"Aku nggak gitu!" seru Lea dengan alis berkerut tidak setuju. "Kamu tahu sendiri kalo aku sama Wayne, doyan mie tek-tek Abang yang mangkal di taman komplek. Atau Pecel Lele Mang Koko yang deket gerbang komplek."

Nathan kembali tertawa sambil mengangguk. "Aku cuma godain kamu aja, barangkali kesukaan kamu udah berbeda."

"Kesukaanku itu-itu aja, nggak ada yang berubah. Soalnya aku setia dan susah move on," balas Lea spontan.

Dari situ, suasana di antara mereka berbeda. Rasa canggung menyeruak dan hening pun tercipta. Tidak ada yang bersuara, seakan terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Mobil tetap melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Ibu Kota yang cukup lengang.

Lea meyakinkan diri untuk mampu mengungkapkan perasaannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Dia tidak ingin berjalan di tempat, tanpa maju atau mundur. Dia hanya ingin jujur pada diri sendiri, setidaknya menghargai nilai diri yang ada di dalamnya.

"Nathan..." panggilnya pelan.

"Hmmm..."

"Kamu tahu kalo aku pernah suka sama kamu, kan?" tanya Lea sambil menoleh ke arah Nathan, untuk melihat respon Nathan.

Nathan meliriknya singkat dan kembali menatap ke depan sambil melajukan kemudinya. Sorot matanya tampak begitu dalam dan tenang, seolah sudah mengetahui apa yang ingin disampaikan Lea.

"Iya," jawab Nathan.

"Sampai sekarang juga masih," sahut Lea langsung, dan Nathan langsung menoleh padanya. "Tapi aku masih bingung sama perasaan aku sendiri."

Nathan tidak membalas, dan terdiam saja seolah memberikan kesempatan untuk Lea melanjutkan ucapannya.

"Kayaknya aku masih naif banget, terlalu polos, dan nggak banget jadi cewek. Tapi aku niat banget untuk berubah, sama sekali nggak kepengen bikin kamu terbeban, dengan rasa suka aku yang nggak kesampean," lanjut Lea.

"Lea..."

"Boleh nggak, kalo aku ngomong, kamu jangan nyela dulu. Aku belum kelar," sela Lea cepat, karena dia tidak menginginkan adanya pengalihan.

Nathan mengangguk sebagai jawaban.

Lea menarik napasnya dengan panjang dan menatap ke arah jalan dengan tatapan kosong. "Aku cuma mau bilang, jangan merasa menyesal dengan apa yang terjadi kemarin. Dan soal aku yang tiba-tiba agak menjauh, itu karena aku bener-bener bingung kudu gimana, kalo ketemu sama kamu. Bukan berarti aku mau menghindar kayak dulu."

"Aku sama sekali nggak mikir kayak gitu, apalagi menyesal, Lea. Aku cuma takut kalo kamu musuhin aku," balas Nathan dengan ketus.

Lea menoleh sambil menggeleng. "Kamu tuh cowok, mikirnya cuma mau enaknya aja. Aku kan cewek, selain ngerasa nggak enak, ada gengsi yang harus aku jaga. Kita jadi cewek, sering dituntut jual mahal, padahal aku juga nggak tahu apa yang harus dijual."

Nathan melirik ke arahnya singkat, sambil menyeringai geli. "Kamu tuh jujur banget, yah? Jangan polos begitu, aku nggak mau kamu terlalu jujur sama cowok lain."

"Aku nggak pernah ngobrol sama cowok lain, aku cuma bisa jujur sama kamu. Kita baru ketemuan dan baru memperbaiki hubungan, rasanya nggak etis kalo kita berantem lagi."

"Soal yang lalu, itu bukan berantem," tegas Nathan langsung. "Kita berusaha beradaptasi dengan keadaan yang nggak mendukung. Yang terpenting, jangan bikin kaget."

"Kamu juga jangan selalu PHP."

"Aku nggak pernah PHP, aku cuma bersikap apa adanya."

"Pokoknya jangan kebablasan kayak kemarin. Emangnya kamu juga nggak bikin kaget?" protes Lea dengan alis mengerut.

"Tapi kamu suka," balas Nathan ringan.

"Namanya juga lagi belajar," ucap Lea dengan wajah memanas. Damn! Hal itu spontan membuatnya teringat dengan kejadian ciuman itu.

"Kalo gitu, mulai sekarang kita sama-sama jujur, okay?" usul Nathan kemudian, dan Lea mengangguk menyetujui.

"Jadi, bisa kamu ceritain kenapa tadi kamu bete?" tanya Lea kemudian.

"Gara-gara kamu yang nggak kasih kabar, dan yang nggak nanggepin niat baik aku, selama beberapa hari terakhir," jawab Nathan jujur.

Lea mencibir. "Kan aku tadi udah jelasin alasannya."

"Kan tadi kamu tanya," sahut Nathan.

Lea terkekeh pelan, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membuka pesan singkat Adrian, dan mengarahkannya pada Nathan. "Aku diajak ngedate sama Adrian. Jadi, aku harus jawab iya?"

Nathan melirik singkat ke arah ponsel, dan kembali menatap ke arah jalan. "Kamu-nya gimana?"

"Aku bingung," jawab Lea jujur.

"Kalo kamu bingung terus, yang ada malah nggak akan pernah belajar. Semisal kamu mau, terima aja. Kalo nggak, yah bilang aja nggak," ujar Nathan lugas.

"Emangnya boleh kalo aku pergi sama Adrian? Menurut kamu, Wayne bakalan marah atau nggak?" tanya Lea.

Nathan memberikan senyuman hambar. "Adrian adalah teman baik kami. Dia bukan cowok sembarangan, kalopun dia brengsek, dia nggak akan berani macem-macem sama kamu."

"Jadi aku boleh pergi sama dia?" tanya Lea lagi.

"Bukan masalah boleh atau nggak. Kamu-nya mau atau nggak. You have to explore and be happy, Lea. This is your life," jawab Nathan sambil menoleh ke arahnya, dan mengarahkan tangan untuk mengusap kepala Lea dengan lembut.

Lea mempelajari ekspresi Nathan dengan seksama. Dia melihat bahwa pria itu terlihat biasa saja, ketika tahu bahwa dirinya akan pergi dengan pria lain. Tadinya dia berpikir kalau Nathan akan melarangnya atau menjadi posesif seperti Wayne. Nyatanya? Dengan diberikan kesempatan untuk memilih, membuat Lea semakin bingung.

"Menurut kamu begitu?" tanya Lea lagi, untuk sekedar memastikan.

Nathan mengangguk. "Lakukan apa yang membuat kamu senang, jangan mengandalkan oranglain. Yang jalanin hidup itu kamu, jadi keputusan ada di tangan kamu. Bukan orangtua, bukan Wayne, bukan juga aku."

"Apa aku salah kalo aku tanya, lalu minta jawabannya sama kamu?"

"Nggak salah. Yang kamu lakuin udah bener. Cuma masalahnya, nggak semua jawaban orang, harus kamu jalanin, padahal hati kamu nggak setuju. Pendapat atau masukan orang, cuma sekedar meyakinkan kamu, tapi nggak berhak untuk memutuskan."

"Oh."

Lea mengangguk dan terdiam. Dia mencerna semua ucapan Nathan yang semakin menyulitkan. Satu pihak dia ingin mencoba, tapi di pihak lain dia tidak memiliki keberanian untuk mencoba. Namun jika Lea tidak memutuskan, kapan dia akan tahu bahwa ternyata apa yang ditakutinya, tidak semenakutkan itu? Apalagi tujuan hidupnya adalah untuk menghilangkan virus Nathan dalam hidupnya.

"Hey, jangan diem aja," ujar Nathan sambil menyenggol sikunya. "Kita udah sampe."

Lea menoleh ke luar jendela dan sudah tiba di festival kuliner yang ramai oleh pengunjung di sepanjang jalan raya itu. Dia pun segera keluar dari mobil itu dan mengikuti Nathan yang sudah berjalan di sampingnya. Pria itu tampak melindunginya, dengan menyuruhnya berjalan di pinggir, melihat ke depan, merangkul bahunya untuk menghindar dari tubrukan orang sekitar, dan sebagainya.

Ini tidak benar, pikirnya. Dia akan semakin tidak bisa melepas Nathan dari hati dan pikirannya, jika apa yang dilakukan pria itu semakin memberikan pengaruh padanya. Oleh karena itu, satu keputusan sudah diambil. Untuk pertama kalinya dia tidak menjadi ragu. Kemudian, dia menepuk bahu Nathan untuk mendapatkan perhatian pria itu, lalu berjinjit untuk membisikkan sesuatu ketika Nathan membungkuk padanya.

"Besok aku ngedate sama Adrian. Wish me luck, Okay?"



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Selain bolot dan lola, aku juga dibilang plin plan sama suamiku jaman pacaran.

Misal diajak jalan sama temen, aku pake nanya dia gitu. Terus dia sewot.
Dan kalimat penjelasan Nathan soal mengambil keputusan adalah kata-kata beliau yang nggak akan aku lupain.

Selamat belajar menjadi pasangan yang seimbang untuk pacar/suami/istrimu.

BRB : EKSEKUSI PART DADDY 😩😭




Published : Des 2017 - Feb 2018
New version : 24.04.19 (16.31 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top